Wednesday, October 19, 2016

NENEK PERNAH BERPESAN TENTANG "LAKU SUJUD SEMBAH DAN SAJI PARA LELUHUR"




kanduksupatra.blogspot.com
Kamu pantas bersujud dan bersaji kepada Gunung, karena gunung memberikan material vulkanik untuk kesuburan. Di sana berstana Sanghyang Giripati
Kamu pantas bersujud dan bersaji kepada Danau, karena danau telah menyimpan air untuk kehidupanmu. Di sana berstana Sanghyang Dewi Danu
Kamu pantas bersujud kepada Laut, karena memberikan kehidupan, bahan air untuk hujan, serta sumber makanan. Di sana berstana Sanghyang Dalem Segara
Kamu pantas bersujud dan bersaji di mata air, karena ia keluar untuk memberi kehidupan. Di sana berstana Sanghyang Suci Nirmala
Kamu pantas bersujud dan bersaji kepada sungai, karena ia telah menghantarkan air kehidupan ke seluruh permukaan bumi. Di sana berstana Sanghyang Dewi Gangga
Kamu pantas bersujud dan bersaji di sumur, karena menyediakan air minum untukmu setiap hari. Di sana berstana Sanghyang Dewi Mengening
Kamu pantas bersujud dan bersaji kepada api, karena telah memberikan panas untuk kehidupan. Di sana berstana Sanghyang Geni
Kamu pantas bersujud dan bersaji kepada bumi, karena telah memeliharamu dalam kehidupan ini. Di sana berstana Sanghyang Ibu Pertiwi
Kamu pantas bersujud dan bersaji kepada hutan dan pepohonan, karena memberikan makanan, air dan oksigen. Di sana bersemayam Sanghyang Tumuwuh
Kau pantas bersujud dan bersaji kepada langit, karena langitlah yang memberikan engkau hujan untuk kehidupan di dunia. Di sana bersemayam Sanghyang Luhuring Akasa
Kamu pantas bersujud dan bersaji kepada matahari, karena matahari adalah sumber energi kehidupan semesta ini. Di sana berstana Sanghyang Surya
Kamu pantas bersujud dan bersaji kepada angin, karena telah memberi nafas kehidupan. Di sana berstana Sanghyang Bayu
Kamu pantas bersujud dan bersaji di persimpangan jalan, pertigaan, perempatan, sebagai penghantar menuju tempat yang dituju. Di sana berstana Sanghyang Sapuh Jagat
Kamu pantas bersujud dan bersaji kepada benda pusaka, karena di dalamnya terdapat energi serta semangat kehidupan. Di sana bersemayam Sanghyang Pasupati
Kamu pantas bersujud dan bersaji kepada sarwaprani dan hewan lainnya, karena mereka diayomi oleh Sanghyang Rare Angon.
Kamu pantas bersujud dan bersaji kehadapan sesama, karena di dalamnya bersemayam Sanghyang Atma
Kamu pantas bersujud dan bersaji kehadapan leluhur yang telah suci, karena dari merekalah kamu ada. Di dalamnya berstana Sanghyang Siwa Atma
Kamu patut bersujud kehadapan para dewa, karena para dewa memberikan sinar suci, perlindungan dan kehidupan. Para Dewa adalah sinar suci dari Sang Hyang Maha Tunggal
Kamu pantas bersujud dan bersaji kepada Aksara, karena didalamnya berstana Sanghyang Ongkara
Pada puncaknya, kamu mesti bersujud dan bersaji kehadapan Beliau yang tak pernah terjangkau oleh akal dan pikiranmu. Beliau yang maha suci, maha niskala, kosong namun berisi, sumber dari segala sebab di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Beliau yang maha kekal dan abadi. Beliaulah Sanghyang Sangkan Paran Ing Dumadi / Sanghyang Paramasiwa Sanghyang Embang / Sanghyang Mahakarana / Sanghyang Jagatnatha / Sanghyang Paramatma / Sanghyang Maha Acintya / Sanghyang Parama Kawi / Sanghyang Maha Wisesa / Sanghyang Tunggal / Brahman / Ida Saghyang Widhi Wasa.
Agamu adalah agama bumi dan langit. Bapakmu Akasa dan Ibumu Pertiwi. Manungal menjadi benih purusa (laki) dan pradana (perempuan), bersatu memancarkan kekuatan kehidupan. Purusa pradana bersenyawa menjadi Sanghyang Ardhanareswari. Kekuatannya menjadi Sanghyang Mahawisesa, berwujud air, berwujud api, berwujud angin, berwujud tanah dan batu, dia berwujud suara.
Bersujud sembah dan bersajilah. Bersujud sembah sebagai simbul kerendahan hati, bersaji sebagai simbul ketulusan (lascarya). Bersujudlah dengan menudukkan kepalamu, sembahlah dengan cakupan tangan. Bersajilah apa yang kamu mampu. Sujud, Sembah, Saji akan melindungi dan menghantarkan engkau kepada kemulyaan. Itulah jalan leluhur sejak dahulu.
Jika ada yang menggugat lakumu itu, apalagi menyalahkan, maka biarkan saja dan terima saja! Karena dia sedang berada jauh dari kesejatian hidup. Kelak ia akan mengikutimu dari belakang. Pendek saja pesan Nenek. kanduksupatra.blogspot.com. ki buyut dalu. ampura dahat. Foto foto ini saya pinjam untuk ilustrasi. #OriginalArtikelByKanduk

