Bagaimana
bisa Bali yang sudah gemerlapan, sibuk di segala sektor siang dan malam, lalu
disuruh tidur ! Mungkinkah? Aneh dan ada-ada saja! Sulit memahaminya. Kalaupun
bisa memahami, apakah mungkin mewujudkannya? Dalam tataran wacana, ide, atau
apapun namanya pastilah tak dilarang. Walaupun hal ini sulit untuk dimengerti
dan dilaksanakan, namun perlu dipikirkan, apa sih sejatinya maksud dari semua
itu?
Sebelum
mengurai jaman sekarang, alangkah baiknya kalau menengok ke belakang, ketika Bali
beberapa puluh tahun yang lalu. Kala itu Bali memang tak seramai saat ini, Bali
juga tak semaju saat ini, termasuk juga
tak sesibuk saat ini. Bali saat itu masih berjalan dalam sekat waktu yakni
siang dan malam. Ketika ayam berkokok waktu subuh adalah waktunya manusia untuk
bangun dan memulai beraktifitas, sampai dengan tengai tepet (siang), lalu mulai lagi sampai sandikala (petang hari). Saat malam tiba, manusia Bali hanya
melakukan aktifitas kecil sambil menunggu mata mengantuk, lalu tertidur lelap.
Kala
itu Bali sempat memejamkan mata, Bali sempat tertidur lelap, Bali sempat
bermimpi pada malam hari, lalu terbangun saat subuh untuk memulai aktifitas
baru keesokan harinya. Bali memberikan waktu yang aman dan nyaman bagi “pemilik
malam” atau mahluk kegelapan untuk melakukan kegiatannya sesuai dengan dunia
malamnya tanpa pernah terusik oleh aktifitas manusia. Demikian seterusnya
berlangsung secara berulang.
Seiring
dengan perkembangan jaman dan kemajuan Bali yang begitu pesat. Bali didatangi oleh
saudara-saudara tua yakni saudara dari tanah Jawa, kemudian ada saudara lebih
muda yakni dari daerah-daerah lainnya di Indonesia, lalu Bali didatangi pula
oleh saudara-saudara jauh yakni orang-orang asing sebagai wisatawan. Maka Bali
menjadi semakin sibuk, semakin padat aktifitas tanpa mengenal waktu. Sekat
siang dan malam muali mengabur. Aktifitas manusia melewati batas-batas sinar
matahari, maksudnya sampai larut malam, bahkan sampai pagi. Bali lalu tak mengenal
waktu tidur, tak mengenal ngedas lemah (subuh), tengai tepet (tepat siang hari), sandikala
(sore menjelang malam), tengah lemeng
(tengah malam), ngedas lemah (subuh)
kembali. Bali tak ada waktu tidur tak ada waktu istirahat. Kokokan ayam jago
tak bermakna lagi.
Pola
waktu di tanah Bali sudah bergeser, Bali sudah tak kenal waktu lagi. Bali yang
sedari dulu mengharmoniskan hubungan sekala
niskala, peteng kelawan lemah, kini sudah dilabrak oleh kesibukan. Maka sudah
tentu pemilik dunia niskala atau pemilik dunia kegelapan akan menjadi terganggu
aktifitasnya oleh manusia-manusia yangh tak tidur-tidur ini. Maka para pemilik
kegelapan akan menjadi terusik, lalu komplain kepada manusia Bali.
Bali
sudah tak memiliki sekat waktu lagi. Antara siang dan malam sama saja. Bali
kini banyak melahirkan manusia-manusia bermata sembab dan sayu karena kurang
tidur. Melahirkan kehidupan dengan dunia terbalik, malam jadi siang, siang jadi
malam. Pola pikir pun mungkin akan secara berangsur-angsur akan menjadi
terbalik pula. Bali menjadi mengantuk. Bali menjadi pucat, Bali menjadi kurang
darah. Bali seperti sudah lelah menanggung beban begadang setiap hari.
