Wednesday, October 28, 2015

“Pemurtian” Pemagpag Kajeng Kliwon





Para tetua Bali selalu mengatakan, jangan mengobral pembicaraa pada saat hari rerainan. Apalagi “Rerahinan Gede”. Lalu jangan sekali-kali berbicara yang cah cauh atau ngawur pada hari rerahinan seperti pemagpag kajeng kliwon, kajeng kliwon atau rerahinan lainnya. Sebab akan dapat menimbulkan sesuatu yang tak baik seperti cekcok, pertengkaran, dll.
Lain cerita lagi, ada seseorang yang memiliki karakter dimana setiap menjelang rerhainan atau saat rerahinan, maka orang tersebut mudah tersinggung, mudah marah. Sehingga ketika menjelang rerahinan atau pada saat rerahinan seringkali mahah-marah, atau seringkali terjadi peretngkaran, Padahal masalah yang dipertengkarkan tersebut adalah masalah yang sangat spele. Dan bahkan penyebab marahnya kadangkala tak masuk akal.
Kenapa bisa demikian? Hal ini konon disebabkan oleh hari tersebut seperti kajeng kliwon, memiliki aura atau energi yang berbeda dengan hari lainnya. Pancaran energi pada hari itu cenderung memiliki aura magis, yakni aura “pemurtian” Jadi apabila seseorang yang sensitif dalam artian tak kuat daya pikir atau daya nalar dan pengendalian dirinya, serta tak kuat mentalnya, maka orang tersebut pada hari itu cenderung akan terpengaruh oleh kekuatan energi pada hari itu. Signyal dari kekuatan hari itu akan mempengaruhi pikiran orang yang bersangkutan sehingga mudah terganggu, mudah kacau, sehingga ia akan mudah marah, mudah tersinggung. Yang bersangkutan cenderung menunjukkan kemarahannya, menunjukkan kekuatannya yang disebut dengan “memurti”. Tak jarang pula pada hari-hari itu, bagi mereka yang inguh-inguhan atau gangguan jiwa seriing kumat pada hari hari tersebut, atau orang-orang yang mengalami sakit non medis sering kambuh pada hari-hari pemagpag kajeng klion atau pada hari kajeng klion.
Karena sifat energy pada hari itu adalah magis dan pemurtian, maka banyak para penekun ilmu kedigjayaan dari berbagai aliran yang bertujuan untuk membangkitkan kekuatan magis atau pemurtian, sangat baik melakukan ritual pada hari tersebut. Karena hari itu energi pemurtiannya menjadi sangat kuat dan besar, sehingga segala sesuatu baik itu kekuatan di dalam tubuh maupun kekuatan magis, sebuah benda akan dilakukan ritual pada hari itu yakni pada hari kajeng kliwon, seperti pemasupatian, ngerehang sabuk, jimat, dll.
Sehari sebelum hari kajeng kliwon disebut dengan pemagpag kajeng kliwon. Pemagpag berasal dari kata pagpag yang artinya sambut atau menyambut. Sehingga dengan demikian pemagpag kajeng kliwon artinya hari menjelang kajeng kliwon. Bagi para penekun spiritual yang mengutamakan kekuatan magis, maka hari pemagpag kajeng kliwon adalah hari yang sangat istimewa. Sebab pada hari itu segala rencana dipersiapkan dengan matang, yang sudah tentunya yang bersifat magis.
Pada hari pemagpag kajeng kliwon terutama ketika memasuki waktu sandikala memang mulai memancarkan uara magis. Pada saat itulah kemudian para penekun spiritual dari garis kedigjayaan mulai menjalankan ritual-ritual serta menjalankan segala bentuk kedigjayaan mereka. Pada hari pemgapag kajeng kliwon semua perguruan spiritual melakukan uji coba terhadap segala kemampuan yang telah dimiliki dengan harapan akan menjadi semakin mantap dan sekaligus memelihara kekuatan tersebut agar tak punah. Dengan demikian, hari itu sangatlah keramat terutama pada malam hari. Sebab pada hari itu pual akan dilakukan latihan bersama, uji coba kekuatan, latih tanding. Atau bahkan perang kewisesan (siat peteng) antar perguruan untuk mengukur kekuatan masing-masing dilakukan pada malam itu. Sehingga pada hari itu adalah hari yang sangat keramat, karena aura magis dari hari tersebut, ditambah lagi dengan banyak orang yang mengaktifkan kekuatan magis pada hari itu.
Keesokan harinya pada hari kajeng kliwon adalah hari dimana semua latihan tanding, semua uji kekuatanm sudah dilangsungkan. Pada hari itu adalah hari untuk melakukan ritual pemberisihan, ritual penyuicn, ritual pemujaan kehadapan Ida Betara yang telah menganugrahkan kekuatan tersebut. Sehingga pada hari kajeng kliwon adalah hari yang baik untuk menghaturkan segala sesaji yang bertujuan untuk memelihara kekuatan magis, memohon kekuatan magis, serta pemujaan kehadapan Betari sebagai penguasa dari ilmu kedigjayaan. Pada hari itu dilakukan ritual ngaturang banten, laba, dan penyamblehan, sebagai sarana permohonan kekuatan, penyucian kekuatan serta pemujaan kehadapan Hyang Betari.
Dengan demikian, maka hari yang magis dipenuhi dengan aura kesaktian dan pemurtian adalah pada hari pemagpag kajeng klwon. Sedangkan pada hari kajeng kliwon semuanya sudah kembali pada posisi masing-masing untuk melakukan ritual pemujaan dan persembahan. Oleh sebab itu, orang tua mengatakan jangan berpergian jauh atau jangan melakukan perjalanan yang tak perlu pada hari pemagpag kajeng kliwon terutama  pada malam harinya. Sebab akan sering mendapatkan celaka. Karena pada hari itu banyak orang yang memiliki kekuatan batin, kekuatan ilmu magis akan mengaktifkan kekuatannya serta melakukan uji coba serta melakuakn pemurtian terhadap segala kemampuan ilmu yang dimilikinya. Sehingga dikawatirkan pancaran ilmu itu akan mengeni orang yang sedang lewat. Kalau dalam bahasa bali disebut dengan “kena tamplig” (kena imbas) yang bisa menyebabkan celaka. Nah itulah sebabnya kenapa pada hari pemagpag kajeng kjliwon dianggap sebagai hari yang sangat keramat dan bahkan dirasa lebih kerama dari hari kajeng kliwon.
Kurang lebih demikian. Ampura. (Taksu/kanduk)

