Sunday, January 31, 2016

Dewa-dewa Gama Bali / Hindu Bali / Agama Tirtha




 Dengan melihat sejarah perkembangan Hindu di Bali yang merupakan persenyawaan dari sekian banyak sampradaya serta berkolaborasi dengan  seni, adat, budaya, dan kepercayaan pra Hindu,maka melahirkan agama Hindu yang sangat karakteristik sehingga sebagian kalangan menyebutnya dengan “Agama Bali” atau lebih bijak kalau menyebutnya dengan “Agama Hindu Bali”. Karakteristik dari nama dewa-dewa yang dipuja dalam keyakinan Hindu Bali, disesuaikan dengan bahasa Bali. Walaupun ada beberapa sebutan dewa-dewa terdapat dalam Weda.
Nama-nama khas “Dewa Hindu Bali” seperti Betara Dalem, Betara Puseh, Betara Melanting, Betara Dalem, Sanghyang Sapuh Jagat, Betari Danu, Betara Rambut Sedana, Betara Ratu Niang Sakti, Ratu Betara Dalem Ped, Ratu Betara Pemayun Sakti, Betara Pengulun Carik, Ida Betara Ratu Gede, Ida Betara Ratu Ayu, Ida Betara Ratu Mas, Ida Betara Ratu Pande, Ida Betara Ratu Pasek, Ida Betara Kawitan, Ida Betara Pusering Jagat, Ida Betara Bukit, Ida Betara Danu, Ida Betara Putranjaya, Ida Betara Luhuring Akasa, Ida Betara Nini, Ida Betara Ratu Gede Penyarikan, Ida Betara Ratu Sedahan,Betara Maspahit, dan masih banyak lagi. Belum lagi sebutan bagi para pengawal atau ancangan Ida Betara. Demikian juga untuk penyebutan nama Tuhan yang tunggal dengan sebutan Ida Sanghyang Widhi, Ida Sanghyang Parama Kawi, Ida Sanghyang Embang, Ida Sanghyang Titah, Ida Sanghyang Tuduh, Ida Sanghyang Pramesti Guru, Ida Sanghyang Sangkan Paraning Dumadi, dan banyak lagi. Sehingga menyebabkan Agama Hindu Bali memiliki karakteristik yang terkesan jauh dari akar filosofinya yakni Weda.   
Salah satu yang akan disajikan berikut ini adalah  sebutan dari Ida Betara Dalem dalam sastra Gong Besi. Dimana lontar ini kalau dikaji adalah beraliran  Siwaistik, khususnya dari mazab Siwa Sidantha. Sastra agama Hindu di Bali sangat banyak diungkapkan mengenai ajaran Siwa. Secara sederhana dikatakan, Pura Dalem adalah linggih dari Ida Betara Dalem sebagai dewa paling utama. Salah satu sastra agama yang menyebutkan hal demikian adalah  Lontar Tutur Gong Besi.
Gong Besi termasuk kelompok naskah yang memuat ajaran yang Siwaistik. Di dalam naskah ini, disebutkan bahwa Bhatara Dalem patut dipuja dengan sepenuh hati, penuh rasa tulus iklas. Dalam setiap pemujaan, Ida Bhatara Dalem dapat dihadirkan (utpeti puja), distanakan (stiti puja), dan dikembalikan (pralina puja). Persembahan bhakti yang utama kehadapan Ida Bhatara Dalem menyebabkan orang mendapatkan kemuliaan lahir dan batin, dan pada akhirnya akan mencapai sunya loka atau siwa loka.
Dalam hubungannya dengan sembah bhakti kehadapan beliau, sebaiknya diketahui nama atau julukan beliau. Karena kemahakuasaan beliau sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur, beliau disebut dengan banyak nama, sesuai dengan fungsi dan tempat beliau berstana.
Ketika beliau [Ida Bhatara Dalem] berstana di Pura Puseh, maka Sanghyang Triyodasa Sakti nama beliau. Ketika berstana di Pura Desa maka Sanghyang Tri Upasedhana sebutan beliau. Di Pura Bale agung, beliau dipuja sebagai sebutan Sanghyang Bhagawati. Di perempatan jalan raya beliau dipuja sebagai Sanghyang Catur Bhuwana. Ketika beliau berstana di pertigaan jalan raya, disebut dengan Sanghyang Sapuh Jagat.
Ida Bhatara Dalem ketika berstana di kuburan atau setra agung beliau dipuja dengan nama Bethara Durgha. Ketika kemudian beliau berstana di tunon atau pemuwunan (tempat pembakaran mayat), maka beliau dipuja sebagai Sanghyang Bherawi. Ketika beliau dipuja di Pura Pengulun Setra, maka beliau dinamakan Sanghyang Mrajapati.
