Monday, June 29, 2015

Mana Lebih Mulia, Vegetarian atau Sarwa Baksa?





Menurut Lontar Bubuksah

 Diceritakan dua bersaudara kakak beradik bernama Kebo Milir dan Kebo Ngraweg. Keduanya belum mengenal etika, budhi pekerti, sehingga mereka selalu membuat onar, sekaligus mereka kurang disukai oleh saudara dan keluarga. Pada suatu hari mereka meninggalkan wilayah Kediri menuju pertapaan Mandhalangu atas petunjuk dari seorang siswa pertapaan tersebut yang bernama Hulukembang. Di sana mereka berdua akhirnya diterima untuk menjadi murid, lalu diganti namanya: Kebo Mili menjadi Gagaking, sedangkan Kebo Ngraweg menjadi Bubuksah.
Mereka menemui seorang pertapa suci, dari sanalah mereka lalu belajar tentang ajaran yang sangat rahasia, yakni ajaran keabadian. Banyak hal yang diperoleh di pertapaan Mandalangu. Mereka juga belajar kepada Sang Jugulwatu, salah seorang dari putra sang mahamuni yang telah berhasil dalam tahap ujian pantangan-pantangan, dikatakan berbadan gaib meski usianya masih muda, ia tidak ragu-ragu jika akan menemui ajalnya. Diceritakan bahwa suatu hari, lebih sepekan badan beliau seperti mati tidak ada yang mengetahui kerahasiaan beliau, tubuhnya menebar keharuman “pati nira keh wong gawok dening anilih tan katon”. Wafat beliau sangat gaib oleh karena badan beliau tidak terlihat.
Setelah mendengarkan petuah-petuah dari sang mahamuni, mereka berdua ingin melakukan tapa brata di pegunungan, pada bulan Purnama Kapat. Dalam perjalanan mereka beristirahat di sebuah balai, di balai tersebut terdapat lukisan wayang yang menceritrakan Sudamala. Lalu mereka tiba di sebuah alas angker, hutan yang menakutkan, banyak binatang buas. Sang Gagaking memutuskan untuk mengajak adiknya membuat pertapaan di tempat itu. Sang Gagaking mengambil tempat di sebelah barat sedangkan Sang Bubuksah di sebelah timur. Sebelum membuat tempat pertapaan, mereka menuju ke sebuah pancuran air, dilihatlah sebuah patung yang menceritakan lakon Arjuna Tapa, saat Arjuna melaksanakan tapa yang hebat, Sang Arjuna meskipun digoda oleh bidadari cantik Supraba, Gamarmayang, dan Tilotama namun tidak mengurungkan tapa semadinya.
Dikisahkan Gagaking dan Bubuksah melakukan tapa berata dengan cara yang berbeda. Gagaking menjalankan tapa dengan tidak memakan daging dan segala yang berasal dari hewani, hanya tumbuhan yang dianggap makanan suci. Sedangkan Bubuksah sebaliknya, dia melakukan tapa bratanya dengan tekun namun aneh, segala jenis makanan akan dimakannya, sesuai dengan janjinya, apapun yang terkena jebag / jebakan yang dipasangnya akan dimakan habis, tidak saja kancil, tikus, dan binatang lainnya juga dimakannya. Diolah menjadi makanan sambil menyanyikan kidung-kidung suci, mimum air nira (tuak). Bubuksah sangat ketat dalam menjalankan tapa bratanya. Bubuksah tidak kalah mengagumkan dalam menjalankan tapa bratanya, siang dan malam selalu ingat dengan makanannya, karena masakan yang dibuat harus habis, tidak tersisa sedikitpun. Ini disebut berawa.
Dalam pertapaannya, pada suatu hari mereka terlibat dalam diskusi yang hangat. Gagaking memberi tahu kepada adiknya “adinda, apakah yang adinda lalukan itu adalah suci? kenapa kita tidak menjalankan tapa brata yang sama saja dengan memakan makanan yang suci?”.
Bubuksah rupanya tetap teguh dengan pendirian tapa bratanya, meski sang kakak menyatakan ajarannya keliru dan tidak akan dapat mencapai kesempurnaan batin. Bubuksah tetap menjalankan tapa bratanya dengan tekun.
Dikisahkan pada suatu hari Betara Guru (Dewa Siwa) mendapatkan laporan dari dewa Indra bahwa ada dua orang manusia yang melakukan tapa untuk mendapatkan surga. Atas laporan tersebut kemudian Dewa Siwa berkehendak menguji kesetiaan dan keteguhan keduanya dalam menjalankan tapa brata. Maka diutuslah Sang Kala Wijaya untuk menguji keteguhan hati kedua pertapa tersebut, serta menguji siapa yang telah mencapai tyaga pati yakni kepasrahan  atau kesiapan dalam menyambut kematian. Sang Kala Wijaya kemudian mengambil wujud sebagai seekor harimau putih menuju ke tempat pertapaan mereka. Harimau tersebut pertama kali menuju ke tempat Gagaking untuk memangsanya. Namun Gagaking menyarankan agar harimau menghampiri adiknya yang badannya gemuk, berbeda dengan dirinya yang berbadan kurus yang tak akan membuatnya kenyang. Gagaking tidak rela jika dirinya yang memakan makanan suci dimakan oleh binatang yang tidak suci.
Mendengar perkataan dari Gagaking, harimau tersebut lalu menghampiri Bubuksah untuk memangsanya. Melihat kehadiran dari harimau tersebut menghampirinya untuk memangsanya, Bubuksah yang pemberani dan siap meskipun ajal menjemputnya. Dia meminta menunggu sebentar, selesai dia menyucikan tubuhnya dan melaksanakan japa, mempersilahkan kepada harimau putih itu untuk memakannya.
Mendengar perkataan Bubuksah, sang harimau kemudian mengurungkan niatnya untuk memangsa Bubuksah, lalu mengatakan bahwa dirinya diutus oleh Betara Guru untuk menguji tapa mereka. Sang harimau lalu mengajak mereka berdua untuk terbang ke suargaloka menghadap Betara Guru. Bubuksah menunggangi harimau putih itu, sedangkan Gagaking diterbangkan menggelantung di ekornya. Keduanya dapat mencapai kesempurnaan, keduanya mendapatkan sorganya masing-masing. Kemudian Gagaking mendapatkan sorga tingkat kelima sedangkan Bubuksah mendapatkan sorga tingkat ke tujuh (sorga tertinggi). Demikian ceritanya singkatnya.

