Thursday, February 23, 2017

SEGARA – WANA – GIRI Menggerakkan Cakra Semesta dari Tanah Luhur Blambangan




 Titah dari Sanghyang Tuduh (perintah Sang Maha Pencipta) atau Pituduh dari Sanghyang Titah (Ketetapan Sang Maha Kuasa). Beliau Maha Pencipta, Maha Pemelihara dan Maha Pelebur kembali segala ciptaan. kanduksupatra.blogspot.com

Sanghyang Titah telah menetapkan kebangkitan budi pekerti leluhur. Tak ada yang dapat menghalangi. Ketetapan Sanghyang Parama Kawi bahwa ajaran budi pekerti leluhur adalah langgeng (sanatana dharma). Hanya saja terkadang terbawa arus, tergulung ombak, terhempas di pantai, namun akan berdiri kembali saat badai mereda. Ia tak akan pernah melawan arus, ia tak akan pernah menerjang ombak, ia tak akan pernah menembus badai, ia pun tak akan pernah menabrak batu karang. Sanatana dharma akan selalu mencari celah - celah dalaam kesejukan. Kurang lebih demikian karakter budi pekerti leluhur dalam keabadiannya di nusantara ini yang selanjutnya penulis sebut dengan “Peradaban Kapur Sirih” (Peradaban Budi Pekerti Leluhur). kanduksupatra.blogspot.com
Salah satunya adalah Peradaban Kapur Sirih di Tanah Luhur Blambangan. Tanah Luhur Blambangan dalam sejarahnya memang otonum. Majapahit konon tak sepenuhnya dapat menguasai Blambangan. Ketika jaman Mataram Baru pun Blambangan tersentuh. Melanjut ke jaman kolonial, Belanda juga tak bisa menguasai Blambangan secara penuh. kanduksupatra.blogspot.com
Proteksi diri yang kuat kaum Blambangan melahirkan Suku Osing (suku yang tak menerima peradaban baru). Blambangan hanya bisa dikuasai oleh dirinya sendiri. Blambangan hanya bisa dibujuk oleh keyakinannya sendiri. Blambangan tak pernah melepaskan pekerti leluhur. Blambangan senantiasa memelihara situs - situs Peradaban Kapur Sirih. kanduksupatra.blogspot.com
Sampai kini Tanah Luhur Blambangan menyimpan kekuatan magis tanah nusantara, aura supranatural masa lampau. Ketika para leluhur terdesak di nusantara, maka di timur (purwo), di Tanah Blambangan mereka masih merasakan kenyamanan. Di purwo masih ada tempat berlindung. Di bawah lindungan leluhur, alam, niskala dan lindungan para Danghyang Tanah Jawa.
Sejatinya peradaban leluhur masih terpelihara baik di sana, cuman disamarkan oleh insan - insan bijak agar tidak tampil menonjol apalagi norak. Sekian ratus tahun berlalu, kini tak ada hujan tak ada angin, tak ada badai, pekerti leluhur pelan - pelan menggeliat. Kebangkitan Peradaban Kapur Sirih bagaikan angin sepoi-sepoi menghampiri setiap insan Tanah Luhur Blambangan. Bagaikan angin semilir membisiki pesan leluhur ke dalam setiap nurani pewaris Tanah Blambangan. Antara ada dan tiada, samar-samar tapi ada, para Danghyang mengingatkan pretisentana tanah Jawa. Ia terjaga dalam sepi. Terbangun tanpa propaganda, bergulir tanpa intimidasi. Tak banyak publikasi, apalagi “selfi”. Rupanya kebangkitan ini sudah ditetapkan Sanghyang Tuduh, sehingga ia muncul tak menghiraukan jaman. kanduksupatra.blogspot.com