Di laut, Ida Bhatara Dalem dipuja dengan sebutan Sanghyang Mutering Bhuwana. Pergi dari laut kemudian menuju langit, beliau dipuja dengan sebutan Sanghyang Taskarapati. Taskara adalah surya atau matahari, sedangkan pati adalah wulan atau bulan. Kemudian ketika beliau berstana di Gunung Agung dinamakan beliau Sanghyang Giri Putri. Giri adalah gunung, putri adalah putra atau anak, yakni putra dari Bhatara Guru yang berstana di Sanggar Penataran, Panti, Parahyangan semuanya, dan berkuasa pada seluruh parahyangan. Pergi dari Gunung Agung kemudian berstana beliau di Gunung Lebah, maka sebutan beliau adalah Dewi Danu. Ketika beliau berstana di Pancaka Tirtha atau pancuran air, maka beliau bernama Sanghyang Gayatri. Dari pancuran, kemudian menuju ke jurang atau aliran sungai, maka beliau kemudian dipuja dengan sebutan Betari Gangga.
Bhatara Dalem ketika berstana di sawah sebagai pengayom para petani dan semua yang ada di sawah, maka beliau dipuja dengan sebutan sebagai Dewi Uma. Di jineng atau lumbung padi beliau dipuja dengan sebutan Betari Sri. Kemudian di dalam bejana atau tempat beras (pulu), Ida Bhatara Dalem dipuja dengan nama Sanghyang Tri Suci. Kemudian beliau dipuja pula di dapur dengan nama Sanghyang Pawitra Saraswati. Di dalam periuk tempat nasi atau makanan, maka beliau disebut dengan Sanghyang Tri Merta.
Kemudian di Sanggar Kemimitan, Ida Bhatara Dalem dipuja sebagai Sanghyang Aku Catur Bhoga. Aku berwujud laki, perempuan, dan banci. Menjadilah Aku manusia seorang, bernama Aku Sanghyang Tuduh atau Sanghyang Tunggal, di Sanggar perhyangan stana beliau. Disebut pula beliau dengan Sanghyang Atma. Pada Kemulan Kanan adalah ayah  yakni Sang Pratma (Paratma). Pada Kemulan Kiri adalah Ibu, Sang Siwatma. Pada Kemulan tengah adalah dirinya atau raganya yakni roh suci yang menjadi ibu dan ayah, nantinya kembali pulang ke Dalem menjadi Sanghyang Tunggal.
Ida Bhatara Dalem adalah Sanghyang Paramawisesa, karena semua rasa baik rasa sakit, rasa sehat, rasa lapar, dan sebagainya adalah beliau sumbernya. Beliau adalah asal dari kehidupan, beliau memelihara alam semesta ini, dan beliau adalah sebagai penguasa kematian. Dalam air, cahaya, udara dan akasa, tidak ada yang dapat melebihi beliau. Sehingga beliau disebut dengan Sanghyang Pamutering Jagat.
Itulah sebutan Ida Bhatara Dalem dalam Tutur Gong Besi. Ida Bhatara Dalem adalah Bhatara Guru atau Dewa Siwa itu sendiri. Bhatara Dalem adalah sebagai sebutan Ida Sanghyang Widhi dengan segala manifestasi beliau. Dengan segala kemahakuasaan yang mencakup masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Sebagai pemuja atau penyembah yang taat akan menyebut beliau dengan banyak nama sesuai dengan fungsi dan juga di mana beliau dipuja. Demikian disebutkan dalam Tutur Gong Besi. (Ki Buyut Dalu/Kanduk)

"Weda Mesambeh" Kitab Suci Gama Bali





Sejatinya Weda adalah ilmu pengetahuan yang diturunkan oleh Ida Sanghyang Tunggal melalui para insan tercerahkan, insan suci, para nabe atau Maharesi pada jaman dahulu secara langsung. Ilmu pengetahuan tersebut dijadikan pedoman hidup manusia di dunia. Weda yang diturunkan secara langsung melalui wahyu tersebut dinamakan Weda Sruti, sedangkan pengetahuan yang diberikan oleh para mahersi atas hasil analisis mengenai hukum sebab akibat lalu ditulis dan diajarkan secara turun temurun secara lisan disebut Weda Smerti.
Pengetahun manusia di dunia tak hanya terbatas pada wahyu suci dari Ida Sanghyang Widhi, namun berdasarkan pengalaman hidup manusia. Semuanya pengalaman hidup tersebut disusun dalam bentuk cerita seperti Mahabarata dan Ramayana, serta dalam bentuk purana-purana. Inilah kita suci Weda dalam Hindu, yang pada hakekatnya Weda itu adalah Ilmu pengetahuan spiritual dan duniawi. Namun tak seorangpun yang pernah tahu dimana Weda berada dan bagaimana bentuknya. Weda adalah abstrak, ia tersebar di seluruh jagat, Weda itu tersimpan di nurani nurani bijak, nurani suci dan tercerahkan di dunia ini. Weda itu diibaratkan sebagai benih-benih yang bertaburan di alam semesta.