Tuesday, October 27, 2015

Kriminalisasi Jenasah Rame Rame ke Krematorium



Ada sekian banyak krama adat yang hidup rantauan merasa cemas ketika suatu saat nanti pulang kampung untuk menyelenggarakan upacara terutama pitra yadnya. Karena upacara pitra yadnya dilaksanakan sesuai dengan dresta, awig awig, atau desa mawacara, serta melibatkan krama banjar atau krama desa. Mau tak mau krama yang ada di rantauan harus ke kampung halaman karena terkait dengan sistem pemujaan Hindu Bali yang tak lepas dari Betara Hyang Kawitan yakni para leluhur yang telah suci dan dipuja di Merajan Ageng maupun di Paibon dan Panti / Dadia. Inilah yang menyebabkan krama Bali Hindu terikat dengan tanah kelahirannya.
Ketika mereka berada di rantauan, maka sudah otomatis mereka tak dapat berinteraksi secara keseharian dengan krama di desa dalam kegiatan adat dan agama. Kecemasan mereka muncul ketika merasakan adat di tanah kelahirannya yang dinilai keras atau kurang fleksible terhadap perkembangan jaman. Lebih lebih mereka sudah kadung terbiasa dengan lingkungan yang lebih moderat di tanah rantauan. Kerapkali mereka merasa asing, merasa risih, atau mungkin cemas ketika pulang kampung. Suatu situasi yang makin menjauhkan mereka dari masyarakat adat di kampung halamannya. Mereka mulai serba sulit, mulai enggan, bahkan jarang mengikuti kegiatan adat. Di pihak lain, adat dan masyarakat adat juga mulai memberi penilaian pada mereka ini. Maka dalam situasi seperti ini, mulailah masyarakatt adat bicara, sangsi, adat mulai bergeming. Sangsi adat yang sifatnya administratif seperti denda sesuai dengan ketentuan mungkin bisa diterima. Namun yang dikawatirkan adalah sangsi adat non administratif yang ditunggangi oleh kebiasaan yang sering disebut dengan “suryak siyu”. Sangsi adat yang sifat diprovokatif oleh kelompok tertentu, ditunggangi oleh sentimen pribadi, atau latar belakang lainnya. Hal seperti ini sudah banyak dialami oleh krama rantuan. Namun tidak saja krama rantauan, sangsi adat yang kaku juga kerap menimpa krama yang sehari harinya berdiam di desa adat itu sendiri.
Aneh memang aneh, justru awig awig menjadi senjata makan tuan, menjadi pisau yang menyayat diri sendiri. Kenapa tidak, karena adat dan awig awig yang dibuat justru mengenai krama sendiri, bahkan menyulitkan anak cucu sendiri kelak di kemudian hari. Situasi ini menimbulkan banyak kasus adat di tanah ini, yang sebagaian besar menimpa krama adatnya sendiri dan tak pernah ada penyelesaian yang jelas. Adanya “tradisi” mesbes bangke, “tradisi” ngarap, krama kesepekan, seorang krama terusir dari tanah kelahirannya, dll. Yang sejatinya disebabkan oleh oknum - oknum yang sigug melahirkan awig awig yang kaku.