Tak disangka dan tak diduga, kantong - kantong Peradaban Kapur Sirih tak semuanya terjamah oleh peradaban keyakinan baru. Semuanya disembunyikan oleh waktu. Titik - titik spiritual pun terbangun. Sekonyong – konyong berdiri situs leluhur di pinggir pantai seperti Pura Candi Purwo Gumuk Gadung Pondok Asem dan Pura Tawang Alun Pulau Merah. Yang ada di hutan meliputi Pura Giri Selaka dan banyak pura di sekitarnya. Sedangkan di kawasan Lereng Gunung Raung berdiri Petilasan Gumuk Kancil, Pura Sandya Darma, Pura Natarsari, Pura Anantabhoga, Pura Banyu Bening, Pura Sugih Waras, Pura Kawasan Rowo Bayu, Pura Tirto Jati Di kawasan lainnya juga berdiri Pura Gunung Srawet, Pura Puja Dharma, Giri Wiseso, Pura Giri Nata, Pura Purwo Katon, dan banyak lagi. Sedangkan yang monumental serta menjadi titik sentral adalah Pura Agung Blambangan. kanduksupatra.blogspot.com
Sebaran situs spiritual ini meliputi pantai, hutan, pemukiman, sungai, danau, dan gunung. Konsep SEGARA - GUNUNG seperti di Bali secara tak sengaja (atas titah Sanghyang Tuduh) terwujud di Tanah Blambangan. Namun ketika melihat bentangan alam yang begitu luas di Tanah Blambangan, maka konsep Segara Giri layak diperluas menjadi SEGARA – WANA – GIRI. Mempertemukan kekuatan alam di laut (segara) yang membentang di timur dan di selatan, di daratan Banyuwangi / hutan Purwo (Wana) serta kekuatan di gunung (Giri) yakni Gunung Raung. kanduksupatra.blogspot.com
Konsep Segara – Wana - Giri mempertemukan kekuatan purusa dan predana, kekuatan lingga dan yoni dipertemukan di daratan sebagai penataran yakni Pura Agung Blambangan,yang diyakni sebagai peninggalan kerajaan Blambangan. kanduksupatra.blogspot.com Atau kekuatan Segara Giri dipertemukan di hutan (wana) yakni di Pura Giri Selaka Alas purwo sebagai tempat mesandekan / peristirahatan, penyepian serta tempat beryoganya para leluhur ketika mengalami berbagai tantangan di masa lalu.
Dengan terwujudnya Segara – Wana – Giri di Tanah Luhur Blambangan, maka kekuatan kaja – kelod – kangin - kauh / lor – kidul – wetan - kulon / utara – selatan – timur - barat, membentuk TAPAK DARA, membentang menjadi SWASTIKA, lalu bergerak PURWA DAKSINA (memutar sesuai dengan arah jarum jam) menggerakkan CAKRA SEMESTA di Tanah Blambangan. Perputaran Cakra Semesta akan memancarkan vibrasi pekerti luhur untuk keharmonisan dan kerahyuan Jagat Blambangan, Jagat Nusantara, dan Jagat Semesta.
Semoga Segara – Wana – Giri terwujud di tempat lain di Jawa Dwipa. Semoga rahayu, rahayu, rahayu ……. Ampura.
#SegaraGiri #SegaraWanaGiri #HinduNusantara #PeradabanKapurSirih
#OriginalArtikelbyKiBuyutDalu kanduksupatra.blogspot.com
  

