Thursday, May 21, 2015

BIJI PADI menurut Lontar TANTU PANGGELARAN




Inilah Tantu Panggelaran, hendaknya diperhatikan oleh orang yang bijaksana. Ketika dunia masih kosong, manusia belum ada, dan gunung Mahameru pun belum ada. Adapun gunung Mandala atau Mandara yaitu gunung besar dan tinggi yang menjadi lingganya dunia berada. Itulah yang menyebabkan dunia ini menjadi goyang. Oleh Karena itu Bhatara Jagatkarana melaksanakan yoga bersama dengan Bhatara Prameswari. Tempat tersebut kemudian disebut dengan Dihyang.
Setelah lama beryoga, maka Bhatara         kemudian menyuruh Sang Hyang Brahma dan Wisnu menciptakan manusia. Sang Hyang Brahma kemudian menciptakan manusia dari kepalan-kepalan tanah. Maka terciptalah manusia laki-laki yang tampan bagaikan dewa. Sang Hyang Wisnu juga mencipta manusia dari kepalan tanah, sehingga terciptalah manusia perempuan. Tempat Sang Hyang Brahma dan Wisnu menciptakan manusia dari kepalan tanah, disebut dengan Gunung Winih.
Manusia Laki-laki dan perempuan ciptaan Sang Hyang Brahma dan Wisnu tersebut kemudian dipertemukan, sehingga kemudian beranak pinak, dan berkembanglah manusia itu. Ketika itu tanpa memiliki rumah, telanjang, dan tinggal di hutan, hidup dengan mematahkan cabang pohon, sebab tidak ada yang membentuk tingkah lakunya. Tidak ada yang ditiru atau dijadikan panutan. Tidak mengerti dengan kata-kata (tanpa bahasa) Ia memakan buah dan daun. Kemudian melihat keadaan demikian, maka para dewa berkumpul menghadap Bhatara Guru. Bhatara Guru atau Jagatnatha memerintahkan agar para Dewa mengajarkan dan mengatur kehidupan mereka.
Bhatara Jagatnata / Mahakarana menitahkan: Anakku Sang Hyang Brahma, turunlah ke dunia. Ajarkan manusia itu membuat peralatan-peralatan yang tajam-tajam. Ajarkan mereka menjadi pande besi. Ketika menjadi Pande Besi namamu adalah Epu Sujiwana. Kemudian tita kepada Sang Hyang Wiswakarma: turunlah ke dunia. Ajarkan manusia membuat rumah. Dan namamu adalah Undagi. Sang Hyang Iswara, turunlah ke dunia. Ajarkan manusia tentang tata tertib, tingkah laku dan tata susila, serta tata bahasa.  Engkau menjadi gurunya kepala desa, dan namamu adalah Guru Desa. Sedangkan engkau Sang Hyang Wisnu, agar turun ke dunia mengajarkan manusia, dan memberi teladan kepada manusia. Engkau menjadi gurunya manusia, dan engkau memegang negara. Dan engkau Sang Hyang Mahadewa, turunlah engkau ke dunia menjadi pande mas.  Bhagawan Cipta Gupta turun ke dunia mengajarkan manusia melukis. Maka namamu menjadi Empu Ciptangkara, karena melukis. Demikian perintah Bhatara Guru kepada seluruh para dewa.
Sanghyang \ Brahma kemudian turun ke dunia menjadi pande besi. Dimintalah panca mahabhuta untuk membantu. Tanah dijadikan landasan, air dipakai sebagai jepitan, cahaya dipakai sebagai api, angin sebagai puputan (peniup), akasa sebagai palu. Itulah sebabnya kemudian ada Gunung Brahma.
Sanghyang Wiswakarma turun ke dunia mengajarkan manusia membuat rumah. Sehingga manusia sekarang mempunyai rumah. Maka kemudian munculah yang namanya desa Medang Kemulan, dimana di sanalah manusia pada awalnya belajar membuat rumah. Sanghyang Iswara juga turun ke dunia mengajarkan tata bahasa. Beliau dijuluki Guru Desa. Batara Wisnu turun ke dunia bersama Bhatari Sri raja dari awang-awang. A artinya tidak ada, Wa artinya tinggi, Hyang artinya Bhatara. Maka Betara Wisnu bernama Rahyang Kandyawan. Betari Sri bernama Sang Kanyawan di negara Medang Gana. Itulah awalnya ada negara terdahulu. Karena para dewa mengajar manusia, maka manusia tahu memintal benang. Berpakaian, dll.
Tersebutlah Sang Hyang Kandyawan berputra lima orang.  Yang tertua bernama Mangukuhan, kemudian Sang Sandanggarbha, Sang Katungmalaras, Sang Karung Kalah, dan Sang Wretikandayun. Ketika itu pula datanglah burung kendaraan Bhatari Sri sebanyak empat ekor.  Yakni titiran, kuteh, sugem, dara wulung (merpati hitam). Burung-burung tersebut kemudian diburu oleh kelima anak tersebut. Hinggap di pohon warwang, dibidik oleh Sang Wretikandayun. Mengenai blimbi atau tembolok dari burung tersebut. Dari dalam tembolok titiran, tersebut kemudian keluar biji beras putih. Tembolok merpati hitam keluar injin (biji hitam), Sugem keluar biji merah, burung kuteh temboloknya keluar biji kuning yang baunya wangi semerbak.  Senang hatinya kelima anak tersebut, dan biji yang berwarna kuning dan berbau harum kemudian dimakan habis. 
Sang Mangukuhan menanam biji yang putih, hitam, dan merah. Inilah yang tumbuh menjadi padi sampai sekarang. Adapaun biji yang kuning yang telah habis dimakan, kemudian kulitnya yang tersisa ditanam, maka tumbuhlah menjadi kunyit. Itulah sebabnya tidak ada biji beras kuning sampai sekarang. 