Semua itu sejatinya adalah “tindakan kriminal” yang mengatasnamakan adat, tindakan amoral yang berlindung di balik awig awig, dan justru sebagian orang menganggap bahwa itu adalah “tradisi”. Aneh memang perbuatan demikian disebut tradisi. Seolah menggeser serta mengkerdilkan makna tradisi itu sendiri. Padahal tradisi adalah kebiasaan - kebiasaan yang berlangsung secara turun - temurun dalam sekelompok orang yang dilakukan secara sadar atas dasar daya cipta, rasa dan karsa. Sedangkan dalam kasus adat hanyalah berdasarkan egoisme, sentimen pribaddi atau kelompok, dendam bercampur emosi. Banyak kasus adat yang dikatakan sebagai “tradisi” sebenarnya tindakan “kejahatan” yang dilakukan secara berulang atas nama adat dan awig awig, tanpa pernah ada yang mengontrol. Kejahatan yang dilakukan secara rutin dikatakan sebagai “tradisi”. Ini sesuatu yang aneh dan aneh…
Bagi masyarakat yang berpikir humanis dan moderat sudah tentu menilai sikap “tradisi” ini semestinya dihindari, jika tidak bisa merubah apalagi melawan. Daripada “megarang balung” tak karuan, lalu beberapa orang dari kalangan tokoh masyarakat mencoba untuk menempuh jalan damai, jalan tengah terhadap situasi sulit yang dihadapi manusia Bali dalam eksistensi adat. Dimana di satu sisi ada yang ingin mempertahankan adat secara kaku dengan alasan keajegan Bali dan Hindu. Namun di sisi lain perkembangan jaman menuntut adat beradaptasi. Dalam kepentingan ini, di beberapa desa adat menemukan jalan keluar, namun di banyak desa tak menemukan jalan keluar sehingga konflik adat mengemuka. Dan yang banyak menjadi sasaran adalah ketika penyelenggaraan upacara pitra yadnya “ngaben”.
Atas dasar tersebut, lalu ada ide untuk membuat krematorium yang sifatnya universal sebagai solusi kepada masyarakat yang tertimpa konflik adat, dengan harapan mereka tetap dapat menjalankan ritual agama tanpa harus berseteru dengan masyarakat adat di kampungnya. Sebagai sebuah solusi, sudah tentu kehadiran krematorium bersifat terbatas dan selektif. Hanya orang - orang yang memiliki masalah adat dan tak menemui jalan keluar dalam waktu tertentu, barulah bisa dilakukan di krematorium. Termasuk juga jalan keluar bagi masyarakat yang terkena sengker dewasa (batas waktu hari baik) yakni ketika di suatu desa adat sedang menyelenggarakan dewa yadnya di salah satu kayangan tiga, sehingga dalam jangka waktu beberapa bulan tak boleh melakukan upacara pitra yadnya. Apabila kebetulan salah satu krama ada yang meninggal dalam kurun waktu sengker dewasa tersebut, maka atas seijin dari bendesa adat atau prejuru adat, dapat melakukan pacara pitra yadnya di krematorium dalam batas upacara tertentu misalnya mekingsan di geni, dengan harapan keluarganya tak terlalu lama ngeraksa watangan (jasadnya lama tak diupacarai). Hal ini juga sebuah jalan keluar walaupun bukan karena konflik adat. Artinya bahwa semua dilakukan secara selektif, serta ada ijin dari bendesa atau prejuru adat dimana yang bersangkutan terdaftar sebagai krama adat, sehingga pihak krematorium tak disalahkan oleh adat tertentu.
Setelah sekian waktu berlangsung, justru banyak orang berpaling ke krematorium. Orang yang tak ada masalah dengan desa adat pun banyak yang melakukan upacara di krematorium, karena dirasa praktis dan mungkin murah. Salah satu yang pertama adalah Krematorium Santayana di Jalan Cekomaria, Peguyangan Kangin, Denpasar Utara. Rame - ramelah orang melirik krematorium sebagai pilihan ketika melakukan upacara pitra yadnya. Di pekuburan Cina juga sering dilakukan kremasi oleh krama adat tertentu. Bahkan ada yayasan menyelenggarakan jasa pitra yadnya di pekuburan Katolik, dimana dekat krematorium didirikan sebuah Pura Prajapati sebagai pengayatan terhadap penguasa kuburan atau penguasa kematian menurut Hindu Bali.
