Monday, September 28, 2015

MENJANGAN SALUANG Simbol Ikatan Jawa - Bali




Sudah sekian banyak orang menganalisis dan membicarakan mengenai simbol menjangan saluang di dalam agama Hindu Bali. Namun dari banyak analisis itu justru memunculkan banyak pendapat dari sudut pandang masing-masing yang makin membingungkan masyarakat Hindu Bali. Ada yang mengatakan bahwa menjangan seluang itu berasal dari kata menjangan sakaluang yang konon artinya menjangan yang digunakan sebagai tiang penyangga (saka) dari bangunan pelinggih dimana kepala menjangan itu ditempatkan. Ada yang mengatakan menjangan seluang sebagai simbol pemujaan ke Majapahit. Ada pula yang mengatakan bahwa menjangan seluang adalah sebagai pemujaan kehadapan sang Panca Pandita (Sang Panca Resi) yakni Mpu Semeru, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya, Mpu Bradah, dan Mpu Gana. Ada pula yang menganalisa bahwa menjangan seluang sebagai simbol pemujaan kehadapan Danghyang Dwijendra. Ada pula yang secara spesifik mengatakan menjangan seluang adalah simbol untuk memuja secara khusus kehadapan Mpu Kuturan yang telah banyak berjasa dalam menata kehidupan sosial keagamaan di tanah Bali, serta konon kedatangan beliau ke Bali menunggangi hewan menjangan (rusa).
Dari sekian banyak versi tersebut kalau diamati, ternyata semuanya mengarahkan simbol itu ke tanah Jawa, tertuju kepada Sang Panca Pandita yang berasal dari Jawa. Demikian juga diarahkan kahadapan Danghyang Dwijendra yang hijrah dari Jawa ke Bali. Majapahit sebagai simbol dari kebesaran tanah jawa dan nusantara, Mpu Kuturan yang juga tadinya bermukim di jawa. Dengan demikian ada suatu kesamaan bahwa simbolisasi dari menjangan seluang adalah simbol  pemujaan kepada para leluhur yang ada di tanah Jawa. Dimana eksistensi dari manusia Bali saat ini adalah keturunan dari para Mpu, para Ksatria dan Wesia dari tanah Jawa.
Lalu bagaimana dengan simbol dari menjangan (rusa) itu sendiri? Kenapa menjangan yang dipakai? Adakah mitologi atau sejarah yang menyebutkan hal ini?. Rupanya sampai sekarang belum ada jawabannya. Namun banyak yang mereka-reka bahwa simbolisasi menjangan tersebut karena menjangan adalah sebagai binatang primadona di tanah Jawa kala itu. Mungkin juga menjangan sebagai simbol kemuliaan pada masa itu. Para penganut Kuturanisme meyakini bahwa menjangan adalah sebagai hewan kesayangan dan dimuliakan oleh Mpu Kuturan.
Karena misteriusnya simbol menjangan tersebut dalam kaitannya dengan keyakinan agama Hindu Bali, maka kata menjangan seluang itu pula menjadi suatu perdebatan yang sampai sekarang masih memunculkan banyak versi. Namun dalam hal ini, penulis akan mencoba untuk mengungkapkan sebuah penemuan secara tak sengaja mengenai kata MENJANGAN SALUANG. Ceritanya begini:
Pada suatu hari penulis menonton acara televisi yang mengungkap mengenai kebudayaan di Sumatera Selatan yang dahulu adalah wilayah kekuasaan Majapahit. Dimana para ksatrya tanah Jawa menjadi penguasa di tanah Sumatera. Dan sampai sekarang para bangsawawan Tanah Melayu ini sebaian besar masih mewarisi Bahasa Jawa sebagai bahasa dalam keluarga mereka. Dalam acara televisi tersebut membahas masalah tutup kepala yang sering digunakan oleh kaum Muslim dalam bersembahyang (kalau dijawa disebut peci/songkok). Ada suatu hal mengejutkan penulis bahwa tutup kepala oleh orang Sumatera disebut dengan Saluak. Entah apa yang terjadi dengan pikiran penulis, ketika mendengar kata saluak, pikiran penulis langsung tertuju pada kata saluang yang di Bali terdapat istilah “menjangan saluang” yang berwujud kepala menjangan.
