Wednesday, November 22, 2017

Gandrung di Pura Majapahit (3), PENARI dan PENGIBING KERAUHAN




 Lanjut ke bagian 3……. Pementasan tari Gandrung di Pura Majapahit dilaksanakan pada hari ketiga setelah odalan. Pada hari itu pemangku menghaturkan pengilen penganyaran, pedatengan, pemendakan, dan pekeling akan mesolah. Di lain pihak penari Gandrung sibuk berhias. Tiga penari perempuan dan satu penari laki-laki siap untuk ngayah.

Sekitar pukul 21.00 Wita, pemangku mempersilakan penari menuju ke natar pura untuk ngaturang sembah bakti, matur pekeling akan ngayah mesolah Gandrung. Gambelan Gandrung di jaba pura sudah mulai dengan tabuh “petegak” sebagai pembuka. Diawali dengan  mapang barong nyolahang Barong Pelawatan Pura Majapahit. Setelah mesolah, barong dilinggihkan di jaba sebagai simbolisasi Beliau Sesuhunan Pura Majapahit “nodia” (menyaksikan) pementasan Gandrung.
Setelah barong, dipentaskan Legong Kraton. Belum selesai tari Legong Kraton menari, Sanghyang Taksu telah tedun yang membuat penari Legong Kraton “kerauhan”. Tari pun diakhiri, penari dipapah ke jeroan pura, nunas “wangsuhpada”, lalu “ngeluwur” - sadar kembali.
Barulah kemudian Tari Gandrung. Tampil pertama penarinya seorang perempuan. Tari Gandrung dengan pakem pelegongan sangat indah diiringi tabuh “gegrantangan” yang mempesona, membuat malam menjadi makin marak. Lemah gemulai tari gandrung, membuat penonton kegandrungan ingin menari bersama (ngibing). Bahkan karena saking gandrungnya para pengibing, seolah – olah ingin memeluk dan mencium penari gandrung. Tak disadari, pengibing itu sudah “kerauhan taksu gandrung” dan akhirnya dipapah ke jeroan pura, diperciki tirtha wangsuhpada, lalu ngeluwur (sadar). Semua pengibing berikutnya kerauhan, sampai akhirnya si penari Gandrung sendiri juga kerauhan.
Selanjutnya penari Gandrung kedua tampil. Penarinya adalah laki-laki yakni I Komang Wahyu. Ia menari lemah gemulai dihinggapi “taksu gandrung”. Ia menjadi bintang malam itu, banyak penonton kegandrungan ingin menari bersamanya “ngibing”, banyak yang kecantol, kasmaran dengan sosok penari ini. Banyak yang masuk arena untuk ngibing dan bercengkrama. Tak disadari lalu kerauhan. Demikian seterusnya, setiap pengibing akan kerauhan, sampai akhirnya si penari sendiri kerauhan.
Inilah keunikan dari Tari Gandrung di Pura Majalahit. Nuansa kesucian, unik, nuansa magis, dan nuansa sakralnya sangat terasa dan menyatu.
Setelah semua pementasan berakhir, pelawatan Ratu Gede (Barong Ket) di Pura Majapahit kembali ke jeroan pura. Bersamaan dengan itu para pemangku menyiratkan tirtha wangsuhpada Ida Betara sebagai simbol waranugraha Ida Betara Sesuhunan menganugrahkan kemakmuran, keselamatan, kerahayuan.
Selanjutnya dihaturkan penyamblehan lalu katuran mesineb. Rangkaian pementasan pun berakhir. Demikian laporan singkat pandangan mata. Ampura. Tabik. (Des. 2016, kanduksupatra)

#TariGandrung #PuraMajapahit #Kerauhan #Pengibing #TabuhGegrantangan #BudayaBali #GamaBali #HinduBali #GamaTirtha kanduksupatra.blogspot.com





Monday, November 20, 2017

Gandrung Pingit Di Pura Majapahit (bag 2) “PEMAIN SEPAK BOLA JADI PENARI GANDRUNG”





