Monday, July 31, 2017

CARU mesti memakai HEWAN SEMBELIHAN !!, Himsa Karma menuju ke Himsa Dharma




Bentuk yadnya yang diwariskan oleh leluhur sejak dulu semuanya didasari atas srada (keyakinan), rna (hutang), bakti dan rasa. Rasa bhakti dan rasa berhutang kepada Hyang Widhi Wasa diwujudkan dengan dewa yadnya. Rasa bakti dan hutang kepada leluhur diwujudkan dengan pitra yadnya dan manusa yadnya. Kepada para bagawanta diwujudkan dengan resi yadnya. Kepada alam diwujudkan dengan bhuta yadnya. Demikian yadnya dijalankan sejak dulu “tan meperih” (tanpa pamrih).
Dalam perkembangan filsafat umat, lalu ada kalangan yang “menggugat” alias mempertanyakan ulang laku spiritual para leluhur, terutama mengenai pelaksanaan bhuta yadnya (caru). Padahal agama mengajarkan untuk tidak membunuh, kok beryadnya dengan membunuh binatang? Demikian mereka mempertanyakan. kanduksupatra.blogspot.com
Mencari jawaban atas pertanyaan ini tidak gampang. Sudah banyak kitab dibaca, sudah banyak guru agama dan rohaniawan ditanya. 100% menjawab sama yakni untuk mengharmoniskan alam. Hanya sampai di sana. Sedangkan pertanyaan seriusnya adalah bagaimana caru itu dapat mengharmoniskan alam?
Suatu hari, ada rasa iseng untuk menyodorkan pertanyaan ini kepada Meme (ibu) ku di rumah. Tak diduga, jawabannya mencengangkan logikaku. Jawaban yang tak pernah aku dengar sebelumnya bahkan dari seorang “ahli agama” sekalipun. Memeku hanyalah lulusan program PBH (Pemberantasan Buta Huruf) di bale banjar jaman dulu. Ternyata ia fasih menguraikan dalam bahasa Bali dengan gaya penuturan bolak balik. Garis besarnya dapat diceritakan sebagai berikut: (istilah ilmiah di dalamnya hanyalah tambahan dariku).
Memeku bercerita bahwa dunia ini terbentuk dari unsur - unsur material yang disebut panca maha bhuta, yakni Pertiwi (tanah) dengan segala unsur penyusunnya. Apah (air) dengan segala molekul penyusunnya. Bayu (angin) dengan berbagai zat terkandung di dalamnya. Teja (cahaya) dengan berbagai jenis sinar seperti sinar alfa, beta, gama, ultraviolet, dll. dan Akasa (ruang) di alam semesta. kanduksupatra.blogspot.com
Keberadaan panca maha bhuta di alam semesta (buana agung) diikat dan digerakkan oleh energi kosmik yang dikendalikan Sanghyang Tunggal. Sedangkan di dalam tubuh manusia (buana alit) unsur panca maha bhuta terikat oleh energi baik secara fisika maupun kimiawi, sehingga manusia (mahluk) memiliki daya hidup, yang dikendalikan oleh Sanghyang Atman. Untuk melangsungkan kehidupan, manusia membutuhkan unsur material seperti karbohidrat, protein, vitamin, air, dan mineral. Demikian juga kebutuhan energi berupa kalori yang didapat dari proses metabolisme di dalam tubuh. Dengan mengkonsumsi makanan yang berasal dari tanaman dan hewan, sejatinya manusia memenuhi kebutuhan “bhuta kala” (material dan energi) di dalam tubuhnya untuk menjaga proses kehidupan.
