Friday, November 25, 2016

Candi Bentar Gaya Jawa, Pintu Masuk Ke Peradaban Leluhur









kanduksupatra.blogspot.com. Tulisan ini sejatinya sudah cukup berumur (sekitar tahun 2014), ketika tergabung dalam team Uparengga dan Upakara saat Upacara Tawur Pancawalikrama di Pura Mandara Giri Semeru Agung. Terkesima dengan pintu masuk pura berupa candi bentar bergaya Jawa menjulang tinggi dan besar. Angan pun tertuju pada sejarah masa lampau, ketika kejayaan Majapahit dengan prestasi menyatukan nusantara. Namun prestasi gemilang tersebut tak diikuti dengan keperkasaan dalam mengawal sosio religius Negara. Masuklah keyakinan baru di jantung kerajaan Majapahit yang berpaham Siwa Budha. Dalam sekejap mata berkembang pesat, dan menguasai tanah Jawa.
Awan kelam di langit Majapahit semakin gulita. Tekanan terhadap paham Siwa Budha sangat dasyat. Penganut Siwa Buda tak berdaya. Situs rusak terbengkalai, kitab Siwa Buda lenyap dan terbakar, pura dan candi rata dengan tanah. Tanah Jawa dilanda Kali Sangara. Jaman keruntuhan menghampiri Tanah Jawa. Hanya ada dua pilihan: ikut larut di dalamnya atau menghindar. Bagi yang bermukim di bagian timur Tanah Jawa mereka lari sekuat tenaga ke arah timur, menuju tanah Blambangan, masuk ke Purwo lalu menyepi di sana. Apabila di purwo (timur) tak aman, disarankan menyeberang ke timur ke tanah Bali. Bagi yang tak sempat lari ke timur, mereka naik ke pegunungan untuk menghindar dan bertahan seperti di gunung Gunung Lawu, Gunung Bromo, Gunung Semeru, Gunung Slamet, Gunung Arjuno, Gunung Wilis, Gunung Kelud, dll.
Dalam menghindari gelombang panas Kali Sangara, mereka tak berkonfrontasi, penganut Siwa Buda mengemas diri menjadi orang-orang Kejawen. Yang tampak hanyalah baju budaya berbalut tradisi Jawa. Di Tanah Pasundan pun demikian, mereka lari ke gunung dan hutan yang paling dalam untuk mengasingkan diri tetap menjalankan ajaran leluhur lalu mengemas diri menjadi Sunda Wiwitan. Hidup sambil menunggu “waneng” batas waktu lima ratus tahun seperti “pastu” / kutukan Sabdapalon. Demikian bayangan masa lalu muncul. kanduksupatra.blogspot.com
Setelah lima ratus tahun, titah sejarahpun tiba. Bermula dari upacara di pura Besakih nuur tirtha ke Semeru sebagai saudara tertua dari tiga bersaudara yakni Gunung Semeru, Gunung Agung dan Gunung Rinjani. Lalu ada upaya untuk membuat pemujaan kehadapan Dewa yang bersemayan di Gunung Semeru dalam prabawa sebagai Sanghyang Siwa Pasupati. Maka pada awal tahun 1990 an dibuatlah Pura Semeru Agung. Seperti ada komando dari niskala bahwa umat Hindu di seluruh Bali bangkit tergerak hatinya untuk menghaturkan bhakti ke Pura Semeru. Seolah olah manusia Bali mendapat titah untuk “balik kembali” ke tanah leluhurnya di Jawa, membangunkan saudara-saudara tua yang masih tertidur. Gayung bersambut. Sejak itu Hindu menggeliat terbangun dari mimpi selama lima ratus tahun.
Pura Semeru sebagai tonggak bagi ke-ELING-an Hindu di Tanah Jawa dan Nusantara. Pura Semeru sebagai pintu masuk kem”Bali” / “balik” bagi keyakinan leluhur Siwa Buda yang telah tertidur lelap. Artinya, Candi Bentar bergaya Majapahit di Pura Semeru paling tidak dimaknai sebagai PINTU MASUK KEMBALI KE PERADABAN LELUHUR. Kira-kira demikian. 
Ini hanyalah apresiasi dangkal serta pendapat pribadi dari penulis yang terlalu terobsesi, tanpa pernah mengkonfirmasi kepada pihak pengurus pura ataupun undagi yang membangun candi bentar bergaya Jawa tersebut. Ini hanyalah tafsir kosong sambil bengong, berlagak sombong menafsirkan sesuatu yang bukan ranahnya. Ampura. Ki Buyut Dalu. Tulisan lainnya ada di kanduksupatra.blogspot.com
#OriginalArtikelByKanduk