Adanya perkembangan model krematorium ini adalah sebagai produk dari perkembangan jaman, sehingga tak mungkin untuk dicegah, bahkan diperkirakan akan semakin menjadi trend di masyarakat. Adanya krematorium ini bagaikan hembusan angin segar bagi mereka yang ada di rantauan. Mereka tak lagi dihantui perasaan was - was ketika nanti menyelenggarakan upacara pitra yadnya seandainya masyarakat di kampungnya tak berkenan. Karena menjadi trend, maka bisa jadi penyelenggara jasa ini tak selektif lagi, sehingga orang berbondong bondong ke krematorium dengan mengabaikan peran desa adat atau banjar adat ke depan. Eksistensi desa adat dalam mengkoordinasikan masalah pitra yadnya menjadi kehilangan daya, sehingga terjadi kerancuan dalam penyelenggaraan pitra yadnya.
Untuk hal tersebut, agar desa adat tak kehilangan taring, maka perlu desa adat membuat awig - awig terhadap masyarakat adatnya untuk melakukan kremasi di krematorium. Mesti ada aturan yang jelas, mesti ada rambu - rambu dari pihak yang berkompenten, agar fenomena ini tak kebablasan yang justru menyebabkan adat menjadi kehilangan kontrol terhadap krama adatnya. Sebab keberadaan desa adat sampai saat ini sangat penting dan menjadi tumpuan utama bagi Agama Hindu Bali. Diakui atau tidak, disadari atau tidak bahwa Agama Hindu Bali sampai saat ini masih bertengger pada eksistensi adat dan desa adat.  Jika desa adat menjadi lemah, maka Hindu Bali lambat laun akan mengalami kegamangan. Maka sangat dipandang perlu kontrol oleh pihak yang berkopenten dalam hal ini apakah Parisada atau Majelis Desa Pakraman.
Artinya pula bahwa penyelenggaraan kremasi oleh jasa kremasi mesti diatur oleh adat dan pihak yang berwenang. Pihak penyelenggara krematorium mesti diberi rambu - rambu dan diawasi sehingga tak sembarangan menerima prosesi kremasi. Terutama bagi mereka - mereka yang masih tercatat sebagai masyarakat adat di suatu desa adat tertentu. Ketika sudah ada ijin  atau rekomendasi dari prejuru desa adat atau banjar adat, barulah penyelenggara jasa kremasi dapat melakukannya.
Fenomena melakukan pitra yadnya di krematorium ini adalah produk sejarah perkembangan jaman, serta sebagai ekses dari “kekakuan” dan “keangkuhan” dari adat itu sendiri. Artinya, dengan adanya alternatif krematorium ini, diharapkan adat yang masih kaku dapat lebih fleksibel dalam mengadaptasi perkembangan jaman, sehingga tak terbelenggu dengan situasi dan kondisi yang mungkin terkesan primitif yang justru menjadi bumerang bagi adat dan krama adat, menjadi bom waktu bagi generasi berikutnya, serta menjadi buah simalakama bagi Agama Hindu itu sendiri.
Sebagai akhir dari pembahasan ini adalah “Adat memang harus dipertahankan sebagai pijakan dari Agama Hindu Bali, namun perkembangan jaman mesti juga diadaptasi sebagai produk waktu sehingga tak akan menjadi bom waktu bagi generasi Hindu ke depan”.
(Buyut/Kanduk Supatra).    