 

Thursday, February 16, 2017

MENONTON LANGSUNG DADONG NGELIAK





kanduksupatra.blogspot.com. Ini kisah otentik terkait masalah orang bisa ngeleak, dari daerah Sdm, Karangasem. Sebut saja namanya Ni Luh Ayu, seorang anak kecil (7th) tinggal bersama ibu tiri serta dadong (nenek) di sebuah gubuk sepi jauh dari pemukiman. Luh Ayu ketika itu masih berumur sekitar tujuh tahun.
Suatu hari Ayu melihat si dadong memegang seutas kain. Kain itu menarik perhatian Ayu sambil mendekat. Kain itu dilihatnya berwarna poleng (seperti sabuk). Ia tak tahu apa itu. Dadong kemudian menaruh kain itu di tempat khhusus di dalam rumah. Kerapkali Ayu melihat dadongnya berbicara sendiri menghadap ke kain poleng itu.Ia tak mengerti apa yang dilakukan oleh dadong dan siapa yang diajak bicara. Ayu pun bertanya kepada dadongnya tentang siapa yang diajak bicara. Dadongnya cuma menjawab “sing dadi, sing dadi”.
Beberapa hari kemudian, suatu malam kain itu dikeluarkan oleh dadong lalu di letakkan di atas meja. Tampak oleh Ayu kain itu diajak bicara oleh dadong. Anehnya lagi kain tersebut seperti bisa berdiri dan tampak hidup seperti ular. Ayu bertanya pada dadong, apa yang dadong bilang, apa yang dadong lalukan?. I Dadong mengatakan “ten dados”, tak boleh, tak boleh ikut, tak boleh tahu. kanduksupatra.blogspot.com
Beberapa saat dadong kemudian keluar menuju halaman rumah memakai kain poleng itu. Karena saking sayangnya kepada dadong, Ayu lalu mengikuti sambil bertanya “dadong kar kije…. dadong kar kije” (nenek mau kemana?).  Dadong tak menyahut, langkahnya pasti dan lurus ke luar rumah. Ayu pun terus mengikuti. Ayu memang tak bisa berpisah dari dadongnya. Sesampai di tempat tertentu, Ayu melihat dadongnya mengurai rambut, kemudian salah satu kakinya diangkat kemudian melompat – lompat (nengkleng). Ayu yang lugu pun diam  menunggui dadongnya melakukan ritual yang tak ia ketahui. Setelah beberapa kali nengkleng sambil berputar, kemudian Ayu melihat wajah dadongnya berubah menjadi membesar dan berlubang- lubang (mungkin itu yang dikatakan orang selama ini sebagai wajah seperti umah tabuan / rumah tawon). Ayu sama sekali tak takut, karena ia sangat sayang pada dadongnya.
Dadong yang sudah berubah wujud kemudian meneruskan langkahnya, entah kemana. Namun Ayu tetap bertanya “dadong kar kije”. Dadongnya yang sudah “nadi” tak menyahut. Sempat Ayu mengikuti langkah dadongnya beberapa langkah, namun dadongnya semakin menjauh. Ayu lalu tak lagi mengikuti dan bergegas ke rumah untuk memberi tahu ibu tirinya yang sedang tidur. Ia membangunkan ibu tirinya dan mengatakan “biang, biang,… dadong di sisi ngigel sambil nengkleng, muane dadi cara umah tabuan” (ibu, ibu,.. nenek di luar sana menari-nari, mukanya seperti rumah tawon). Lalu dadong pergi entah kemana. Demikian Ayu memberitahu ibu tirinya. kanduksupatra.blogspot.com
Ibu tirinya menyahut “ahh…  ten dados.. ten dados” (ah tidak boleh…). Maksudnya tak boleh melihat dan tak boleh mengikuti. Mungkin saja ibunya sudah tahu dadongnya mempraktekkan ilmu pengeliakan.
Setelah mendapat jawaban demikian, Ayu kembali mencari dadong. Ternyata dadongnya sudah ada di sana. Ia bertanya lagi, “dadong mare kije, dadong ngudiang ?” (dadong tadi kenana?). Dadongnya diam. Ayu hanya bisa memandangi dadongnya. Dadongnya juga asyik dengan ritualnya. kanduksupatra.blogspot.com
Ketika itu Ayu merasakan sakit perut ingin beol (maaf). Ia kemudian beol di semak-semak tak jauh dari tempat dadongnya ngeliak. Dadongnya tampak berjalan keliling dan sesaat hilang. Beberapa saat kemudian muncul di Ayu yang sedang beol. Dadongnya kini sudah berubah wujud kembali menjadi kuda berkaki tiga, dua di belakang, satu di depan.
Ayu menjadi heran dan bingung kok dadongnya bisa kelihatan seperti kuda berkaki tiga dan mengeluarkan suara kuk,.. kukk,… kuuk,… kuk…, demikian sambil keliling. Terdengar juga suara gledug,.. gledug,… gledug… seperti suara langkah kaki kuda. Ayu mengamati dadongnya dengan seksama. Ketika kuda lewat di depan Ayu, ternyata dari belakang tak tampak kuda lagi. Yang kelihatan malah dadongnya sendiri yang berjalan membungkuk tertatih-tatih memegang tongkat dengan kedua tangannya. Jadi kelihatan seperti kuda berkaki tiga (kaki belakang adalah dua kaki dadong, satu kaki depan adalah tongkat yang dibawanya). Dadong tampak seperti bermuka kuda, karena saat itu dadong sambil meniup sebuah alat bunyi-bunyian, sehingga mulut dadong kelihatan monyong. Alat bunyi ini ditiup mengeluarkan suara kuk… kuk.. kuk… Sedangkan suara gledug… gledug… tersebut adalah suara hentakan tongkat yang dibawa oleh dadong.  kanduksupatra.blogsopt.com