PERTANDA ALAM dalam LONTAR ROGA SANGARA BUMI



Roga berasal dari bahasa Sansekerta berarti: penyakit, sakit, dan cacat badan. Sanghara /Samhara juga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti menarik kembali; meniadakan; rusak; lebur; kehancuran; pembinasaan (Mardiwarsito, 1981: 507). Kata bhumi dari bahasa Sansekerta masuk ke dalam bahasa Jawa Kuna, kemudian menjadi Bahasa Indonesia dengan perubahan ejaan menjadi bumi. Jadi ROGA SANGARA BUMI berarti menetralisir atau meniadakan bencana di dunia.

Secara garis besar naskah lontar ROGA SANGARA BHUMI (RSB) berisi tentang :
1)      Sebab-sebab malapetaka/bencana terjadi di dunia,
2)      Jenis-jenis malapetaka/bencana yang dapat terjadi di dunia
3)      Beberapa ciri akan datangnya malapetaka/bencana

Menurut lontar Widhi Sastra yang terdapat dalam RSB, masyarakat Bali setiap lima tahun sekali harus melaksanakan upacara tawur agung yang disebut dengan Pancawalikrama. Upacara ini dilaksanakan di Pura Besakih. Dikatakan ini merupakan sabda dan titah dari Bhatara Putrajaya yang berstana di Gunung Agung.
Sebagai konsekuensi apabila upacara itu tidak dilakukan, maka Bhatara Putrajaya akan kembali ke Gunung Mahameru. Dari situ beliau akan menyebarkan segala penyakit mematikan dan dunia dibuat hancur. Saudara bertengkar dengan saudara, terjadi kerusuhan di sana-sini. Adapun tujuan dari upacara tawur agung Pancawalikrama adalah untuk menghaturkan persembahan berupa jenis-jenis hasil bumi, beberapa satwa, yang dipersembahkan kepada para dewa dan para bhutakala.
Kepercayaan masyarakat Bali bahwa dalam kurun waktu lima tahun sudah dapat dipastikan daerah Bali dan juga daerah lainnya telah terjadi kekotoran. Setidak-tidaknya kekotoran pikiran manusia (manacika), perkataan (wakcika), dan perbuatan (kayika), yang menyebabkan bumi kotor (cemer ikang bhuwana). Melalui upacara tawur agung Pancawalikrama diharapkan para dewa tidak lagi marah dan dapat memaafkan kelakuan manusia. Bumi menjadi bersih (kaparisudha). Demikian pula para bhutakala dapat dinetralisir sehingga tercipta kedamaian di bumi (sutrepti ikang rat).
Apabila terjadi bencana alam secara insidental, dan masyarakat Bali menginginkan kerahayuan jagat, maka dalam RSB disebutkan ada beberapa jenis upacara keselamatan yang dapat dilakukan: (1) upacara prayascita, yaitu upacara penyucian bumi pada tatanan yang kecil seperti bangunan pribadi, kebun, dan sebagainya. (2) Guru Piduka, yaitu upacara permohonan maaf kepada para dewa karena ulah manusia bumi menjadi kotor (cemer), (3) Labuh Gentuh, yaitu upacara penyucian bumi yang tingkatnya lebih tinggi dari prayascita.
Di sini terlihat apabila terjadi bencana alam, masyarakat Bali tidak akan ribut sana-ribut sini menyalahkan orang, pemerintah dan lain-lain. Bencana yang terjadi justru menyadarkan masyarakat Bali bahwa kita telah banyak mengotori bumi, Para dewa dan bhutakala marah pada manusia. Untuk itu masyarakat Bali lebih banyak menyikapi dengan kearifan lokal yang termanifestasikan di dalam RSB.
Upacara-upacara penyucian bumi segera dilakukan sesuai dengan tingkatan-tingkatannya.  Mulai dari upacara penyucian bumi tingkat rumah tangga, tingkat desa, tingkat kabupaten/kota, dan tingkat propinsi. Upacara ini ditujukan kepada para dewa, bhutakala,  agar sudi memaafkan ulah manusia, mengmbalikan bumi ini menjadi bersih dan suci kembali. Tujuan yang paling penting sudah tentu agar tidak lagi terjadi bencana alam atau dijauhkan dari segala malapetaka.
RSB juga menjelaskan ciri-ciri atau tanda-tanda alam yang bermuara akan terjadi sesuatu yang tidak baik. Di samping itu ada pula ciri-ciri atau tanda-tanda alam yang mengarah ke kebaikan.