Lontar Bubuksah di tulis pada Wadoprana Aburih, wuku Kurantil, pada hari kesembilan bulan terang, menjelang bulan (sasih) Jyesta (bulan sebelas) tahun saka 1619. Kemudian di gubah pada Menail Umanis, bulan Kartika, hari ke dua belas bulan gelap tahun saka 1811.

Kutipan Lontar Bubuksah ini sengaja penulis kutip sebagai bahan renungan bagi kita bersama, karena hakekat dari pencapaian kebebasan abadi adalah ketulusan, kepasrahan, dan ketidakterikatan terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Pada jaman sekarang, laku spiritual yang dijalankan kerapkali atas motif untuk kemasyuran, kemuliaan di masyarakat, kerapkali terselubung kegiatan dagang, dan sejenisnya. Artinya dalam tindakan tersebut masih ada ego serta keterikatan untuk pencapaian yang sifatnya duniawi.
Tulisan ini juga menginspirasi di dalam menengahi kaum vegetarian dan sarwa baksa / mimamsa, untuk tidak memperdebatkan cara masing masing. (Buyut).

Friday, June 12, 2015

ASAL-USUL MANUSIA MENURUT TUTUR RARE ANGON





 Banyak sumber dari kitab-kitab Hindu yang menceritakan mengenai terciptanya manusia dan terjadinya alam semesta. Salah satu sumber  sastra tersebut adalah Lontar Tutur Rare Angon. Dalam Tutur Rare Angon dijelaskan mengenai asal usul manusia dan perkembangan manusia dari sejak dalam kandungan sampai dewasa. Manusia tercipta dari sumbernya yakni sumber purusha (laki-laki) dan predana (perempuan). Pertemuan benih laki-laki dan perempuan, berkembang menjadi sosok. Sejalan dengan perkembangan janin sejak dalam kandungan sampai menjadi manusia dewasa, maka Sang Catur Sanak yakni saudara empat si bayi juga mengalami perubahan nama.
Tutur Rare Angon menyebutkan bahwa manusia terjadi karena adanya pertemuan antara Rare Angon dengan Rare Cili yang merupakan hakekat dari Purusha dan Pradhana. Pada awalnya I Rare Angon memadu asmara, maka keluarlah kama petak (sperma) dan dari Rare Cili keluar kama bang (sel telur). Kemudian bertempat dan berkembang di dalam rahim disebut dengan Sang Hyang Amretha Sabhuwana. Dimana mukanya menengadah di waktu malam hari. Itulah sebabnya mengapa si bayi berada di bawah ketika masih di dalam rahim  si ibu.
Berkatalah kemudian Sang Hyang Rare Angon tentang pengetahuan I Rare Angon. Sanghyang Rare Angon berkata bahwa : Satu bulan usianya di dalam rahim bernama Sanghyang Manik Kama Gumuh. Usia dua bulan bernama Sanghyang Manik Kama Bhusana. Tiga bulan bernama Sanghyang Manik Tigawarna. Usia empat bulan bernama Sanghyang Manik Srigading. Usia lima bulan bernama Sanghyang Manik Kembang Warna. Usia enam bulan bernama Sanghyang Manik Kuthalengis. Usia tujuh bulan bernama Sanghyang Manik Wimbasamaya. Usia delapan bulan bernama Sanghyang Manik Waringin Sungsang. Usia sembilan bulan bernama Sanghyang Tungtung Bhuana. Demikian perihal si bayi ketika masih dalam kandungan menurut Tutur Rare Angon.
