Thursday, August 13, 2015

Bali Perlu Tidur !!




 Bagaimana bisa Bali yang sudah gemerlapan, sibuk di segala sektor siang dan malam, lalu disuruh tidur ! Mungkinkah? Aneh dan ada-ada saja! Sulit memahaminya. Kalaupun bisa memahami, apakah mungkin mewujudkannya? Dalam tataran wacana, ide, atau apapun namanya pastilah tak dilarang. Walaupun hal ini sulit untuk dimengerti dan dilaksanakan, namun perlu dipikirkan, apa sih sejatinya maksud dari semua itu?
Sebelum mengurai jaman sekarang, alangkah baiknya kalau menengok ke belakang, ketika Bali beberapa puluh tahun yang lalu. Kala itu Bali memang tak seramai saat ini, Bali juga tak semaju saat ini, termasuk juga  tak sesibuk saat ini. Bali saat itu masih berjalan dalam sekat waktu yakni siang dan malam. Ketika ayam berkokok waktu subuh adalah waktunya manusia untuk bangun dan memulai beraktifitas, sampai dengan tengai tepet (siang), lalu mulai lagi sampai sandikala (petang hari). Saat malam tiba, manusia Bali hanya melakukan aktifitas kecil sambil menunggu mata mengantuk, lalu tertidur lelap.
Kala itu Bali sempat memejamkan mata, Bali sempat tertidur lelap, Bali sempat bermimpi pada malam hari, lalu terbangun saat subuh untuk memulai aktifitas baru keesokan harinya. Bali memberikan waktu yang aman dan nyaman bagi “pemilik malam” atau mahluk kegelapan untuk melakukan kegiatannya sesuai dengan dunia malamnya tanpa pernah terusik oleh aktifitas manusia. Demikian seterusnya berlangsung secara berulang.
Seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan Bali yang begitu pesat. Bali didatangi oleh saudara-saudara tua yakni saudara dari tanah Jawa, kemudian ada saudara lebih muda yakni dari daerah-daerah lainnya di Indonesia, lalu Bali didatangi pula oleh saudara-saudara jauh yakni orang-orang asing sebagai wisatawan. Maka Bali menjadi semakin sibuk, semakin padat aktifitas tanpa mengenal waktu. Sekat siang dan malam muali mengabur. Aktifitas manusia melewati batas-batas sinar matahari, maksudnya sampai larut malam, bahkan sampai pagi. Bali lalu tak mengenal waktu tidur, tak mengenal ngedas lemah (subuh), tengai tepet (tepat siang hari), sandikala (sore menjelang malam), tengah lemeng (tengah malam), ngedas lemah (subuh) kembali. Bali tak ada waktu tidur tak ada waktu istirahat. Kokokan ayam jago tak bermakna lagi.
Pola waktu di tanah Bali sudah bergeser, Bali sudah tak kenal waktu lagi. Bali yang sedari dulu mengharmoniskan hubungan sekala niskala, peteng kelawan lemah, kini sudah dilabrak oleh kesibukan. Maka sudah tentu pemilik dunia niskala atau pemilik dunia kegelapan akan menjadi terganggu aktifitasnya oleh manusia-manusia yangh tak tidur-tidur ini. Maka para pemilik kegelapan akan menjadi terusik, lalu komplain kepada manusia Bali.
Bali sudah tak memiliki sekat waktu lagi. Antara siang dan malam sama saja. Bali kini banyak melahirkan manusia-manusia bermata sembab dan sayu karena kurang tidur. Melahirkan kehidupan dengan dunia terbalik, malam jadi siang, siang jadi malam. Pola pikir pun mungkin akan secara berangsur-angsur akan menjadi terbalik pula. Bali menjadi mengantuk. Bali menjadi pucat, Bali menjadi kurang darah. Bali seperti sudah lelah menanggung beban begadang setiap hari.
