Friday, March 25, 2016

Sirep Agung, Sirep Rare, Tengah Lemeng……




       


Bagaimanakah orang Bali mengukur waktu? Pertanyaan ini terkesan mengada-ada kalau orang menemukan jawabannya demikian:”Untuk mengukur waktu tentulah digunakan jam”. Jam adalah simbol modern dan kebudayaan Barat. Namun, masyarakat Bali tradisional atau yang kini hidup di pedesaan memiliki cara tetenger dan penamaan untuk menandai waktu, antara lain dengan memperhatikan suara satwa dan  peredaran matahari. Sementara, bulan tidak dapat digunakan  sebagai tanda untuk mengukur waktu. Alasannya,  karena bulan muncul sangat tergantung pada rotasinya, kadang-kadang muncul secara sempurna (purnama), kadang tidak sempurna atau compang-camping kemudian lenyap sama sekali dari pandangan (tilem).
        Untuk mengatasi masalah penanda kewaktuan itu, maka leluhur orang Bali menggunakan tetenger, yakni menafsirkan suara kokok ayam dan suara burung. Untuk menandai peteng (kurang lebih pukul 20.00 – 21.000), misalnya ditandai dengan suara ayam jantan, dan orang Bali menyebut rentang waktu itu sirep rare. Konsep ini dengan jelas diterapkan dalam kalimat berbunyi:”nden malu mulih mara sirep rare” [nanti dulu pulang, baru sekitar pukul 20.00 atau 21.000”], yang artinya “belum terlalu malam”.
Di samping konsep pewaktuan yang merujuk pada saat sirep rare, orang Bali juga mengenal sirep agung [kurang lebih pukul 23.00 --24.00]. Konsep sirep agung tentu berkaitan dengan latar belakang masyarakat Bali agraris yang menentukan waktu tidurnya. Masyarakat petani tentu telah pergi tidur antara pukul 23.00 – 24.00; ini berbeda dengan masyarakat modern yang baru berangkat atau pulang kerja saat itu. “Sareang suba sirep agung, mani buin matuturan” [tidurlah, sudah sirep agung, besok bercerita lagi”. Kata sirep agung terasa memiliki makna magis jika dibandingkan ungkapan pukul 12.00.
Ketika bangun menjelang pagi [subuh], orang Bali menyebut dalam ungkapan pelimunan, galang kangin, ruput, yang juga terkesan magis. Selain itu, orang Bali memiliki sekurangnya dua kata untuk menyebut pagi, yakni semeng dan semengan. Kata semeng berarti pagi, sedangkan semengan berarti pagi-pagi sekali. Kata semengan dan semeng sama-sama berposisi sebagai kata dasar dialek yang berbeda. Kata semengan merupakan dialek Bali Utara, Klungkung dan Karangasem. Kata semeng merupakan dialek dari daerah selain ketiga kabupaten  itu, terutama Badung.
Diungkapkannya juga bahwa kata semengan mempunyai variasi lagi, yakni kata ndagi dan ndag surya. Ndagi berasal dari kata ndag “terbit” dan “ai” [matahari].  Dalam ungkapan kedua digunakan kata surya yang dianggap lebih halus daripada kata ai. Waktu terbit matahari digunakan sebagai ciri atau tetenger untuk menyebut hari sudah  atau masih pagi. “Ne suba ndagi surya” [ini sudah pagi], atau lebih halus “niki sampun andag surya”.
Setelah itu, waktu terus berjalan hingga mencapai seng kangin (08.30—11.30 Wita). Kata ini berasal dari kata ngeseng [condong] dan kangin [timur]; konsep waktu ini mengacu kepada posisi matahari ketika berada pada sudut 45 derajat di ufuk timur, yang bagi orang Bali menunjuk waktu 08.30—11.30. Istilah lain yang digunakan untuk menunjuk waktu yang sama adalah tengai. Kata tengai berasal dari kata tengah [setengah] dan ai [matahari/hari]. Pertanyaan muncul:”Mengapa orang Bali menggunakan kata tengai, seng kangin, dan tengah kangin untuk mengacu pada puul 12.00, padahal saat itu posisi matahari tepat di atas kita? Jawabannya mengacu pada konsep waktu dalam bahasa Indonesia, yang menyebut setengah hari saat matahari tepat di atas kita, sedangkan konsep itu dalam bahasa Bali sangat relatif. Artinya, antara pukul sembilan, sepuluh, dan sebelas disebut dalam nama yang sama, yaitu tengai, seng kangin, dan tengah kangin.
Untuk menyebut  matahari di titik kulminasi, orang Bali memiliki ungkapan sendiri, yakni tengai tepet dan kali tepet. Kata tengai tepet berasal dari tengai [siang] dan tepet [tepat]. Makna kedua ungkapan ini adalah menyebut waktu siang atau matahari tepat di atas ubun-ubun kita. Konsep ini berhubungan dengan cara orang Bali mengukur waktu tengai tepet, yaitu dengan cara berdiri di terik matahari kemudian melihat bayangan dirinya. Apabila bayangan dirinya bulat di bawah kaki, maka hari sudah tengai tepet.
Selanjutnya istilah kali tepet yang berasal dari kali [waktu] dan tepat [tepat]. Maksudnya adalah sama dengan konsep sebelumnya, yakni matahari pada saat itu [kali] tepat berada di atas ubun-ubun. Variasi lain yang bermakna sama adalah bajegai, yang berasal dari kata bajeg [tegak] dan ai [matahari/hari]. Kata bajeg membentu istilah yang mengacu pada  posisi matahari tegak di atas kita. Kata bajeg ini memiliki variasi jejeg sehingga muncul pula  kata jejegai yang bermakna sama dengan bajegai.