Sunday, October 16, 2016

Parsel Untuk Ida Betara….?? Fenomena Membuat Gebogan Kekinian




kanduksupatra.blogspot.com. Salahkah….? Sejatinya tak ada yang salah. Tak ada yang menyalahkan. Tak ada yang perlu disalahkan. Tak mungkin kita menyalahkan walaupun ada kalangan yang mempermasalahkan. Kenapa…..?

Peradaban sudah berkembang jauh dan semakin mencari bentuknya sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat dunia saat ini yang didominasi oleh teknologi informasi. Tak ketinggalan dalam kehidupan sosial, adat dan keagamaan di tanah Bali yang konon masih eksotik. Eksotis prilaku dan budaya masyarakat Bali kini ditantang oleh peradaban modern.
Fokus perhatian kali ini adalah perkembangan gebogan atau banten tegeh yang dibuat sebagai persembahan kehadapan Leluhur, Ida Betara Betari, Dewa Dewi sebagai rasa syukur dan simbol ketulusiklasan. Sebagaimana layaknya dari gebogan pada awalnya didominasi oleh jajanan bali seperti jaja begina, jaja uli, gipang, satuh, iwel, apem, tape dirangkai dengan buah-buah lokal seperti pisang, manggis, sabo, silik, nyambu, mundeh, sotong, sentul, semaga, jeruk bali, manas, poh, bahkan buah-buhan langka seperti batulampe, serta potongan tebu manis, dll.
Sejalan dengan perkembangan jaman disertai dengan kelangkaan dari buah lokal akibat kalah saing dan kalah rasa dengan buah impor, maka keberadaannya tergeser. Kini di atas dulang banten gebogan didominasi buah impor seperti apel berbagai merk, jeruk berbagai merk import, per, sankis, markisa, kiwi, anggur, buah naga, dll. Demikian juga dengan jajanan lokal sudah tergeser, didominasi oleh  produk modern seperti roti-roti, bolu, ciki-ciki, coklat, pancake, jajan pabrikan lainnya. Yang menarik perhatian adalah banten gebogan kini dilengkapi dengan minuman - minuman sof dring seperti pocari sweat, teh kotak, coca cola kaleng, sprite kaleng, fanta, bahkan bir, yakult, minuman pabrikan lainnya. Memang dirangkai bagus dan indah, tanpa menghilangkan komponen pokok dari banten tersebut seperti nasi, lauk pauk bali, sampian, tumpeng, tape, bantal, dan kelengkapan lainnya.
Rangkaian gebogan tersebut mengingatkan kita ketika hari raya umat lain atau tahun baru yang biasa diwarnai dengan kiriman parsel kepada teman, kerabat dan pejabat. Mungkin kejadian ini dapat dianalogikan gebogan ini menyerupai parsel. Sehingga banyak yang nyeletuk bahwa banten yang dibuat itu bagikan parsel. Jadi yahhh… “Parsel untuk Ida Betara”.
Salahkah….? Sejatinya tak ada yang salah. Tak ada yang menyalahkan. Tak ada yang perlu disalahkan. Tak mungkin kita menyalahkan walaupun ada kalangan yang mempermasalahkan. Kenapa..? Ketika berbicara tentang Bali, apalagi yang eksotis, ketika kita berbicara tentang budaya, ketika kita berbicara tentang Hindu di Bali, maka sudah tentu ada kearifan-kearifan lokal. Ada nilai-nilai lokal. Ada pakem-pakem atau ketentuan lokal. Serta ada pula produk- produk lokal. Dari kelokalan tersebut akan melahirkan bentuk, melahirkan produk yang bersifat lokal pula yang memiliki karakteristik lokal pula. Saat itulah norma - norma memiliki tempat. Maka pada saat itulah budaya menampakkan wujudnya. Dan pada saat itu pulalah nilai-nilai Hindu Bali memberi makna. Artinya bahwa gebogan sebagai persembahan, sarana pemujaan, serta simbol ketulusiklasan mesti mencerminkan atmanastuti, rasa dari si pembuatnya.  
Bali memang kreatif. Tapi kearifan lokal, nilai – nilai dan pakem mesti tetap dijaga sambil memberdayakan produk lokal. Yah…. peradaban memang selalu mencari bentuknya dari jaman ke jaman. Ampura. (kanduksupatra.blogspot.com. Ki Buyut Dalu).
#OriginalArtikelByKanduk