Di alam semesta maupun di dalam tubuh mahluk, unsur material (bhuta) maupun energi (kala) tak dapat dipisahkan. Jika kedua unsur ini tak seimbang, maka di buana agung akan terjadi gejolak yang disebut “rug jagat” (alam kacau / bencana). kanduksupatra.blogspot.com
Apabila ketidakseimbangan terjadi di buana alit (tubuh manusia) maka manusia akan merasa tidak nyaman / sakit baik jasmani maupun rohani. Ketidakseimbangan unsur material dan energi (bhuta dan kala) akan memunculkan energi negatif. Sebaran energi negatif ini akan terakumulasi, mempengaruhi gelombang elektromagnetik otak manusia. Dapat berakibat pada peningkatan emosi, stress, depresi, beringas, gelap mata, mudah tersinggung, saling curiga, kebingungan, sakit tak karuan, dll. (sering dikatakan terkena pengaruh bhuta kala).
Untuk menyeimbangkan kondisi ini, dibutuhkan unsur material (bhuta) dan energi (kala) yang dilepas ke alam. Unsur material dan energi ini dapat diperoleh pada mahluk hidup, dalam hal ini dari hewan. Itulah sebabnya mengapa caru menggunakan hewan yang disembelih. kanduksupatra.blogspot.com
Dengan kekuatan “mantra” (ucapan suci nan magis), “sastra” (aksara suci), “patra” (gambar suci), “yantra” (simbol suci), dan “mudra” (gerakan suci) dari Sang Sulinggih serta anugrah Dewa – Dewa, diyakini unsur material dan energi dari hewan caru akan melebur dan bersenyawa secara niskala, memperbaiki bagian-bagian unsur material alam yang rusak serta mengharmoniskan energi kosmik yang tak seimbang.
Diyakini pula bahwa unsur material dan energi dari caru bergerak menuju ke seluruh penjuru mata angin sesuai dengan jenis hewan, warna, dan uripnya untuk menuju keseimbangan. Diibaratkan jalan yang rusak dan berlubang, maka unsur bhuta (material) dan kala (daya rekat) digunakan untuk memperbaiki bagian jalan yang rusak, sehingga dapat digunakan dengan baik dan tidak mencelakakan. Demikian diyakini.
Semakin luas areal kerusakan, maka makin banyak material (bhuta) dan energi (kala) yang dibutuhkan. Artinya hewan caru yang dibutuhkan semakin besar ukurannya dan makin beragam jenisnya, seperti kerbau, sapi, babi, ayam, hewan berkaki empat dan berkaki dua lainnya. Jika ruang lingkupnya kecil, maka cukup dengan caru satu ekor ayam.
Demikian juga dengan durasi (lama waktu) kekuatan (daya harmoni) dari unsur material dan energi caru. Makin besar dan beragam hewan caru, maka makin lama durasi dan daya harmoninya. (Sesuai dengan tingkatan dan jenis caru).  kanduksupatra.blogspot.com
Ini pulalah alasannya mengapa hewan caru tidak bisa digantikan dengan simbol boneka, plastik, patung, atau gambar, dll, karena semua itu adalah benda mati. Sedangkan yang dibutuhkan untuk menyelaraskan material kosmik dan energi kosmik adalah material panca maha bhuta yang terikat dalam energi kehidupan (“biomaterial” dan “bioenergi”).