Seng Kauh
Untuk menyebutkan waktu sore hari orang Bali menggunakan kata neduhang, seng kauh dan tengah kauh, yang kira-kira menunjuk pukul 13.00—15.30. Istilah neduhang berasal dari kata dasar teduh [teduh—bahasa Indonesia], yang kemudian mengalami proses konfiksasi N-teduh-ang menjadi kata neduhang [terjadi peluluhan t pada kata dasar teduh ke dalam afiks nasal N-menjadi N]. Kata neduhang bermakna menuju ke teduh, yang berarti penunjuk waktu menjelang sore.
Istilah lain yang maknanya senada adalah seng kauh [condong ke barat] dan tengah kauh [tengah ke barat]; ungkapan ini beranalogi dengan ungkapan seng kangin.
Dalam bahasa Indonesia terdapat dua istilah untuk menunjuk waktu setelah sore, yakni senja [17.30—1830] dan petang [16.00—18.00]. Petang menunjuk saat menjelang matahari terbenan, sedangkan arti senja adalah waktu temaran menjelang matahari terbenan. Dalam bahasa Bali, istilah petang dan senja agak lebih jelas batasannya, yakni senja dimaknai ngelingsirang. Kata ini berasal dari kata lingsir [tua] yang mendapat konfiks Ng-    - ang, yang maknanya diacu kepada tua atau matahari menuju ke peraduannya.
Setelah matahari terbenan disebut sandikala, sandikawon, engsebai, neremeng, sarumua dan tetebmua, yang mengacu pada waktu kira-kira 18.00---19.00. Sandikala berasal dari kata sandi [pertemuan dua ruas], dan kala [waktu]. Dengan demikian, yang dimaksud dengan sandikala adalah pertemuan antara siang dan malam; suasana yang mengaburkan pandangan mata kita. Makna ini masih berdekatan dengan makna kata ngeremeng, sarumue, dan tetebmua yang artinya antara terlihat dan tidak. Kata sarumua berasal dari saru [antara terlihat dan tidak] dan mua [muka]. Keadaan demikianlah yang disebut sandikala.
Bagaimana dengan istilah sandikawon? Kata ini berasal dari kata kawon, yang merupakan bentuk halus dari kata kalah dalam bahasa Bali. Apakah kata kala, kalah lalu menjadi kawon? Dalam bahasa Jawa Kuno, memang ada perubahan  bunyi la/lah menjadi won, misalnya tala- tawon, sregala menjadi segawon, dan kala[h] menjadi kawon.
Akhirnya, kata peteng yang bermakna gelap  atau malam (BI). Padanan kata ini, antara lain lemeng. Lemeng termasuk morfem pangkal karena tidak bias berdiri sendiri. Kata lemeng dapat bermakna apabila dibubuhi ditambahi kata bilangan di depannya: lemengin [lewati satu malam], malemengan [sudah dilewati satu malam], alemeng [satu malam], dan duanglemeng [dua malan]. Dari sini juga muncul istilah tengah lemeng [tengah malam], tengah lemeng gede (pk. 00).
(Buyut).