Lanjut…. Yang unik ketika merekrut penari Gandrung laki-laki. Biasanya anak laki-laki tidak mau. Sebagai penari Gandrung dinggapnya “bancih” - banci. Padahal tidak demikian. Namun para pemangku pura dan penglingsir yakin bahwa setiap jaman Ida Betara Sesuhunan di Pura Majapahit selalu akan menunjuk salah satu damuh beliau yang laki-laki untuk ngayah ngigel gandrung.
Betul saja. Taksu di Pura Majapahit telah menunjuk I Komang Wahyu Nanda Pradipta sebagai penari Gandrung laki - laki di Pura Majapahit. Kisahnya memang unik. Bocah ini awalnya sama sekali tak bisa menari. Bocah kelas lima SD ini hanya suka bermain sepak bola. Setiap hari ia bermain sepak bola.
Suatu malam ia bermimpi menari gandrung di jaba pura. Ia merasakan dirinya tiba-tiba bisa menari memakai kepet (kipas), diiringi gambelan dan ditonton banyak orang. Singkat cerita, mimpinya pun berakhir. kanduksupatra.blogspot.com
Ia menceritakan mimpinya itu kepada orang tuanya, lalu orang tuanya menyampaikan kepada penglingsir dan pemangku pura Majapahit. Atas mimpi itu, maka didaualatlah I Komang Wahyu untuk ngayah menjadi penari gandrung. Dimulai dengan ngaturang pejati, melukat, dsb., sebagai langkah awal mulai latihan menari gandrung.
Karena memang sudah titah betara, hanya dalam beberapa waktu Komang Wahyu bisa menari Gandrungg dengan baik. Jadilah ia penari Gandrung.
Ketika belum mepayas Gandrung, Komang wahyu tampak seorang laki - laki tulen. Anehnya, ketika telah mengenakan busana Gandrung, ia kelihatan ayu, cantik seperti layaknya seorang wanita. Lenggak lenggok tubuh dan gaya bicaranya pun berubah bagaikan seorang wanita. Lebih-lebih ketika menari di panggung, sama sekali tak tampak ia seorang laki - laki. Malah terbalik seratus delapan puluh derajat, ia kelihatan seorang perempuan tulen. Menari Gandrung dengan “lemuh” lemah gemulai.
Demikian I Komang Wahyu yang kini mengemban taksu Gandrung pingit di Pura Majapahit. Itulah kekuatan Taksu Bali…… Ampura. Tabik.
Bersambung ke bagian “PENGIBING SELALU KERAUHAN”  

#TariGandrungBali #PuraMajapahit #Taksu kanduksupatra.blogspot.com


Thursday, November 16, 2017

Gandrung “Pingit” Di Pura Majapahit





“Gandrung” tari ini merupakan produk peradaban Bali kuno. Keberadaannya kini kian langka. Hanya ada di beberapa banjar di Denpasar yakni di Br. Tembau Kelod (Penatih), Br. Ketapian Kelod (Sumerta), Br. Suwung Batan Kendal (Sesetan), Br Monang Maning (Pemecutan Kelod).
Kemunculan Gandrung dahulu tak lepas dari situasi masyarakat feodal jaman itu, dimana sentralnya adalah puri (kraton). Saat itu dikembangkan tari yang kemudian disebut Legong Kraton. Tari ini hanya dipentaskan di puri yang sifatnya formal sebagai tari kerajaan.
Masyarakat yang berada di luar puri  kala itu juga memiliki naluri seni tinggi. Lalu diciptakan secara spontan sebuah tarian yang masih memakai pakem pelegongan, namun bersifat sebagai ekspresi rasa suka cita pergaulan di kalangan muda - mudi. Tari ini diberi nama Tari Gandrung yang berarti tari suka cita. Karakter tari ini lebih bebas, dilengkapi dengan “pengibing” mirip tari Jogged Bumbung. Bedanya, Gandrung masih memakai pakem pelegongan, sedangkan Jogged Bumbung tidak.
Awalnya Gandrung diiringi gambelan Semara Pegulingan seperti Legong Kraton, namun karena karakternya lebih bebas, maka pengiringnya memakai Gegrantangan (gambelan jogged). Penari Gandrung adalah laki laki yang mengenakan pakaian pelegongan.