Darah dalam hal ini adalah simbol biomaterial dan bioenergi. “Tabuh rah” (muncratnya darah) adalah sebagai simbolisasi dari pelepasan biomaterial dan bioenergi ke alam. Oleh karena itu, dalam upacara mecaru kerapkali diikuti dengan pelaksanaan sabungan ayam agar terjadi “tabuh rah”, pelepasan material dan energi kehidupan dalam rangka penyelarasan.
Diyakini pula bahwa energi negatif (bhuta kala) bergerak secara liar dan mempengaruhi kehidupan manusia dan alam. Energi negatif itu kerap menimbulkan bencana dan mencelakai manusia. Atas kekuatan bhatin dan weda mantra sang sulinggih, dan atas perkenan para dewa, maka pada saat mecaru energi negatif ini ditarik dan difiksasi (ditahan), lalu diharmonisasi menggunakan sarana biomaterial dan bioenergi yang telah disajikan. kanduksupatra.blogspot.com
Secara mitologi, energi negatif digambarkan sebagai sosok niskala, besar, seram, dan suka mencelakai kehidupan manusia yang disebut Bhuta Kala. Disebutkan ada 108 jenis bhuta kala sesuai dengan karakter dan kedudukannya di alam semesta. Bhuta kala konon melanglang buana secara liar mencari mangsa untuk memenuhi rasa laparnya. Agar tidak memangsa dan mencelakai manusia, serta tidak menimbulkan kegaduhan alam, maka dilakukan upacara caru. Pada saat mecaru, bhuta kala dipanggil (ditandai dengan membunyikan sungu / sangkakala, ketipluk / kendang kecil, gentorang, dan genta uter) untuk disuguhkan “tetadahan” (santapan), yang dalam bahasa filsafatnya disebut “nyomia bhuta kala”.
Ketika bhuta kala telah harmonis dan somia, maka akan muncul energi positif, kekuatan dewata, kekuatan kesucian yang mengayomi, melindungi, dan memberkahi, sehingga manusia dan alam menjadi rahayu. Demikian katanya. kanduksupatra.blogspot.com
Kembali ke masalah hewan caru. Para leluhur tak sewenang – wenang menggunakan hewan sebagai caru. Untuk memuliakan hewan yang digunakan dalam caru, maka sebelumnya dilakukan upacara melepas prani / mepepada / ngeruwat roh hewan caru untuk disucikan, agar nantinya menyatu dengan kesuniyaan menuju alam nirwana. Dan jika terlahir ke dunia akan menjadi mahluk mulia dan utama. Dengan demikian manusia yang melaksanakan kurban suci berupa caru tak terkena Hukum Himsa Karma, melainkan “Himsa Dharma” yakni pengorbanan dalam rangka dharma. Sehingga tak perlu ragu untuk melaksanakannya. Demikian Memeku bercerita.
Hal ini telah diterapkan oleh leluhur sejak jaman ilu yang berdasarkann paham Tantrayana, yang selalu bermain - main dalam wilayah material dan energi kosmik untuk mendapatkan sensasi rohani dalam rangka memenuhi hasrat cipta, rasa, dan karsa.
Mengakhiri penjelasannya, memeku berkata: “Ini adalah tata cara leluhur sejak dahulu. Memahami dan menjalankannya akan lebih mulia daripada menggugatnya”. Demikian Memeku berharap. Ampura. (Original Artikel by Kanduk Supatra, 2017). kanduksupatra.blogspot.com
#BhirawaTantra #HinduNusantara #BudiPekertiLeluhur #BhutaYadnya #BhutaKala #BiomaterialBioenergi #Himsakarma #HimsaDharma #Caru #Mepepada #MelepasPrani #PancaMahaBhuta #Tetadahan #TabuhRah #Mantra #Yantra #Patra #Sastra #Mudra