Kembali ke masalah agama Hindu Bali, dengan kitab sucinya, Hindu Bali tak pernah melihat Weda secara utuh. Weda atau pengetahuan suci itu tersebut bagaikan pasir di laut. Ia tak bisa dikuasai oleh seseorang di dunia ini kecuali Ida Sanghyang Aji Saraswati, sinar suci Tuhan pencipta Ilmu pengetahuan. Weda di Bali terurai dalam berbagai bentuk yakni bentuk lontar, bentuk gambar, bentuk patung, bentuk sastra, bentuk cerita, bentuk adat, bentuk kesenian, bentuk peninggalan leluhur berupa benda pusaka dan pura. Weda di Bali sudah melebur menjadi kebudayaan dalam arti luas. Artinya bahwa keseharian manusia Bali sejati setiap gerak langkahnya sudah mempraktekkan Weda.
Hal di atas memang sulit untuk dipahami, karena kita sekarang terpengaruh oleh agama lain yang secara nyata dan gagah membawa dan membaca kitab sucinya secara panjang lebar lalu menjelaskan isinya secara berbusa - busa. Namun manusia Bali dengan Hindunya tak seperti itu. Manusia Bali telah menjalankan Weda dalam setiap langkahnya, dalam setiap budayanya, dan setiap adatnya, serta setiap pertunjukannya. Weda telah diselipkan dalam awig-awig desa adat. Weda telah diselipkan dalam purana-purana desa, purana pura, bhisama Betara Kawitan, Weda telah tersirat dalam sesolahaan atau gerak para penari Bali, termasuk pesan-pesan moral dalam dialognya. Weda telah digambarkan dalam bentuk lukisan dan patung, serta Weda telah dilantunkan dalam bentuk kidung dan kekawin.
Walaupun ada kitab sastra yang tertulis dalam bentuk lontar seperti pelutuk (petunjuk teknis tentang sesuatu), lontar ajian, lontar  keputusan-keputusan, dll. Semuanya itu adalah Weda tertulis yang masih diwariskan sampai sekarang. Namun sejatinya hal tersebut hanya sebagian kecil dari Weda yang sempat ditulis dan sempat diselamatkan seiring dengan perjalanan waktu. Sehingga hal ini perlu diberitahukan kepada seluruh generasi muda Hindu Bali bahwa tak perlu berkecil hati tak pernah melihat Weda. Sebab Weda itu tak bisa ditulis selengkapnya oleh manusia, karena Weda memenuhi alam semesta. Weda hanya bisa dihayati melalui kejernihan hati dan kebijaksanaan. Weda tak bisa diperlakukan seperti diktat kuliah atau buku pelajaran. Weda tak sebatas itu. Weda maha luas, maha suci, mencakup masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Apapun hasil olah pikir manusia berdasarkan kejernihan dan kebijaksanaan maka itulah Weda terselip di dalamnya. Artinya bahwa Hindu Bali menjalankan agamanya berdasarkan “Weda Mesambeh” artinya bahwa ilmu pengetahuan itu tersebar di alam raya. (Ki Buyut/kanduk)

Wednesday, January 27, 2016

“Gama Bali” , Agama Tirtha




Leluhur manusia Bali sekarang konon berasal dari tanah Jawa, yang bermigrasi ke Bali secara bertahap dalam kurun waktu berabad-abad. Pertamakali migrasi Wong Aga pada abad ke VIII Masehi yang konon adalah masyarakat di pesisir timur pulau Jawa mengikuti perjalanan Maharesi Markandeya ke Bali, Beliau awalnya bertapa di unung Dieng Jawa tengah. Bersama pengikutnya, Resi Markandeya merabas hutan di sekitar kaki Gunng Tohlangkir (Gunung Agung). Konon banyak pengikut beliau yang mengalami sakit dan meninggal. Setelah mengalami kegagalan yang pertama kali, beliau kembali ke Gunung Raung dan mendapatkan pentunjuk mengenai kenagkeran tanah Bali. Beliau kemudian kembali ke tanah Bai dengan para pengikut beliau, lalu menanam panca datu di kaki Gunung Tohlangkir untuk menstabilkan tanah Bali yang kala itu masih labil. Tempat penanaman panca datu tersebut sampai sekarang diberi nama pura Besukihan.
Periode berikutnya adalah kedatangan dari wangsa Warmadewa ke Bali bersama dengan para pengikutnya ke Bali pada masa awal abad ke X, dengan mendirikan kerajaan Singamandawa dengan rajanya adalah Sri Kesari Warmadewa. Beliau membuat pemujaan di Besakih yang kemudian dikenal dengan nama Merajan Slonding. Sri Kesari Warmadewa juga disebut dengan Dalem Slonding.