Monday, March 21, 2016

Mengapa Natab Biakaon Menjelang Nyepi ?




Natab Biakala adalah sebuah ritual kecil yang dilakukan umat Hindu Bali pada saat hari pengerupukan. Upacara ini dilakukan pada sore hari atau sandikala sebelum melakukan acara mebuwu buwu dan ngerupuk. Mebiakala atau sering disebut dengan Mebiakaon adalah salah satu dari rangkaian panjang prosesi Ngesanga (perayaan Nyepi). Upacara Natab Biakaon dilakukan di halaman rumah dengan beralaskan tikar. Banten yang disiapkan adalah satu soroh biakala, prasita (prayascita), dan sesayut lara melaradan.
Rangkaian upacara ini adalah :pertama natab biakaon bersaranakan tepung tawar sebagai sarana penawar (penetralisir) kekuatan negatif yang ada di dalam angga sarira (badan). Dilanjutkan dengan kekosot / kekosok yang biasanya terbuat dari muncuk daun pandan, atau alang alang. Kekosot ini dilakukan dengan cara memutar-mutar di kedua belah telapak tangan, sehingga kekosok tersebut berputar kencang. Maknanya adalah simbolis dari menggosok atau membersihkan lapisan lapisan kekotoran yang ada pada diri manusia secara lahir batin. Pemutaran dari kekosok ini juga diyakini akan memunculkan angin baret (angin kencang) bahkan angin rebut (ngelinus) secara niskala. Angin niskala ini diharpakan mampu menghempaskan dan menrbangkan segala kekotoran (mala), segala penyakit (rogha), segala penderitaan (lara), yang melekat pada jasmani dan rohani yang bersangkutan. Setelah itu dilakukan memberikan benang barak (merah) di kaki, sebagai simbol ngeseng (membakar) dari sehananing mala (segala kekotoran) yang ada dalam diri manusia baik secara lahir maupun batin. Dilanjutkan dengan natab biakaon, yakni ayunan tangan diarahkan ke kaki atau ke bawah. Hal ini sebagai simbol pelepasan mala agar kembali ke Sanghyang Ibu Pertiwi. Simbolisasinya adalah ke arah kaki, karena kaki sebagai organ tubuh yang setiap saat kontak dengan bumi atau pertiwi. Oleh sebab itulah natab biakaon sering disebut dengan natab batis.
Rangkaian selanjutnya adalah meprasita / meprayascita yakni memohon penyucian atau pembersihan secara jasmani dan rohani yang didahulu dengan berkumur tiga kali menggunakan air bungkak nyuh gading. Selanjutnya nunas dan minum air bungkak nyuh gading sebanyak tiga kali. Dilanjutkan dengan nunas tirtha prasita. Tirtha prasita sebelumnya ditunas atau dimohon pada sulinggih. Nunas tirtha prayascita ini dengan bersaranakan lis. Lis adalah rangkaian janur yang berbentuk senjata dewata nawa sanga, sebagai sarana untuk ngelis (mengupas) atau membersihkan dan menyucikan badan secara jasmani dan rohani sejalan dengan menyiratkan tirtha prasita sehingga menjadi suci. Akhir dari prayascita adalah menyematkan sesarik / sesedep dan benang putih di kepala dan di tangan. Sesarik adalah simbol limpahan waranugraha amerta, kesejahteraan dan keharuman / kemasyuran, sedangkan benang putih adalah simbol limpahan kesucian rohani (disematkan di kepala) dan kesucian jasmani (disematkan ditangan). Sesarik atau sedep adalah beras yang direndam dengan air cendana sehingga berbau harum. Atau dalam praktek sehari-hari, sesedep sering dibuat dari beras diisi boreh miik dan air.   
Tahapan selanjutnya setelah meprasita adalah natab Sesayut Pemiak Lara Melaradan. Namun untuk cepatnya biasanya para ibu-ibu hanya menyebutkan dengan Sesayut Lara Melaradan. Sesayut ini dibuat dan ditatab adalah untuk memohon kehadapan Hyang Widhi Wasa dalam prabawa sebagai Sanghyang Ibu Pertiwi agar dihindari atau dijauhkan dari sengsara / penderitaan berkepanjangan. Sesuai dengan namanya yakni Sesayut adalah simbol permohonan. Pemiak adalah pemisah atau penghindar. Lara adalah sengsara atau penderitaan. Melaradan adalah sambung menyambung / berkepanjangan. Ketika natab sesayut ini, ayunan tangan diarahkan ke badan, yang maknanya adalah memohon agar jasmani dan rohani ini dilimpahkan waranugraha oleh Ida Sanghyang Widhi Wasa yakni dijauhkan dari segala mala dan penderitaan berkepanjangan.
Prosesi natab biakala atau biakaon ini diakhiri dengan ngukup, yakni kedua telapak tangan ditelungkupkan di atas asap pengasepan kemudian diusapkan ke wajah. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali. Selanjutnya hal yang sama juga dilakukan sebanyak tiga kali ke bagian badan dan kaki. Hal ini bermakna sebagai berakhirnya rangkaian acara serta telah mendapatkan penyucian  dan waranugraha secara lahir batin yakni penyucian pikrian, perkatan, dan perbuatan.
Setelah melakukan penyucian diri, barulah melakukan membuwu-buwu dan ngerupuk dalam rangka nyomia Sang Bhuta Kala. Karena hanya dalam jiwa raga yang bersih dan suci yang mampu menyupat Bhuta menjadi Dewa.
Muncul pertanyaan: mengapa natab biakala dilakukan pada sore atau sandikala?. Karena sandikala adalah waktu peralihan dari siang ke malam. Pada saat ini terjadi peralihan dari kekuatan atau unsur-unsur kosmik di alam semesta. Sehingga waktu ini baik untuk dilakukan pelepasan ma­la (kotor) dan mengambil atau memohon pemarisuda (penyucian). Demikian juga mengapa ngerupuk dilakukan pada sandikala adalah sebagai waktu yang baik untuk penyupatan bhuta menjadi dewa. Demikian juga muncul pertanyaan, kenapa natab biakaon ini dilakukan di natah / di halaman. Semua ini adalah dalam rangka memohon kehadapan Sanghyang Ibu Pertiwi agar segala mala, roga, lara, kembali ke asalnya ke Ibu Pertiwi. Kira-kira demikian. Ampura. (Taksu/kanduksupatra/maret2016)