    


Tuesday, July 25, 2017

Frustrasi Spiritual



                Sebelum tahun delapan puluhan, umat Hindu Bali masih lugu. Menjalankan ritual agama secara gugon tuwon turun temurun dan mule keto. Dilakukan secara lascarya (tulus) tanpa banyak bicara landasan filosofinya. Mereka hanya tahu bahwa kalau tak melakukan semua itu, maka Betara dan leluhur akan murka, kesakitan, kesisipan, kepongor, dll. Bersembahyang pun hanya saat odalam saja. Kalau di desa ada kayangan tiga ditambah dengan odalan di sanggah dan di pura kawitan, maka dalam kurun waktu enam bulan hanya bersembahyang lima kali. Tak banyak umat yang membaca kitab agama karena khawatir hukum aja wera, tak banyak yang tri sandya. Demikian awalnya.
                Sekitar tahun 1990-an, sebuah tabloid terbitan di Jawa Timur yang menyentil ritual agama Hindu sebagai ritual  buta, maksudnya ritual yang hanya sebatas rutinitas dan tak didasari filosofi yang jelas. Demikian tulisan tabloid tersebut yang menyulut “kemarahan” orang Bali Hindu saat itu, yang dimotori oleh mahasiswa di Jawa dan Bali. Tabloid itu menyulut rasa “jengah” umat hindu nusantara. Semenjak itu aktifitas Hindu menggeliat. Darmatula, darmawacana secara intens dilakukan. Buku – buku ajaran Hindu ditulis dan diterbitkan. Ucapan “om suastyastu” sebagai salam umat makin lumrah, tirtayatra menggeliat, tri sandya, persembahyangan, semakin intensif. Pura-pura mulai dipugar. Tampilan umat makin marak dengan atribut-atribut spiritual nyentrik, menarik, bahkan terkadang “alay”, serba putih, saru mana pemedek,  mangku dan sulinggih. Demikian untuk mengawali cerita ini. kanduksupatra.blogspot.com
                Ada cerita terselip dari kebangkitan ini. Begini: sebut saja namanya Made Alu Poleng. Ia sangat rajin sembahyang, ia sudah bersembahyang di banyak pura di Bali, Jawa, Lombok, dll. Ia sudah melukat di banyak sumber air dan pura. Ia juga suka mendatangi orang pintar untuk nunas sesuatu (maklum ia senang dengan jimat-jimatan). Pokoknya urusan sembahyang, jangan ditanya lagi. Pokoknya hebat. Demikian Made Alu Poleng menjadi anak yang bhakti.
                Hal tersebut berlangsung kira-kira sepuluh tahun lebih. Setelah itu, lama Made Alu Poleng tak kelihatan di pura. Suatu hari Ketut Lasan Badeng bertanya “kenapa tak pernah ke pura De Alu?” Jawaban Made Alu Poleng cukup mencengangkan ”pehhhh….. sube ileh-ileh mebakti nunasica nu gen kene. Sing ngelah apa, sakit payu, lacur payu, dll” (sudah bersembahyang kemana-mana, tetap saja tak punya apa-apa, sering sakit, tetap aja miskin). I Ketut Lasan Badeng yang malas sembahyang menjadi kaget, “kenapa Made Alu Poleng jawabannya ketus begitu?” Ketut Lasan berfikir, sepertinya ada suatu kejenuhan, keputusasaan, dan rasa frustasi dari Made Poleng terhadap apa yang ia harapkan dari sembahyang selama ini. Demikian kisah I Made Alu.
                Kini beda ceritanya. Namanya Nang Bogol. Ia dikenal rajin sembahyang dan ngayah di pura. Tak ada yang lebih rajin dari Nang Bogol. Atas kerajinannya itu, lalu pihak keluarga mendaulatnya menjadi mangku di sanggahnya. Ia pun melakoninya. Singkat cerita, belakangan Nang Bogol tak pernah kelihatan di sanggah. Dikira ia sibuk atau sakit, ternyata ia ada di rumah. Beberapa dari anggota keluarganya jatuh sakit. Ia berjuang sendiri secara ekonomi. Sampai akhirnya ia merenungi dirinya. Karena saking kesal hati, ia mulai “mengobat-abit” Ida Betara. Mungkin ia merasa selama ini sudah rajin bersembahyang, kok tetap saja mengalami kesusuahan dan menderita. Seolah-olah sembahyang selama ini sia – sia. Lebih-lebih ia membandingkan dirinya dengan I Gede Tabuan Ugug yang malas sembahyang, tetapi sehat, tak susah, dan malah kaya. Inilah yang menyebabkan Nang Bogol jadi malas. Ia menilai para Dewa tidak adil.
