Friday, September 25, 2015

Rabies lagi, rabies lagi, Kapan Tuntasnya?





Tahun 1984, Gubernur Bali ketika itu Profesor Doktor Ida Bagus Mantra telah mengantisipasi akan ancaman bahaya rabies di Bali. Dasar Pemikirannya adalah masyarakat Bali biasa memelihara anjing, Bali memuliakan anjing sebagai binatang yang paling dekat dengan kehidupan manusia Bali. Populasi anjing di Bali ketika itu adalah 4 berbanding 1. Artinya dalam empat orang manusia terdapat satu ekor anjing. Populasi anjing sangat banyak dan padat di Bali. Lebih-lebih dengan pola pemeliharaan yang terlepas. Lalu Sang Gubernur berpikir, seandainya Bali tertular virus Rabies, maka akan sangat sulit untuk diberantas dan dibebaskan, mengingat populasi anjing begitu tinggi. Sangat mengkhawatirkan jika benar-benar terjadi. Oleh sebab itu, Pemerintah Provinsi Bali ketika itu membentuk tim penanggulangan dan pencegahan penyakit Rabies di Bali yang terdiri dari unsur Dinas Peternakan dalam hal ini adalah Bidang Kesehatan Hewan, Kepolisian dan Kejaksaan. Seminar nasional tentang bahaya rabies pun diadakan saat itu.
Tindakan yang dilakukan adalah mengawasai lalu lintas satua yang keluar masuk Bali, dan mencegah anjing-anjing, kucing dan monyet luar bali yang masuk ke Bali. Di satu sisi Sang Gubernur juga mengangkat kekayaan lokal Bali yakni Anjing Kintamani sebagai anjing Ras Asli Bali. Anjing Bali menjadi salah satu anjing ras dunia. Balipun terhindar dari Rabies.
Lalu apa yang terjadi kemudian setelah era Prof. Mantra .......?
Tim pengendali dan penanggulangan rabies di Bali sejatinya masih masih bekerja. Namun seiring dengan semakin maraknya perdagangan hewan-hewan piaraan terutama anjing, kucing, dan kera yang berpotensi menyebarkan penyakit Rabies, maka sekitar awal tahun 1990-an sebuah tim peneliti secara diam-diam melakukan penelitian terhadap anjing-anjing yang ada di Bali. Suatu hal yang sangat mengejutkan didapat, bahwa dari sampel darah anjing yang diambil dan dites secara serologi, ternyata menunjukkan antibodi yang positif terhadap rabies. Tetapi karena tim peneliti baru hanya sebatas serologis, artinya tidak sampai pada menemukan gejala klinis pada hewan dan tidak berhasil mengisolasi virus rabies pada anjing, maka hasil penelitian tersebutt dinyakatan sebagai “positif palsu”. Artinya hasil menunjukkan sesuatu yang positif namun belum bisa dibuktikan secara klinik dan virologi.
Hasil yang menghentakkan dunia peneliti tersebut mengindikasikan bahwa jejak-jejak “teror rabies” sudah terdeteksi, cuman belum diketahui keberadaannya. Apakah “sang teroris” rabies memang sudah ada di Bali, atau cuman jejaknya saja. Maksudnya adalah adanya antibodi yang terdekteksi secara serologis tersebut bisa jadi karena anjing sampel tersebut pernah mendapatkan vaksinasi di daerah lain. Dengan asumsi bahwa anjing sampel tersebut adalah anjing selundupan yang berhasil masuk ke Bali. Sehingga anjing tersebut dalam darahnya mengandung antibodi, tetapi tak membawa virus ( “positif palsu”).
Dalam perkembangan selanjutnya, lalu-lintas hewan di Bali sudah sepertinya tak terkendali, banyak anjing luar masuk ke Bali, banyak komunitas anjing ras terbentuk. Sejalan dengan itu, muncul rabies. Nah….. barulah kemudian semuanya terhenyak. Kok bisa….? Darimana datangnya….? Siapa yang bawa…? Lalu bagaimana……? Ini itu….! Lala lele …. ! Bali menyandang status Kejadian Luar Biasa Rabies. Upaya pun segera dilakukan, namun sampai saat ini Bali sudah menjadi daerah Endemik Rabies, yang sudah makan banyak korban manusia.
Panik… panik dan panik. Upaya memang sudah maksimal dilakukan, namun kejadian Rabies pun tak kalah sengit. Pernah kita dengar pernyataan dari petinggi di daerah ini mengatakan bahwa dengan upaya maksimal dari seluruh komponen masyarakat, pemerintah dan aparat, maka tahun depan targetnya Bali sudah bebas dari Rabies. Demikian kurang lebih katanya sekitar setahun yang lalu.    
Mendengar pernyataan itu, penulis menjadi berpikir. Kok sungguh percaya diri sekali Si Bapak mengatakan Rabies dapat dituntaskan dalam waktu satu tahun. Padahal berdasarkan literatur yang pernah penulis baca dahulu ketika menulis karya ilmiah tentang Rabies, dikatakan bahwa perlu waktu bertahun-tahun untuk membebaskan suatu daerah dari penyakit Rabies. Bahkan di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika memerlukan waktu puluhan tahun untuk membebaskan sebuah wilayah dari rabies.
Pada awal tahun ini banyak bertebaran spanduk bertuliskan vaksinasi masal  rabies. Lalu terdengar pula mengenai pemetaan wilayah dengan membagi ke dalam wiilayah zona maerah, lalu zona-zona bukan merah. Lalu secara tak sengaja penulis menemukan bahwa di zona merah yang dimaksud belum dilakukan vaksinasi rabies pada anjing. Lho… bagaimana ini, zona merah aja belum ada tindakan vaksinasi, bagaimana dengan zona yang tidak merah?
Lalu belakangan terdengar kabar, keterlambatan itu terjadi karena factor klasik seperti birokrasi keuangan. Alasan lainnya adalah  tenaga kurang, pabrik vaksin tidak mampu memenuhi permintaan daerah Bali. Maaka atas dasar alasan tersebut terjadilah perlambatan (bukan diam) yang terkesan sebuah pembiaran. Namun belakangan kemudian sudah dilakukan vaksinasi, namun sifatnya masih sporadic.
Kembali pada pernyataan sang petinggi daerah tentang membebaskan rabies tahun depan (maksudnya tahun 2015 ini) “Bali akan bebas”. Bebas dari apa?. Rabies terus menyeruak, rabies terus makan korban. Beberapa hari yang lalu (di bulan September 2015) sang petinggi daerah berkomentar di surat kabar dengan menyalahkan masyarakat. Konon katanya masyarakat tidak sadar-sadar akan bahaya rabies. Pernyataan ini didasari atas adanya beberapa masyarakat yang tak mengikat anjingnya sehingga berkeliaran lalu mengigit. Sang pemimpin mulai mencari kambing hitam. Kambing hitamnya justru rakyatnya sendiri. Sedangkan yang perlu dilakukan oleh pemimpin adalah sudahkah instruksinya dilaksanakan oleh bawahannya? Sudahkan adaya evaluasi terhadap pola kerja yang dilakukan selama ini? Sudahkah ada terobosan yang dilakukan untuk menanggulangi masalah ini? Sebelum mencari kambing hitam. Anehnya lagi yang dikeluhkan adalah masalah dana yang sudah banyak dikeluarkan untuk menanggulangi rabies. Apakah sudah tepat sasaran? Ujug-ujug menyalahkan masyarakat atas kepanikan si bapak.