Thursday, October 13, 2016

Ila-ila Dahat, Sensasi Ngundang Leak di Panggung






I Lengut Nonton Calonarang

Dulu ketika I Lengut masih kecil, yang namanya Calonarang itu sangat jarang terdengar. Orang takut membicarakan calonarang, apalagi melakoni. Orang menonton dengan was-was, apalagi menjadi pregina calonarang. Artinya Calonarang jaman itu sangatlah membikin bulu kuduk merinding, membuat bayangan orang pada kengerian dengan sosok-sosok menyeramkan, sekaligus mengantarkan pikiran mereka kepada orang-orang yang sakti akan bertarung kedigjayaan. Tak berani orang menggelar drama tari calonarang, karena beresiko bagi penari, bagi penonton, dan bagi wilayah tersebut. Demikian pikiran jaman itu.
Namun sangat berbeda keadaannya dengan satu dekade terakhir ini. Calonarang yang dulunya angker dan menakutkan, kini sangat populer, sangat digandrungi. Setiap saat kita dengar orang mementaskan calonarang, atau lakon yang lain seperti Balian Batur, Basur, dll. Setiap dipentaskan model mistik, selalu dipadati penonton dari desa bersangkutan bahkan desa-desa yang jauh. Entah mereka tahu darimana, yang jelas pentas calon arang itu menjadi trend.
Anehnya lagi, penonton yang datang biasanya berjubel mulai sekitar jam sepuluh atau menjelang tengah malam. Padahal pentas sudah mulai jam delapan. Ada apa dengan penonton?. Ternyata mereka lebih suka menonton adegan yang seram-seram, seperti matah gede (walunateng dirah, atau tokoh yang memerankan tokoh liak. Mereka ingin tahu siapa yang menjadi balian sakti, balian bogbog, siapa yang menjadi bangke matah, siapa yang menjadi pandung, siapa yang nyaluk rangda, dll. Berapa ada rangda, bagaimana yang ngundang liak, siapa saja yang diundang, terus kejadian apa yang terjadi saat itu, dll. Artinya penonton hanya melihat aspek mistik dari  pertunjukan itu. Penonton akan mengukur dan membandingkan calonarang mana yang paling seram, siapa yang paling medengen sebagai pemeran calonaranang, siapa yang paling berani ngundang liak, dll. Artinya penonton akan menilai tingkat sensasi mistik dari pertunjukan itu. Semakin seram, semakin berani, dan semakin hebat sensasi dalam pertujukan tersebut, maka nilai calonarang itu akan semakin seram dalam apresisi penonton. Artinya pula penonton semakin senang.
Di desanya I Lengut yang terletak di tengah kota, terdapat komunitas penggemar calonarang. Seratus persen mereka adalah orang-orang muda dengan tingkat pendidikan yang beragam, dari tamatan SMP sampai mahasiswa. Mereka lahirr dalam dunia modern, dalam situasi yang sudah serba elektrik dengan teknologi canggih. Mungkin karena darah “Bali Totok” yang kental mengalir dalam tubuhnya, justru mereka sangat menyukai pertunjukan calonarang dengan nuansa magis yang kental. Komunitas penggemar calonarang ini menonton calonarang sampai ke tempat yang jauh seperti Gianyar, Bangli, Badung, Tabanan, Karangasem, dll. Mungkin karena hobi… Padahal mereka-mereka itu bukanlah orang penekun spiritual, bukan pula suka dengan benda-benda gaib. Mereka cuma suka menonton, untuk kepuasan rohani yang haus dengan dunia mistik.