Pada masa itu proses pengayaan keyakinan masyarakat mulai semakin beragam. Paham, Siwa, Buda sudah banyak dianut. Demikian juga dengan berbagai sekte sudah mulai banyak dianut oleh masyarakat pada waktu itu seperti sekte Siwa Pasupati, Brahma, Waisnawa, Bima, Bayu, Indra, Ganapati, Bhairawa, dan dll. Kesemuanya itu lalu membentuk kesatuan masyarakat majemuk dalam hal praktek keyakinan. Dan sudah bisa dibayangkan bahwa di kalangan masyarakat konon penuh dengan intrik kepercayaan. Sudah tentu hal ini akan menjadi sebuah potensi kerawanan masyarakat yang tak diinginkan, karena setiap sekte menyatakan diri paling baik dan paling benar. Persaingan ini justru semakin hari semakin terbuka, sehingga sampai pada akhirnya raja suami istri yakni Udayana Warmadewa dan Gunapria Dharmapatni mendatangkan para Mpu dari Jawa ke Bali. Salah satunya adalah  Mpu Kuturan untuk memikirkan masalah ini.
Atas prakasrsa Sang Raja dan Mpu Kurutan, maka diselengarakanlah pertemuan besar atau pesamuan agung para penganut aliran (sampradaya) di Bali kala itu untuk menciptakan masyarakat yang solid dan terhindar dari konflik sekte. Pertemuan itu lalu menghasilkan penyatuan berbagai macam aliran kepercayaan di masyarakat menjadi tiga kelompok besar yakni Brahma, Wisnu, Siwa. Yang kemudian paham ini dapat diterima oleh semua pihak sehingga mulai saat itu di Bali diterapkan praktek agama Tri Murti. Yag sebenarnya adalah mengadopsi paham Hindu di tanah Jawa pada masa lalu, seperti yang terwujud di candi Prambanan dimana terdapat tempat pemujaan Tri Murti dengan wahana masing-masing yakni candi Siwa (di tengah), dipait oelh candi Brahma dan Candi Wisnu. Ini adalah konsep Tri Murti yang ditawari oleh Mpu Kuturan dan diterima dan diterapkan di masyarakat. Dengan demikain maka setiap desa adat waktu itu diwajibkan untuk membuat pengayatan Tri Muti yakni pura Puseh untuk Wisnu, Pura Desa untuk Brhama, dan Pura Dalem untuk Siwa.  Kemudian setiap rumah tangga diwajibkan untuk membuat pelinggih Rong Tiga sebagai tempat pemujaan kehadapan leluhur. Peristiwa penyatuan ini terjadi di daerah Bata Anyar, yang sekarang disebut dengan Desa Bedulu. Sedangkan tempat dari pertemuan besar tersebut dibuat sebuah pura yang diberi nama Pura Samuantiga. Samuan artinya pertemuan, sedangkan tiga adalah paham Tri Murti yang dihasilkan dari pertemuan itu.
Konsep itu lalu diterapkan di tanah Bali, sehingga masing desa adat memilki pura Puseh Desa Dalem. Disamping tiga pura tersebut sebagai pura utama di desa adat, namun tak sampai di sana. Kekuatan local teap masih diakomoddir dalam praktek keagamaan Hindu di Bali. Seperti pemujaan kehadapan Sanghyang Rambut Sedana, Sanghyang Sapuh Jagat, Sanghyang Prapati, Dewi melanting, Dewi Kayangan, dll. yang kesemuanya tersebut masih mencerminkan praktek sampradaya. Namun demikian mereka tetap dalam satu kesatuan dengan pemersatunya adalah pura Kayangan Tiga dengan konsep Tri Murthi tersebut.
Artinya di sini bahwa walaupun sudah tersatukan dalam konsep Brama Wisnu Siwa, namun dalam praktenya di masyarakat tetap diadopsi berbagai macam konsep masing-masing sekte. Seperti misalnya sekte Bhairawa Tantra dilengkapi dengan Pura Prajapati sebagai linggih Sanghyang Merajapati sebagai penguasa kuburan dan Pura Kayangan sebagai tempat pemujaan Dewi Durga. Termasuk juga berbagai macam ritual atau upacara di masyarakat Hindu saat ini adalah banyak menggabungkan ritual dari berbagai sete jaman dahulu seperti Caru Resi Gana adalah cerminan aliran Ganapati. Ngusaba Nini adalah sebagai cerminan aliran Waisnawa. Termasuk juga terdapat berbagai macam pelinggih yang mengadopsi berbagi masab atau filsafat masa lalu seperti pelinggih Penunggun Karang adalah sisa dari aliran Bhairawa. Dll.
Proses penyatuan sekte-sekte menjadi paham Tri Murthi sekaligus dengan tetap memberikan kebebasan kepada masing-masing sekte untuk menyesuaikan praktek agamnya, hal inilah yang menyebabkan terdapat banyak pura, banyak pelinggih, banyak upacara, dan baanyak hari raya atau hari suci. Kondisi inilah yang diwariskan dari generasi ke generasi di Bali.