Pola PEMILU
           
Selama ini memang kita apresiasi upaya dari pemerintah daerah bersama pihak terkait yang sudah melakukan upaya-upaya, salah satunya adalah vaksinasi masal. Pola vaksinasi terjadwal dari satu tempat ke tempat yang lain, demikian seterusnya. Dengan pola seperti ini memberikan peluang terjadi perpindahan hewan dari satu daerah yang belum divaksinasi ke daerah yang sudah divaksinasi. Hal ini mengingat lalu lintas hewan di Bali sangat tinggi baik di kalangan para penghobi, maupun pergerakan hewan itu secara tersendiri. Apalagi anjing yang tertular rabies, anjing tersebut akan bergerak terus tanpa henti, tanpa tujuan, sambil jalan sambil mengigit sampai akhirnya anjing tersebut menemui ajalnya.
Oleh sebab itu, kalau boleh usul, perlu kiranya dipertimbangkan pola Pemilihan Umum (PEMILU) seperti yang diselenggarakan oleh KPU. Yakni dengan cara vaksinasi masal secara serempak di seluruh Bali dalam satu hari. Tak boleh maju atau tak boleh mundur, tak boleh ditunda atas alasan apapun. Untuk menggunakan pola ini, perlu proses pengkondisian sarana, prasarana, serta komponen pendudkung lain, serta tenaga. Pemerintah beserta dengan seluruh jajaran terkait melakukan persiapan matang sebagaimana layaknya menyelenggaraan pemilu.