Adapun berikut ini beberapa tanda-tanda alam yang berarti keburukan akan terjadi:
1)      Ada pelangi yang masuk ke keraton dan minum air pada saat hujan. Ini pertanda raja atau pemimpin akan berumur pendek. Untuk mengantisipasi hal seperti itu harus dibuatkan caru (kurban) keselamatan.

2)      Ada binatang kijang, menjangan, berlari-lari masuk ke desa, masuk ke rumah-rumah berkeliling. Ini pertanda buruk bahwa desa itu katadah kala (dimakan bhutakala). Para satwa itu diperintahkan oleh para dewa karena desa itu kotor, tidak ada rohnya bagaikan hutan belantara. Untuk mengantisipasi hal itu, penduduk harus segera membuat upacara selamatan.

3)      Kahyangan (tempat pemujaan) ditimpa pohon, terbakar, diterjang angin puyuh, apalagi saat melaksanakan upacara yadnya. Ini pertanda buruk dan akan terjadi bencana yang lebih dahsyat. Masyarakat harus segera membuat upacara prayascita (penyucian).

4)      Ada bintang berekor (bintang kukus) di langit. Ini isyarat raja atau pemimpin akan kena musibah besar seperti ajal dalam sebuah pertempuran.

5)      Bila ada hujan darah, anjing melolong-lolong di jalan raya, burung gagak bersuara di malam hari, burung hantu bertarung dengan burung hantu, ada percikan darah di balai-balai atau di lantai. Ini pertanda masyarakat akan tertimpa wabah penyakit mematikan. Untuk menetralisir akibat dari tanda-tanda itu, masyarakat harus segera melakukan upacara selamatan.

6)      Segala hewan piaraan manusia seperti sapi, kerbau, kambing, dan sebagainya terjadi salah pasangan . Artinya terjadi perkawinan bukan sesama hewan sejenis, umpama: sapi kawin dengan kerbau, ayam dengan itik, anjing dengan babi, dan sebagainya.

7)      Hal salah pasangan juga dapat terjadi pada diri manusia seperti: paman kawin dengan kemenakan, ayah dengan anak, saudara kawin dengan saudara. Ini pertanda bhutakala telah merasuk  ke tubuh manusia. Ini harus segera dinetralisir dengan upacara penyucian jagat agar bhutakala kembali ke alamnya.

8)      Ada orang melahirkan dengan wujud yang tidak normal atau aneh, pohon kelapa di halaman  disambar petir, pintu gerbang  juga disambar petir. Semua tanda-tanda ini menandakan dunia telah kotor dan rusak. Untuk menetralisir segera dibuatkan upacara selamatan.