                Dalam frustrasinya, Nang Bogol ia mencoba jalan lain yakni kewisesan. Entah ada yang mengajak atau karena niatnya sendiri, ia sering terlihat secara samar-samar oleh tetangga keluar malam, bahkan sering kepergok di setra melakukan ritual tengah malam. Kasak kusuk di masyarakat bahwa Nang Bogol melajah ngeliak (belajar ilmu hitam). Dugaan itu makin kuat ketika di depan rumahnya ada sebuah batu, dimana di dekat batu itu sering kecelakaan. Banyak yang menduga Nang Bocok suka menghaturkan atma dijadikan tumbal ilmu hitam. Konon juga tetangganya sering melihat kelebatan bayangan di depan rumah Nang Bogol. Mulailah ia menjadi momok masyarakat. kanduksupatra.blogspot.com
                Kini diceritakan Wayan Godogan Mepantig, seorang peminum tuak, tak mau termakan opini masyarakat. Ia mencoba mencerna masalah ini secara hati hati. Ia ditemani oleh I Putu Dongkang Kipe. Made Godogan berpendapat bahwa apa yang dilakukan Nang Bogol menandakan ia sedang mengalami pergolakan dasyat dalam nuraninya, semacam frustrasi. Karena urusannya spiritual, maka sebut saja ini gejala “Frustrasi Spiritual”. Sesuatu yang diharapkannya sejak dulu tatkala bersembahyang belum ia rasakan secara nyata. Artinya Nang Bogol bersembahyang untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat nyata. Memang hal itu tak salah karena manusia patut memuja memohon anugrah Ida Betara. Nang Bogol mesti menyadari bahwa hidup ini terikat dengan hukum karma. Kelahiran manusia di dunia ini adalah akibat dari hukum ilahi, hukum kekal, yang bernama “karmapala”.  Hukum ini melingkupi masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.  
                Wayan Godogan melanjutkan bahwa apa yang dialami Made Alu Poleng dan Nang Bogol saat ini bisa jadi merupakan buah karma masa lalu yang mesti diterima pada kehidupan sekarang. Bahasa kerennya disebut sancita karmapala. Sedangkan kebaikan yang diperbuat pada kehidupan ini pasti akan mendapat pahala, cuman hukum karma yang mengaturnya, layak diterima pada kehidupan ini ataukah pada kehidupan mendatang. Inilah yang belum dipahami oleh Made Alu Poleng dan Nang Bogol, sehingga ia tampak “ngambul” dan frustasi. kanduksupatra.blogspot.com
                Mungkin selama ini mereka bersembahyang dengan mematok anugrah sesuai dengan permohonannya. Pikirannya sangat terikat pada hasil laku spiritualnya dengan berbagai macam permohonan seperti: agar dagangan laris, untung besar, biar jadi pejabat, biar terkenal, dll. Semua itu sah-sah saja. Namun mesti disadari hakekat sejatinya mebakti, beryadnya, atau berspiritual adalah berpasrah diri, belajar lascarya / tulus, menurunkan ego, memohon kerahayuan semua mahluk dan alam semesta. Sebab tak mungkin seseorang bisa sejahtera sendirian sedangkan orang – orang di sekitarnya sakit. Mana bisa manusia tenang kalau alamnya sedang mengamuk. Bagaimana hidup dengan harta berlimpah tetapi pikiran selalu kawatir hartanya hilang atau habis. Atau berlimpah harta, namun setiap hari bolak balik rumah sakit berobat. Oleh karena itu yang penting adalah mohon kerahayuan untuk semua mahluk. Anugrah hanya dapat dirasakan nyata oleh orang-orang yang bersyukur. Demikian percakapan Wayan Godogan dengan I Putu Dongkang Kipe.
                Sedang asik mereka berbincang, tiba-tiba sekonyong - konyong Nang Bogol datang menghampiri mereka. Spontan Wayan Godogan bertanya laku spiritual Nang Bogol. Secara terus - terang Nang Bogol mengatakan bahwa ia sering ke setra untuk menenangkan hati yang sedang labil, diguncang prahara rumah tangga dan musibah bertubi-tubi. Ia mencoba mencari jawaban di setra, mohon kehadapan Hyang Betari agar berkenan memberi jawaban atas semua ini. Demikian Nang Bogol.
                Masih beruntung Nang Bogol mencari jawaban ke setra dengan memegang keyakinan leluhur, daripada ia mencari jawaban dengan pindah keyakinan. Waduuhhh jangan !!!!  Demikian Wayan Godogan mengakhiri ceritanya sambil nyetarter Motor Honda Mio nya. (Kalau di Bali, yang namanya sepeda motor semua merknya Honda. Walau ada Yamaha, Suzuki, pokoknya tetap disebut Motor Honda). Hahaha… ampura
#Hindu #LeluhurNusantara #SpiritualFrustrasi
kanduksupatra.blogspot.com