Monday, November 14, 2016

“GUMI CAPUNG BANGKOK” Kelihaian dalam menunjukkan dalil-dalil “pembenaran”





kanduksupatra.blogspot.com. Ketika kecil, sering diperdengarkan cerita berjudul “silih dalih”. Kisah kehidupan binatang yang dipersonifikasikan sebagai manusia. Berawal dari kebiasaan dari I Kedis Blatuk (burung Belatuk) setiap pagi membunyikan “kulkul bulus” (mematuk-matuk kayu di dekat sarangnya) yang membuat semua masyarakat hutan menjadi geger. Lalu datang I Capung Bangkok membawa “tumbak poleng” (ekornya bagaikan tombak berwarna hitam putih) dengan wajah beringas. Ketika ditanya mengapa I Capung Bangkok membawa “tumbak poleng”, karena I Blatuk “nepak kulkul bulus”. Sekarang yang menjadi terdakwa adalah I Kedis Blatuk. Yang diinterogasi sekarang adalah I Kedis Blatuk. Mengapa I Blatuk Ngulkul, karena I Kunang-kunang “ngaba api” (membawa api). Sekarang beralih yang menjadi terdakwa adalah I Kunang-kunang. “Mengapa kamu membawa api yang membahayakan isi hutan bisa terbakar?” I Kunang-kunang menjawab,” Aku membawa api malam-malam, karena khawatir terperosok ke dalam lubang yang dibuat oleh I Beduda (kumbang tanah)”. Kemudian kasus beralih, yang menjadi terdakwa adalah I Beduda. I Beduda diadili dan ia berkelit dengan alasan bahwa lubang yang ia buat untuk melindungi diri karena I Kebo (kerbau) selalu membuang kotorannya sembarangan di jalan. Nah, kemudian kasus merembet kepada I Kerbau yang kemudian diadili. Kerbau yang dungu dan tak bersalah tersebut tak dapat berdalih dan berkelit dari permasalahan yang sebenarnya ia tidak tahu. Karena kebodohan I Kebo berdalih, maka ia dinyatakan bersalah atas semua kasus yang terjadi. Akhirnya I Kebo menjadi pesakitan dengan dicocok hidungnya. kanduksupatra.blogspot.com.
Ini adalah sebuah cerminan dari dunia binatang yang tak bedanya dengan apa yang terjadi dalam masyarakat saat ini. Suasana menjadi riuh rendah ketika dimulai oleh seseorang yang meletupkan masalah (istilah kerennya “provokator”) dalam hal ini adalah I Kedis Blatuk. Provokasi lalu memunculkan aksi-aksi masyarakat di kalangan akar rumput yang sejatinya tak paham dengan akar permasalahan (diwakili oleh I Capung Bangkok). Aksi ini menuding salah satu sasaran tembaknya (diwakili oleh I Kunang kunang). Sasaran tembak ini pun tak tinggal diam, dia kemudian mengalihkan sasaran tembak kepada mereka yang tak disukai (I Beduda misalnya). Dan ketika sasaran tembak ini tak bisa berkelit, maka dengan terpaksa ia harus menuding temannya untuk dijadikan kambing hitam (diwakili oleh I Kebo).
Sibuk untuk saling tuduh, saling tunjuk hidung, saling menyalahkan, selalu melimpahkan kesalahan kepada pihak lain, dan seringkali merembet keluar permasalahan, sehingga permasalahan yang sebenarnya menjadi kabur. Semuanya menunjukkan dalil-dalil dan bukti-bukti “pembenaran” (bukan kebenaran). Ketika bukti pembenaran terasa lemah, maka secepat kilat menggiring isu ke wilayah lain dalam rangka pengaburan masalah. Masyarakat menjadi bingung dibuatnya. Ujung-ujungnya yang menjadi pesakitan, yang menjadi korban adalah rakyat kecil, rakyat miskin yang bodoh.
Fenomena silih dalih akan tetap berlangsung dan membudaya, sampai-sampai sang pengarang jaman dahulu mengarang cerita “Tantri” menyindir prilaku manusia yang curang dan mau menang sendiri, tak pernah berani secara jantan mengakui kesalahan. 
Weleh… weleh….. dasar Gumi Capung Bangkok. Silih dalih, saling tuduh.... #kanduksupatra.blogspot.com / ki buyut dalu#.
#OriginalArtikelByKanduk