Di samping tanda-tanda yang menunjukkan alam akan terjadi mala petaka atau alamat buruk, dalam RSB juga berisi beberapa tanda-tanda yang menunjukkan alamat dunia akan baik, yaitu:

1)      Apabila ada hujan airnya tanpak kekuning-kuningan, ini disebut dengan madewa sudha (pembersihan oleh dewa). Hujan ini pertanda baik terutama terhadap orang yang kejatuhan hujan tersebut.

2)      Bila ada hujan airnya keputih-putihan maka ini juga perntada baik. Desa yang kejatuhan hujan seperti itu akan selamat, seperti segala penyakit akan menjauh.

Gempa adalah salah satu peristiwa alam yang amat mengerikan dan membuat manusia traumatis. Gempa dapat terjadi di mana  saja, kapan saja, dan terkadang getarannya kecil tidak membahayakan. Apabila getarannya besar, maka gempa dapat membuat  bumi luluh lantak (pralaya).
RSB juga berisi tentang bencana alam gempa beserta baik buruknya berdasarkan sasih (bulan) terjadinya gempa tersebut. Berikut uraiannya:

1)      Bila sasih kepitu (Januari) datangnya gempa secara terus-menerus, menandakan akan terjadi perang tidak henti-hentinya. Berbagai penyakit akan menimpa masyarakat.

2)      Bila sasih kaulu (Februari), dan sasih katiga (September) datangnya gempa secara terus-menerus, ramalannya akan  terjadi wabah penyakit sampai banyak orang meninggal.

3)      Bila sasih kesanga (Maret) datangnya gempa secara terus-menerus, ramalannya negara tidak akan menentu. Para pembantu meninggalkan tuannya.

4)      Bila sasih kadasa (April), ramalannya negara akan menjadi baik. Ini berarti sebagai pengundang Bhatara berbelas kasih kepada manusia.

5)      Bila sasih jyesta (Mei) dan sasih sada (Juni), ramalannya akan terjadi banyak orang sakit tidak tertolongkan.

6)      Bila sasih kapat (Oktober), sasih kalima (November) ramalannya sebagai pengundang dewata. Para dewa senang tinggal di bumi. Bumi akan mendapat kerahayuan. Segala yang ditanam akan hidup subur dan berhasil (saphala sarwa tinandur). Raja atau pemimpin bijak dan berbudu rahayu.

7)      Bila sasih kanem (Desember), ramalannya banyak orang akan jatuh sakit tidak tertolongkan. Untuk menetralisir patut segera dibuatkan upacara persembahan caru selamatan.

Kecuali pengaruh dan ramalan gempa yang terjadi akan mengarah ke kebaikan, maka gempa yang terjadi dan berakibat buruk pada kehidupan harus segera dibuatkan upacara caru selamatan. Gempa yang terjadi pada bulan-bulan yang berbeda dan berpengaruh buruk terhadap kehidupan manusia akibat marahnya para dewa. Untuk jenis upacara persembahan selamatan dan ditujukan kepada dewa siapa,  tergantung dari sasih (bulan) berapa terjadinya gempa tersebut.

