Monday, September 25, 2017

Mahameru – Semeru – Tohlangkir



Lontar Tantu Panggelaran mengisahkan jaman dahulu Pulau Jawa masih goyang di atas laut karena tak ada pemberatnya. Atas situasi ini, Sanghyang Mahakarana (Batara Guru / Sanghyang Parameswara / Batara Siwa) mencari penguatnya. Batara Guru beryoga, kemudian memutar Taya (kekosongan) menjadi buih putih, maka terciptalah Gunung Hyang (Gunung Dieng). Tanah tempat pijakan Batara Guru saat itu menjadi Gunung Limohan. Pulau Jawa belum juga stabil.
Batara Guru kemudian menitahkan para dewa pergi ke Jambudwipa untuk memindahkan puncak Gunung Mahameru ke pulau Jawa untuk dijadikan pemberat. Gunung Mahameru disebut juga Gunung Mandara / Mandara Giri adalah gunung yang sangat besar dan tinggi. Kaki dan badannya di bumi, sedangkan puncaknya di angkasa setinggi seratus yojana sampai di kayangan. Untuk memotong puncak Gunung Mahameru, maka Batara Wisnu menjadi Nagaraja melilit gunung, Batara Brahma menjadi Kurmaraja (penyu) untuk menyangga potongan puncak gunung, sedangkan Batara Bayu menerbangkan puncak gunung ke pulau Jawa dan diletakkan di bagian barat. kanduksupatra.blogspot.com
Gunung itu tampak bersinar putih bagaikan jejak kaki para dewa, maka disebut Gunung Kelasa. (Kailas / Kailasa, gunung salju stana Dewa Siwa). Karena berwarna putih seperti perak, maka gunung itu kemudian disebut dengan Giri Salaka (perak), lalu disebut dengan Gunung Salak. Karena diletakkan di ujung barat, maka pulau Jawa berat sebelah. Untuk menyeimbangkan, puncak Gunung Mahameru kembali dipotong dan diterbangkan ke timur pulau Jawa. Dalam perjalanan ke timur, bagian bawah gunung jatuh berceceran. Reruntuhannya berturut-turut menjadi Gunung Katong (Gunung Lawu), Gunung Wilis, Gunung Kampud (Gunung Kelud), Gunung Kawi, Gunung Arjuna, Gunung Kemukus. Sedangkan puncaknya menjadi Gunung Semeru. Dalam kedudukan yang baru di timur, Gunung Semeru masih belum kokoh, lalu Gunung Semeru disandarkan pada Gunung Brahma (Gunung Bromo). Itu sebabnya Gunung Semeru disebut Gunung Nisada (kokoh). kanduksupatra.blogspot.com
Setelah tugas selesai, Batara Guru beserta para dewa berkumpul memuja Gunung Mahameru (raja semua gunung). Gunung Semeru adalah Lingga Acala (lingga yang tak bergerak dan tak dibuat oleh manusia). Gunung yang suci stana Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam prabawa sebagai Batara Guru / Batara Mahakarana / Batara Jagatkarana / Sanghyang Siwa Pasupati / Batara Parameswara / sebutan lainnya. kanduksupatra.blogspot.com
Setelah pulau Jawa stabil, lalu pulau Bali berguncang. Untuk menstabilkannya, Batara Hyang Pasupati memerintahkan para dewa untuk memotong puncak Gunung Semeru untuk dibawa ke Bali, dan bongkahan lainnya di bawa ke pulau Lombok. Di Bali kemudian menjadi Gunung tohlangkir / Gunung Agung, di Lombok menjadi Gunung Rinjani. Hyang Pasupati kemudian memerintahan putra beliau Hyang Putranjaya / Hyang Mahadewa berstana di Gunung Tohlangkir dan Hyang Dewi Danuh di Batur, menjadi pujaan masyarakat Bali. kanduksupatra.blogspot.com
Dikisahkan, pada situasi tertentu Hyang Pasupati beranjangsana mengunjungi putra beliau. Hyang Tohlangkir pun bergemuruh menyambut beliau Hyang Pasupati. Demikian dikisahkan. Ampura, semoga tak terkena cakrabhawa raja pinulah sosod upadrawa. Sembah sujud kehadapan Hyang Pasupati, Hyang Mahadewa, Htyang Dewi Danuh. Rahayu … rahayu… rahayu…
#Mahameru #Semeru #Tohlangkir #HyangPutranjaya #HyangDewiDanuh #GunungAgung kanduksupatra.blogspot.com