Fenomena mistik ini telah menggejala di seluruh masyarakat Bali. Pertunjukan calonarang menjamur dimana-mana. Setiap desa ada calonarang. Bahkan suatu hari ada pementasan calonarang di beberapa tempat di Denpasar, sehingga penggemarnya menjadi “paling”, mana yang harus ditonton. Disamping itu pula, sensasi yang ditampilkan dalam pentas calonarang pada saat ini semakin menjadi-jadi. Kalau dulu penari hanya berani mengundang sebentar dan hanya terbatas pada wilayah tertentu. Namun kali ini banyak yang membuat sensai dengan mengundang liak seluruh Bali, seluruh Indonesia, dan seluruh dunia. Bahkan ada yang menundang jauh hari sebelumya dengan menyebar menyebar famplet, bikin baliho, dan menyertakan nomor HP.  Kalau mengundang dari desa sebelah masih mugkin terjangkau waktunya kalau liak yang diundang mau datang. Tapi kalau leak seluruh Bali, seluruh Indonesia dan seluruh dunia, pastilah mereka terbatas waktu. Belum lagi tiket pesawat untuk datang. Ya kalau leaknya punya uang untuk beli tiket. Itu artinya itu hanya sensai, sebab tak mungkin leak yang diundang itu akan datang pada malam itu.
Ada juga si pemain ngundang leak begitu berani “liak…  ne amah cang. Yen sing bani, panakne masih dadi, kurenane dadi” (Liak…. Makan aku, kalau tak berani makan anakku, atau istriku). Demikian si pengundang leak tersebut dengan sesumbar memperlihatkan kehebatan dirinya. Tapi I Lengut menjadi merinding mendengarnya. Liak pasti tak akan datang atau unjuk gigi pada malam itu. Sebab pentas terjadi di pura, tak mungkin liak akan berani datang ke pura. Pentas atau acara ngundang dilakukan di atas panggung dengan sinar lampu yang terang, dan penonton yang banyak, belum lagi ada sekaa gong, mana berani liak sama orang banyak sama lampu, dan ramaenya suara gong. Tak mungkin! Liak pastilah akan bermain di tempat yang sepi, gelap, dan rahasia. Artinya si pengundang tersebut tak perlu harus menjajakan nyawa dari anak dan istrinya. Ya kalau anak dan istrinya seteguh atau seberani dirinya. Kalau tidak, pastilah ia akan menjadi sasaran dari sesumbar orang tuanya. Sebaiknya jangan, itu namanya ila-ila dahat. Sebab masih ada hari besok. Karena liak pasti berpikir “sing bakat jani buin mani jumunin. Sing bakat lemahne, jeg petengne amah nas ne” Artinya liak akan berpikir tak berhasil sekarang, besok diulang lagi. Tak berhasil siang hari, kita hajar pada malam hari. Demikian kira-kira pikiran para liak yang diundang itu.
Yang paling sering lagi bahwa acara ngundang molor sampai melebihi jam satu dini hari. Artinya adegan ngundang dan bangke matah keluar sekitar jam dua atau jam tiga. Suasananya sudah pagi. Liak yang diundang kayaknya sudah tertidur pulas, atau mungkin leaknya sudah nyuwun keranjang ke pasar untuk berdagang. Entah hal ini disengaja atau tidak. Sebab untuk menyatakan diri berani, maka mengundang sejadi-jadinya, namun hari sudah subuh. Sama artinya dengan mengundang orang yang sudah tak ada di tempat. Namun apapun dikata, undangan sudah dijalankan. Para leak pasti akan datang, tak boleh tidak. Sebab sudah hukumnya, kalau diundang pasti datang dan diladeni. Cuman tinggal mengatur waktu, mengatur jadwal, dll. Demikian pendapat I Lengut yang suka mengamati pementasan berbau mistik.
Pernah juga I Lengut melihat pentas calon arang menggunakan anak-anak untuk mengundang leak. Padahal kalau dilihat dari umur, sepertinya anak tersebut belum tahu apa yang diperankannya itu. Yang seperti ini mestinya perlu untuk dipertimbangkan agar jangan anak-anak menjadi korban sesumbar orang tuanya demi untuk membuat pertunjukan menjadi lebih sesasional. Anak jangan dipakai coba-coba atau dipakai permainan berbahaya seperti ini. Miris I Lengut melihatnya.