Friday, November 11, 2016

ASAP KEMENYAN SEMERBAK MEWANGI . Kemulyaan Laku Spiritual Leluhur Nusantara






kanduksupatrablogspot.com. “Asep menyan majegau cenana ngundang dewane”. Demikian syair kidung suci terdengar sayup-sayup. Kalau boleh diterjemahkan secara bebas maknanya adalah “asap dari pembakaran kemenyan, kayu gaharu serta kayu cendana membuat para Dewa berkenan hadir”. Ini adalah cara sederhana para tetua di dalam menyampaikan salam kehadapan yang mulia para Leluhur, para Danghyang, para Betara, dan para Dewa, dan sudah tentu kehadapan Hyang Maha Kaweruhan.
Itulah sebabnya kenapa ritual Nusantara  senantiasa menggunakan pasepan / pengasepan. Tetua meyakini bahwa pasepan (bentuk lainnya adalah dupa) dimohonkan menjadi saksi yang agung dari sembah sujud. Asapnya yang melambung kemudian menghilang diyakini menghantarkan doa – doa dan puja - puji menembus Kahyangan.
Tetua nusantara beragama polos, beragama lugu. Lebih banyak beragama laku. Mereka tak banyak berfilsafat, tak banyak mantra. Urusan filsafat dan mantra diserahkan kepada para Pendeta atau para Dedukun Adat. Mereka cukup mengikuti petunjuk Pendeta dan Dadukun yang arif dan bijaksana serta memiliki pengetahuan spiritual yang mumpuni. Mereka cukup menghaturkan saji, melakukan sembah sujud bhakti, berdoa dengan bahasanya sendiri, diiringi semerbak wangi asap kemenyan gaharu cendana sebagai penghantar doa ke kahyangan.
Asap keluhuran dan asap kemulyaan ini telah disajikan oleh manusia nusantara sejak berabad - abad yang lalu dalam laku spiritual mereka. Asap harum ini mengabarkan ketulusan sang pemuja kehadapan para leluhur maupun para dewa di Kahyangan agar berkenan hadir memberkati nusantara ini. Para tetua yakin bahwa dimana kemenyan gaharu cendana dibakar, di sana para Hyang akan hadir.
Manusia nusantara hidup dalam dua dimensi yakni dunia sekala (nyata) dan dunia niskala (tak nyata / maya). Kedua dimensi dunia ini terkait erat dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Namun keterkaitan hubungan ini tak dapat dipahami secara gamblang. Ia mesti dipahami dengan kemulyaan hati, dimengerti dengan keluhuran budi, serta dirasakan dengan kecerdasan naluri. Hanya orang waskita yang bisa memahami keterkaitan ini. Para waskita byang bijak lalu menggunakan asap menyan majegau cendana sebagai media penghubung antara dunia sekala dan niskala, agar dapat dilakukan oleh orang awam.
Perilaku ini terus berkembang dari jaman ke jaman di nusantara, sampai saat ini. Membakar kemenyan gaharu cendana bukanlah “ritual memanggil jin, setan, atau mahluk halus”, bukan ritual “memuja berhala”, bukan sebuah “tindakan sia – sia”, bukan “beragama semu”, bukan “ritual penuh hayalan”, dan bukan pula “sebuah kebodohan”, seperti suara - suara sumbang yang sering melenting di telinga. 
Para penganut kesejatian leluhur tak perlu risau dan tak perlu berdebat panjang tentang itu. Lakukan saja dan bersyukurlah karena sampai saat ini masih ada kesempatan untuk memuliakan leluhur dan para Hyang di alam sana. Ketika ritual itu memberikan kedamaian dan ketentraman di hati, itu tandanya para Dewa berkenan. Ketika asap menyan gaharu cendana memberikan suka cita di hati, maka itulah tanda para leluhur hadir.
Namun, ketika asap menyan majegau cendana mulai digugat, dibenci, dilarang, bahkan di hancurkan, maka Sang Bhuta Kala akan datang merasuki. Kacaulah pikirannya, ngawur bicaranya dan beringaslah lakunya.
Kini disadari atau tidak, tradisi bakar kemenyan gaharu cendana semakin digemari oleh banyak orang. Wangi – wangian telah merasuk ke sudut - sudut ruangan masyarakat di seluruh dunia. Kini tradisi tersebut telah mengambil wujud baru yakni “AROMA TERAPI”. Konon dengan harum semerbak dari aroma terapi dapat memberikan kedamaian hati, kententraman jiwa, focus dalam bekerja, memberi semangat hidup, memberikan vibrasi positif kepada lingkungan, dll. Demikian masyarakat internasional memberikan testimoni dan berkomentar tentang trend aroma terapi yang akar mulanya adalah tradisi bakar kemenyan gaharu cendana.
Atas hal tersebut di atas, salahkah para tetua sedari dulu membakar kemenyan gaharu cendana? 
Tanpa disadari, rupanya asap sejarah telah mencari bentuknya sendiri. Ampura. kanduksupatra.blogspot.com. ki buyut dalu. #OriginalArtikelByKanduk