 Ayu yang sama sekali tak merasa takut, cuman dia bertanya-tanya dalam hatinya, dadongnya sedang ngapain. Ia ingin dadongnya cepat pulang. Ritual malam itu pun berakhir, dadong kembali ke rumah diikuti Ayu. Sesampai di rumah, dadongnya menaruh kain sesabukan itu di tempat semula. Disarankan oleh dadongnya, kalau dadong sudah keluar rumah memakai sabuk ini malam-malam, maka tak boleh ikut. Demikian juga ibunya juga menyarankan demikian.
Pada suatu hari, penasaran dengan benda seperti ikat pinggang poleng berisi bentol bentol itu, Ayu kemudian melihatnya di tempat penyimpanan. Barang itu tergeletak di sana. Ia mengambil barang itu dan melilitkannya di pinggang seperti apa yang dilakukan oleh dadongnya. Lalu ia berjalan keluar. Ternyata Ayu merasakan dirinya berjalan melayang tanpa menyentuh tanah, ia pun kebingungan dan takut. Ia kembali ke dalam rumah lalu membuka ikat pinggang dan menaruhnya di tempat semula. Ia kembali merasa seperti biasa. Hal itu dilakukannya tanpa sepengetahuan dadongnya. Karena merasakan keajaiban sabuk dadongnya itu, maka ia tak berani lagi coba-coba.
Demikian kisah nyata yang di alami Ni Luh Ayu ketika kecil. Ayu kini sudah dewasa. Ia mulai memahamai benda tersebut serta praktek yang dilakukan oleh dadongnya. Rupanya kain poleng itu sabuk pengeliakan. Sedangkan ritual nengkleng yang dilakukan dadongnya adalah ritual ngerehin dengan sikap masuku tunggal (berdiri dengan satu kaki) sambil menari-nari memuja Hyang Betari untuk mencapai puncak yang disebut nadi. Pada saat nadi, maka bayu sabda idep menyatu, si pelaku lalu diselimuti oleh energi sukma tertentu, sehingga yang bersangkutan tampak seperti apa yang mereka inginkan. Ada yang diselimuti oleh energy sukma dimana mukanya tampak berubah menyeramkan berupa bojog, celuluk, jaran, kebo, bade, rangda, dll. Si pelaku liak asik dengan dirinya, menikmati puncak pemujaannya (lia, lila, liang / senang / nikmat) dengan segala sensasinya. Yang tampak seperti jaran berkaki tiga disebut dengan gegendu jaran, sedangkan kerbau berkaki tiga dsebut dengan gegendu kebo.
Menurut cerita, jarang ada orang yang bisa dilihat oleh orang lain ketika melakukan ritual nengkleng, kecuali memang satu murid seperguruan. Namun kejadian Ayu yang masih kecil ini termasuk aneh. Mungkin karena Ayu dianggap masih kecil, tak tahu apa-apa, sehingga dadongnya tak melarang Ayu menyaksikan ritual ngeliak yang ia lakukan. Mungkin dadongnya berpikir begini “walaupun dilihat toh juga ia tak mengerti”. Bisa juga dadongnya sengaja memperkenalkan pengeliakan sedini mungkin kepada cucunya Ayu sebagai generasi penerus ilmu liaknya nanti.  Mungkin dadongnya juga berpikir begini “ngeliak sambil ngempu” (ngeliak sambil mengajak cucu). Tapi dadongnya tak berpikir bahwa apa yang dilihat oleh cucunya itu tersimpan dalam memori Ayu, lalu ketika dewasa ia akan memikirkan kembali masa kecil dan teringat dengan apa yang ia lihat. Pada saat itulah baru ia akan tahu tentang apa yang dilakukan oleh dadongnya terdahulu. Cucunya mulai paham bahwa ternyata dadongnya sebagai penekun ilmu liak. Dan… ketika semua itu disadari oleh Ayu, dadongnya sudah meninggal.  
Nah yang menjadi pertanyaan sekarang, dimanakah sabuk itu disimpan oleh dadongnya? Siapakah yang mewarisi ilmu itu sekarang? Kepada siapakah sabuk itu diberikan? Ni Luh Ayu merasa heran, takjub dan kadangkala lucu ketika menceritakan pengalaman masa kecilnya itu. Sedangkan Ni Luh Ayu sampai saat ini tak pernah menyentuh dunia liak seperti yang dilakoni oleh dadongnya terdahulu. Ia malah ngiring sesuhunan dan menjadi seorang spiritualis. Demikian Ayu menceritakan kepada penulis.
#LiakAdalahBudaya #MisteriBali #BudayaBali #OriginalArtikelByKiBuyutDalu
kanduksupatra.blogsopt.com