Ada kedekatan dan bahkan kesamaan makna antara kata saluak di Sumatera yang berarti “kepala” dengan kata saluang dalam menjangan saluang di  Bali yang berwujud kepala rusa. Dengan demikaian, tanpa berpikir panjang kita bisa menyatakan bahwa menjangan saluang berarti “kepala menjangan” (kepala rusa). Sesuai dengan realitasnya yang disebut menjangan saluang di Bali adalah kepala menjangan. Artinya bahwa misteri dari kata menjangan saluang dalam hati penulis sudah terjawab.
Kini muncul pertanyaan lagi, dimana simbol itu diletakkan?. Menurut pengamatan penulis bahwa simbol menjangan saluang diletakkan di Merajan Gede / Sanggah Gede. Sedangkan merajan yang tingkatannya Kemulan Taksu tak dilengkapi menjangan saluang. Kepala menjangan tersebut diletakkan pada pelinggih yang disebut Saren Gede atau Saren Kaja (karena letaknya di utara). Saren Gede ini berfungsi sebagai tempat menstanakan dan memuja para dewa-dewi (selain dewa-dewi yang sudah dibuatkan pelinggih khusus di sanggah itu). Kalau dalam dunia manusia, Saren Gede diibaratkan sebagai wisma besar yang diperuntukkan bagi semua hadirin atau para tamu terhormat atau yang mulia darimana saja.
Ada juga yang menempatkan menjangan saluang di Tajuk Pepelik. Dimana tajuk adalah sebagai sebuah wisma tempat menstanakan serta memuja para dewa pada saat odalan. Kalau di beberapa daerah di Bali, tajuk juga disebut dengan Bale Pengaruman. Kalau dalam dunia manusia Tajuk diibaratkan sebagai ruangan tamu atau pendopo untuk menerima dan menghormati serta untuk jamuan para hadirin serta yang mulia. Tajuk di sanggah juga untuk memuliakan dewa-dewa dan leluhur. Dalam kaitannya dengan penempatan menjangan saluang, berarti tajuk tersebut juga difungsikan sebagai pengayatan kepada para leluhur di tanah Jawa. Ada juga yang secara khusus membuat pelinggih menjangan saluang berupa gedong yang dilengkapi dengan kepala menjangan sebagai pengayatan khusus kepada dewa-dewa, kepada Sang Panca Pandita, dan para leluhur dia tanah Jawa.
Jadi dengan demikian, pemahaman mengenai menjangan seluang sebenarnya sangat sederhana yakni “kepala menjangan”, sesuai dengan tampilannya di setiap merajan di Bali. Menjangan Saluang adalah simbol pengayatan kehadapan para Betara-Betari, Dewa-Dewi, dan para Mpu / Pandita serta leluhur yang berasal dari Tanah Jawa. Jadi dengan demikian Menjangan Seluang adalah simbol keterikatan rohani antara Tanah Bali dengan Tanah Jawa. (Ki Buyut / Kanduk).

Friday, September 25, 2015

Rabies lagi, rabies lagi, Kapan Tuntasnya?





Tahun 1984, Gubernur Bali ketika itu Profesor Doktor Ida Bagus Mantra telah mengantisipasi akan ancaman bahaya rabies di Bali. Dasar Pemikirannya adalah masyarakat Bali biasa memelihara anjing, Bali memuliakan anjing sebagai binatang yang paling dekat dengan kehidupan manusia Bali. Populasi anjing di Bali ketika itu adalah 4 berbanding 1. Artinya dalam empat orang manusia terdapat satu ekor anjing. Populasi anjing sangat banyak dan padat di Bali. Lebih-lebih dengan pola pemeliharaan yang terlepas. Lalu Sang Gubernur berpikir, seandainya Bali tertular virus Rabies, maka akan sangat sulit untuk diberantas dan dibebaskan, mengingat populasi anjing begitu tinggi. Sangat mengkhawatirkan jika benar-benar terjadi. Oleh sebab itu, Pemerintah Provinsi Bali ketika itu membentuk tim penanggulangan dan pencegahan penyakit Rabies di Bali yang terdiri dari unsur Dinas Peternakan dalam hal ini adalah Bidang Kesehatan Hewan, Kepolisian dan Kejaksaan. Seminar nasional tentang bahaya rabies pun diadakan saat itu.