Wednesday, November 9, 2016

Hormat kepada para Pahlawan Bangsa



10 Nopember 1945 – 10 Nopember 2016. .




Bangsa Yang Besar adalah bangsa yang menghormati Jasa Para Pahlawannya. Bangsa Yang Luhur adalah bangsa yang teguh menjalankan Tradisi Leluhurnya. Bangsa Yang Kuat adalah Bangsa yang “BERDIKARI” Berdiri di Atas Kaki Sendiri. Bangsa yang MERDEKA adalah Bangsa yang menghormati Kebinekaan dan Keberagaman. “JASMERAH” Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah.

 
Salam untuk NUSANTARA, NKRI, PANCASILA, BINEKA TUNGGAL IKA, MERAH PUTIH, BURUNG GARUDA SAKTI “GARUDA PANCASILA”. kanduksupatra.blogspot.com 

Sunday, November 6, 2016

DARI BALI UNTUK NUSANTARA, Manusia Unik Bernama “Manusia Bali”





Kanduksupatra.blogspot.com. Bagaimana mungkin leluhur yang telah tiada sejak berabad abad yang lalu bisa menghidupi manusia yang ada saat ini?
Saya yang melontarkan pertanyaan ini pada awalnya juga ragu! Apa benar seperti kata hati saya ini?. Setelah bengong sesaat, ternyata saya punya keyakian bahwa memang benar manusia Bali saat ini dihidupi oleh para leluhur. Ini bukan mistis, bukan dongeng, dan bukan pula mitos. Dasar pemikirannya begini:
Peradaban manusia Bali sejatinya terbentuk di nusantara ini sejak dahulu kala secara berjenjang mulai jaman bahari, pra sejarah, jaman Siwa Budha nusantara, jaman Bali kuno, jaman Bali Majapahit serta jaman Bali kekinian. Dalam kurun sejarah panjang inilah manusia Bali hidup dan berkembang, melahirkan tradisi, budaya, dan peradaban dijiwai mitologi animisme dinamisme, bersenyawa dengan kearifan Siwa Buda, disemarakkan oleh Bhairawa Tantra.
Peradaban ini sejatinya tersebar di seluruh nusantara. Namun dalam perjalanannya, sejarah berkata lain. Belahan bumi nusantara lainnya ada yang telah mengadopsi cara hidup, cara pandang serta keyakinan yang baru, berbeda dengan keyakinan leluhur sebelumnya. Berubah pula adab, peradaban, adat, serta budayanya. Sedangkan manusia Bali masih kukuh dengan keyakinan leluhur nusantara. Oleh karena itu Bali menjadi lain, Bali menjadi tersendiri dan menyendiri, Bali menjadi unik, walaupun sebagian yang skeptis mengatakan “aneh”. Bali menjadi bahan pembicaraan orang-orang di luar sana. Bali dipuji oleh banyak orang dan tidak sedikit pula yang “membenci”. Konon Bali sangat eksotis, dirasa sebagai surga, negeri para dewa, tanah