Sunday, March 6, 2016

NYEPI DI HOTEL atau KE LUAR BALI ?




“Aneh…. Memang aneh. Sepertinya mereka tak menghormati agamanya sendiri. Sepertinya mereka bukan orang Bali Hindu” Demikian ocehan dari De Nok (nama lengkapnya I Made Nokia Antara) pada suatu siang di depan bale banjar, seminggu setelah ngembak geni. Ketika itu di sampingnya ada Yan Bebe (nama lengkapnya I Wayan Gede Agus Black Bery). Yan Bebe lalu menanyakan kepada De Nok, kenken ne jeg mekapal Rusia pedidi? (ngemigmig / ngomel).
De Nok menyahut. “Sungguh… sungguh… sungguh… terlalu, dan sungguh tak terima aku”. Coba bayangkan masa tetanggaku itu baru datang dari Jawa. Ia berangkat dua hari sebelum Nyepi. Pasalnya anaknya konon tak bisa dengan suasana sepi, tak tahan dengan gelapnya saat Nyepi, dan takut ketika Nyepi. Itu alasannya, sehingga ia harus pergi ke Jawa ke rumah saudaranya untuk Nyepi di Jawa”.
“Memangnya di Jawa Nyepi?” Yah… itukan bahasanya dia. Nyepi di Jawa kan bisa kemana-mana, tak seperti di sini”. Demikian kata si De Nok mengawali perbincangannya dengan Yan Bebe.
Yan Bebe menyahut. “Yah aku baru mengerti. Memang sih akhir-akhir ini banyak rekan-rekan kita yang menghindari hari raya nyepi dengan berbagai alasan. Coba lihat di pelabuhan Gilimanuk atau Padangbai, menjelang nyepi pasti arus ke luar bali padat, dan ketika habis nyepi arus balik membludak. Kalau mereka non Bali dan non Hindu okelah, tak masalah, mungkin kesempatan libur Nyepi digunakan untuk berlibur menengok keluarga di Jawa. Tak masalah dan sama-sama jalan”
“Tapi yang mengherankan adalah kalau saudara kita orang Bali yang beragama Hindu meninggalkan Bali karena seperti alasan di atas. Kalau demikian halnya, perlu memang kita tingkatkan kembali pemahaman mengenai hakekat hari Nyepi kepada seluruh umat”.
Bagi mereka yang pemahamannya dangkal pastilah Nyepi dikatakan sebagai rutinitas setelah rangkaian upacara yang cukup panjang sejak melis, ngerupuk. Mungkin mereka sebatas itu saja. Mungkin mereka tak bisa dalam keterkekangan selama dua puluh empat jam. Tak boleh kemana mana, tak boleh bermain, tak boleh ribut, tak boleh menyalakan lampu dan segala pantangan lainnya yang merupakan implementasi dari catur berata penyepian”.
“Setelah mengatakan demikian lalu datangTut Sam (nama lengkapnya adalah I Ketut Putra Samsung Perkasa). Ia berkata “yah… memang agak aneh kedengarannya. Malah ada tetanggaku yang namanya I Gusti Made Neksian (dipanggil Gus Ineks)  pada hari pengerupukan siang berangkat menuju hotel yang berada di seputaran objek wisata untuk nyepi di sana. Mungkin mereka menganggap di hotel tidak nyepi. Padahal hotel di bali semuanya nyepi, atau dengan aktifitas terbatas di dalam hotel saja. Mungkin dengan demikian mereka merasa lega dibandingkan tinggal di rumah yang gelap gulita”.
“Yah begitulah perkembangan jaman sekarang De, sahut Mamot (nama lengkapnya I Nyoman Motorola) dari sudut tembok bale banjar. Rupanya sedari tadi ia mendengarkan pembicaraan teman-temannya sambil kencing di tembok banjar. Mamot melanjutkan komentarnya, “perilaku seperti itu rupanya semakin menjadi trend dan banyak yang meniru. Kita tak perlu meniru yang begitu. Yang membuat nyepi itu adalah kitaa sendiri, maka yang harus menghargai adalah kita sendiri. Nyepi sudah dilakukan oleh leluhur sejak jaman dahulu sampai sekarang. Menjalankan nyepi berarti menjalankan tiutah leluhur. Artinya pula leluhur akan merassa senang dan bahagia di alam sana ketika semua keturunannya menjalan catur berata penyepian. Menyenangkan leluhur adalah salah satu paramo dharmah atau kewajiban utama. Salah satunya adalah dengan menjalankan apa yang sudah menjadi warisannya. Selalin leluhur, para dewa dan bhatara juga akaan menjadi berkenan atas pengekangan dan pengendalian diri dari para umat manusai di dunia. Sehingga yang akan diterima adalah berkah kebaikan. Jadi tak perlu merasa pusing atau merasa marah dengan mereka yang menghindari hari nyepi. Menghidari nyepi tak bedanya dengan menghindari berkah Dewa dan berkah leluhur”. Ampura. (Ki Buyut /kanduk).