Tindakan yang dilakukan adalah mengawasai lalu lintas satua yang keluar masuk Bali, dan mencegah anjing-anjing, kucing dan monyet luar bali yang masuk ke Bali. Di satu sisi Sang Gubernur juga mengangkat kekayaan lokal Bali yakni Anjing Kintamani sebagai anjing Ras Asli Bali. Anjing Bali menjadi salah satu anjing ras dunia. Balipun terhindar dari Rabies.
Lalu apa yang terjadi kemudian setelah era Prof. Mantra .......?
Tim pengendali dan penanggulangan rabies di Bali sejatinya masih masih bekerja. Namun seiring dengan semakin maraknya perdagangan hewan-hewan piaraan terutama anjing, kucing, dan kera yang berpotensi menyebarkan penyakit Rabies, maka sekitar awal tahun 1990-an sebuah tim peneliti secara diam-diam melakukan penelitian terhadap anjing-anjing yang ada di Bali. Suatu hal yang sangat mengejutkan didapat, bahwa dari sampel darah anjing yang diambil dan dites secara serologi, ternyata menunjukkan antibodi yang positif terhadap rabies. Tetapi karena tim peneliti baru hanya sebatas serologis, artinya tidak sampai pada menemukan gejala klinis pada hewan dan tidak berhasil mengisolasi virus rabies pada anjing, maka hasil penelitian tersebutt dinyakatan sebagai “positif palsu”. Artinya hasil menunjukkan sesuatu yang positif namun belum bisa dibuktikan secara klinik dan virologi.
Hasil yang menghentakkan dunia peneliti tersebut mengindikasikan bahwa jejak-jejak “teror rabies” sudah terdeteksi, cuman belum diketahui keberadaannya. Apakah “sang teroris” rabies memang sudah ada di Bali, atau cuman jejaknya saja. Maksudnya adalah adanya antibodi yang terdekteksi secara serologis tersebut bisa jadi karena anjing sampel tersebut pernah mendapatkan vaksinasi di daerah lain. Dengan asumsi bahwa anjing sampel tersebut adalah anjing selundupan yang berhasil masuk ke Bali. Sehingga anjing tersebut dalam darahnya mengandung antibodi, tetapi tak membawa virus ( “positif palsu”).
Dalam perkembangan selanjutnya, lalu-lintas hewan di Bali sudah sepertinya tak terkendali, banyak anjing luar masuk ke Bali, banyak komunitas anjing ras terbentuk. Sejalan dengan itu, muncul rabies. Nah….. barulah kemudian semuanya terhenyak. Kok bisa….? Darimana datangnya….? Siapa yang bawa…? Lalu bagaimana……? Ini itu….! Lala lele …. ! Bali menyandang status Kejadian Luar Biasa Rabies. Upaya pun segera dilakukan, namun sampai saat ini Bali sudah menjadi daerah Endemik Rabies, yang sudah makan banyak korban manusia.
Panik… panik dan panik. Upaya memang sudah maksimal dilakukan, namun kejadian Rabies pun tak kalah sengit. Pernah kita dengar pernyataan dari petinggi di daerah ini mengatakan bahwa dengan upaya maksimal dari seluruh komponen masyarakat, pemerintah dan aparat, maka tahun depan targetnya Bali sudah bebas dari Rabies. Demikian kurang lebih katanya sekitar setahun yang lalu.    
Mendengar pernyataan itu, penulis menjadi berpikir. Kok sungguh percaya diri sekali Si Bapak mengatakan Rabies dapat dituntaskan dalam waktu satu tahun. Padahal berdasarkan literatur yang pernah penulis baca dahulu ketika menulis karya ilmiah tentang Rabies, dikatakan bahwa perlu waktu bertahun-tahun untuk membebaskan suatu daerah dari penyakit Rabies. Bahkan di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika memerlukan waktu puluhan tahun untuk membebaskan sebuah wilayah dari rabies.
Pada awal tahun ini banyak bertebaran spanduk bertuliskan vaksinasi masal  rabies. Lalu terdengar pula mengenai pemetaan wilayah dengan membagi ke dalam wiilayah zona maerah, lalu zona-zona bukan merah. Lalu secara tak sengaja penulis menemukan bahwa di zona merah yang dimaksud belum dilakukan vaksinasi rabies pada anjing. Lho… bagaimana ini, zona merah aja belum ada tindakan vaksinasi, bagaimana dengan zona yang tidak merah?