Perkembangan janin sampai menjadi sosok manusia Dewasa, maka ada sebuah sumber sastra yakni Aji Tattwa Ampel Wadhi, mengatakan sebagai berikut : Ketika si bayi baru lahir, bernama Sanghyang Kawaspadhana. Ketika diletakkan di tanah bernama Sanghyang Prana Bhuwanakosa. Ketika ari-arinya dipotong disebut dengan Sanghyang Naganglak. Ketika pertamakali diberdirikan disebut dengan Sanghyang Sari Ning. Ketika disusui oleh Ibunya untuk pertama kalinya disebut Sanghyang Naghagombang. Ketika mulai belajar berjalan bernama Sanghyang Melengis. Ketika diberikan suwuk atau jimat disebut Sanghyang Tutur Bhuwana. Ketika diemban, Sanghyang Seroja namanya. Ketika ditempatkan ditempat duduk atau mulai bisa duduk disebut Sanghyang Windhusaka. Ketika disusui dinamakan Sanghyang Bhuta Pranasakti. Ketika disuapi Sanghyang Anantabhoga namanya. Ketika mulai bisa mengambil atau memegang, maka Sanghyang Kakarsana namanya. Ketika mulai melihat-lihat Sanghyang Menget namanya. Ketika mulai meraba-raba rambut maka Sanghyang Nagasesa namanya. Ketika mulai cemburu atau bisa membedakan orang tua dengan orang lain, Sanghyang Banyumiri namanya. Ketika bisa duduk Sanghyang Gana namanya. Ketika mulai berdiri, dan mulai memukul-mukul, maka Sanghyang Tala namanya. Ketika mulai berjalan, maka Sanghyang Bhuta Gelis namanya. Ketika mulai menyebut nama ayah dan ibu, maka Sanghyang Tutur Menget namanya. Ketika mulai bisa bermain maka Sanghyang Ajalila namanya. Ketika baru bisa memakai pakaian, maka Sanghyang Kumara namanya. Ketika baru tahu kata dan berkata-kata, maka Sanghyang Jatiwarna namanya. Ketika menginjak dewasa, Sanghyang Twas namanya. Ketika mulai mempelajari sastra dan mengetahui sastra agama, maka Sanghyang Tattwajnana namanya. Ketika mulai bisa melakukan semadi dan mengetahui weda Sanghyang Mahawidya namanya. Demikian perihal manusia manusia menurut Aji Tattwa Hampel Wadhi.
Dari uraian kedua sumber tersebut, dapat dipahami bahwa perkembangan manusia dari sumbernya purusha dan pradhana tersebut memiliki dua aspek dasar yakni sekala dan niskala. Secara sekala adalah pekembangan badan dan kejiwaannya sehari-hari. Secara niskala adalah perkembangan Sang Catur Sanak atau saudara empat atau disebut dengan nyama lekad.
Empat saudara atau nyama lekad tersebut adalah Anggapati, Prajapati, Banaspati, dan Banaspatiraja. Kempatnya senantiasa mengikuti perkembangan dan mengikuti kemana saja si manusia itu pergi. Atau selalu menyertai apa saja yang dilakukan oleh manusia.