Wednesday, February 8, 2017

ASAL MULA NAMA PESIAPAN ; GERAMBANG SELEM vs GEDE BERANJINGAN


kanduksupatra.blogspot.com Dahulu kerajaan Tabanan diperintah oleh Ida Cokorda Agung Tabanan yang terkenal arif bijaksana, sehingga rakyat Tabanan hidup damai, tentram dan tak kurang sandang pangan. Beliau didampingi oleh dua orang patih pemberani dan sangat setia kepada raja. Namanya adalah I Gerambang Selem dan I Gede Beranjingan. Inilah yang membuat kerajaan Tabanan sangat disegani oleh kerajaan lainnya.
I Gede Beranjingan sebagai seorang patih, gemar bekerja di sawah, dan memelihara ayam aduan yang sering menang dalam sabungan ayam. I Gede Beranjingan sangat menyayangi ayam-ayamnya. Hal ini diketahui oleh baginda raja. Suatu hari I Gerambang Selem di panggil ke puri oleh Ida Cokorde. Baginda bersabda “Gerambang Selem, kudengar I Gede Beranjingan memiliki ayam aduan yang sangat tangguh. Pantaslah ia lama tak ke puri. Mungkin ia sedang sibuk dengan ayam-ayamnya. Cobalah datang ke sana, barangkali aku boleh melihat kehebatan ayamnya. Akan aku coba dengan ayam aduan di puri. Kalau memang ayamnya lebih tangguh, maka ayamnya akan aku pertaruhkan dalam pertarungan adu ayam antar kerajaan nanti” Kanduksupatra.blogspot.com
Gerambang Selem menuju ke rumah I Gede Beranjingan. Sesampainya di sana I Gerambang Selem berkata kepada istri I Gede Beranjingan “kemana istrimu?” Dijawab oleh sang istri “suami hamba sedang di sawah, sebentar lagi datang karena hari sudah siang. Silahkan duduk Gusti Patih”
“Tidak, aku tidak lama. Aku ingin mengatakan bahwa sang raja ingin melihat ayam aduan I Gede Beranjingan dan aku harus egera membawanya ke istana” demikian I Gerambang Selem.
Dijawab lagi oleh istri I Gede Beranjingan ”maaf gusti patih, biarlah hamba jemput ke sawah dahulu. Sebab kalau dia datang dan dilihat ayamnya tak ada, maka ia akan marah. Tunggulah sebentar”.
I Gerambang Selem tak perduli. I Gerambang Selem mengambil semua ayam-ayam tersebut untuk dibawa ke istana. Istri I Gede Beranjingan tak berdaya untuk menghalanginya. I Gerambang Selem salah mengartikan sabda raja sebagai perintah untuk mengambil ayam I Gede Beranjingan.
Setelah beberapa saat I Gerambang Selem membawa ayam-ayam itu, datanglah I Gede Beranjingan dari sawah. Seperti biasa ia akan melihat ayam-ayamnya terlebih dahulu. Ia terkejut dan dipanggilah istrinya lalu berkata “mana ayam-ayamku?” Dengan mata merah ia memandangi istrinya, yang ketakutan. “Ampun, ampun… barusan patih I Gerambang Selem mengambil ayam-ayam milik patih”. Kanduksupatra.blogspot.com
Mendengar semua itu I Gede Beranjingan menjadi naik pitan “ada urusan apa ia mengambil ayam-ayamku tanpa sepengetahuanku. Kurang ajar. Aku dipandang sebelah mata olehnya. Apakah ia merasa lebih sakti dari diriku, sehingga ia memancing diriku dengan cara mengambil semua ayamku”.
Istrinya mencoba untuk melanjutkan penjelasan dengan mengatakan bahwa ayam-ayam tersebut diambil atas perintah raja di Puri, untuk dicoba dengan ayam-ayam milik raja di puri. Namun semua itu tak digubris oleh I Gede Beranjingan, karena ia telah diliputi amarah yang tak terkendali dan rasa jengkelnya kepada I Gerambang Selem. Ia berkata “baiklah I Gerambang Selem, kalau memang itu kehendakmu, akan aku hadapi dengan kekuatanku. Rupanya kau ingin adu kesaktian denganku. Kau sebenarnya ingin tahu siapa sebenarnya I Gede Beranjingan” Kanduksupatra.blogspot.com