Wednesday, September 20, 2017

SATU SURO…… Kebangkitan TAKSU Tanah Jawa





Satu Suro adalah hari pertama dalam penanggalan Jawa. Bisa dikatakan sebagai tahun baru penganggalan Jawa.
Di kalangan masyarakat tradisional Jawa yang masih mengemban tradisi dan budi perketi leluhur, malam satu suro adalah malam yang sangat istimewa dan malam yang sangat sakral. Malam ini para leluhur, para dewa dewi, para eyang, para danghyang, para pengikut dan pengawal beranjangsana mengunjungi anak cucu buyut di rumah. Kehadiran para Hyang inilah dirasakan malam ini  terasa sakral beraura angker.
Pada hari ini tak banyak yang bepergian jauh, berusaha untuk diam di rumah. Sejatinya adalah untuk dapat menyambut kehadiran para leluhur dari alam kahyangan untuk dipersembahkan sesaji semampunya. Walaupun ini tak nyata / maya, namun keyakinan mereka akan membuat semuanya menjadi nyata. Malam ini Tanah Jawa diliputi suasa magis yang kental karena kehadiran para Hyang dari alam suniantara.
Karena dewa dewa, para danghyang, dan para leluhur turun dari kayangan pada hari itu, maka oleh para anak cucu buyut kesempatan ini digunakan  untuk intropeksi diri, meruwat diri, penyucian lahir batin, dan memohon anugrah kesentausaan. Juga digunakan untuk membersihkan dan menyucikan benda pusaka peninggalan leluhur, karena sang pemilik akan datang beranjangsana, serta dimohonkan agar kekuatan, daya magis, dan kesucian pusaka tetap terjaga.
Bulan Suro, bulan introspeksi, bulan penyucian diri, sehingga masyarakat tradisional Jawa sejak dahulu mengurangi aktifitas rutin, dan lebih banyak melakukan aktifitas rohani.
Bagi para penganut keyakinan leluhur tanah Jawa, Satu Suro mesti menjadi tonggak KEBANGKITAN TAKSU TANAH JAWA / kekuatan magis tanah Jawa yang didasari tradisi dan Budi Pekerti Leluhur.
Rahayu… Dirgahayu…. Dirgayusa….. Ampura

#SatuSuro #LeluhurTanahJawa #PusakaLeluhur #RuwatanJawa
kanduksupatra.blogspot.com

Monday, September 11, 2017

Dewi Parwati, Durga, Kalika, Kausiki, Ambika adalah TUNGGAL. Kisah SUMBA & SUMBAWA