Gandrung di Pura Majapahit
Keberadaan Tari Gandrung di Pura Majapahit, Banjar Munang maning, Desa Pemecutan Kelod, Denpasar Barat, sudah ada sejak tahun 1930-an. Konon didirikan oleh Pekak Daweg, sedangkan penari pertamanya adalah laki laki yang dipanggil Pekak Cekog. Generasi berikutnya sebagai penarinya yakni I Made Manda, menari sampai pada masa jayanya tari Gandrung di Pura ini sekitra tahun 1960 –an.
Sedangkan tabuh pengiringnya diciptakan oleh I Ketut Godra, yang menciptakan tabuh secara otodidak, tanpa meniru gambelan gandrung dari tempat lain. Tabuh gandrungnya yang khas Pura Majapahit itu diwariskan sampai sekarang. Sedangkan seka Tari gandrung di pura ini bernama “Seka Gandrung Ambek Suci”.
Jaman berganti jaman, para penari pun memberikan mandat kepada generasi berikutnya. Munculah penari gandrung I Made Yudana th 1980-an masih belia, bersama adiknya Kadek Agus Triantara. Generasi berikutnya adalah I Wayan Gede Dedi Merta. Tak berhenti sampai di sana, kini “taksu” di Pura Majapahit menunjuk I Komang Wahyu Nanda Pradipta sebagai penari Gandrung. Kini selain laki - laki, penari Gandrung di Pura Majapahit juga ada perempuan yakni Ni Luh Ayu Mika Widyanti, Ni Putu Heradiva Pramerti,dll.
Keberadaan tari Gandrung di Pura Majapahit sangatlah “pingit” (sakral). Hanya dipentaskan saat odalan yakni pada purnama kenem. Itupun diawali dengan adanya “pemuwus” (semacam pewisik) yang diterima dari jero mangku pura.
Demikian sebagai cerita pertama… ikuti lanjutannya bertajuk “Pemain Sepak Bola Jadi Penari Gandrung”. Hehe.. kok kayak senetron jadinya…. Ampura, foto yang disajikan “bureng” – kabur.

#TariGandrungBali #PuraMajapahit #PakemPelegongan #KesenianBali #BudayaBali #TariSakral kanduksupatra.blogspot.com




Monday, November 13, 2017

SANG ANTAREJA Menjelajah Dasar Bumi




Pada awal pengerjaan proyek MRT di Jakarta, Presiden Joko Widodo meresmikan pengoperasian bor bawah tanah yang diberi nama ANTAREJA. Siapakah Antareja?