Wednesday, July 12, 2017

I BELIS dan I SETAN Dalam Budi Pekerti Nusantara




Sebelum ngomong-ngomong tentang “I Belis” dan “I Setan” ada baiknya disajikan kutipan Lontar Kanda Pat Bhuta, koleksi Gedong Kertya No. IIIc/574/4, disalin tahun 1979 oleh I Nyoman Tjateng, terjemahan tahun 1986 Jero Mangku Ketut Ginarsa. Sebagai berikut:

         “………..  demikian pula nama-nama Hyang Panca Mahabhuta harus diketahui. Selanjutnya, jika badanmu ditimpa penyakit, maka ingatlah saudaramu sekalian yang ikut lahir dari kandungan ibumu. Dan juga tingkah-laku para Dewa yang ada di dalam badanmu.
………... Keputusan Dewa tersebut adalah: Dewa yang ada pada miyu (mèru) namanya I Belis, Dewa yang ada di sanggar pemujaan disebut I Setan, yang ada pada batu namanya I Kancal, yang ada di tegalan namanya I Jajil, yang ada pada air namanya …….  Itu patut cipta dalam pikiran. Segala macam musuh diruwat olehnya.
………. Selanjutnya, masuknya mereka itu harus diketahui juga. I Belis kembali kepada jantung, I Setan kembali kepada hati, I Kancal kembali kepada limpa, I Jajil kembali kepada paru-paru, …….. dst. “kanduksupatra.blogspot.com

         Masyarakat nusantara sejak lampau meyakini bahwa proses penciptaan manusia dan kehidupan di dunia tak terlepas dari “empat saudara lahir”. Saudara empat itu sejatinya adalah perwujudan Sanghyang Tunggal / Embang yang terlibat langsung dalam proses penciptaan, kelahiran dan kehidupan manusia. Dalam proses pembentukan janin dan kelahiran manusia, kekuatan Sanghyang Embang bersemayam di dalam empat komponen tubuh manusia yakni ari ari, tali pusar, air ketuban, dan darah. Empat komponen ini oleh para leluhur disebut dengan “nyama papat” (empat saudara lahir). Ada yang menyebut dengan “adi lekad” (adik yang menyertai lahir).
         Pengetahuan tentang saudara empat ini disebut “kanda pat”, yang telah diwarisi secara turun - temurun di tanah nusantara. Dan sampai sekarang dikenal beberapa kanda pat seperti Kanda Pat Rare, Kanda Pat Bhuta, Kanda Pat Dewa, Kanda Pat Sari. Bahkan kini ada yang telah mengembangkan menjadi 25 macam kanda pat. Dan seterusnya.  
         Secara singkat dapat diuraikan bahwa sejak janin, saat lahir, dan setelah lahir, nyama papat memiliki berbagai sebutan. Saat janin mereka bernama Babu Lembana, Babu Ugiyan. Babu Kere, Babu Abra. Setelah lahir berganti nama menjadi I Anta, I Preta, I Kala dan I Dengen. Saat kepus udel berganti nama lagi menjadi I Jelahir, I Selahir, I Mokahir, dan I Makahir. Kemudian saudara empat berpisah. I Jelahir menuju ke timur menjadi Sanghyang Anggapati, I Selahir menuju ke barat menjadi Sanghyang Prajapati, I Mokahir menuju ke utara menjadi Sanghyang Banaspati, I Makahir menuju ke selatan menjadi Sanghyang Banaspatiraja. Dan seterusnya kembali ke alam dewata. Ketika mereka berwujud dewa dan berkedudukan di meru namanya I Belis. Ketika berwujud dewa yang ada di sanggar pemujaan disebut I Setan. Yang ada pada batu namanya I Kancal, yang ada di tegalan namanya I Jajil, yang ada pada air namanya I Amad …….dan seterusnya. (untuk keperluan tulisan ini, hal tersebut tidak dilanjutkan). kanduksupatra.blogspot.com
        