Setelah itu I Gede Beranjingan berkata kepada istrinya “istriku, semua ini adalah tantangan bagi diriku. Akan aku hadapai dan akan aku cari ia sampai ke ujung langit”. Istrinya mencoba untuk menghalangi dan menjelaskan duduk persolaannya. Namun I Gede Beranjingan sudah mengambil keris pusaka luk selikur yang terkenal tangguh itu. Ia segera pergi mencari I Gerambang Selem.
Kini diceritakan Ida Cokorda di Puri yang telah menunggu kedatangan I Gerambang Selem. Namun raja mempunyai firasat lain. Sebab seperti tak biasanya I Gerambang Selem menerima perintah. Ia segera pergi, tanpa menanyakan secara rinci perintah raja. Firasat raja bahwa kedua patihnya tak ada kecocokan, menyebabkan raja menjadi kawatir. Jangan-jangan terjadi sesuatu diantara mereka.
Sang raja lalu berkehendak pergi menemui keduanya. Diiringi oleh pasukan istana, beliau pergi ke rumah I Gede Beranjingan. Sesampai di sana didapati bahwa istri I Gede Beranjingan telah menangis tersedu-sedu. Sang raja berkata “mana suamimu. Kenapa kau menangis?” Kanduksupatra.blogspot.com
“Ampun tuanku. Suami hamba pergi ke rumah I Gerambang Selem menyusul ayam-ayamnya yang telah diambil. Ia berangkat dengan membawa senjata lengkap. Hamba sangat khawatir, jangan-jangan terjadi pertumpahan darah diantara mereka. Tolonglah hamba tuanku”. Mendengar kata-kata istri I Gede Beranjingan, segera sang raja menuju ke rumah I Gerambang Selem.
Kini kembali diceritakan I Gede Beranjingan yang telah sampai di rumah I Gerambang Selem. Marahnya meledak-ledak dan berkata “hai kau Gerambang Selem, betul-betul kurang ajar kau. Apa maksudmu mengambil ayam-ayamku. Kalau kau memang jantan mari kita bertarung. Ambil senjatamu, kita tunjukkan siapa yang lebih tangguh diantara kita”.
I Gerambang Selem juga tersinggung dan mulai naik darah. Maka ia meladeni tantangan I Gede Beranjingan. “Baiklah kalau memang begitu maumu. Kita memang harus membuktikan siapa yang lebih tangguh diantara kita. Musuh tak pernah kucari. Tapi kalau ia datang, pantang bagiku untuk mengelaknya”. Kanduksupatra.blogspot.com
Terjadilah pertarungan diantara keduanya. Keduanya memang tangguh, keduanya pintar bertarung dan sama-sama kuat. Setelah beberapa lama bertarung, I Gede Beranjingan memanfaatkan kelengahan dari I Gerambang Selem, dan berhasil menancapkan keris luk selikurnya di pinggang I Gerambang Selem tembus ke perut. Maka gugurlah I Gerambang Selem.
Berbarengan dengan tewasnya I Gerambang Selem, raja Tabanan baru sampai di sana. Sayang segalanya sudah terlambat. Dipandangnya kedua patih tersebut. Tampak penyesalan beliau yang amat dalam. Lalu dengan terbata-bata beliau bersabda kepada rakyat di sana “karena di tempat ini telah terjadi pertempuran karena siap (ayam), maka tempat ini mulai sekarang tempat ini kuberi nama Pesiapan. Sebab di sini telah gugur seorang patih karena memperebutkan ayam.
Demikian asal mula terjadinya nama Desa Pesiapan. Konon keris luk selikur yang digunakan oleh I Gede Branjingan disimpan di sebuah pura bernama pura Batur di Desa Timpag. Pura ini menjadi tempat pemujaan dari keturuan I Gede Beranjingan. Demikian konon diceritakan. IlustrasiProNet. Artikel Budaya lainnya tersaji di kanduksupatra.blogspot.com
#SejarahBali #BudayaBali #OriginalArtikelByKiBuyutDalu #LiteratusLawas