MAKNA UPACARA MEPRANI


Tulisan ini bukan untuk menggurui siapapun. Ini hanyalah catatan mengenai pemahaman saya tentang meprani yang selama ini banyak yang bertanya, apa sih meprani itu? mengapa meprani? dan sebagainya. Setelah sekian lama pertanyaan itu tersimpan di dalam pikiran sambil mencari jawabannya dalam sastra, yantra, mantra, adat budaya, serta cerita para tetua, maka tersusunlah catatan ringkas ini.
Upacara Meprani yang dilakukan di banjar pada saat satu hari menjelang Nyepi sejatinya hanyalah salah satu dari sekian banyak rangkaian upacara kesanga yang diawali dengan melasti, mecaru pemarisuda bhumi, meprani, ngerupuk, Nyepi (nyatur brata), ngembak geni.
Upacara meprani di banjar pada pagi hari sejatinya diawali dengan upacara pemarisuda bhumi (pembersihan dan penyucian bhuana agung dan bhuana alit) dalam sekala kecil yakni ruang lingkup banjar dan krama banjar. Upacara ini bersaranakan caru eka sata (ayam brumbun) sebagai sarana pengharmonisan alam sekala dan niskala, pengharmonisan Panca Maha Buta. Dilengkapi dengan banten durmanggala sebagai sarana untuk membersihan kedurmanggalan atau energi - energi yang tak sejalan dengan kehidupan manusia, dilanjutkan dengan pengulapan yakni sarana untuk mengembalikan energi - energi alam semesta ke posisinya masing - masing, dan dilanjutkan dengan ngelis dan prayascita yang maknanya adalah membersihkan dan menyucikan segala yang ada di dunia baik bhuana agung maupun buana alit, sekala dan niskala. Dengan upacara mecaru ini diharapkan energi alam semesta kembali dalam keseimbangan, bersih, tenang, dan suci. Inilah mengapa kemudian disebut dengan pemarisuda bhumi.
Lalu untuk ruang lingkup yang luas dilanjutkan dengan caru di tingkat desa yang dilakukan di catus pata desa dengan menghaturkan caru panca sata. Dilanjutkan lagi dengan yang lebih luas yakni untuk tingkat kabupaten / kota dengan pelaksanaan tawur di pusat kota. Demikian seterusnya dalam sekala yang lebih besar, dengan harapan alam semesta beserta dengan isinya kembali dalam kesimbangan (stabil) yang dalam bahasa balinya disebut dengan gumi degdeg / gumi enteg suci nirmala.
Kembali ke upacara yang dilaksanakan di banjar yakni meprani. Prani memiliki dua pengertian. Yang pertama pengertiannya adalah “mahluk” (sarwa prani / semua mahluk), kedua pengertiannya adalah “hidangan” yakni soda atau persembahan (dapat berupa gebogan) yang dilengkapi dengan hidangan nasi, lawar, sate, dan kuah.
Banten prani ini dihaturkan oleh setiap keluarga banjar, dibawa ke banjar. Dan ketika menghaturkan prani, banten ditempatkan langsung di hadapan krama yang menghaturkan prani. Banten prani kemudian di-astawa oleh jero mangku, dan tentunya juga oleh seluruh krama dengan cara ngayab. Jadi upacara Meprani adalah ungkapan rasa syukur dan bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi dengan mempersembahkan banten serta hidangan (prani) untuk memohon kesejahteraan semua mahluk (sarwa prani) dan alam semesta.
Setelah dilakukan bhakti pepranian (meprani) semua krama beramahtamah dengan makan bersama menikmati nasi, lawar, sate serta kuah yang ada di banten prani tersebut, sebagai simbol anugrah amerta Ida Sanghyang Widhi Wasa kepada kita semua. Acara ini memiliki nilai sosial yakni kebersamaan antar sesama warga. Untuk makan bersama ini di beberapa tempat masih berlangsung. Meprani tidak saja dilakukan di banjar menjelang nyepi, namun tradisi meprani juga dilakukan di beberapa desa dan pura di Bali yang dilaksanakan pada bagian akhir dari rangkaian karya. (Ki Buyut/ Kanduk).