Bali
perlu diistirahatkan sejenak setiap hari. Jam sebelas malam sampai jam dua dini
hari mestinya Bali tidur, atau dikurangi gemerlapan cahayanya. Berilah
kehidupan malam, dan pemilik peteng
untuk menjalankan aktifitasnya seperti binatang malam, gumatap, gumitip, sarwa
prani, dll.
Kalau
mereka tak diberi kesempatan, mungkin saja mereka akan protes dan ngrebeda. Sehingga bisa jadi banyak manusia
dalam keadaan stress, depresi, sekaligus kehilangan akal sehat, dan banyak manusia
sakit yang tak tahu penyebabnya. Kalau sudah begini, ini namanya penyakit peteng atau penyakit dari dunia niskala. Sumber dari pemali (penyakit akibat dari terjadinya
kesalahan dalam lingkungan manusia), seperti salah letak, salah bentuk maupun
salah waktu.
Bali
kalau istirahat empat jam dalam sehari, akan sangat memberikan kesegaran kepada
Bali keesokan harinya. Termasuk hemat energi, hemat makanan, dan hemat
segalanya. Bali akan menjadi medegdegan
artinya pada saat istirahat semua kembali pada posisi dan porsinya semula, untuk
kembali menggeliat ketika subuh dalam keadaan segar bugar.
Lalu
muncul pertanyaan, apakah ini sebatas mimpi?. Bisa saja. Namun melihat dari apa
yang sudah berjalan, Bali menjadi sepi sehari saja bisa (Nyepi). Disamping itu
nyepi adat juga banyak dilakukan setiap desa pakraman, ada nyepi laut, dll.
Kenapa tidak diaktifkan nyepi adat di desa untuk mengistirahatkan sejenak tanah
Bali atau tanah pekarangan. Atau adanya peraturan lokal pemerintah di Bali yang
membatasi kegiatan di tengah malam (terutama jam 12 sampai jam 2), yang menurut
kearifan lokal Bali dikatakan sebagi dauh
durga. Sebagai waktu yang memiliki getaran kosmik dan aura spiritual yang
tinggi, dimana waktu itu baik digunakan untuk memuja Dewa untuk kepentingan
tertentu. Atau kalau tidak, pada rentang waktu itu lebih baik tidur.
Pemikiran
ini mungkin bagi sebagian besar orang dianggap sebagai suatu yang mustahil atau
menghambat kemajuan jaman, kuno, atau mungkin tak realistis. Namun untuk
memahami hakekat semua ini, perlu menurunkan tensi ego ke titik normal, perlu
menurunkan obsesi ke titik netral terlebih dahulu. Menurut orang yang tanpa
ambisi namun memiliki visi ke depan, hal ini penting dilakukan untuk menurunkan
frekwensi tegangan pikiran manusia, untuk mengurangi kroditnya frekewensi
gelombang elektromagnetik yang selalu berbenturan dengan gelombang otak manusia,
dll, yangmana hal tersebut pastilah akan berpengaruh terhadap semakin
beringasnya karakter manusia, stress, depresi, serta gejala kejiwaan lainnya.
Bali
perlu tidur, ini sejatinya dilakukan untuk nantinya Bali menjadi damai, menjadi
tenang, menjadi tak berpolusi, tak krodit atau tak bising. Itulah sebabnya
manusia perlu tidur. Malam perlu dimaknai sebagai waktu untuk istirahat. Apa
gunanya Tuhan menciptakan siang dan malam?
Membangun
Bali seutuhnya adalah membangun Bali berkarakter ke-tuhan-an, ke-manusia-an dan
ke-alam-an. Membangun manusia secara alamiah, sesuai dengan kepatutan-kepatutan
dalam hubungannya dengan alam, dengan manusia serta dengan sang pencipta. Bali
bukanlah Jakarta, Bali bukanlah New York yang tak pernah tidur. Bali ya Bali.
Manusia Bali perlu tidur, alam Bali perlu istirahat. (Ki Buyut Dalu/inks.)
No comments:
Post a Comment