PURA mesti punya PURANA




KALAU TAK  INGIN GENERASI BERIKUTNYA NGAMBANG !


Pura dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata Pur yang artinya tembok, atau kota yang dikelilingi tembok, atau dapat pula berarti benteng. Jadi kata Pura dalam bahasa Sansekerta dapat diartikan sebagai kota berbenteng atau benteng saja. Dengan demikian ada yang mengatakan bahwa pura berarti suatu benteng pertahanan spiritual atau benteng agama. Karena mengingat pura adalah sebagai tempat menjalankan segala kegiatan spiritual keagamaan, sebagai tempat memperdalam ajaran agama, dan sebagai fungsi sosial di dalam masyarakat sedharma.
Dalam praktek agama Hindu, pura berarti suatu tempat berstana para Dewa sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan sebagai tempat pemujaan bagi para bhakta. Sebagai tempat suci, pura tersebut sangatlah dijaga kebersihan dan kesuciannya. Pembangunannya pun dari sejak awal sudah dimulai dengan unsur-unsur kesucian. Baik itu dari mulai memilih tempat, membersihkan dan menyucikan tempat tersebut secara sekala dan niskala, dengan sarana bebantenan, pemujaan dengan mantra-mantra sang sulinggih. Pemilihan bahan yang akan digunakan untuk membangun pura tersebut juga mempertimbanggkan faktor-faktor kesucian di mana bahan tersebut tidaklah kotor atau cemar secara niskala. Termasuk di dalamnya memilih waktu yang baik atau subha dewasa dalam pembangunan pura terebut. Orang-orang atau masyarakat yang membangun pura tersebut juga melakukan yang namanya yasa kerthi yakni senantiasa menjaga pikiran, perkataan, dan perbuatan yang didasari atas kesucian.
Sampai akhirnya sebuah pura setelah selesai dibangun sebagai tempat suci memerlukan ritual atau upacara pembersihan dan penyucian, dan senantiasa dijaga kebersihan dan kesuciannya. Dengan demikian pura memang benar-benar sebagai tempat suci, baik itu sebagai tempat berstana Dewa-Dewi, maupun sebagai tempat melakukan hubungan rohani kehadapan Hyang Kuasa.
Sedangkan Purana adalah naskah-naskah kuno atau cerita-cerita kuno yang memuat mengenai sejarah atau asal-usul alam semesta, cerita para Dewa-Dewa, terciptanya manusia, terjadinya suatu tempat, atau terjadinya suatu benda tertentu. Memuat mengenai suatu perkembangan suatu hal atau kejadian tertentu di masa lampau. Berbicara mengenai masalah waktu atau perkembangan jaman, atau kadangkala menginformasikan suatu hal yang berkaitan dengan suatu tempat.
Seperti diketahui bahwa dalam purana ada beberapa macam golongan  purana. Ada yang digolongkan maha purana seperti Brahma Purana, Siwa Purana, Padma Purana, dan lain lain yang kesemuanya ada sekitar sembilan belas maha purana.  Kemudian ada golongan purana yang sifatnya lebih rendah yang dikenal dengan istilah Upa purana. Dan banyak lagi purana-purana kecil yang bersifat lokal dan memuat suatu hal yang bersifat khusus.
Brahma Purana yang digolongkan purana besar banyak menceritakan mengenai terjadinya alam semesta, termasuk pula sejarah atau hirarki para dewa, sejarah raja-raja penguasa dunia pada masa lampau, dan lain sebagainya. Terjadinya suatu tempat suci, dan kejadian-kejadian masa lampau yang sifatnya dapat dipakai suatu pegangan bagi masa berikutnya.
Pura dan Purana sangatlah dekat dan berkaitan maknanya dalam kehidupan agama Hindu. Terkait dengan pengertian kedua kata tersebut di atas, maka dalam perkembangan agama Hindu di Bali sebenarnya para tetua atau pembesar Hindu di Bali telah memikirkan hal tersebut. Seperti yang sering didengar atau dikenal adanya Raja Purana Besakih, dan Raja Purana Batur, ataupun purana yang dimiliki oleh pura-pura kayangan jagat yang lainnya.