Diceritakan dua raksasa bernama Sumba dan Sumbawa yang berhasil menguasai ketiga dunia. Dewa Indra, Surya, Candra, Kuwera, Waruna, Agni, dan Pawana diusirnya dari kayangan. Para dewa lalu berdoa kehadapan Sang Dewi Gunung Himalaya. Doa para dewa terdengar oleh Sang Dewi ketika sedang menuju sungai tempat permandian beliau yang bernama Sungai Janawi.
Dewi Parwati menampakkan diri dan berkata “kepada siapa kalian berdoa?”. Setelah berkata demikian, muncul Dewi Ambika dari tubuh Dewi Parwati dan berkata “mereka berdoa kepadaku, karena para dewa telah dikalahkan oleh raksasa Sumba dan Sumbawa”. Karena Dewi Ambika muncul dari sel (kosa) Dewi Parwati, maka Dewi Ambika juga disebut dengan Dewi Kausiki. Lalu karena tubuh Dewi Parwati menjadi gelap setelah keluarnya Dewi Ambika, maka Dewi Parwati juga disebut dengan Dewi Kalika. Kalika artinya “gelap”.
Diceritakan raksasa Sumba dan Sumbawa memiliki pengawal yakni Canda dan Munda. Kedua pengawal melihat kecantikan dari Dewi Ambika, lalu melaporkan kepada Sumba dan Sumbawa. “Tuan, kami melihat seorang wanita di Gunung Himalaya. Tuan telah menguasai ketiga dunia, mengapa tuan tidak menjadikan wanita cantik itu sebagai permaisuri?”
Raksasa Sumba lalu mengirim utusan kepada Sang Dewi. Utusan itu bernama Sugriwa. Ia menghadap Sang Dewi dan berkata “hamba utusan detya Sumba yang telah menguasai ketiga dunia. Anda adalah wanita tercantik di ketiga dunia, mengapa anda tak menikah dengan raja kami?”.
Dewi Ambika (Dewi Durga) tertawa, dan berkata “kau benar, namun yang berhak menikahiku adalah yang bisa mengalahkanku".
Mendengar pengaduan Sugriwa membuat Sumba dan Sumbawa marah. Raja raksasa itu segera mengirim pasukan ke Himalaya dipimpin oleh Durmalocana. Ketika mau menyerang, api keluar dari mata Sang Dewi membakar pasukan raksasa.
Sumba dan Sumbawa makin marah dan mengutus Canda dan Munda untuk menangkap Sang Dewi. Wajah Sang Dewi memerah. Dari dahinya keluar Dewi Kali berkulit gelap, berkalung tengkorak, lidahnya menjulur, memegang senjata. Dewi Kali naik ke atas singa tunggangannya lalu menangkap Canda dan Munda dengan memenggal lehernya.Dewi Kali membawa kepala Canda dan Munda kepada Dewi Ambika lalu berkata “hamba telah membawa kepala Canda dan Munda, tapi Anda sendiri yang harus membunuh Sumba dan Sumbawa”.
Mendengar kekalahan itu, Sumba sendiri akan menghadapi Dewi Ambika. Seluruh raksasa dikumpulkan untuk menyerang Sang Dewi. Sang Dewi telah menunggu pasukan raksasa. Para dewa juga menciptakan dewi yang lain untuk membantu Dewi Ambika / Durga. Dewa Brahma mengutus Dewi Brahmani, dewa Siwa mengutus Dewi Maheswari, Kartikea mengutus Dewi Kumari, dewa Wisnu mengutus Dewi Waisnawi, dan Dewa Indra mengutus Dewi Aindri.
Pertempuran sengit tak dapat dihindari. Saat itu datang serangan raksasa sakti Raktawija. Setetes darah yang keluar dari tubuhnya akan tumbuh menjadi raksasa sakti lainnya. Setiap tetes darah raksasa itu tumbuh menjadi raksasa sakti. Demikian seterusnya, sehingga tercipta banyak raksasa sakti. Dewi Ambika lalu memanggil Dewi Kali dan berkata “bukalah mulutmu lebar - lebar, aku akan menyerang raksasa Raktawija dan kau harus menghisap setiap tetes darah yang keluar dari tubuh raksasa itu”. Dewi Kali mengikuti perintah Ambika. Dewi Ambika terus menyerang Raktawija dengan trisula dan Dewi kali mengisap semua darah yang keluar dari tubuh raksasa itu. Akhirnya Dewi Ambika dapat membunuh Raktawija.
Pertempuran sengit juga terjadi antara Dewi Ambika dengan raksasa Sumbawa. Sumbawa berusaha membunuh singa Sang Dewi. Akhirnya panah sang Dewi lebih dahulu menghujam dada raksasa Sumbawa. Raksasa Sumba lalu datang dari langit, lalu melempar senjata sakti kepada Sang Dewi. Sang Dewi pun membalas dan melukai dada Sumba dengan trisula. Namun pada saat yang sama Sumbawa terbangun lagi, lalu menyerang Sang Dewi. Tiba - tiba tombak Sang Dewi menembus dada Sumbawa. Sumba yang masih hidup berteriak kepada Sang Dewi “kalian pengecut. Kalian bertarung dibantu oleh para dewi itu”. Dewi Ambika menjawab “kau salah, tak ada yang lain di sini. Mereka semua adalah aku. Kau bisa lihat mereka menyatu dalam tubuhku”.
Seperti apa yang dikatakan Dewi Ambika, semua Dewi – Dewi itu memasuki tubuh Dewi Ambika. Sang Dewi kemudian bertarung dengan Sumba. Ambika dapat menghujamkan trisulanya ke dada Sumba dan tewas. Atas tewasnya raja raksasa maka dunia tentram kembali.
Demikianlah kisah Sumba dan Sumbawa, yang memberikan gambaran bahwa Dewi Parwati, Dewi Uma, Dewi Ambika, Dewi Kausiki, Dewi Durga, Dewi Kalika, Dewi Kali, Dewi Brahmani, Dewi Aindri, Dewi Waisnawi, Dewi Maheswari, Dewi Kumari, sejatinya adalah tunggal.
Demikian disarikan dari Purana. Ampura.
#DewiParwatiUmaDurgaKali #Purana #SumbaSumbawa #Tattwa
#ArtikelByKanduk. kanduksupatra.blogspot.com