Sampai akhirnya tanah Bali dikuasai oleh Raja Kertha Negara dari Singasari, maka nuansa aliran Bhairawa sangat kental. Sehingga banyak ritual-ritual mistik di Bali yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk pula pura Dalem menjadi suatu yang sanagt penting dan sentral saat itu, demikian juga dengan pura Prajapati sebagai penguasa kuburan, dan pura Kayangan sebagai linggih dari Sakti Dewa Siwa yakni Durga Dewi.
Tak berhenti sampai di sana, sejarah perjalanan paham Hindu di tanah Bali mengalami pengayaan sejalan dengan kondisi politik ekspansi kerajaan masa lalu, terutama perkembangan olitik di tanah Jawa. Dimana dalam perkembangan selanjutnya tanah Bali jatuh ke tangan Majapahit. Dari sini kemudian para Arya banyak datang ke Bali beserta dengan para prajuritnya. Demikian juga setelah seorang adipati perwakilan Majapahit ditempatkan di Bali, yakni Sri Kresna Kepakisan dengan istananya di Samprangan, kemudian selanjutnya berpindah ke Gelgel sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu. Dan menjelang keruntuhan Majapahit di tanah Jawa, di Bali sedang berkuasa Dalem Waturenggong dengan kekuasaan yang gemilang. Pada masa itu  datang para pendeta dari Jawa yakni Danghyang Nirartha yang membawa paham Siwa Sidhanta, dimana beliau memusatkan pemujaan pada satu aspek Tuhan yakni Siwa. Siwa adalah Tuhan Yang Maha Esa. Bentuk dari tempat pemujaan beliau adalah Padmasana, sebagai kreasi dari simbol Lingga Yoni. Dari sini masyarakat Bali mengadopsi paham Siwa Sidhanta dan membuat pelinggih lagi yakni Padmasana. Sehingga pura-pura di Bali lambat laun dilengkapi dengan pelinggih Padmasana, yang diposisikan di pojok timur laut, dengan posisi menghadap ke baratdaya. Sedangkan kalau Padmasana tunggal seperti di pura Jagatnata, posisinya berada di timur atau di utara menghadap ke barat atau selatan.
Sejak kehadiran Danghyang Nirartha di Bali, mampu menambah kaya kehidupan keagamaan di Bali secara filsafat, upacara, susila dan bentuk pelinggih. Pengaruh beliau semakin kuat di masyarakat kaena kewaskitaan dan kesaktian beliau sehingga beliau disebut Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang menyebabkan masyarakat semakin yakin mengikuti ajaran beliau. Lebih-lebih beliau menjadi Purohito atau Bagawanta kerajaan, sehingga paham ini banyak pengikutnya yang melahirkan tradisi belajar agama kala itu dengan sebutan Siwa dan Sisya yakni hubungan antara Guru (Siwa Guru) dan Sisya (murid) yang diwarisi secara turun temurun oleh masyarakat Hindu sampai saat ini. Demikian juga kedatangan Danghyang Astapaka ke Bali dengan mengajarkan masab Budha Kasogatan semakin memperkaya khidupan Hindu di Bali bersenyawa dengan paham-paham hindu yang sah bersenyawa sebelumnya.
Kalau dilihat dari kulit luarnya bahwa agama Hindu yang diterapkan di Bali sangat jauh berbeda dengan Hindu yang ada di tanah kelahirannya yakni India. Kenapa demikian? sebab agama Hindu yang dipraktekkan di Bali saat ini adalah merupakan persenyawaan berbagai macam aliran di Hindu yang datang ke Bali sejak berabad-abad yang lalu lalu mengalami penyesuaian dengan situasi dan daya nalar masyarakat saat itu.  Sehingga akhirnya menjadi agama Hindu seperti sekarang ini. Hindu Bali atau lebih karakteristik disebut sebagai “Agama Bali” sejatinya adalah penerapan Weda dalam berbagai sisi atau segi. Sedangkan orang India sebagai pemeluk Hindu terbagi dalam sekte-sekte tertentu yang hanya memuja satu aspek Tuhan seperti pemuja Siwa, Brahma, Wisnu atau Krisna, Ganesa, Dewi/Durga, dll. Disamping itu masyarakat India memeluk Hindu lebih banyak dalam koridor filsafat dan etika. Sedangkan bagi manusia Bali menerapkan ajaran Hindu dalam tiga kerangka dasar yakni filsafat (tattwa), upacara (ritual) dan susila (etika) yang dijalankan secara seimbang dan dibalut dalam kerangka budaya serta adat istiadat. Ini artinya bahwa manusia Bali menerapkan ajaran Hindu lebih riil. Manusia Hindu Bali lebih terinci mengejawantahkan ajaran Weda dengan segala varisainya, dibandingkan dengan pemuluk Hindu India.            