BETARA DALEM DENGAN BERBAGAI SEBUTAN



 MENURUT LONTAR TUTUR GONG BESI

Dalam sastra agama Hindu di Bali sangat banyak diungkapkan mengenai ajaran Siwa. Dalam bahasa yang sederhana dikatakan, Pura Dalem adalah linggih dari Ida Betara Dalem sebagai dewa paling utama. Salah satu sastra agama yang menyebutkan hal demikian adalah  Lontar Tutur Gong Besi.
Gong Besi termasuk kelompok naskah yang memuat ajaran yang Siwaistik. Di dalam naskah ini, disebutkan bahwa Bhatara Dalem patut dipuja dengan sepenuh hati, penuh rasa tulus iklas. Dalam setiap pemujaan, Ida Bhatara Dalem dapat dihadirkan (utpeti puja), distanakan (stiti puja), dan dikembalikan (pralina puja). Persembahan bhakti yang utama kehadapan Ida Bhatara Dalem menyebabkan orang mendapatkan kemuliaan lahir dan batin, dan pada akhirnya akan mencapai sunya loka atau siwa loka.
Dalam hubungannya dengan sembah bhakti kehadapan beliau, sebaiknya diketahui nama atau julukan beliau. Karena kemahakuasaan beliau sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur, beliau disebut dengan banyak nama, sesuai dengan fungsi dan tempat beliau berstana.
Ketika beliau [Ida Bhatara Dalem] berstana di Pura Puseh, maka Sanghyang Triyodasa Sakti nama beliau. Ketika berstana di Pura Desa maka Sanghyang Tri Upasedhana sebutan beliau. Di Pura Bale agung, beliau dipuja sebagai sebutan Sanghyang Bhagawati. Di perempatan jalan raya beliau dipuja sebagai Sanghyang Catur Bhuwana. Ketika beliau berstana di pertigaan jalan raya, disebut dengan Sanghyang Sapuh Jagat.
Ida Bhatara Dalem ketika berstana di kuburan atau setra agung beliau dipuja dengan nama Bethara Durgha. Ketika kemudian beliau berstana di tunon atau pemuwunan (tempat pembakaran mayat), maka beliau dipuja sebagai Sanghyang Bherawi. Ketika beliau dipuja di Pura Pengulun Setra, maka beliau dinamakan Sanghyang Mrajapati.
Di laut, Ida Bhatara Dalem dipuja dengan sebutan Sanghyang Mutering Bhuwana. Pergi dari laut kemudian menuju langit, beliau dipuja dengan sebutan Sanghyang Taskarapati. Taskara adalah surya atau matahari, sedangkan pati adalah wulan atau bulan. Kemudian ketika beliau berstana di Gunung Agung dinamakan beliau Sanghyang Giri Putri. Giri adalah gunung, putri adalah putra atau anak, yakni putra dari Bhatara Guru yang berstana di Sanggar Penataran, Panti, Parahyangan semuanya, dan berkuasa pada seluruh parahyangan. Pergi dari Gunung Agung kemudian berstana beliau di Gunung Lebah, maka sebutan beliau adalah Dewi Danu. Ketika beliau berstana di Pancaka Tirtha atau pancuran air, maka beliau bernama Sanghyang Gayatri. Dari pancuran, kemudian menuju ke jurang atau aliran sungai, maka beliau kemudian dipuja dengan sebutan Betari Gangga.
Bhatara Dalem ketika berstana di sawah sebagai pengayom para petani dan semua yang ada di sawah, maka beliau dipuja dengan sebutan sebagai Dewi Uma. Di jineng atau lumbung padi beliau dipuja dengan sebutan Betari Sri. Kemudian di dalam bejana atau tempat beras (pulu), Ida Bhatara Dalem dipuja dengan nama Sanghyang Tri Suci. Kemudian beliau dipuja pula di dapur dengan nama Sanghyang Pawitra Saraswati. Di dalam periuk tempat nasi atau makanan, maka beliau disebut dengan Sanghyang Tri Merta.
Kemudian di Sanggar Kemimitan, Ida Bhatara Dalem dipuja sebagai Sanghyang Aku Catur Bhoga. Aku berwujud laki, perempuan, dan banci. Menjadilah Aku manusia seorang, bernama Aku Sanghyang Tuduh atau Sanghyang Tunggal, di Sanggar perhyangan stana beliau. Disebut pula beliau dengan Sanghyang Atma. Pada Kemulan Kanan adalah ayah  yakni Sang Pratma (Paratma). Pada Kemulan Kiri adalah Ibu, Sang Siwatma. Pada Kemulan tengah adalah dirinya atau raganya yakni roh suci yang menjadi ibu dan ayah, nantinya kembali pulang ke Dalem menjadi Sanghyang Tunggal.
Ida Bhatara Dalem adalah Sanghyang Paramawisesa, karena semua rasa baik rasa sakit, rasa sehat, rasa lapar, dan sebagainya adalah beliau sumbernya. Beliau adalah asal dari kehidupan, beliau memelihara alam semesta ini, dan beliau adalah sebagai penguasa kematian. Dalam air, cahaya, udara dan akasa, tidak ada yang dapat melebihi beliau. Sehingga beliau disebut dengan Sanghyang Pamutering Jagat.
Itulah sebutan Ida Bhatara Dalem dalam Tutur Gong Besi. Ida Bhatara Dalem adalah Bhatara Guru atau Dewa Siwa itu sendiri. Bhatara Dalem adalah sebagai sebutan Ida Sanghyang Widhi dengan segala manifestasi beliau. Dengan segala kemahakuasaan yang mencakup masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Sebagai pemuja atau penyembah yang taat akan menyebut beliau dengan banyak nama sesuai dengan fungsi dan juga di mana beliau dipuja. Demikian disebutkan dalam Tutur Gong Besi.
Ada ribuan lebih sebutan untuk Ida Bhatara Dalem atau Dewa Siwa. Seperti yang termuat pula dalam kitab  Siwa Sahasra Nama, yakni seribu nama Siwa.