Monday, September 4, 2017

PURNAMA KETIGA – SABDAPALON – CANDI PURWO


Pada bagian akhir Kitab Serat Dharmagandul menyiratkan pesan Prabu Brawijaya seperti kutipan berikut: “Sekarang kita berpisah, nanti setelah 500 tahun yang akan datang tiap Purnama ke - Tiga (3) kita kumpul di sini. Aku akan datang menunggu Sabdapalon dan anak didiknya. Tempat ini saya akan "tengger" dengan tongkat dari Betara Guru yang nantinya akan tumbuh menjadi pohon “Kelampis Ireng”, lambang kembalinya saya ke tanah Jawa bersama pasukan Negeri Majalengka Nusantara”.
“Kutitipkan negeri ini sekarang, jagalah baik-baik dan berhati-hatilah karena negeri ini banyak yang akan menginginkan, jangan sampai dijajah bangsa lain. Ingatlah kita sebagai orang Nusantara berpusat di Jawa, jangan kamu melupakan Agama Jawa, Adat, Budaya Jawa. Jangan kamu melupakan Danghyang Tanah Jawa”.
"Sirno Hilang Kertaning Bumi Nusantara (1478 Masehi)"

500 tahun kemudian ………
Tempat itu adalah Hutan Larangan Kali Tiga, Teluk Pangpang. Di atas sebuah gumuk yang disebut Gumuk Gadung,telah dibangun Pura Candi Purwo, di tengah hutan bakau, Desa Kedung Asri, Kecamatan Tegal Delimo, Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Odalan di Candi Purwo dilaksanakan pada hari Purnama Ketiga, sebagaimana perjanjian Prabu Brawijaya dengan Danghyang Tanah Jawa “Sabdapalon”. Setiap tahun bertemu kembali di tempat ini, untuk mewujudkan kembali “Kertaning Bhumi Nusantara”.
Bagi yang sempat hadir pada malam Purnama Ketiga di Candi Purwo, semoga merasakan sensasi kehadiran para penguasa dan pengasuh tanah nusantara beserta para hulubalangnya.
Ampura. Rahayu. Dirgahayu. Dirgayusa. Kerta Raharja Bumi Nusantara Jati.
#CandiPurwo #Sabdapalon #AgamaJawaSiwaBuda #Majapahit #GumukGadung #KertaRaharjaBumiNusantaraJati
#WayanSucita #kanduksupatra.blogspot.com