Bahkan yang paling mutakhir, ada bangke matah yang dikubur selama empat jam di setra. Walaupun tidak diurug langsung dengan tanah, dan peti yang digunakan ukuran cukup lebar untuk bisa bergerak leluasa di dalamnya. Tapi ini sudah mengundang ribuan penggemar mistik untuk datang menonton. Setra bagaikan pasar malam. Kesan angkernya mungkin berkurang akibat banyak penonton yang lalu lalang. Tapi itulah bangke matah, selalu membuat orang penasaran. Kembali I Lengut mengurut dada sambil terheran heran.
Pentas calonarang sekarang semakin berani dengan menggunakan bangke matah atau bangke-bangkean. Dahulu, ketika masyarakat masih memegang prinsip ila-ila dahat, jarang menggunakan bangke-bangkean. Kalaupun ada, yang digunakan adalah boneka bayi. Namun sekarang beda, betul-betul menggunakan orang yang masih hidup diperlakukan seperti orang mati kena grubug dimakan liak.  Kemudian salah seorang dari mereka mengundang liak untuk memakan bangke matah tersebut, untuk mintonin kesaktiannya. Ila-ila dahat, demikian I Lengut.
Bahkan untuk kasus ini, sekarang bangke matah tak cukup satu, ada yang pakai dua, tiga, empat, lima, bahkan ada yang memakai delapan bangke matah. Dari golongan anak-anak, dewasa, bahkan dari golongan perempuan. Hebat sekali dan menghebohkan sekali pertunjukan tersebut. Demikian I Lengut. Cuman I Lengut kembali bisa berkata dalam hati “ila-ila dahat”.
Setelah mengamati sekian lama, dengan cara menonton dan terlibat langsung dalam pentas calonarang, rupanya ada kesamaan antara masyarakat penonton dengan pregina. Penonton terpuaskan hatinya dengan suguhan mistik yang sensasional, sedangkan para pregina terpuaskan hatinya untuk menari, demikian juga para jawara yang biasanya di posisi pengabih merasa handal dengan kemampuannya, karena dari sekian undangan yang disampaikan dalam pentas tersebut tak ada yang menanggapi, tak ada tantangan atau tak ada tanggapan dari liak yang diundang.
I Lengut juga berpikir, sepertinya liak-liak yang diundang tersebut mungkin sudah bosan mendapatkan undangan itu-itu saja, dengan menu itu-itu saja. Karena saking seringnya, menyebabkan malas datang. Atau mungkin undangan yang begitu aeng itu hanya dianggap suatu olok-olok oleh para liak. Para liak mungkin juga mengetahui bahwa undangan itu hanyalah sekedar pentas, hanya untuk hiburan, dan tak perlu ditanggapi serius. Jadi liak yang ada sekarang sebenarnya sudah lebih bijaksana, sehingga bisa memilih dan memilah mana yang seken (serius) dan mana yang uluk-uluk (boong-boongan). Karena liak tahu, bahwa para pregina yang koar-koar itu hanyalah ia ngayah di pura. “Biarkan orang ngayah”. Kira-kira begitu pikiran I Liak di rumahnya. Sehingga apapun aeng undangannya di atas panggung, tetap aman-aman saja. Demikian I Lengut mencoba untuk mengingat pentas-pentas calonarang yang pernah ia tonton.
Setiap pertunjukan calonarang atau penyalonarangan, kini disertai dengan inovasi dan kreasi untuk meningkatkan tampil magis dari pertunjukan. Ada ada saja yang baru baik secar kualitas maupun kuantitasnya. Barangkali makin lama makin terkungkung pikiran para penggemarnya dengan pola pikir magis, sehingga mengurangi bahkan menghilangkan daya nalar dan logika penggemarnya. 
Sekali lagi, ngundang liak di atas panggung hanyalah sensasi seni sebuah pertunjukan agar lebih menarik, walaupun sedikit nyerempet-nyerempet. Namun yang lebih penting dari semua itu bahwa semua cerita, semua sensasi, semua heboh-heboh yang dipertunjukan hanyalah merupakan pendahuluan untuk sampai pada acara pokok yakni Ida Betara Sesuhunan mesolah, napak siti, macecingak dan memberikan anugrah kesejahteraan kepada seluruh damuh (umat). Hanya itu tak lebih…
(ki buyut dalu / kanduk) #OriginalArtikelByKanduk