Sunday, October 25, 2015

Kesisipan Betara Kawitan





Sebelum bicara mengenai kesisipan (dipersalahkan) maka ada baiknya kita simak dulu salah satu dari sekian banyak bhisama / petuah / piteked Betara Kawitan kepada umat manusia yang hidup di dunia. Salah satu contohnya adalah bhisama di bawah ini:

Bhisama dari Abra Sinuhun
"Kamung Pasek mwang Bandesa, aywa lupa ring, kahyangan makadi ring Lempuyang, ring Besakih, ring Silayukti, mwang Gelgel Dasar Bhuwana. Yan kita, lupa ring kahyanganta, wastu kita tan anut ring apasanakan, tanwus amangguh rundah, tan mari acengilan ring apasanakan, tan wus amangguh rundah, tan mari acengilan ring apasanakan, sugih gawe kurang pangan, mangkana, piteketku ring parati santana, kapratisteng prasasti, sinuhun de kita prasama, kita tan wenang piwal ring piteketku, ila-ila dahat, aywa lupa, aywa lali,

mwah yan kita pageh ring piteketku, moga tan wus kita amanggihana dirgayusa, amanggih wirya gunamanta, sidhi ngucap, jannanuraga asihhing Hyang, dibya guna, susila weruhing naya, mangkana cihanyeng lepihan"

Artinya:

“Kamu Pasek dan Bendesa, jangan lupa dengan kayanganmu yang ada di Lempuyang (Lempuyang Madya), Besakih (Ratu Pasek), di Silayukti, dan Dasar Buwana Gelgel (Ratu Pasek). Kalau kamu lupa dengan kayanganmu, akibatnya kamu cekcok dalam keluarga, tidak henti-hentinya menemui keresahan, selalu sengketa dalam keluarga, banyak melakukan pekerjaan tetapi kekurangan makanan. Demikian amanatku kepada keturunan, tercantum dalam prasasti, agar dijunjung olehmu sekalian. Kamu tidak boleh menyimpang dari amanatku, sangat berbahaya, jangan lalai, dan jangan mengabaikannya”.