Persenyawaan dengan budaya setempat, serta dengan paham pra Hindu di Bali, maka Hindu menjadi sangat karakteristik di Bali. Menjadi sebuah agama yang kelihatan jauh dari akarnya Weda. Namun sejatinya, penerapan Weda di Bali lebih riil yakni melalui nyanyian, sastra, lambng-lambang, lukisan, patung, pelinggih-pelinggih, candi-candi sastra yang disebut dengan banten, mantra-mantra, yasa kerthi (pengendalian diri), ayah-ayahan, dll. Namun dengan melihat praktek di lapangan seperti itu ada yang berpendapat bahwa Agama Hindu Bali menyimpang dari Weda. Sudah tentu hal ini adalah penilaian yang dangkal dan tak paham dengan hindu Bali. Karena sejatinya, Hindu Bali adalah pengejawantahan ajaran weda secara riil dalam kehidupan sehari-hari, dan mencakup semua Dewa semua aliran, tak hanya sebatas satu paham atau ista dewata saja.
Karena persenyawaan dengan budaya dan kentalnya praktek ritual Hindu di Bali, termasuk juga berkah Dewa-Dewa diwujudkan dalam bentuk air suci atau tirtha, maka agama Hindu Bali juga disebut dengan Agama Tirtha. Termasuk juga nama-nama Dewa-Dewa di Bali disesuaikan dengan budaya setempat, seperti Betara Sapuh Jagat, Btari Melanting, Betara Pengulun Carik, Betara Pemayun Sakti, Ratu Nyoman Sakti, dll. (Baca pada Tutur Gong Besi). Padahal dalam Weda tak ada nama-nama tersebut. Inilah bukti terjadinya akulturasi seni budaya, dan paham bumi atau pra Hindu dari masyarakat pemeluk Hindu di Bali.
Manusia Hindu Bali larut dalam ritual-ritual keagamaan dan bahkan ritual-ritual mistik. Maka tak heran kalau di Bali saat ini masih berlangsung “jaman brahmana” yakni jaman dimana kegiatan ritual upacara keagamaan sangat kental. Sedangkan di tanah India jaman brahmana ini sudah berabad-abad yang lalu ditinggalkan, dan beralih ke beragama filsafat. Sedangkan di Bali Bali masih berdoa dengan sastra, mantra, lagu atau kidung, dengan sarana banten, persembahan kesenian berupa tari-tarian dan panca gita (kidung, gambelan, genta, kulkul, mantra).
Inilah Agama Bali, yakni agama yang menjadi “agem-agem” atau pegangan manusia  Bali sampai saat ini. Bentuk Agama Bali yang ada saat ini adalah merupakan perpaduan dari berbagai macam aliran atau sekte dalam Agama Hindu, diselaraskan dengan kondisi adat budaya masyarakat setempat dengan prosesnya cukup panjang. Lalu dalam perkembangannya saat ini, agama Hindu Bali mendapat tambahan lagi dengan datangnya berbagai macam aliran ke dari India ke Bali. Kelompok Sampradaya gencar masuk ke Bali, dan sedang berproses untuk kdua kali nya dengan Hindu bali. (persenyawaan pertama ketika seribu tahun yang lalu, yang akhirnya disatukan oleh Mpu Kuturan).
Sampradaya kini menjadi sebuah kekuatan alternatif dari masyarakat Hindu Bali. Sehingga banyak para rohaniawan Sampradaya datang ke Bali, banyak aliran masuk ke Bali. Padahal kalau kita ikuti proses terjadinya Agama Hindu Bali saat ini, kedatangan Sampradaya sudah diakomodir ketika pertemuan Samuan Tiga seribu tahun yang lalu. Artinya bahwa agama Hindu Bali saat ini adalah kumpulan dari berbagai macam Sampradaya. Kalau sekarang ada Sampradaya lagi, maka kejadiannya akan persis terjadi ketika seribu tahun lalu. Pastilah ada kepentingan sekte, pastilah ada kepentingan aliran dan macam-macam. Justru hal ini akan terjadi potensi konflik di intern Hindu itu sendiri. Belum lagi kompetisi dengan yang di luar Hindu. Mungkinkah akan terjadi persenyawaan kedua setelah seribu tahun. Sekarang tinggal pilih mau bersenyawa atau kembali pecah menuju induk masing-masing yakni Sampradaya masing-masing? (Ki Buyut Dalu/Kanduk)



Tuesday, January 26, 2016

Fenomena Ikut Aliran, Dot Aluh dan Termakan Promosi ?




Aliran yang dimaksud di sini adalah kelompok perguruan spiritual di di dalam praktek agama Hindu yang keberadaannya belakangan ini semakin marak di Bali. Bahasa awamnya adalah aliran. Namun dalam dunia spiritual sering disebut sampradaya, paksa, perguruan, parampara, aguron-guron atau sekte. Semuanya itu adalah bagian intergral dari Weda.
Dalam kamus sansekerta Sampradaya dapat berarti: - seorang yang memberi anugrah, - penyaji, - tradisi, - ajaran agama yang sudah mantap yang diajarkan oleh seorang guru suci, - kepercayaan yang telah mentradisi, - sesuatu yang khas yang merupakan bagian dari system ajaran weda, - suatu cara pengungkapan tradisi weda, - satu versi dalam tradisi ajaran weda. Sampradaya atau aguron-guron dapat pula dipahami sebagai berguru kepada orang bijak.