         Tulisan ini  tidak fokus pada nama dan perjalanan nyama papat yang begitu panjang dan unik.         Namun yang menarik perhatian dari kutipan lontar di atas adalah adanya nama I Belis dan I Setan. Dan menurut kutipan lontar di atas, ternyata “I Belis” dan “I Setan” tak lain dan tak bukan adalah sebutan bagi Sanghyang Panca Maha Bhuta yang menyertai manusia lahir dan hidup di dunia. Mereka sejatinya adalah perwujudan dewa. Ketika tugasnya sudah selesai menghantarkan kelahiran manusia, kekuatan Sanghyang Panca maha Bhuta itu menuju ke tempatnya masing – masing. Dan ketika manusia membutuhkan bantuannya, maka kekuatan Sanghyang Panca Maha Bhuta yang sudah berstana di meru / candi (bernama I Belis), di sanggar pemujaan (bernama I Setan) dan saudara yang lain bisa dipanggil dengan cara mencipta dalam pikiran (ngastawa). Kekuatan Sang Panca Maha Bhuta tersebut memasuki jiwa raga manusia melalui jalan seperti yang disebutkan di ddalam kuitpan lontar di atas, untuk meruwat segala musuh dan penyakit.
         Dalam pustaka di atas secara tegas dinyatakan bahwa I Belis dan I Setan adalah perwujudan Dewa / Sanghyang Panca Maha Bhuta yang telah berstana di meru dan di sanggar pemujan. Namun kenyataannya I Belis (disebut Iblis) dan I Setan (disebut Setan) dikatakan sebagai mahluk jahat dan mengerikan. Mengapa I Belis dan I Setan dicitrakan sebagai sebuah roh jahat dan mengerikan? Siapakah yang mendiskreditkannya? kanduksupatra.blogspot.com
         Perjalanan sejarah nusantara sepertinya memberikan jawaban terhadap hal ini. Pergulatan keyakinan di tanah nusantara pada masa lalu sepertinya menggiring opini bahwa I Belis dan I Setan sebagai berhala yang tak patut disembah. Barangkali ini adalah strategi untuk menjauhkan manusia nusantara dari tradisi memuja dewata di meru / candi atau sanggar pemujan lainnya. Nama I Belis dan I Setan sengaja dipinjam untuk menyebut roh - roh jahat dari dunia kegelapan yang biadab, mengerikan, mengganggu dan mencelakai kehidupan manusia. I Belis dan I Setan berhasil dicitrakan sebagai kekuatan jahat. Manusia nusantara tidak lagi memuja di pelinggih meru / candi maupun di sanggar pemujaan, untuk selanjutnya mengikuti keyakinan tertentu yang tidak lagi menghiraukan cara pemujaan leluhur.
         Dengan mengetahui kesejatian ini, sepertinya perlu kiranya insane nusantara merehabilitasi nama baik I Belis dan I Setan agar tidak terkena “tulah” kualat terhadap nyama papat. Karena sesungguhnya di dalam budi pekerti nusantara terdapat pemahaman “dewa ya bhuta ya” dimana antara dewa dan bhuta adalah tunggal. Jika ketidakharmonisan terjadi, maka dewa akan memurti menjadi bhuta. Dan ketika keharmonisan tercipta maka Bhuta akan somya menjadi dewa.  
         Pustaka kuno menyuratkan demikian. Budi pekertiku juga meyakini demikian. Mohon ampun, semoga tak terkena cakrabhawa rajapinulah sosod uphadrawa. Semoga rahayu, dirgahayu, dirgayusa, shanti. 
        
#KandaPat #IblisSetan #BudiPekertiNusantara #SanatanaDharma
kanduksupatra.blogspot.com