“Bila kamu taat kepada amanatku, moga-moga kamu senantiasa berada dalam keselamatan, keberanian, kekuatan, serta budiman, sakti dalam kata-kata, termasyur, dikasihi oleh Hyang Maha Kuasa. Mulia dan pandai, bertingkah laku yang baik, dan menguasai ilmu kepemimpinan. Demikian tersebut dalam prasasti”.

Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa banyak orang mengalami sakit yang tak kunjung sembuh. Sudah berobat ke dokter, justru penyakitnya tak pernah terdiagnosa, sehingga dokter hanya bisa meraba-raba dan memberi obat yang tak pas. Dibawa ke dukun, juga tak kunjung sembuh, malah dikatakan kena ilmu hitam saudara yang punya perasaan iri. Justru sampai di rumah jadi bertengkar dan cekcok dengan saudara. Setelah sekian lama berobat, sekian banyak uang habis untuk berobat, lalu dicoba bertanya ke jero dasaran, konon katanya kesisipan dari Ida Betara di merajan atau kawitan. Disarankan untuk tangkil menghaturkan guru piduka, akhirnya berangsur sembuh.
Ada lagi sekeluarga besar cekcok tak berkesudahan dalam rumah tangga, sampai akhirnya mereka tak bertegur sapa satu sama lain. Seolah-olah permasalahan yang dihadapi selalu menemui jalan buntu yang berujung pada pertengkaran. Masalah sepele menjadi perseteruan hebat. Pokoknya ada saja dalih untuk bertengkar. Seperti keluarga tersebut diselimuti awan gelap, tak ada pikiran terang sedikitpun.
Di lain pihak seringkali sebuah keluarga selalu dirundung malang, selalu diliputi kesedihan karena ditimpa musibah, kecelakaan, kehilangan, kesakitan,  setiap usaha yang dibuat selalu merugi, bangkrut dll. 
Lain lagi ceritanya, setelah sekian lama menderita sakit seseorang berobat ke dokter dan ke dukun tak sembuh-sembuh, lalu bertanya ke Jero Dasaran dikatakan tak terjadi apa-apa. Namun pada suatu hari salah seorang keluarganya kerauhan mengatakan bahwa damuh Ida Betara tak pernah tangkil ke Kawitan, ke Merajan Agung atau ke Paibon. Akhirnya setelah menghaturkan guru piduka, dan tangkil bersembahyang ke sana, akhirnya berangsur sembuh.
Pernah kejadian pula seseorang bujang, sebut saja namanya Wayan Begug bekerja di Denpasar. Ia berasal dari Songan, Kintamani,  Bangli, namun jarang pulang. Pada suatu hari ia mengalami sakit dan badannya terasa tak enak. Ia mengira ini sakit akibat kelelahan biasa. Namun setelah beristirahat cukup, justru penyakitnya tak kunjung reda. Sampai akhirnya ia beristirahat berhari-hari. Ia mencoba untuk berobat ke dokter, namun tak sembuh. Ia mencoba minum jamu-jamuan, malah tak berkasiat apa-apa. Sampai akhirnya ia mencoba untuk mengkonsultasikan dirinya ke grya dimana di sana ada orang wikan / pintar. Di sana didapat bahwa yang bersangkutan kesisipan di sanggah, diharapkan untuk pulang tangkil kehadapan Ida Betara Kawitan. Walaupun sebenarnya ia di kos setiap hari ngayeng / nyawang / ngayat  Ida  Betara Kawitan agar dituntun jalan menuju keselamatan dan kebaikan. Namun demikian ia tetap diharapkan untuk tangkil kehadapan Ida Betara Kawitan. Akirmya ia segera pulang untuk tangkil ke merajan kawitan dan akhirnya ia segera sembuh.
