Friday, November 11, 2016

ASAP KEMENYAN SEMERBAK MEWANGI . Kemulyaan Laku Spiritual Leluhur Nusantara






kanduksupatrablogspot.com. “Asep menyan majegau cenana ngundang dewane”. Demikian syair kidung suci terdengar sayup-sayup. Kalau boleh diterjemahkan secara bebas maknanya adalah “asap dari pembakaran kemenyan, kayu gaharu serta kayu cendana membuat para Dewa berkenan hadir”. Ini adalah cara sederhana para tetua di dalam menyampaikan salam kehadapan yang mulia para Leluhur, para Danghyang, para Betara, dan para Dewa, dan sudah tentu kehadapan Hyang Maha Kaweruhan.
Itulah sebabnya kenapa ritual Nusantara  senantiasa menggunakan pasepan / pengasepan. Tetua meyakini bahwa pasepan (bentuk lainnya adalah dupa) dimohonkan menjadi saksi yang agung dari sembah sujud. Asapnya yang melambung kemudian menghilang diyakini menghantarkan doa – doa dan puja - puji menembus Kahyangan.
Tetua nusantara beragama polos, beragama lugu. Lebih banyak beragama laku. Mereka tak banyak berfilsafat, tak banyak mantra. Urusan filsafat dan mantra diserahkan kepada para Pendeta atau para Dedukun Adat. Mereka cukup mengikuti petunjuk Pendeta dan Dadukun yang arif dan bijaksana serta memiliki pengetahuan spiritual yang mumpuni. Mereka cukup menghaturkan saji, melakukan sembah sujud bhakti, berdoa dengan bahasanya sendiri, diiringi semerbak wangi asap kemenyan gaharu cendana sebagai penghantar doa ke kahyangan.
Asap keluhuran dan asap kemulyaan ini telah disajikan oleh manusia nusantara sejak berabad - abad yang lalu dalam laku spiritual mereka. Asap harum ini mengabarkan ketulusan sang pemuja kehadapan para leluhur maupun para dewa di Kahyangan agar berkenan hadir memberkati nusantara ini. Para tetua yakin bahwa dimana kemenyan gaharu cendana dibakar, di sana para Hyang akan hadir.
Manusia nusantara hidup dalam dua dimensi yakni dunia sekala (nyata) dan dunia niskala (tak nyata / maya). Kedua dimensi dunia ini terkait erat dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Namun keterkaitan hubungan ini tak dapat dipahami secara gamblang. Ia mesti dipahami dengan kemulyaan hati, dimengerti dengan keluhuran budi, serta dirasakan dengan kecerdasan naluri. Hanya orang waskita yang bisa memahami keterkaitan ini. Para waskita byang bijak lalu menggunakan asap menyan majegau cendana sebagai media penghubung antara dunia sekala dan niskala, agar dapat dilakukan oleh orang awam.
Perilaku ini terus berkembang dari jaman ke jaman di nusantara, sampai saat ini. Membakar kemenyan gaharu cendana bukanlah “ritual memanggil jin, setan, atau mahluk halus”, bukan ritual “memuja berhala”, bukan sebuah “tindakan sia – sia”, bukan “beragama semu”, bukan “ritual penuh hayalan”, dan bukan pula “sebuah kebodohan”, seperti suara - suara sumbang yang sering melenting di telinga. 
Para penganut kesejatian leluhur tak perlu risau dan tak perlu berdebat panjang tentang itu. Lakukan saja dan bersyukurlah karena sampai saat ini masih ada kesempatan untuk memuliakan leluhur dan para Hyang di alam sana. Ketika ritual itu memberikan kedamaian dan ketentraman di hati, itu tandanya para Dewa berkenan. Ketika asap menyan gaharu cendana memberikan suka cita di hati, maka itulah tanda para leluhur hadir.
Namun, ketika asap menyan majegau cendana mulai digugat, dibenci, dilarang, bahkan di hancurkan, maka Sang Bhuta Kala akan datang merasuki. Kacaulah pikirannya, ngawur bicaranya dan beringaslah lakunya.
Kini disadari atau tidak, tradisi bakar kemenyan gaharu cendana semakin digemari oleh banyak orang. Wangi – wangian telah merasuk ke sudut - sudut ruangan masyarakat di seluruh dunia. Kini tradisi tersebut telah mengambil wujud baru yakni “AROMA TERAPI”. Konon dengan harum semerbak dari aroma terapi dapat memberikan kedamaian hati, kententraman jiwa, focus dalam bekerja, memberi semangat hidup, memberikan vibrasi positif kepada lingkungan, dll. Demikian masyarakat internasional memberikan testimoni dan berkomentar tentang trend aroma terapi yang akar mulanya adalah tradisi bakar kemenyan gaharu cendana.
Atas hal tersebut di atas, salahkah para tetua sedari dulu membakar kemenyan gaharu cendana? 
Tanpa disadari, rupanya asap sejarah telah mencari bentuknya sendiri. Ampura. kanduksupatra.blogspot.com. ki buyut dalu. #OriginalArtikelByKanduk

No comments:

Post a Comment