Aliran / sampradaya bersifat universal dan fleksibel serta memiliki Adikara (desiplin) seperti karma, bhakti, dan jnana. Memuja salah satu manifestasi Tuhan (ista dewata). Dalam realitasnya di masyarakat sampradaya termuat dalam kitab-kitab Purana, Regweda, Bagawad Gita, dll. Demikian pula dengan tradisi Hindu di Indonesia terdahulu terdapat banyak sekte atau paksa seperti Waisnawa, Siwa, Sakta, Ganapatya, Jaina, Gaura, Tantrayana, Bhairawa, dll.
Sampradaya juga diartikan sebagai garis perguruan tempat pengajaran ilmu pengetahuan spiritual. Menurut DR Goris (1974), pada abad ke 9 terdapat banyak sekte di Bali seperti Ganesa, Siwa Sidhanta, Bairawa, Pasupata, Waisnawa, Bodha, Brahmana, Sora, dll. Dalam keadaan demikian terjadi persaingan dan berujung perpecahan di tengah masyarakat ketika itu. Untuk mengatasi masalah tersebut maka raja Udayana bersama dengan permaisurinya Gunaprya Dharma Patni melalui Mpu Kuturan menyatukan sekte-sekte tersebut menjadi paham Tri Murti seperti yang diterapkan oleh masyarakat Hindu Bali sampai sekarang ini. Proses penyatuan tersebut berlangsung di tempat yang sekarang disebut dengan Pura Samuantiga. Karena di tempat tersebut terjadi penyatuan diantara sekte-sekte keagamaan.
Aliran / aguron-guron atau sekte memiliki ciri spiritual yang tidak terlalu terkait pada lembaga. Namun lebih menekankan pada sikap mental, spirit pada niskama karma. Mereka adalah penekun weda, mempelajari weda, dan penganut weda. Mereka adalah bagian dari Hindu yang besar ini. Sampradaya mengejar apa yang juga menjadi tujuan umat Hindu lainnya yakni mokshartam jagadita ya ca iti dharma.
Dalam realities ke kinian di Nusantara, khsusunya di Bali, kebeeradaan aliran spiritual yang disebut dengan sampradaya ini mulai berkembang kembali. Setelah seribu tahun para sampradaya disatukan menjadi paham ri murti, kini aliran mulai menggeliat dan terbangun mencari bentukn ya tersendiri. Di tengah-tengah kehidupan agama Siwa Budha dalam paham Tri Murti, kini banyak muncul aliran spiritual seperti Krisna Balaram, Sai Baba, Ananda Marga, Brahma Kumaris, dll, yang di bawa oleh para aktivis aliran itu sendiri.
Keberadaan mereka yang dulu sekitar tahun 1970-an di Indonesia sempat dilarang karena dianggap “mengacaukan” praktek agama Hinddu di Inddonesia khsusunya di bali seperti apa yang sudah diwariskan sejak jaman Mpu Kuturan. Namun sekarang, dalam alam keterbukaan, mereka muncul dan semakin eksis di tengah masyarakat.
Organisasi mereka lebih modern, tidak lagi bersandar kepada adat, seperti agama Hindu Bali yang diwariskan oleh Mp Kuturan. Dalam implementasi ajarannya, mereka lebih pada tataran filsafat dan etika, jauh dari kesan ritual-ritual yang gemerlap seperti apa yang tersaji dalam praktek Hindu Bali sampai saat ini. Mereka lebih dilandasi oleh rasa semangat spiritual dan semangat eksis. Artinya mereka dilandasi oleh semangat untuk tetap mempertahankan Hindu di tengah-tengah gempuran jaman, serta gempuran dari agama lain di muka bumi ini. Semangat inilah yang tampak dalam keseharian mereka, sehingga mengesankan mereka kukuh dalam keyakinan serta sedikit bersifat “promotif”.
Dalam semangat ini kerapkali mereka yang ada di dalam aliran menjadi terprovokasi oleh semangatnya sendiri. Sering muncul debat yang berkepanjangan mereka memeprtahankan filsafatnya masing-masing. Semangat tinggi justru menjerumuskan dalam ego. Keberadaan aliran-aliran ini kerapkali mendobrak pakem-pakem serta etika dalam bersembahyang. Ambil contoh, di setiap hari minggu di kawasan car free day selalu muncul kelompok-kelompok dari aliran Krisna berbaur dengan lalu serta hhiruk pikuk dari masyaakat yang sedang berolah raga. Tentu saja ini memunculkan kesan yang kontradiktif terhadap aharan Hindu yang sejatinya mencari keamanan, kenyamana, dalam berse,bahyang. Namun kenapa justru mereka selalu muncul di tempat keramaian dan membawa keramaian tersendiri, karena mereka selalu membawa alat pengeras suara untuk melantunkan “puja puji” ditambah lagi dengan mereka membawa alat-alat music yang sejatinya bukan budaya Bali atau budaya Inddonesia. Belum lagi penampilan mereka mengenakan pakaian “iimport” yang sejatinya jauh dalam pakem buddaya Bali maupun budaya nusantara.