Purana sebuah pura memuat mengenai sejarah pembangunan pura dan suatu hal yang melatar belakanginya. Dilengkapi dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan pura tersebut seperti masyarakat pengempon, pemaksan, laba pura, pelinggih yang ada di pura tersebut, termasuk pula aci atau upacara yang diselenggarakan di pura tersebut berdasarkan waktunya dan tempat. Demikian pula Ista Dewata atau Dewa yang dipuja di tempat suci, termasuk berbagai jenis banten yang dihaturkan pada setiap pelinggih. Purana tersebut dapat pula memberikan informasi mengenai kepemangkuan di pura tersebut. Memuat berbagai macam pantangan yang harus ditaati dan berbagai macam kewajiban yang harus dilaksanakan di dalam pura tersebut. Kadangkala dilengkapi dengan berbagai kejadian bersejarah atau kejadian yang dianggap aneh yang terkait dengan keberadaan pura tersebut.
Penulisan purana sebuah pura sangatlah penting adalah untuk dapat digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan yadnya. Dapat digunakan sebagai pegangan dalam memperbaiki atau memelihara tempat suci tersebut. Demikian pula untuk kepentingan kesinambungan informasi antara generasi terdahulu dengan generasi berikutnya. Sehingga terjadi suatu aliran emosional, aliran keyakinan antara masyarakat atau leluhur terdahulu dengan generasi berikutnya.
Banyak sekali kejadian di masyarakat dewasa ini di mana sekelompok masyarakat pengempon pura tidak mengetahui mengenai hal ikhwal pura tersebut. Karena mungkin para pendahulunya tidak menulis atau membuat sebuah purana yang dapat dipakai pegangan oleh generasi berikutnya. Atau banyak pula terjadi kejadian bahwa sebuah purana yang ditulis di masa lalu, sangat disakralkan sekali, tanpa pernah ada niat untuk mengetahui apa isi tulisan, baik itu yang berupa prasasti, purana, atau pamancangah. Padahal tujuan dari penulisan prasasti, purana ataupun bentuk lainnya adalah untuk memberikan penjelasan atau petunjuk kepada generasi berikutnya. Akibat dari sikap yang demikian menyebabkan terjadi suatu terputusnya informasi. Apa yang terjadi kemudian, bahwasannya genersai berikutnya tidak mengetahui mengenai keberadaan pura bersangkutan pura.
Ada yang lebih parah lagi bahwa sebuah pura tidak diketahui secara pasti nama pura tersebut, siapa yang dipuja di sana (ista dewata), dan status dari pura tersebut. Termasuk pula aci yang diselenggarakan di sana.
Sangat disayangkan atau sangat ironis kalau sekelompok masyarakat pengempon pura tidak mengetahui mengenai hal ikhwal pura atau tempat suci mereka sendiri. Sehingga ritual atau suatu kegiatan yang dilakukan di sebuah pura hanyalah suatu hal yang gugon tuwon atau nak mula keto atau kene tampi kene jalanin. Dan apa yang dilakukan hanyalah sebuah rutinitas yang hampa tanpa makna, dan kadangkala meraba-raba. Walaupun semua keadaan ini tidak mengurangi rasa bhaktinya kehadapan betara sesuwunan atau Dewata yang dipuja di tempat suci tersebut.
Sangatlah ironis kalau kita datang ke sebuah pura di mana kita tidak mengetahui mengenai keadaan atau keberadaan pura tersebut.
          Diyakini bahwa tidak semua pura memiliki purana yang bercerita tentang pura itu sendiri dengan segala seluk beluknya. Jangankan pura yang bersifat pribadi atau masih dalam status kecil, malah pura-pura yang digolongkan dalam pura sungsungan jagat diyakini belum semua memiliki yang namanya purana. Sehingga kalau kita tidak ingin generasi berikutnya kehilangan tongkat estafet penerus dari keyakinan leluhur, maka pembuatan purana sangatlah penting untuk dilakukan.