mistik berlatar mitos, walaupun mereka yang tak sepaham mengatakan bahwa Bali “penyembah berhala”. Banyak yang ingin merasakan getaran magis tanah Bali, menikmati kesenian Bali, keindahan seni lukis, dan patung Bali yang menawan, walaupun ada pula yang ingin “menghapus” tradisi manusia Bali. Bali menjadi karakeristik. Bali dirasakan sangat beda. Banyak turis datang, banyak kegiatan diadakan konon untuk mendapatkan inspirasi. Berbarengan dengan itu, banyak lapangan kerja, banyak investasi, banyak penghasilan. Pariwisata berkembang, manusia Bali bisa hidup darinya. Tidak saja manusia Bali yang memeluk keyakinan leluhur, bahkan  mereka yang tak sepaham pun menikmati manisnya anugrah leluhur ini di tanah Bali.
Bali tak memiliki tambang minyak, emas, perak, timah, batubara, dll. Bali hanya memiliki keyakinan dan spirit yang diwarisi dari para leluhur. Pemuliaan warisan leluhur dengan segala ritual dan mitologinya inilah yang kemudian  menempatkan manusia Bali sebagai manusia yang unik dengan tradisi, ritual dan peradabannya. Ritual inilah yang memberikan energi positif kepada tanah Bali, yang menjadi daya tarik dari orang-orang dari belahan bumi nun jauh di sana untuk melihat manusia unik yang bernama MANUSIA BALI. Inilah sejatinya menghidupi manusia Bali. Bukan teknologi, bukan kekayaan tambang, bukan yang lain. Hanya satu yakni KETEGUHAN HATI MANUSIA BALI MENJALANKAN TRADISI DAN KEYAKINAN LELUHUR.
Bali tak berarti apa-apa bila jauh dari keyakinan leluhur. Peradaban manusia Bali akan hampa dan hambar tanpa spirit leluhur. Bali akan meredup tanpa peradaban leluhur. Bali akan ditinggal wisatawan bila meninggalkan keyakinan leluhur. Dan…. Bali akan hancur jika menyimpang dari ajaran leluhur.
Pada akhirnya akal sehat saya berkata, haruskah Bali dan Manusia Bali berpaling kepada keyakinan dan kebudayaan orang lain? Mereka yang sehat akan berkata “tidak”. Bagi mereka yang masih punya akal akan berkata “untuk apa berpaling!.
Kita berharap keteguhan manusia Bali dalam menjalankan tradisi leluhur diikuti oleh saudara-saudara di seluruh  NUSANTARA dalam rangka membangkitkan spirit nusantara. Dari Bali untuk Nusantara Jaya. Dari Bali untuk Nusantara, Merah Putih, Pancasila, Garuda, Bineka Tunggal Ika. Sujud bakti kepada leluhur nusantara. Ampura. kanduksupatra.blogspot.com. / ki buyut dalu.
#OriginalArtikelByKanduk