Monday, May 11, 2015

PEMUGARAN Atau PENYERAGAMAN PURA ?






Dari Karangasem sampai Jembrana, dari Buleleng sampai Badung, dari Lombok sampai di Jawa, pola pemugaran pura sama persis. Bentuk dan bahannya sama. Kekhasan dari masing-masing daerah dan kekhasan pura terlupakan.
Pura adalah benteng agama, benteng spiritual, tempat sembhayang. Pura  memiliki fungsi sosial sebagai tempat pendidikan khususnya agama Hindu, dan tempat melakukan interaksi sosial lainnya.
Oleh nenek moyang, pura selalu dibangun di tempat yang memiliki persyaratan tertentu sebagai tempat suci. Tidak sembarang tempat. Memperhitungkan aspek tempat, waktu atau dewasa, dan aspek bentuk. Pura dibangun ditempat yang indah, dengan suasana yang mendukung untuk melakasanakan hubungan dengan Hyang Kuasa. Ukuran, bentuk dan kedudukan masing-masing pelinggih dibuat disertai pengurip tertentu. Sehingga betul-betul banguna pura tersebut menjadi hidup atau berkharisma sesuai yang termuat dalam lontar asta bumi. Dari segi waktu pura dibangun memperhitungkan dewasa yang baik. Sedangkan aspek bentuk sudah tentu sesuai dengan status dan fungsi pura, serta filsafat atau mitologi yang menyertainya. Pelinggih dibuat dengan ukuran atau sikut-sikut dan pengurip tertentu yang menyebabkan pelinggih tersebut nantinya menjadi lebih bercahaya sebagai stana dari Hyang Parama Kawi. Demikian pula dengan banyaknya pelinggih yang ada dalam sebuah pura.
Pura dibangun telah memperhitugkan aspek sekala dan niskala. Ketika bangunan sebua pura sudah selesai, kemudian dilakukan penyucian dengan berbagai ritual upacara dalam berbagai tingkatan. Sehingga bangunan tersebut dikatakan sebagai tempat suci. Suatu tempat yang selalu dijaga kesuciannya dengan menjauhkannya dari pikiran, perkataan dan perbuatan kotor. Dijauhkan dari keletehan atau pantangan. Sehingga pura tidak saja sebagai tempat ibadah, tetapi ia juga merupakan tempat suci. Karena sebuah tempat ibadah, belum tentu ia adalah sebagai tenpat yang suci.
Konsep pembangunan pura telah berkembang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan Ista Dewata dari pura tersebut. Konsep sebelum Mpu Kuturan, pada masa Mpu Kuturan, dan setelah Mpu Kuturan. Namun yang terasa sampai sekarang adalah konsep yang dituangkan oleh Mpu Kuturan. Dengan Konsep Kayangan Tiga, Kayangan Jagat, Pemrajan, Tri Mandala, dan lain-lainn.
Konsep tersebut semakin berkembang di tengah masyarakat Bali. Dan dalam perkembangan tersebut telah melahirkan berbagai kekhasan dari masing-masing daerah. Seperti misalnya di daerah Badung dan Denpasar yang sumber daya alamnya adalah tanah, maka bahan dasar dari pembuatan bangunan pura, dari bahan batu bata. Kemudian untuk daerah Gianyar adalah kombinasi dari batu padas dengan bata merah. Daerah Karangasem yang melimpah dengan bahan dasar batu lahar hitam, maka bahan bangunan pura disesuaikan dengan bahan yang ada.
Kemudian yang lebih spesifik lagi misalnya di daerah Sanur dan Serangan yang di pinggir pantai, maka bahan dasar pembangunan pura adalah karang laut yang berwarna putih dan artistik. Untuk daerah Bukit Ungasan dan Jimbaran bahannya lebih banyak terbuat dari batu kapur yang ada di sana.
Kesemuanya itu telah menyesuaikan dan menyatu dengan alam dan memiliki kekhasan tertentu. Semua itu terasa iklas dan tulus, tidak dipaksakan. Kekhasan itulah yang menjadi taksu Bali kalau dilihat kasat mata.
Pura dibangun sebagai rasa bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Wihi Wasa. Pura juga sebagai tempat melakukan sujud bhakti kehadapan Sang Hyang Sangkan Paraning Dumadi. Sehiongga dengan demikian, fungsi pura adalah sebagai benteng spiritual, berperan sangat sentral dalam kehidupa agama Hindu. Dalam mewujudkan rasa bhaktinya kehadapan Hyang Widhi Wasa, umat Hindu kini sedang kecanduan memperbaiki perahyangan Ida Betara. Pura yang tadinya rusak, kini berdiri megah. Kita pun bersyukur dengan bangkitnya semangat tersebut.