Monday, June 8, 2015

SIWANATARAJA




 BERKESENIAN DALAM RANGKA PEMUJAAN
 Setiap Tahun di Bali kita disuguhkan dengan suatu perhelatan akbar berupa pesta kesenian Bali. Dan tak asing lagi bahwa di dalamnya akan ada suatu simbul dari pesta kesenian Bali yakni Siwa Nataraja, selalu terpampang di atas candi bentar raksasa di Arda Candra, Taman Budaya Denpasar. Rupanya banyak diantara kita belum mengetahui apa itu Siwa Nataraja yang menjadi simbul tersebut.

Siwanataraja dalam fisolofi India dikatakan sebagai perwujudan dari Dewa Siwa sebagai penari kosmis. Tarian tersebut mengandung banyak makna, simbolisasi, filosofi, dan kreatifitas berkesenian, khususnya kesenian di Bali. Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali mempunyai kedudukan yang sangat mendasar, karena tidak dapat dipisahkan dari religius masyarakat Hindu Bali. Upacara yadnya yang diselenggarakan di pura-pura juga tidak lepas dari kesenian seperti seni suara, tari, karawitan, seni lukis, seni rupa, dan sastra. Candi-candi, pura-pura dan dan lain-lainnya dibangun sedemikian rupa sebagai ungkapan rasa estetika, etika, dan sikap religius dari para umat penganut Hindu di Bali.

Pregina atau penari dalam semangat ngayah mempersembahkan kesenian tersebut sebagai wujud bhakti kehadapan Hyang Siwa yang pada hakekatnya adalah Ida Sanghyang Widhi Wasa. Di dalamnya ada rasa bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri yakni Dewa Siwa. Para seniman ingin sekali menjadi satu dengan seni itu karena sesungguhnya tiap-tiap insan di dunia ini adalah percikan seni. Dalam artian adalah Siwa Nata Raja bersemayam dalam setiap insan di dunia ini.