Yang perlu disiapkan adalah
1). Data Populasi Anjing / DPA (kalau pada pemilu namanya Daftar Pemilih Tetap / DPT). Data ini didapat dengan cara mengerahkkan para kepala Dusun / Lingkungan untuk mendata anjing yang ada di banjar atau dusun masing-masing. Dari sini diketahui berapa jumlah populasi anjing dan sebarannya yang nantinya terkait dengan jumlah logistik yang akan disediakan.
2). Menyiapkan tenaga vaksinator atau pelaksana vaksinansi. Untuk tenaga ini disarankan melatih beberapa orang yang ada di setiap banjar/dusun. Ini mirip dengan perekrutan petugas TPS saat pemilu.
3). Tenaga rekrutan ini dilatih untuk melaksanakan vaksinasi rabies, serta pencatatan secukupnya. Pelatihan ini mesti dilakukan di tiap Kecamatan oleh instansi terkait. Sama halnya dengan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) memberikan bintek pemilu kepada pertugas di PPS dan TPS saat Pemilu.
4). Logistik. Logistik yang dimaksud adalah semua peralatan, bahan serta perlengkapan administrasi yang dibutuhkan ketika melakukan vaksinasi sesuai dengan jumlah anjing yang akan divaksinasi. Hal ini mirip dengan Komisi Pemilihan Umum menyediakan logistik untuk pemunggutan suara di masing-masing TPS.
5). Penyebaran Logistik. Logistik disebar ke seluruh kabupaten kota, lalu ke kecamatan, ke desa, lalu di desa ke masing dusun atau banjar. Hal ini mirip dengan penyebaran kotak suara, surat suara dan perlengkapan saat diadakan pemilu.
6). Sosialisasi dan Himbauan kepada masyarakat bahwa akan dilakukan vaksinasi masal pada hari yang sudah ditentukan. Pastikan kepada masyarakat bahwa anjing-anjing semuanya sudah dalam keadaan terikat atau dikandangkan satu hari sebelum hari H. Sama halnya dengan para pemilih yang telah mendapatkan kartu panggilan memilih sehari sebelum hari pencoblosan.
7). Vaksinasi sesuai dengan tanggal yang telah ditetapkan. Disarankan untuk melakukan vaksinasi pada hari libur atau hari minggu, serta memperhitugkan hari dimana tidak banyak masyarakat melakukan upacara. Dengan harapan partisipasi serta jangkauan sasaran akan lebih maksimal. Lakukan vaksinasi secara serentak pada jam yang sama, hari yang sama. Sebagaimana dengan hari pemunggutan suara dalam pemilu. Pada sore hari semua petugas vaksinator melakukan rekap vaksinasi. Mirip dengan petugas TPS membuat rekapan kehadiran pemilih berdasarkan Data Pemilih Tetap / DPT. Apabila ada anjing yang tak tertangani pada hari itu, maka petugas vaksinator hanya diberikan waktu satu hari lagi untuk menangani anjing yang tak tertangani. Itupun jumlahnya tak boleh lebih dari satu persen dari jumlah daftar. Hal ini untuk antisipasi dari tenaga yang menunda kerja.
Metoda ini sangat mungkin dilakukan di Bali, daripada metode konvensional melalui stamping out (membantai anjing jalanan yang tak bertuan). Karena metode pembunuhan banyak mendapat kecaman dari masyarakat. Dipredikis tingkat keberhasilan dari metode vaksinansi serentak ala PEMILU akan lebih efektif dengan tingkat keberhasilan 98 %. Yang satu persen kuasa Tuhan, yang satu persen lagi ada yang membangkang dalam pelaksanaannya.
Memang banyak tenaga, banyak biaya dalam satu kegiatan, namun akan lebih efektif, dan mungkin lebih berhasil. Dibandiing dengan tugas ini hanya dilakukan oleh Dinas Peternakan dengan para relawan saja, akan perlu waktu yang lama dan akan berulang. Bagaikan seorang anak remaja yang memencet jerawat. Pencet di kanan, muncul di kiri. Jadi sulit untuk tuntas !
Pola yang dibicarakan di atas adalah penanganan untuk hewan, namun tak menutup kemungkinan pula dilakukan vaksinasi secara massal terhadap masyarakat, sebagai upaya perlindungan terhadap penyakit Rabies.
 Namun sebagaimana layaknya di Bali, sekala dan niskala selalu berdampingan. Maka dalam proses pelaksaan metode ini mesti pula menghaturkan pekeling secara niskala, memohon waranugraha agar apa yang dilaksanakan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan berhasil sesuai dengan tujuan.
Kira-kira demikian…. Kurang lebih, ampura.  (DRH. I Nyoman Supatra).


        

No comments:

Post a Comment