Lalu belakangan terdengar kabar, keterlambatan itu terjadi karena factor klasik seperti birokrasi keuangan. Alasan lainnya adalah  tenaga kurang, pabrik vaksin tidak mampu memenuhi permintaan daerah Bali. Maaka atas dasar alasan tersebut terjadilah perlambatan (bukan diam) yang terkesan sebuah pembiaran. Namun belakangan kemudian sudah dilakukan vaksinasi, namun sifatnya masih sporadic.
Kembali pada pernyataan sang petinggi daerah tentang membebaskan rabies tahun depan (maksudnya tahun 2015 ini) “Bali akan bebas”. Bebas dari apa?. Rabies terus menyeruak, rabies terus makan korban. Beberapa hari yang lalu (di bulan September 2015) sang petinggi daerah berkomentar di surat kabar dengan menyalahkan masyarakat. Konon katanya masyarakat tidak sadar-sadar akan bahaya rabies. Pernyataan ini didasari atas adanya beberapa masyarakat yang tak mengikat anjingnya sehingga berkeliaran lalu mengigit. Sang pemimpin mulai mencari kambing hitam. Kambing hitamnya justru rakyatnya sendiri. Sedangkan yang perlu dilakukan oleh pemimpin adalah sudahkah instruksinya dilaksanakan oleh bawahannya? Sudahkan adaya evaluasi terhadap pola kerja yang dilakukan selama ini? Sudahkah ada terobosan yang dilakukan untuk menanggulangi masalah ini? Sebelum mencari kambing hitam. Anehnya lagi yang dikeluhkan adalah masalah dana yang sudah banyak dikeluarkan untuk menanggulangi rabies. Apakah sudah tepat sasaran? Ujug-ujug menyalahkan masyarakat atas kepanikan si bapak.

Pola PEMILU
           
Selama ini memang kita apresiasi upaya dari pemerintah daerah bersama pihak terkait yang sudah melakukan upaya-upaya, salah satunya adalah vaksinasi masal. Pola vaksinasi terjadwal dari satu tempat ke tempat yang lain, demikian seterusnya. Dengan pola seperti ini memberikan peluang terjadi perpindahan hewan dari satu daerah yang belum divaksinasi ke daerah yang sudah divaksinasi. Hal ini mengingat lalu lintas hewan di Bali sangat tinggi baik di kalangan para penghobi, maupun pergerakan hewan itu secara tersendiri. Apalagi anjing yang tertular rabies, anjing tersebut akan bergerak terus tanpa henti, tanpa tujuan, sambil jalan sambil mengigit sampai akhirnya anjing tersebut menemui ajalnya.
Oleh sebab itu, kalau boleh usul, perlu kiranya dipertimbangkan pola Pemilihan Umum (PEMILU) seperti yang diselenggarakan oleh KPU. Yakni dengan cara vaksinasi masal secara serempak di seluruh Bali dalam satu hari. Tak boleh maju atau tak boleh mundur, tak boleh ditunda atas alasan apapun. Untuk menggunakan pola ini, perlu proses pengkondisian sarana, prasarana, serta komponen pendudkung lain, serta tenaga. Pemerintah beserta dengan seluruh jajaran terkait melakukan persiapan matang sebagaimana layaknya menyelenggaraan pemilu.

Yang perlu disiapkan adalah
1). Data Populasi Anjing / DPA (kalau pada pemilu namanya Daftar Pemilih Tetap / DPT). Data ini didapat dengan cara mengerahkkan para kepala Dusun / Lingkungan untuk mendata anjing yang ada di banjar atau dusun masing-masing. Dari sini diketahui berapa jumlah populasi anjing dan sebarannya yang nantinya terkait dengan jumlah logistik yang akan disediakan.
2). Menyiapkan tenaga vaksinator atau pelaksana vaksinansi. Untuk tenaga ini disarankan melatih beberapa orang yang ada di setiap banjar/dusun. Ini mirip dengan perekrutan petugas TPS saat pemilu.
