Monday, May 11, 2015

PEMUGARAN Atau PENYERAGAMAN PURA ?






Dari Karangasem sampai Jembrana, dari Buleleng sampai Badung, dari Lombok sampai di Jawa, pola pemugaran pura sama persis. Bentuk dan bahannya sama. Kekhasan dari masing-masing daerah dan kekhasan pura terlupakan.
Pura adalah benteng agama, benteng spiritual, tempat sembhayang. Pura  memiliki fungsi sosial sebagai tempat pendidikan khususnya agama Hindu, dan tempat melakukan interaksi sosial lainnya.
Oleh nenek moyang, pura selalu dibangun di tempat yang memiliki persyaratan tertentu sebagai tempat suci. Tidak sembarang tempat. Memperhitungkan aspek tempat, waktu atau dewasa, dan aspek bentuk. Pura dibangun ditempat yang indah, dengan suasana yang mendukung untuk melakasanakan hubungan dengan Hyang Kuasa. Ukuran, bentuk dan kedudukan masing-masing pelinggih dibuat disertai pengurip tertentu. Sehingga betul-betul banguna pura tersebut menjadi hidup atau berkharisma sesuai yang termuat dalam lontar asta bumi. Dari segi waktu pura dibangun memperhitungkan dewasa yang baik. Sedangkan aspek bentuk sudah tentu sesuai dengan status dan fungsi pura, serta filsafat atau mitologi yang menyertainya. Pelinggih dibuat dengan ukuran atau sikut-sikut dan pengurip tertentu yang menyebabkan pelinggih tersebut nantinya menjadi lebih bercahaya sebagai stana dari Hyang Parama Kawi. Demikian pula dengan banyaknya pelinggih yang ada dalam sebuah pura.
Pura dibangun telah memperhitugkan aspek sekala dan niskala. Ketika bangunan sebua pura sudah selesai, kemudian dilakukan penyucian dengan berbagai ritual upacara dalam berbagai tingkatan. Sehingga bangunan tersebut dikatakan sebagai tempat suci. Suatu tempat yang selalu dijaga kesuciannya dengan menjauhkannya dari pikiran, perkataan dan perbuatan kotor. Dijauhkan dari keletehan atau pantangan. Sehingga pura tidak saja sebagai tempat ibadah, tetapi ia juga merupakan tempat suci. Karena sebuah tempat ibadah, belum tentu ia adalah sebagai tenpat yang suci.
Konsep pembangunan pura telah berkembang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan Ista Dewata dari pura tersebut. Konsep sebelum Mpu Kuturan, pada masa Mpu Kuturan, dan setelah Mpu Kuturan. Namun yang terasa sampai sekarang adalah konsep yang dituangkan oleh Mpu Kuturan. Dengan Konsep Kayangan Tiga, Kayangan Jagat, Pemrajan, Tri Mandala, dan lain-lainn.
Konsep tersebut semakin berkembang di tengah masyarakat Bali. Dan dalam perkembangan tersebut telah melahirkan berbagai kekhasan dari masing-masing daerah. Seperti misalnya di daerah Badung dan Denpasar yang sumber daya alamnya adalah tanah, maka bahan dasar dari pembuatan bangunan pura, dari bahan batu bata. Kemudian untuk daerah Gianyar adalah kombinasi dari batu padas dengan bata merah. Daerah Karangasem yang melimpah dengan bahan dasar batu lahar hitam, maka bahan bangunan pura disesuaikan dengan bahan yang ada.
Kemudian yang lebih spesifik lagi misalnya di daerah Sanur dan Serangan yang di pinggir pantai, maka bahan dasar pembangunan pura adalah karang laut yang berwarna putih dan artistik. Untuk daerah Bukit Ungasan dan Jimbaran bahannya lebih banyak terbuat dari batu kapur yang ada di sana.
Kesemuanya itu telah menyesuaikan dan menyatu dengan alam dan memiliki kekhasan tertentu. Semua itu terasa iklas dan tulus, tidak dipaksakan. Kekhasan itulah yang menjadi taksu Bali kalau dilihat kasat mata.
Pura dibangun sebagai rasa bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Wihi Wasa. Pura juga sebagai tempat melakukan sujud bhakti kehadapan Sang Hyang Sangkan Paraning Dumadi. Sehiongga dengan demikian, fungsi pura adalah sebagai benteng spiritual, berperan sangat sentral dalam kehidupa agama Hindu. Dalam mewujudkan rasa bhaktinya kehadapan Hyang Widhi Wasa, umat Hindu kini sedang kecanduan memperbaiki perahyangan Ida Betara. Pura yang tadinya rusak, kini berdiri megah. Kita pun bersyukur dengan bangkitnya semangat tersebut.