Thursday, October 6, 2016

TITAH BHATARA GURU DI TANAH JAWA. DARI GUNUNG SALAKA DI BARAT SAMPAI SEMERU DI TIMUR


 Manusia Bakti, Leluhur Berkenan, Dewata Memberkati

kanduksupatra.blogspot.com. Tradisi Leluhur Adiluhung. “Gunung adalah Lingga Acala (lingga besar yang tak bergerak dan tak dibuat oleh manusia). Gunung adalah Lingga Yoni. Gunung adalah stana para Dewa. Gunung adalah tempat suci. Dimana lingga acala berdiri di sanalah para Dewa berstana. Buatlah pemujaan di gunung. Bersujudlah kepada Gunung. Di Jawa gunung berwujud Candi. Di Bali gunung berwujud Meru. Manusia akan diberkati dewa gunung dan diberkati para leluhur” Demikian para leluhur nusantara memahami gunung.
Dalam Lontar Tantu Panggelaran diceritakan bahwa pada jaman dahulu Pulau Jawa masih goyang-goyang (tidak stabil) di atas laut karena tak ada pemberatnya. Atas situasi tersebut kemudian Sanghyang Mahakarana (Batara Guru / Sanghyang Parameswara / Batara Siwa) mencari penguatnya. Batara Guru beryoga, kemudian memutar Taya (ketiadaan / kekosongan) menjadi buih putih, maka terciptalah Gunung Hyang (Gunung Dieng). Tanah tempat pijakan Batara Guru saat itu menjadi Gunung Limohan. Pulau Jawa belum juga stabil.
Batara Guru kemudian menitahkan para dewa pergi ke Jambudwipa untuk memindahkan puncak Gunung Mahameru ke pulau Jawa, untuk dijadikan pemberat. Gunung Mahameru disebut juga Gunung Mandara / Mandara Giri adalah gunung yang sangat besar dan tinggi. Kaki dan badannya di bumi, sedangkan puncaknya di angkasa setinggi seratus yojana sampai di kayangan. Untuk memotong puncak Gunung Mahameru, maka Batara Wisnu menjadi Nagaraja (raja naga) melilit gunung, Batara Brahma menjadi Kurmaraja (raja penyu) untuk menyangga potongan puncak gunung, sedangkan Batara Bayu menerbangkan puncak gunung.
Saat memotong puncak gunung Mahameru, keluar air yang mengandung racun sangat dasyat yang disebut racun Kalakuta. Racun ini terminum yang menyebabkan para dewa menjadi lemah. Hal tersebut diketahui oleh Batara Guru, lalu meminum semua racun itu. Karena dasyatnya racun Kalakuta, menyebabkan hitam pada leher Batara Guru. Oleh sebab itu Batara Guru disebut Batara Nilakanta (berleher hitam). Dengan terserapnya racun itu, para dewa kembali mendapatkan kekuatannya.
Singkat cerita, puncak Gunung Mahameru sudah berhasil dipotong lalu diterbangkan ke pulau Jawa dan diletakkan di bagian barat. Gunung tersebut tampak bersinar putih bagaikan jejak kaki para dewa, maka disebut Gunung Kelasa. (Kailas / Kailasa, gunung bersalju stana Dewa Siwa). Karena berwarna putih seperti perak, maka gunung itu kemudian disebut dengan Giri Salaka (Gunung putih seperti perak). Lalu dalam perkembangannya disebut dengan Gunung Salak. Karena diletakkan di ujung barat, maka pulau Jawa berat sebelah. Untuk menyeimbangkan, puncak Gunung Mahameru yang sudah ditempatkan di barat kembali dipotong dan diterbangkan ke timur pulau Jawa. Dalam perjalanan ke timur, bagian bawah gunung jatuh berceceran. Reruntuhannya berturut-turut menjadi Gunung Katong (Gunung Lawu), Gunung Wilis, Gunung Kampud (Gunung Kelud), Gunung Kawi, Gunung Arjuna, Gunung Kemukus. Sedangkan puncaknya menjadi Gunung Semeru.
Dalam kedudukan yang baru di timur, Gunung Semeru masih belum kokoh, karena bagian bawahnya runtuh dalam perjalanan. Agar kedudukannya kokoh, maka Gunung Semeru disandarkan pada Gunung Brahma (Gunung Bromo), sehingga kedudukannya menjadi sangat kokoh. Itu sebabnya Gunung Semeru disebut Gunung Nisada (gunung yang kokoh).
Setelah tugas tersebut selesai, Batara Guru beserta para dewa berkumpul, semua memuja Gunung Mahameru (raja dari semua gunung). Gunung Semeru adalah Lingga Acala (lingga yang tak bergerak dan tak dibuat oleh manusia). Gunung yang suci stana Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam prabawa sebagai Batara Guru / Batara Mahakarana / Batara Jagatkarana / Sanghyang Siwa Pasupati / Batara Parameswara / sebutan lainnya.
Semoga sentana / keturunan Tanah Jawa dan Nusantara senantiasa memegang keyakinan ini, dan senantiasa memuliakan gunung sebagai tempat bersujud memohon kerahyuan di dunia dan di sunialoka. Manusia bakti, leluhur berkenan, dewata memberkati. Rahayu… rahayu… rahayu….. (kanduksupatra.blogspot.com / Ki Buyut Dalu / kesimpar ybt). #OriginalArtikelByKanduk