3). Tenaga rekrutan ini dilatih untuk melaksanakan vaksinasi rabies, serta pencatatan secukupnya. Pelatihan ini mesti dilakukan di tiap Kecamatan oleh instansi terkait. Sama halnya dengan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) memberikan bintek pemilu kepada pertugas di PPS dan TPS saat Pemilu.
4). Logistik. Logistik yang dimaksud adalah semua peralatan, bahan serta perlengkapan administrasi yang dibutuhkan ketika melakukan vaksinasi sesuai dengan jumlah anjing yang akan divaksinasi. Hal ini mirip dengan Komisi Pemilihan Umum menyediakan logistik untuk pemunggutan suara di masing-masing TPS.
5). Penyebaran Logistik. Logistik disebar ke seluruh kabupaten kota, lalu ke kecamatan, ke desa, lalu di desa ke masing dusun atau banjar. Hal ini mirip dengan penyebaran kotak suara, surat suara dan perlengkapan saat diadakan pemilu.
6). Sosialisasi dan Himbauan kepada masyarakat bahwa akan dilakukan vaksinasi masal pada hari yang sudah ditentukan. Pastikan kepada masyarakat bahwa anjing-anjing semuanya sudah dalam keadaan terikat atau dikandangkan satu hari sebelum hari H. Sama halnya dengan para pemilih yang telah mendapatkan kartu panggilan memilih sehari sebelum hari pencoblosan.
7). Vaksinasi sesuai dengan tanggal yang telah ditetapkan. Disarankan untuk melakukan vaksinasi pada hari libur atau hari minggu, serta memperhitugkan hari dimana tidak banyak masyarakat melakukan upacara. Dengan harapan partisipasi serta jangkauan sasaran akan lebih maksimal. Lakukan vaksinasi secara serentak pada jam yang sama, hari yang sama. Sebagaimana dengan hari pemunggutan suara dalam pemilu. Pada sore hari semua petugas vaksinator melakukan rekap vaksinasi. Mirip dengan petugas TPS membuat rekapan kehadiran pemilih berdasarkan Data Pemilih Tetap / DPT. Apabila ada anjing yang tak tertangani pada hari itu, maka petugas vaksinator hanya diberikan waktu satu hari lagi untuk menangani anjing yang tak tertangani. Itupun jumlahnya tak boleh lebih dari satu persen dari jumlah daftar. Hal ini untuk antisipasi dari tenaga yang menunda kerja.
Metoda ini sangat mungkin dilakukan di Bali, daripada metode konvensional melalui stamping out (membantai anjing jalanan yang tak bertuan). Karena metode pembunuhan banyak mendapat kecaman dari masyarakat. Dipredikis tingkat keberhasilan dari metode vaksinansi serentak ala PEMILU akan lebih efektif dengan tingkat keberhasilan 98 %. Yang satu persen kuasa Tuhan, yang satu persen lagi ada yang membangkang dalam pelaksanaannya.
Memang banyak tenaga, banyak biaya dalam satu kegiatan, namun akan lebih efektif, dan mungkin lebih berhasil. Dibandiing dengan tugas ini hanya dilakukan oleh Dinas Peternakan dengan para relawan saja, akan perlu waktu yang lama dan akan berulang. Bagaikan seorang anak remaja yang memencet jerawat. Pencet di kanan, muncul di kiri. Jadi sulit untuk tuntas !
Pola yang dibicarakan di atas adalah penanganan untuk hewan, namun tak menutup kemungkinan pula dilakukan vaksinasi secara massal terhadap masyarakat, sebagai upaya perlindungan terhadap penyakit Rabies.
 Namun sebagaimana layaknya di Bali, sekala dan niskala selalu berdampingan. Maka dalam proses pelaksaan metode ini mesti pula menghaturkan pekeling secara niskala, memohon waranugraha agar apa yang dilaksanakan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan berhasil sesuai dengan tujuan.
Kira-kira demikian…. Kurang lebih, ampura.  (DRH. I Nyoman Supatra).


        

Thursday, September 24, 2015

Haruskah Hindu Ikut-ikutan ?