Namun dalam gerakan renovasi pura di Bali, tampaknya ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Dimana sepanjang pengamatan dalam pembangunan pura, rupanya sudah ada beberapa konsep leluhur yang sudah kita tinggalkan. Konsep tersebut adalah: ngayah. Semuanya dilakukan dengan tulus, baik itu dana maupun tenaga. Yang kedua adalah sumber daya alam. Pembangunan pura yang dilakukan sekarang adalah samarata semua bahannya. Kecenderungan sekarang adalah  menggunakan batu lahar hitam. Pura yang tadinya menggunakan batu karang laut putih, karang bukit, atau batu bata, diganti dengan batu hitam. Semuanya serba hitam. Pura-pura yang ada di Bukit, di Sanur, atau di Denpasar hampir semuanya hitam. Meniru bahan yang ada di Besakih atau Karangasem. Demikian pula dengan pura-pura yang ada di Gianyar yang menggunakan bata dan padas, kini sebagian beralih menggunakan batu hitam.
Kalau kita lihat dari Karangasem sampai di Jembrana, maka semuanya hampir sama. Kekhasan pura sudah hampir pudar. Secara tidak sadar bahwa gerakan membangun pura menjadikan penyeragaman pura. Dari konsep ruang yang ada, pura kini sudah banyak yang, diperluas sesuai dengan kebutuhan. Yang diperhitungkan adalah daya tampung ketika melakukan pujawali. Ada pura yang diperlebar sampai sekian kali lipat dari yang aslinya. Itu pun wajar sesuai dengan kebutuhan. Namun yang jadi pertanyaan, sudahkah pelebaran tersebut memiliki makna. Bahwa setiap pelebaran tersebut harus diikuti pergeseran. Semua letak pelinggih dan luas areal pura tersebut telah menurut perhitungan sikut atau ukuran dengan pengurip. Apabila urip-urip tersebut telah sesuai maka pura yang dibangun akan memancarkan aura suci. Nah bagaimana dengan sikut pelebaran masa kini. Sudahkah sesuai dengan sikut yang tertuang dalam asta bumi.
Pembangunan pura yang ada saat ini hanyalah mengejar kemegahan dari pura. Yang menjadi pertanyaan, sudahkah sebuah pura direhab sesuai dengan fungsi, status, dan kepantasan dari sebuah pura. Karena seringkali kita melihat pura sebuah keluarga jauh lebih megah, lebih mewah dari pura kayangan tiga. Belum lagi situasi kejiwaan yang mendasari pembangunan pura tersebut yang penuh dengan persaingan atau emosi, egoisme. Seolah-olah pura yang dibangun harus lebih besar, lebih megah dari pura yang lain. Bahkan ada sebuah pura yang dibangun megah, kemudian beberapa tahun dibongkar lagi. Padahal semua masih dalam keadaan kokoh, diganti dengan yang baru.
Dengan kekuatan dana yang ada, telah melumpuhkan kekohohan dari bangunan stana Ida Betara. Sepertinya emosi atau sikap berlebihan dalam mewujudkan rasa bhakti kehadapan Ida Betara. Kalau semua itu didasari bhakti yang tulus, baguslah. Tetapi kalau itu hanya bhakti yang didasari emosi, apalagi persaingan, ditambah materi yang dipakai berasal dari hal tidak karuan. Sudah tentu ini akan justru menodai dari bhakti itu sendiri.
Pemugaran perahyangan wajib dilakukan, namun semestinya tetap berpedoman pada konsep yang ada. Tanpa memudarkan nilai, memudarkn kesucian, tanpa mengurangi kekhasan dari pura. Taksu tetap terpancar dari pura yang kita pugar. Karena banyak pura yang telah dipugar, namun kehilangan kekhasannya. Hampir sebagian besar pura di Bali sampai ke Jawa memiliki bentuk yang sama dengan bahan dasar yang sama. Alangkah indah dan berkesannya kalau tangkil ke pura yang masih alami, dengan kekhasannya masing-masing.