Bali perlu diistirahatkan sejenak setiap hari. Jam sebelas malam sampai jam dua dini hari mestinya Bali tidur, atau dikurangi gemerlapan cahayanya. Berilah kehidupan malam, dan pemilik peteng untuk menjalankan aktifitasnya seperti binatang malam, gumatap, gumitip, sarwa prani, dll.  
Kalau mereka tak diberi kesempatan, mungkin saja mereka akan protes dan ngrebeda. Sehingga bisa jadi banyak manusia dalam keadaan stress, depresi, sekaligus kehilangan akal sehat, dan banyak manusia sakit yang tak tahu penyebabnya. Kalau sudah begini, ini namanya penyakit peteng atau penyakit dari dunia niskala. Sumber dari pemali (penyakit akibat dari terjadinya kesalahan dalam lingkungan manusia), seperti salah letak, salah bentuk maupun salah waktu.
Bali kalau istirahat empat jam dalam sehari, akan sangat memberikan kesegaran kepada Bali keesokan harinya. Termasuk hemat energi, hemat makanan, dan hemat segalanya. Bali akan menjadi medegdegan artinya pada saat istirahat semua kembali pada posisi dan porsinya semula, untuk kembali menggeliat ketika subuh dalam keadaan segar bugar.
Lalu muncul pertanyaan, apakah ini sebatas mimpi?. Bisa saja. Namun melihat dari apa yang sudah berjalan, Bali menjadi sepi sehari saja bisa (Nyepi). Disamping itu nyepi adat juga banyak dilakukan setiap desa pakraman, ada nyepi laut, dll. Kenapa tidak diaktifkan nyepi adat di desa untuk mengistirahatkan sejenak tanah Bali atau tanah pekarangan. Atau adanya peraturan lokal pemerintah di Bali yang membatasi kegiatan di tengah malam (terutama jam 12 sampai jam 2), yang menurut kearifan lokal Bali dikatakan sebagi dauh durga. Sebagai waktu yang memiliki getaran kosmik dan aura spiritual yang tinggi, dimana waktu itu baik digunakan untuk memuja Dewa untuk kepentingan tertentu. Atau kalau tidak, pada rentang waktu itu lebih baik tidur.
Pemikiran ini mungkin bagi sebagian besar orang dianggap sebagai suatu yang mustahil atau menghambat kemajuan jaman, kuno, atau mungkin tak realistis. Namun untuk memahami hakekat semua ini, perlu menurunkan tensi ego ke titik normal, perlu menurunkan obsesi ke titik netral terlebih dahulu. Menurut orang yang tanpa ambisi namun memiliki visi ke depan, hal ini penting dilakukan untuk menurunkan frekwensi tegangan pikiran manusia, untuk mengurangi kroditnya frekewensi gelombang elektromagnetik yang selalu berbenturan dengan gelombang otak manusia, dll, yangmana hal tersebut pastilah akan berpengaruh terhadap semakin beringasnya karakter manusia, stress, depresi, serta gejala kejiwaan lainnya.
Bali perlu tidur, ini sejatinya dilakukan untuk nantinya Bali menjadi damai, menjadi tenang, menjadi tak berpolusi, tak krodit atau tak bising. Itulah sebabnya manusia perlu tidur. Malam perlu dimaknai sebagai waktu untuk istirahat. Apa gunanya Tuhan menciptakan siang dan malam?
Membangun Bali seutuhnya adalah membangun Bali berkarakter ke-tuhan-an, ke-manusia-an dan ke-alam-an. Membangun manusia secara alamiah, sesuai dengan kepatutan-kepatutan dalam hubungannya dengan alam, dengan manusia serta dengan sang pencipta. Bali bukanlah Jakarta, Bali bukanlah New York yang tak pernah tidur. Bali ya Bali. Manusia Bali perlu tidur, alam Bali perlu istirahat. (Ki Buyut Dalu/inks.)

No comments:

Post a Comment