 
Mungkin tulisan ini sedikit tendensius mengenai keberadaan Hindu di Indonesia atau di Bali khususnya. Semenjak beberapa tahun reformasi secara tak diduga-duga terjadi di Indonesia, maka kehidupan kebangsaan menjadi semakin kabur nasionalismenya. Sering masyarakat bangsa ini terjebak dalam situasi fanatisme. Yang paling terasa adalah semangat agama atau boleh dibilang mengarah kepada fanatisme agama. Setiap hari terdengar perdebatan agama, perdebatan paham, baik di intern sebuah agama maupun anttar pemeluk agama. Baik itu dikalangan para nasionalis maupun dengan para kelompok radikal atau kelompok spiritual. Perdebatan maupun dialog yang semakin intens tersebut justru kerapkali membawa masyarakat bangsa ini semakin jauh dari nilai agama itu sendiri. Kenapa demikian?, karena ujung-ujungnya adalah debat agama, ujungnya adalah mencari kelemahan masing-masing agama, dan memperlebar jarak kesenjangan antara satu agama dan agama yang lain, sehingga garis toleransi menjadi kabur. Sudah tentu hal ini merupakan situasi yang kurang mengembirakan jika dipandang dari sudut kebinekaan yang menjadi semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Khusus dalam agama Hindu, melalui perdebatan-perdebatan dan diskusi panjang serta pergaulan di masayarakat bangsa dengan agama-agama lain, dimana kita saling mempengaruhi satu sama lainnya. Dalam pergaulan tersebut agama Hindu banyak mengadopsi pola pikir yang sejak dahulu tak pernah terpikirkan atau tak pernah terhiraukan oleh umat Hindu itu sendiri. Secara sadar maupun tak sadar umat Hindu telah menuntut kepada agamanya sendiri tentang sesuatu yang ia lihat pada agama tetangga, lalu berusaha untuk menyesuaikannya dengan agama tetangga. Sebagai contoh misalnya:
1.                  Umat Hindu mulai memakai pengeras suara untuk mengumandangkan puja tri sandya. Pada awalnya sejatinya puja tri sandya diwajibkan bagi mereka yang telah menjalani masa wanaparasta dan sanyasin. Namun karena pengaruh agama tetangga yang memiliki waktu sembahyang yang disebut dengan sembahyang lima waktu, maka Hindu pun mulai menggalakkanya sembahyang tiga waktu. Memang ini suatu hal yang positif, namun dalam perkembangannya yang rajin dan rutin melaksanakan tri sandya adalah bale kulkul banjar, televisi, dan radio.
2.                  Ketika teman-teman di umat lain sibuk menjalankan puasa selama sebulan dengan segala hiruk pikuknya, maka dalam kebangkitan kesadaran umat Hindu sejak beberapa dekade belakangan ini juga sibuk menjalani upawasa berkaitan dengan catur brata penyepian. Padahal sebelumnya, tak banyak orang berpikir tentang puasa. Puasa hanya dilakukan oleh mereka yang telah menjalani tahapan wanaprasta, maupun sanyasin, ataupun bagi para penekun spiritual. Artinya bahwa mereka punya puasa, kita juga punya.
3.                  Pada saat teman sepergaulan mengharamkan babi, maka kita sibuk juga memproklamirkan diri tak makan sapi dengan alasan bahwa sapi sebagai ibu, dan sapi adalah bainatang suci bukan haram. Semangat kesadaran ini muncul belakangan, banyak yang tak mengkonsumsi daging sapi. Padahal sejatinya jaman dahulu mereka yang tak makan sapi adalah mereka-mereka yang menapak jalan kesucian baik itu sulinggih, pemangku, maupun mereka yang menjalankan tugas kesucian yang telah menjalankan prosesi pewintenan.
4.                  Ketika di televisi kita melihat teman-teman sepergaulan bersemangat mengurai ayat-ayat suci yang ada dalam kitab sucinya, maka kita kelimpungan untuk mencari “dimana kitab suci saya”, bagaimana rupa kitab suci kita yang disebut Weda?. Dengan harapan agar tak kalah dengan teman-teman itu. Padahal sejatinya ayat-ayat suci Weda telah terurai dan bersenyawa dalam berbagai macam cerita kuno, cerita budi pekerti, ajaran susila, serta filsafat upacara yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Sedangkan teks tertulis yang ada di Indonesia dan khusunya di Bali sebagian besar sudah ditullis daan ditafsirkan secara teknis dalam bentuk lontar-lontar. Namun pengaruh ini sangat bagus, yang kahirnya ada semangat untuk mewujudkan kitab suci Weda dalam bentuk buku, seperti yang banyak tersebra di toko buku saat ini.