Namun dalam gerakan renovasi pura di Bali, tampaknya ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Dimana sepanjang pengamatan dalam pembangunan pura, rupanya sudah ada beberapa konsep leluhur yang sudah kita tinggalkan. Konsep tersebut adalah: ngayah. Semuanya dilakukan dengan tulus, baik itu dana maupun tenaga. Yang kedua adalah sumber daya alam. Pembangunan pura yang dilakukan sekarang adalah samarata semua bahannya. Kecenderungan sekarang adalah  menggunakan batu lahar hitam. Pura yang tadinya menggunakan batu karang laut putih, karang bukit, atau batu bata, diganti dengan batu hitam. Semuanya serba hitam. Pura-pura yang ada di Bukit, di Sanur, atau di Denpasar hampir semuanya hitam. Meniru bahan yang ada di Besakih atau Karangasem. Demikian pula dengan pura-pura yang ada di Gianyar yang menggunakan bata dan padas, kini sebagian beralih menggunakan batu hitam.
Kalau kita lihat dari Karangasem sampai di Jembrana, maka semuanya hampir sama. Kekhasan pura sudah hampir pudar. Secara tidak sadar bahwa gerakan membangun pura menjadikan penyeragaman pura. Dari konsep ruang yang ada, pura kini sudah banyak yang, diperluas sesuai dengan kebutuhan. Yang diperhitungkan adalah daya tampung ketika melakukan pujawali. Ada pura yang diperlebar sampai sekian kali lipat dari yang aslinya. Itu pun wajar sesuai dengan kebutuhan. Namun yang jadi pertanyaan, sudahkah pelebaran tersebut memiliki makna. Bahwa setiap pelebaran tersebut harus diikuti pergeseran. Semua letak pelinggih dan luas areal pura tersebut telah menurut perhitungan sikut atau ukuran dengan pengurip. Apabila urip-urip tersebut telah sesuai maka pura yang dibangun akan memancarkan aura suci. Nah bagaimana dengan sikut pelebaran masa kini. Sudahkah sesuai dengan sikut yang tertuang dalam asta bumi.
Pembangunan pura yang ada saat ini hanyalah mengejar kemegahan dari pura. Yang menjadi pertanyaan, sudahkah sebuah pura direhab sesuai dengan fungsi, status, dan kepantasan dari sebuah pura. Karena seringkali kita melihat pura sebuah keluarga jauh lebih megah, lebih mewah dari pura kayangan tiga. Belum lagi situasi kejiwaan yang mendasari pembangunan pura tersebut yang penuh dengan persaingan atau emosi, egoisme. Seolah-olah pura yang dibangun harus lebih besar, lebih megah dari pura yang lain. Bahkan ada sebuah pura yang dibangun megah, kemudian beberapa tahun dibongkar lagi. Padahal semua masih dalam keadaan kokoh, diganti dengan yang baru.
Dengan kekuatan dana yang ada, telah melumpuhkan kekohohan dari bangunan stana Ida Betara. Sepertinya emosi atau sikap berlebihan dalam mewujudkan rasa bhakti kehadapan Ida Betara. Kalau semua itu didasari bhakti yang tulus, baguslah. Tetapi kalau itu hanya bhakti yang didasari emosi, apalagi persaingan, ditambah materi yang dipakai berasal dari hal tidak karuan. Sudah tentu ini akan justru menodai dari bhakti itu sendiri.
Pemugaran perahyangan wajib dilakukan, namun semestinya tetap berpedoman pada konsep yang ada. Tanpa memudarkan nilai, memudarkn kesucian, tanpa mengurangi kekhasan dari pura. Taksu tetap terpancar dari pura yang kita pugar. Karena banyak pura yang telah dipugar, namun kehilangan kekhasannya. Hampir sebagian besar pura di Bali sampai ke Jawa memiliki bentuk yang sama dengan bahan dasar yang sama. Alangkah indah dan berkesannya kalau tangkil ke pura yang masih alami, dengan kekhasannya masing-masing.
   

No comments:

Post a Comment