Dalam mitologinya, tarian-tarian diciptakan oleh Dewa Brahma, dan sebagai dewa tarian adalah Dewa Siwa dikenal dengan sebutan Siwa Nata Raja. Beliau memutar dunia ini dengan suatu gerakan-gerakan mistis yang disebut dengan mudra, yang memiliki kekuatan gaib.  Dimana setiap gerakan tangan dan gerakan tubuhnya memiliki kekuatan, sehingga tarian ini tidak semata-mata mementingkan keindahan rupa. Namun didasari atas gerakan mudra tersebut, sehingga tarian tersebut memiliki kekuatan sekala niskala. Namun hanya beberapa saja dari gerakan mudra itu yang dapat dijumpai dalam tarian Bali. Namun demikian ciri khas tarian Bali dan nilai artistic magisnya yang bersifat sekala niskala tetap kita jumpai, walaupun tidak sepenuhnya dalam bentuk mudra.  

Seniman Bali lebih banyak seniman karya, dan sedikit yang menjadi seniman filsafat. Sebagai seniman karya, seniman Bali mampu menghasilkan sebuah karya seni yang bagus, dan bahkan monumental. Namun tidak banyak yang dapat mengapresiasikan karyanya. Lain halnya dengan seniman filsafat, dimana seorang seniman lebih berorientasi pada pengartian dari karyanya. Walaupun seringkali karya tersebut kurang diminati oleh penikmatnya.

Tetapi demikianlah seniman Bali sebagai seniman karya. Mereka akan merasa bangga apabila hasil karyanya dapat menghibur hati orang lain. Mereka tidak banyak mengejar filosofi dari karya seninya tersebut. Mungkin pula karena ketidakmengertian para pencipta tari Bali akan jenis dan arti dari gerakan mudra yang berasal dari tarian kosmis Dewa Siwa tersebut. Di samping itu yang namanya mudra di Bali sangatlah sakral, hanya boleh digunakan oleh para sulinggih. 

Bagi masyarakat Hindu Bali, konsep dan filosofi Siwa Nataraja tidak saja perlu diketahui dan dipahami, tetapi juga dipakai sebagai landasan filsafat di dalam berkesenian. Hindu Bali yang Siwaistis, menempatkan Siwa sebagai Dewa tertinggi, Maha Kuasa, pencipta seni, dan sekaligus sebagai tujuan dari kreatifitas seni. Visualisasi popular dari Siwa adalah Lingga-Yoni. Bentuk antromorfik dari Siwa dapat digambarkan menjadi dua yakni Ugra atau Ghora yakni menyeramkan. Aspek saumya atau santa atau damai. Lingga-Yoni melahirkan aspek Siwa dan Sakti.

Dari Siwa, segala bentuk seni di dunia ini berkembang. Oleh karena itu Siwa dipuja oleh para seniman. Dewa Siwa yang pertamakali melahirkan seni tersebut. Sebagai pencipta tarian, Siwa berwujud Nrtyamurti. Siwa juga mengajarkan kesenian kepada Dewa-Dewa dan umat manusia. Siwa juga disebut Adi Guru atau guru pertama kesenian. Siwa juga sebagai guru yoga, musik, dan jnana (ilmu pengetahuan).

Siwa dalam wujud Siwa Nataraja adalah Siwa dalam postur menari. Gerakannya sangat indah, ritmis dan eksotis mistik yang menggetarkan siapa saja yang menyaksikannya. Gerakannya yang ritmis tersebut sangat harmonis dan melahirkan keindahan. Gerakan dalam Siwa Nataraja adalah juga merupakan simbolisasi dari Panca Aksara. Panca Aksara membentuk tubuh Siwa. Tangan yang memegang api adalah Na, kaki yang menindih raksasa adalah Ma, tangan yang memegang kendang adalah Si, tangan kanan dan kiri yang bergerak adalah Wa, tangan yang memperlihatkan abhaya mudra adalah Ya. Panca Aksara adalah kekuatan yang dapat menghapus noda dan dosa. Si Wa Ya Na Ma, adalah mantra. Si mencerminkan Tuhan, Wa adalah anugrah, Ya adalah jiwa, Na adalah kekuatan yang menutupi kecerdasan, Ma adalah egoisme yang membelenggu jiwa.