5.                  Kita saksikan pula setiap melakukan sembahyang bersama, teman-teman sepergaulan mendapatkan siraman rohani dengan mendengarkan kotbah dari para pemimpin agama dengan bahasa yang berapi-api. Lalu kita sudah mulai dapat mengimbanginya dengan melakukan darma wacana dalam setiap odalan atau dalam suatu kegiatan tertentu yang berkaitan dengan upacara adat atau agama. Dan itu pun tak wajib dalam setiap persembahyangan, masih menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, serta kebutuhan.
6.                  Setiap tahun teman-teman dari agama lain mengirimkan sekian ratus ribu orang untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah yang konon sebagai tempat kelahiran agamanya, maka ada sekelompok umat Hindu yang “ikut-ikutan” untuk melakukan perjalanan suci ke India yang konon katanya sebagai tempat asal dari ajaran Hindu, dalam kemasan program Tirthayatra.
7.                  Teman-teman tetangga sebelah sangat membanggakan tanah Arab sebagai “tanah suci” sebagai asal mula kelahiran agama dan nabinya, dan kiblat agamanya pun mengarah ke sana. Lalu sebagian dari kita malah mengekor mengatakan bahwa India adalah tanah suci agama Hindu. Padahal tidak demikian halnya. Hindu menyatakan bahwa semua tempat adalah suci dan tak melakukan diskriminasi tterhadap sebuah wilayah atau tempat. Dimana Dewa dipuja, dimana Weda dijalankan, maka disanalah tanah suci.
8.                  Teman-teman di sebelah mengelu-elukan seorang nabi besar, kita pun mulai bertanya ke sana ke mari, siapa nabi kita? Padahal di dalam Hindu nabi umat Hindu sangat banyak yakni sapta resi yang diturunkan pada awal penciptaan alam semesta. Lalu sekian banyak nabi lagi yang diturunkan dari jaman ke jaman. Maka jangan kawatir bahwa umat hindu tak punya nabi / nabe. Malah justru agama Hindu memiliki banyak nabi. Jangan terjebak pada perkataan bahwa satu agama satu nabi. Agama Hindu yang kaya, mulia, serta agama tertua dimuka bumi ini memiliki banyak nabi.
9.                  Ketika teman-teman agama lain mengadakan lomba membaca ayat-ayat kitab suci, maka dengan bersemangat kita juga mengadakan kegiatan utsawa dharma gita mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten kota, profinsi dan tingkat nasional. Dimana pada awalnya, membaca kitab succi lontar sangat ditabukan bagi anak-anak atau remajaa, karena aja wera. Artinya tidak bisa dilakukan secara sembarangan, apalagi pamer, karena harus siap mental dan kecerdasan untuk memhami isinya, agar tak salah pemahaman, tak salah tafsir, dll. Namun karena jaman menuntut demikian, yah apa boleh buat.
10.              Ketika teman-teman dengan fasih mengucapkan ayat-ayat agama dan istilah agamnya dengan bahasa Arab, sepertinya kurang afdol rasanya kaalau Hindu tak menggunakan Bahasa Sansekerta. Oleh karena itu mulailah orang-orang Hindu untuk melirik bahasa Sansekerta. Padahal sejatinya ajaran Agama Hindu oleh para leluhur telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno (kawi), lalu bahas Bali, dan kini sudah ke dalam bahasa Indonesia. Tidak mesti rasanya harus kembali ke bahasa Saskerta. Mengapa demikian sebab pada awalnya wahyu Tuhan yang diterima oleh para Maharesi terdahulu ditulis dalam bahasa Daiwiwak (bahasa Dewa). Lalu dalam perkembangannya di India bahasa Daiwiwak yang sangat rahasia tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa masyarakat india Kuno saat itu yakni Bahasa Sansekerta. Dari bahasa Sansekerta inilah kemudian ajaran Hindu diterjemahkan dalam berbagai banyaak bahasa di dunia. Jadi dengan demikian, perlukah kita kembali  bahasa berepot ria menggunakan bahasa Sansekerta?. Kecuali hanya untuk pamer dan gagah-gagahan?    
