Sunday, October 16, 2016

Parsel Untuk Ida Betara….?? Fenomena Membuat Gebogan Kekinian




kanduksupatra.blogspot.com. Salahkah….? Sejatinya tak ada yang salah. Tak ada yang menyalahkan. Tak ada yang perlu disalahkan. Tak mungkin kita menyalahkan walaupun ada kalangan yang mempermasalahkan. Kenapa…..?

Peradaban sudah berkembang jauh dan semakin mencari bentuknya sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat dunia saat ini yang didominasi oleh teknologi informasi. Tak ketinggalan dalam kehidupan sosial, adat dan keagamaan di tanah Bali yang konon masih eksotik. Eksotis prilaku dan budaya masyarakat Bali kini ditantang oleh peradaban modern.
Fokus perhatian kali ini adalah perkembangan gebogan atau banten tegeh yang dibuat sebagai persembahan kehadapan Leluhur, Ida Betara Betari, Dewa Dewi sebagai rasa syukur dan simbol ketulusiklasan. Sebagaimana layaknya dari gebogan pada awalnya didominasi oleh jajanan bali seperti jaja begina, jaja uli, gipang, satuh, iwel, apem, tape dirangkai dengan buah-buah lokal seperti pisang, manggis, sabo, silik, nyambu, mundeh, sotong, sentul, semaga, jeruk bali, manas, poh, bahkan buah-buhan langka seperti batulampe, serta potongan tebu manis, dll.
Sejalan dengan perkembangan jaman disertai dengan kelangkaan dari buah lokal akibat kalah saing dan kalah rasa dengan buah impor, maka keberadaannya tergeser. Kini di atas dulang banten gebogan didominasi buah impor seperti apel berbagai merk, jeruk berbagai merk import, per, sankis, markisa, kiwi, anggur, buah naga, dll. Demikian juga dengan jajanan lokal sudah tergeser, didominasi oleh  produk modern seperti roti-roti, bolu, ciki-ciki, coklat, pancake, jajan pabrikan lainnya. Yang menarik perhatian adalah banten gebogan kini dilengkapi dengan minuman - minuman sof dring seperti pocari sweat, teh kotak, coca cola kaleng, sprite kaleng, fanta, bahkan bir, yakult, minuman pabrikan lainnya. Memang dirangkai bagus dan indah, tanpa menghilangkan komponen pokok dari banten tersebut seperti nasi, lauk pauk bali, sampian, tumpeng, tape, bantal, dan kelengkapan lainnya.
Rangkaian gebogan tersebut mengingatkan kita ketika hari raya umat lain atau tahun baru yang biasa diwarnai dengan kiriman parsel kepada teman, kerabat dan pejabat. Mungkin kejadian ini dapat dianalogikan gebogan ini menyerupai parsel. Sehingga banyak yang nyeletuk bahwa banten yang dibuat itu bagikan parsel. Jadi yahhh… “Parsel untuk Ida Betara”.
Salahkah….? Sejatinya tak ada yang salah. Tak ada yang menyalahkan. Tak ada yang perlu disalahkan. Tak mungkin kita menyalahkan walaupun ada kalangan yang mempermasalahkan. Kenapa..? Ketika berbicara tentang Bali, apalagi yang eksotis, ketika kita berbicara tentang budaya, ketika kita berbicara tentang Hindu di Bali, maka sudah tentu ada kearifan-kearifan lokal. Ada nilai-nilai lokal. Ada pakem-pakem atau ketentuan lokal. Serta ada pula produk- produk lokal. Dari kelokalan tersebut akan melahirkan bentuk, melahirkan produk yang bersifat lokal pula yang memiliki karakteristik lokal pula. Saat itulah norma - norma memiliki tempat. Maka pada saat itulah budaya menampakkan wujudnya. Dan pada saat itu pulalah nilai-nilai Hindu Bali memberi makna. Artinya bahwa gebogan sebagai persembahan, sarana pemujaan, serta simbol ketulusiklasan mesti mencerminkan atmanastuti, rasa dari si pembuatnya.  
Bali memang kreatif. Tapi kearifan lokal, nilai – nilai dan pakem mesti tetap dijaga sambil memberdayakan produk lokal. Yah…. peradaban memang selalu mencari bentuknya dari jaman ke jaman. Ampura. (kanduksupatra.blogspot.com. Ki Buyut Dalu).
#OriginalArtikelByKanduk

No comments:

Post a Comment