Kesan lain muncul adalah “campah”, - mohon maaf – dalam tradisi Hindu Bali selalu mengedepankan sisi pantas, sisi kenyamanan, sisi kesucian, serta sisi etika. Bagaimana bisa berkonsentrasi dalam pemujaan ketika di sekeliling kita orang banyak lalu lalang dengan kepentingan lain seperti olah raga dengan busana yang kerapkali macam-macam. Sehingga dengan demikian kesan yang muncul bukanlah pemujaan, tapi malah promosi aliran dengan menunjukkan eksistensinya di tengah-tengah kerumunan masyarakat.
Apapun kesannya, yang jelas dengan gaya “promotif” yang intensif ini telah berhasil menggaet banyak orang untuk ikut bergabung di dalamnya. Ini sebagai pertanda bahwa apa yang mereka tawarkan dapat diterima oleh beberapa kalangan. Barang dagangan berupa sorga,  Tuhan, dan kemudahan serta kemurahan lainnya ternyata cukup menarik minat beberapa kalangan. Banyak yang menruh harapan spiritual dari aliran-aliran baru ini.
Pertanyaan kemudian muncul “kenapa orang Bali yang beragama Hindu Bali banyak kepincut dengan aliran-aliran baru tersebut? Dalam penyusuran ddi lapangan tampak bahwa ketekunan mereka untuk “menjajakan” maksudnya menginformasikan sekaligus mengajak khalayak ramai untuk memahami apa yang mereka jajakan. Hal lainnya adalah dalam kondisi saat ini, ada beberapa kalangan yang merasa sulit, merasa berat atau bahakn repot dengan pola beragama seperti yang sudah diwariskan oleh leluhur Hindu Bali sejak dulu. Dan ketika ada tawaran yang lebih mudah, lebih sederhana, dan konon lebih modern sekaligus menjanjikan sorga dan kemuliaan, maka secara otomatis ada saja orang yang tergiur. Yang lainnya mungkin akibat faktor kegagalan dari umat Hindu tradisional Bali dalam memahami ajaran leluhur yang telah mengantarkannya menjadi manusia, atau telah membesarkannya di tanah Bali ini. Dengan demikian ada seseorang masyarakat menyimpulkan bahwa banyaknya umat Hindu Bali masuk dan ikut dalam aliran ini adalah karena “dot aluh” (ingin gampang) dan “termakan promosi” tanpa pernah memahamai kesejatian dari kemuliyaan ajaran Hindu.
Kenapa aliran dinilai sebagai “momok” di Indonesia khususnya di Bali adalah karena prilaku oknum-oknumnya yang terlalu keindia-indiaan. Padahal di bali sudah ada tata cara beragama Hindu yang sudah digariskan oleh para leluhur terdahulu. Budaya India yang dibawa mentah mentah inilah yang kerap berbenturan dengan budaya Bali yang nota bene rohnya adalah Hindu.
Satu lagi yang menyebabkan para oknum sampradaya atau aliran tersebut kurang mendapat respon di masyarakat kebanyakan adalah sikap yang selalu mengangung-agungkan Weda. Seolah-olah hanya mereka saja yang membaca Weda atau mengenal Weda. Padahal mereka tak sadari bahwa Weda di Indonesia sudah mengalami transpormasi dan disesuaikan dengan kehidupan masyarakat, budaya, serat alam serta iklim Nusantara sehingga melahirkan penerapan Weda seperti yang ada saat ini di Bali atau di nusantara. Bukan berarti Hindu Bali tak berdasarkan Weda. Namun Weda yang telah mengalami penafsiran, mengalami transpormasi, serta mengalami kulturisasi sehingga mendapatkan bentuk seperrti Hindu Nusantara saat ini.
Justru masyarakat Hindu Bali mengkawatirkan mereka yang mempelajari dan membaca Weda secara langsung. Dikawatirkan akan salah tangkap, salah tafsir, salah mengerti. Karena Weda adalah luas, dalam, dan memerlukan kebijaksanaan dalam mengupas maknanya. Bukan dengan ego-ogeoan, dan sok sok pernah membaca Weda. Inilah yang terjadi saat ini pada teman-teman yang tergabung dalam sampradaya / aliran sehingga yang muncul ke permukaan bukanlah kebijaksanaan tetapi EGO.
Dengan mengadopsi praktek Hindu India, maka Hindu Nusantara telah kehilangan jati dirinya.  Padahal semestinya adalah dimana bumi dipijak disana langit dijungjung. Ketika berada di Jawa maka ikuti tata cara beraggama Hindu Jawa. Jika di Bali ikuti tata cara Hindu Bali. Jika di India silahkan seperti India. Biar tidak kacau…….. (Kanduk Supatra).