Tuesday, October 4, 2016

Bermula dari Kerauhan Warga, HYANG SUCI NIRMALA DI KAKI GUNUNG RAUNG



Cara Leluhur Memuliakan Air

kanduksupatra.blogspot.com. “Dimana air menyembul / empul di sana Dewa berstana. Dimana air mengalir di sana Dewa berstana. Dimana air berkumpul, di laut, di danau, di sungai, di bendungan, di sanalah Dewa berstana. Di sanalah tempat suci. Dirikanlah tempat pemujaan di sana. Agamamu memuliakan air. Agama tirtha sebutannya. Hyang Dewi Gangga turun dari kayangan menganugrahkan kehidupan. Hyang Dewi Mangening membersihkan alam semesta. Hyang Dewi Suci Nirmala menganugrahkan kesucian jiwa raga. Bersujudlah kepadaNya !” Demikian para leluhur berpesan untuk mengawali tulisan ini.


Pura Anantaboga demikian tempat suci ini diberi nama, merupakan pura beji (tirta) yang terletak di tengah hutan pinus di lereng Gunung Raung. Tepatnya di Dusun Wonoasih, Desa Sumberwadung, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi, kurang lebih satu jam perjalanan dari Kota Banyuwangi. Terletak di kawasan tertutup hutan pinus yang sangat luas, tanpa tembok pembatas, menyatu dengan hutan pinus yang subur, sejuk dan indah dengan aura suci nan magis.
Perjalanan menuju areal pura dimulai dengan menapaki jalan bebatuan mulai dari sebuah Desa di pinggir hutan yang bernama Desa Sumber Wadung, kurang lebih satu kilo meter, lalu memasuki kawasan pura. Untuk bersembahyang di kawasan suci ini, pemedek akan melalui beberapa tahapan, yakni:
1.      Pelinggih Ratu Gede sebagai penjaga kawasan suci ini, sebagai tempat pemujaan Ratu Gede Dalem Ped, sekaligus sebagai permohonan atau pekeling pertama untuk melakukan persembahyangan di kawasan ini.  Dari pelinggih ini selanjutnya menuju:
2.      Pancoran Solas yang di tengahnya terdapat Lingga Yoni. Tempat ini digunakan untuk tempat menyucikan jiwa raga (melukat) sebelum persembahyangan lebih lanjut. Pancoran solas yang berada di bagian kiri (barat) untuk laki-laki, yang kanan (timur) untuk perempuan. Sedangkan yang di hulu adalah pancoran khusus untuk memohon kesembuhan. Dari pancoran solas ini menuju ke bagian yang lebih tinggi, yakni:
3.      Pelinggih Siwa Buda yang berada di bawah pohon beringin raksasa. Pada bagian ini terdapat sebuah pelinggih padma capah di bagian depan. Pohon beringin ini diyakini dahulu adalah sebuah pelinggih yang ditumbuhi beringin. Pada bagian atas batang beringin terdapat lingga yoni yang besar. Untuk mencapainya harus menaiki batang  pohon beringin.
4.      Linggih Ibu Pertiwi. Terletak di pinggir kolam yang jernih airnya dengan beberapa tingkatan yang bersumber dari mata air di lereng Gunung Raung. Pelinggih ini adalah untuk memuja Hyang Ibu Pertiwi yang telah memberikan pijakan hidup kepada manusia di dunia.