Tarian siwa melambangkan pergerakan dunia spirit. Dalam tarian tersebut, semua kekuatan jahat dan kegelapan menjadi sirna.  Tujuan Siwa menari adalah untuk kesejahteraan dan kerahayuan alam semesta, membebaskan roh dari belenggu  (mala), membebaskan dari tiga ikatan yakni anawa, karma, dan maya.  Siwa bukanlah sebagai penghancur, tetapi sebagai regenarator (proses regenerasi). Siwa adalah sebagai manggala data atau pemberi kesucian, dan ananda data yakni sebagai pemberi kebahagiaan. Siwa menciptakan alam semesta dengan cara menari.

Secara konseptual Siwa Nataraja sebagai wujud nyata diterapkan dalam aktifitas keagamaan di Bali yang selanjutkan mengalir menjadi bentuk-bentuk kesenian. Gerakan tangan (mudra) tersebut kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan anggota badan. Pada upacara yadnya  terdengar weda mantra sang sulinggih, suara genta, kidung, kekawin, gamelan, tarian, banten yang ditata indah adalah pada dasarnya perwujudan rasa seni yang dipersembahkan kepada Tuhan.

Wayang sapuh leger misalnya, adalah suatu paduan yang harmonis antara seni pertunjukkan dengan filsafat ketuhanan. Dalam hal ini adalah permohonan perlindungan keselamatan kehadapan Dewa Siwa. Ketika itu Sang Dalang memohon tirtha sapuh leger dengan mencelupkan wayang Acintya, Sanghyang Tunggal, Sanghyang Licin ke dalam sangku, selanjutnya tirtha tersebut digunakan untuk menghilangkan mala secara niskala. Acintya dengan suku tunggal tersebut pada dasarnya adalah Siwa Nataraja itu sendiri dalam tradisi Bali.

Seperti pula misalnya dengan tarian telek, dimana Dewa Siwa menguji kesetiaan Dewi Giri Putri. Siwa kemudian berpura-pura sakit dan hanya dapat disembuhkan dengan empehan lembu (air susu lembu). Yangmana dari cerita tersebut kemudian muncul berbagai macam kesenian tari dengan wujud masing-masing seperti baris, barong, rangda, rarung, dan lain-lain.

Siwa Nataraja adalah upaya pencarian kebenaran, kesucian, keharmonisan, melalui berkesenian (satyam, siwam, sundaram). Berkesenian di dalam kaitannya dengan Hindu di Bali adalah sebuah langkah pemujaan untuk menyatu dengan pencipta seni itu sendiri yakni Dewa Siwa. Berkesenian adalah sebuah upaya mencari kepuasan bhatin, mencari kesenangan, mencari keseimbangan, mencari pembebasan dalam penyatuan dengan sang pencipta, yakni sumber dari seni itu sendiri yakni Sang Hyang Siwa.


 Dengan memahami konsep Siwanata Raja dalam berkesenian, sudah sepantasnya para seniman Bali yang didasari atas ajaran Hindu, menggali lebih banyak mengenai tarian kosmis Dewa Siwa. Karena dalam mitologi Siwa Nataraja, ada sekitar seratus delapan gerakan yang memiliki makna yang sangat mendasar. Namun dalam prakteknya di Bali, tidak semua dikenal. Hanya beberapa hal yang merupakan dasar-dasar tari Bali seperti tandang, tangkep, seledet, tanjek, agem, piles dan lain-lain. Nantinya seniman Bali selain sebagai seniman karya, juga diimbangi dengan kemampuan sebagai seniman filsafat.