Diceritakan di taman Maduganda, Dewi Subadra kedatangan tamu yang tak diundang yakni Burisrawa putera Prabu Salya dari Mandaraka. Tiba - tiba saja ia sudah masuk ke taman, membuat Dewi Subadra kaget. Dewi Subadra terus dirayu oleh Burisrawa yang sejak dulu sudah mendambakannya. Buriswara makin lama makin kasar pada Dewi Subadra. Dewi Subadra tidak menanggapi. Burisrawa menjadi brutal, lalu mengeluarkan senjata untuk menakut - nakuti Dewi Subadra. Namun Dewi Subadra malah menubruk keris itu, hingga tewas.
Mengetahui Dewi Subadra tewas, Burisrawa  menjadi ketakutan. Ia segera bersembunyi di balik tanaman di kegelapan. Dewi Srikandi lalu datang dan mendapati Subadra telas tewas.  Ia menjadi marah lalu mencari pembunuhnya. Di kegelapan ada bayangan orang di dekat tanaman. Srikandi bertanya “apakah ini  Patih Sucitra?”. Dijawab oleh orang itu “ya betul saya Patih Sucitra”. Srikandi terus berkata “kok suaranya seperti Patih  Surata?” Mendengar suara itu, orang itu juga membetulkan, kalau ia Patih Surata. Dengan jawaban itu, maka yakinlah Srikandi bahwa orang asing ini yang membunuh Dewi Subadra. Ia mengejar bayangan orang itu dan berhasiil lolos. Srikandi segera memberitahukan kejadian ini  kepada Arjuna dan keluarga semua.
Prabu Kresna menyarankan, agar dapat mengetahui siapa pembunuhnya maka  Dewi Subadra harus dilarung ke sungai. Lalu Gatotkaca ditugaskan untuk mengawasi keberadaan Dewi Subadra. Demikian awalnya.
Kini diceritakan Sang Antareja. Ia adalah putera Sang Bima dengan Dewi Nagagini (puteri Sang Antaboga). Ketika beranjak dewasa, ia ingin mengabdi pada saudara dan ayahnya. Antareja memiliki kesaktian bisa berjalan di dalam bumi / dalam tanah. Antareja lalu berpamitan pada kakek dan ibunya untuk menemui ayahnya di Amarta (Indraprasta). Kakeknya membekali Antareja dengan tirta Prawitasari (amerta) serta Aji Kawastraman (ilmu merubah wujud).
Saat itu Antareja sedang melakukan perjalanan mencari ayahnya. Ia menempuh perjalanan lewat jalan bawah tanah. Setelah sekian lama dalam perjalanan bawah tanah, Sang Antareja sampai di Sungai Yamuna. Sesampai di permukaan air, ia melihat jasad seseorang sedang mengambang di sungai. Antareja bermaksud akan menghidupkan kembali orang tersebut. Ia segera mendekati jasad Dewi Subadra. Gatutkaca melihat ada seseorang yang menghampiri jasad Dewi Subadra, maka Gatutkaca segera menyerangnya dan terjadilah perkelahian.
Saat perkelahian sengit itu, Bagawan Narada datang memberitahu kalau keduanya masih bersaudara. Keduanya putera Werkudara.
Singkat cerita, tubuh Dewi Wara Subadra diperciki Tirtha Prawitasari, lalu hidup kembali. Keluarga senang melihat Dewi Subadra. Dewi Subadra lalu menceritakan apa sebenarnya telah terjadi hingga ia tewas.
Mendengar penuturan Dewi Subadra, Antareja merasa geram. Ia ingin membalas kejahatan Burisrawa. Dengan bekal pusaka kakeknya yakni Aji Kawastraman, Antareja berubah wujud menjadi Dewi Subadra. Iapun pergi ke kediaman Burisrawa di Kerajaan Balika. Dewi Subadra palsu ini berpura - pura  ingin membersihkan rambut gimbal Burisrawa  yang penuh kutu. Burisrawa senang sekali ketika Dewi Subadra yang didambakannya tiba – tiba datang di hadapaannya. Burisrawa akan memberi hadiah kalau Dewi Subadra dapat kutu sembilan maka Burisrawa dapat jotos dari Dewi Wara Subadra. Dewi Subadra palsu mendapat sembilan kutu, maka Dewi Subadra pun memukul Burisrawa, sehingga jatuh tergeletak. Buriswara terkejut karena pukulannya seperti laki laki.
Setelah melirik ke belakang, ternyata yang ada di belakangnya bukan Dewi Subadra tetapi seorang laki-laki yang mirip Gatutkaca. Maka terjadilah perkelahian antara Burisrawa dan Antareja. Burisrawa melarikan diri ketakutan.
Antareja kembali ke Indraprasta, lalu menceritakan semuanya pada ayahnya Werkudara dan para Pandawa. Antareja senang bisa bertemu dengan ayahnya dan keluarga Pandawa.

Kisah Antareja mencari ayahnya ini dalam pakeliran wayang purwa sering diberi lakon “Subadra Larung”. Begitu katanya. Tutur puyung I Lutung Puruh. Ampura.

#Antareja #Amarta #SubadraLarung #TirthaPrawitasari #AjiKawastraman #KelirWayangPurwa
kanduksupatra.blogspot.com