5.      Pelinggih Wisnu diwujudkan dengan patung Dewa Wisnu berwanakan burung garuda yang terletak di atas gumuk bebatuan.
6.      Di bagian timur paling selatan terdapat pelinggih Gana / Ganesa berupa patung di atas gumuk bebatuan. Dewa ini dipuja adalah ssebagai penjaga kayangan para dewa, serta sebagai pemberi perlindungan serta memohon kecerdasan.
7.      Pelinggih  Tirta Empul terletak di hulu kolam dengan mata air pegunungan sebagai beji dari Ida Betara. Tempat ini berupa sebuah pelinggih gedong batu sebagai tempat pemujaan Dewi Gangga memohon kesucian untuk membersihkan segala kekotoran jasmani dan rohani. Airnya yang mengalir akan memberi kehidupan bagi mahluk di dunia.
8.      Gumuk Bedawangnala terletak di bagian barat kawasan ini. Tempat ini berupa gumuk bebatuan dan sangat baik untuk bermeditasi.
9.      Paling di hulu adalah pelinggih Padmasana, terletak di atas bebatuan. Padmasana terbuat dari batu hitam, di depannya ditempatkan patung Lembu Nandini, sebagai simbol Purusha Predana.

Menurut penuturan jero mangku yang ngayah di pura Anantaboga, situs pura ini baru ditemukan tahun 2010. Berawal dari seseorang umat yang ketika bersembahyang di Pura Sandya Dharma (pura yang ada di Desa Sumber Wadung) mengalami kerauhan. Dari kerauhan tersebut didapat petunjuk untuk menelusuri kawasan suci yang merupakan beji Ida Betara. Setelah ditelusuri ke tengah hutan, didapatilah tempat ini dengan beberapa sumber mata air serta beberapa peninggalan-peninggalan pemujaan jaman dahulu.
Atas dasar tersebut kemudian masyarakat berkoordinasi dengan pihak Perhutani yang memiliki kewenangan mengelola wilayah ini. Lalu diijinkanlah untuk membuat tempat pemujaan secara terbatas. Sebab tempat ini bukan diperuntukkan bagi keperluan ibadah, hanyalah untuk perkebunan. Atas ijin tersebut, maka dibuatlah pelinggih – pelinggih tanpa dibatasi tembok penyengker. Inilah menjadi ciri khas dari pura Anantabhoga yang menyatu dengan alam, berpenyengker pepohonan pinus. Artinya luas pura menjadi tak terbatas.
Pembangunan pura ini rampung tahun 2012 dengan biaya dari dana punia masyarakat Hindu sekitarnya, serta para dermawan dari Bali maupun luar Bali. Terwujudlah tempat ini menjadii tempat suci yang disebut dengan Pura Beji Anantaboga.
Dan atas berdirinya pura ini, semoga Hyang Dewi Gangga / Hyang Dewi Mangening / Hyang Suci Nirmala senantiasa mengalirkan air kehidupan, menganugrahkan kesucian di Tanah Jawa, serta memancarkan vibrasi kesadaran bagi insan-insan Tanah Jawa akan keagungan budi pekerti leluhur. Rahayu…rahajeng……
kanduksupatra.blogspot.com. (Ki Buyut Dalu).
#OriginalArtikelByKanduk