11.              Ketika teman-teman dengan fasih mengucapkan salam pertemuan dan perpisahan dengan saudara seumat, maka umat Hindu juga sudah menemukan ucapan om suastyastu dan om santi santi santi santi. Jadi untuk urusan salam, dalam beberapa tahun terakhir ini umat Hindu sudah mulai biasa mengucapkan salam umat.
12.              Dalam pergaulan selanjutnya, teman kita sering mengucapkan sebuah kelimat ketika ada umat yang meninggal dunia. Nah saat itu umat hindu belum biasa menggunakan ucapan untuk hal kematian. Maka sibuklah kita mencari sebuah kalimat dalam bahasa Sansekerta yang bisa dipakai mengimbangi kalimat itu. Maka munculah kalimat-kalimat seperti “amor ing acintya”, om moksantu, sunyantu,…. dan seterusnya.
13.              Ketika bulan puasa, teman-teman sepergaulan sibuk mengumpulkan dana zakat yang akan diperuntukkan bagi fakir miskin, atau untuk keperluan pembangunan sarana ibadah, maka kita di Hindu sibuk mengimbanginya dengan gerakan “dana punia”.
14.              Ada lagi hal yang sedikit menggelitik dimana pada jaman dahulu bahwa umat Hindu tertuama di Bali sudah lumrah menyelenggarakan tajen pada saat odalan di pura. Dimana dana yang diperoleh dari tajen tersebut digunakan untuk keperluan odalan, untuk pembangunan sarana pura, dan sebagainya. Namun ketika pemerintah dan juga agama lain mengharamkan dan melarang judi lengkap dengan ayat-ayatnya sucinya, maka kita sibuk mencari sloka-sloka yang mengatakan bahwa judi itu dilarang. Semua ini dilakukan hanya gengsi dengan pemerintah dan umat lainnya yang melarang judi.
15.              Satu lagi yang kerap menjadi cibiran dari teman-teman tentang praktek Hindu dimana dikatkan bahwa “Hindu Menyembah Patung”. Dimana patung dikatakan sebagai batu dan berhala, bukan menyembah Tuhan.  Semestinya kita tak terpengaruh dengan cibiran tersebut, sebab patung tersebut adalah perwujudan dari dewa-dewa, dan patung tersebut adalah sebagai media konsentrasi kepada Hyang Tunggal. Apakaah dengan cibiran tersebut kita menjauhi patung? Tidak…..  tidak…. Dalam Hindu ada konsep dewa ya kala ya pengertiannya adalah Beliau Hyang Tunggal dapat berwujud apa ssaja sebagai kemahakuasaan beliau. Bisa berwuujud Dewa, bisa berwujud kala. Artinya beliau bisa menciptakan kemakmuran, dan dapat pula menciptakan kehancuran. Itulah kemahakuasaan Tuhan. Tak perlu di pungkiri.

Itulah beberapa hal yang menjadi catatan penulis mengenai perkembangan Hindu dalam pergaulannya dengan umat lain di Indonesia. Tulisan ini juga tak menampik adanya hikmah positif dari pergaulan Hindu dengan agama lain dalam bingkai Negara Kesatuan Rpublik Indonesia. Maksud dari tulisan ini adalah untuk penguatan keyakinan umat Hindu dari gempuran pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pelemahan Hindu. Yang penting lagi, Hindu tak perlu didikte oleh pihak-pihak lain dalam meyakini agama serta menjalankan tata cara agama Hindu. Sadar atau tak sadar, dalam pergaulan akan selalu ada provokasi, ada debat, dan saling mencari titik lemah. Selalu akan ada goodaan bahwa “aku punya ini, mana punyamu?” “Aku begini, kamu gemana?” Untuk menghadapi situasi demikian, Hindu tak perlu meladeni habis-habisan, tak perlu terpengaruh. Jalankan apa yang diyakini, jalani apa yang Hindu punya. Tak perlu ikut-ikutan, apalagi didikte. Hindu punya keyakinan, punya cara, punya identitas, punya jati diri. Hindu mesti berpikir atas srada / keyakinan, berbuat atas dasar kesadaran sendiri, serta berbuat dan berdiri di atas kaki sendiri sebagai Jati Diri Hindu. (kanduk)