Thursday, February 2, 2017

BERUNG BOJOG dan LIAK KELEMAHAN



Ini hanyalah pengandaian dalam bahasa Bali. Sejatinya “Berung” artinya luka borok, “bojog” adalah monyet. Monyet kalau luka, ia selalu mengutak atik lukanya. Sampai - sampai lukanya tambah lebar, tambah besar, tambah parah, dan berdarah, yang mengakibatkan boroknya semakin menjadi – jadi, tak kunjung sembuh dan semakin sakit. Tetua Bali menyebutnya “buka berung bojog” untuk menyebut suatu permasalahan yang sejatinya kecil atau sepele, tapi karena ulahnya sendiri, maka permasalahannya menjadi besar melebar dan menjadikannya semakin susah.
Ungkapan “Berung Bojog” sepertinya nyata terasa belakangan ini yang meramaikan jagat maya, jagat media sosial, jagat elektronik. Setiap saat tersiar perselisihan, permusuhan, ujaran kebencian, yang berujung saling lapor. Belum selesai yang satu, muncul yang lain, bahkan merambat ke sana kemari, melebar liar, bagaikan ungkapan di atas “BERUNG BOJOG”.

Situasi semakin manjadi-jadi, saling tuduh, saling fitnah, saling bongkar kebobrokan, saling menjelekan, saling curiga, dll. Kondisi ini oleh para tetua Bali diungkapkan dengan sebuah pengandaian “LIAK KELEMAHAN” atau “Liak Kesiangan” saling dalih satu sama lain.
Energi bernegara terkuras hanya untuk mengurusi sesuatu yang kurang perlu. Waktu tersandra hanya untuk memenuhi pekentingan pribadi / kelompok. Tenaga habis hanya untuk mempermasalahkan “kata - kata”. Daya rekat negeri terkikis hanya untuk menyuarakan perbedaaan. Kebenaran terabaikan hanya untuk berteriak “pembenaran”. Harta digunakan untuk memenuhi hasrat “Tuan Ego”, Tahta dipertaruhkan untuk mencapai tujuan “Tuan Ambisi”. Kedua “tuan” ini telah mengikis nalar, menumpulkan ketajaman logika, melunturkan keluhuran budi. Sepertinya demikian.
Semoga “Berung Bojog” cepat sembuh, serta tidak ada Liak bergentayangan pada siang hari.
#PadamuNegeri #IndonesiaDamai #BaliParasParos
kanduksupatra.blogspot.com