Mendengar beberapa contoh di atas, hal tersebut rasanya tak masuk akal. Namun itulah realitas di masyarakat Bali. Kejadian ini banyak terjadi di kalangan masyarakat Bali Hindu. Istilah ini disebut dengan kesisipan (dipersalahkan) oleh Ida Betara Kawitan atau leluhur. Karena pretisentana (keturunan) yang masih hidup tak pernah pedek tangkil ke asal mula tempat leluhur berstana. Akibatnya, leluhur akan memberi peringatan kepada para sentana yang malas atau lupa dengan kawitannya. Peringatan ini sejatinya leluhur sangat sayang kepada sentana agar tak terlena dengan hidup di dunia, tidak malas memuja Ida Betara Kawitan dan Ida Sanghyang Widhi. Dari alam sana para leluhur membimbing sentana untuk senantiasa menjalani yang namanya kemuliaan.
Mengapa hanya kesisipan oleh leluhur (kawitan?). Mengapa jarang terdengar kesisipan oleh Ida Betara di Pura Kayangan Jagat, atau lainnya? Karena leluhur merasa bertanggung jawab terhadap sentananya, karena leluhur mempunyai hubungan langsung dan masih memiliki hubungan emosional dengan sentananya. Demikian juga kalau diandaikan secara sekala seperti seorang anak yang nakal, maka yang diperingati adalah orang tuanya, dengan harapan orang tuanya akan memperingati anaknya agar tak nakal. Kia-kira demikian juga terjadi di niskala, sehingga lebih sering kita dengan kesisipan karena betara Kawitan. Walaupun selain kawitan bisa saja orang mengalami kesisipan di pura umum karena melakukan kesalahan tertentu, sehingga betara melalui pengawal atau ancangan pura tersebut memberikan semacam peringatan.
Bagaimana kejadiannya dengan I Wayan Begug yang sudah rajin ngayeng Ida Betara Kawitan dari tempat kostnya? Perlu diketahui bahwa ngayeng itu adalah mengayat atau memuja Ida Betara dari tempat yang jauh. Ngayeng dilakukan apabila yang bersangkutan tak sempat tangkil karena faktor jarak tinggalnya yang terlalu jauh, atau karena waktu yang sangat mendesak. Ketika Ida Betara di-ayeng, maka Ida Betara akan hadir dimana beliau di-ayeng untuk mendengar segala doa dari yang ngayeng. Namun perlu diingat bahwa ngayeng itu dilakukan ketika kepepet artinya tak sempat menghadap langsung. Ngayeng itu kalau di dunia manusia bisa diandaikan seperti berdoa lewat telepon atau mengirim doa lewat “sms”. Namun tak boleh terus-terusan begitu. Kalau ada kesempatan, mestinya datang atau menghadap langsung ke kawitan. Itulah yang diharapkan. Seperti kita menghadap kepada orang tua, tak selamanya kita akan  bicara lewat telepon atau sms / BBM. Kalau ada kesempatan, alangkah baiknya bertemu langsung, bicara langsung, tatap muka langsung, jadi akan terjadi jalinan emosional yang semakin dekat dan semakin kuat. Karena diantara sentana dan leluhur sejatinya masih ada hubungan emosional, ada kerinduan diantara  keduanya baik sentana yang ada di dunia dengan leluhur yang sudah berada di alam sunya. Inilah yang perlu dipahami mengapa banyak orang kesisipan karena leluhur.
Lalu timbul pertanyaan kenapa Ida Betara di Besakih atau kayangan jagat tak pernah membuat kesisipan?. Karena beliau sifatnya kayangan jagat dan beliau boleh dipuja dimana saja, dan beliau sudah dipuja langsung di setiap kayangan tiga atau kayangan umum dimanapun berada. Kalaupun toh beliau akan memberikan peringatan kepada damuh betara, maka Ida Betara kayangan jagat akan meminta kepada leluhurnya untuk memberi peringatan kepada sentananya yang malas. Atau Ida Betara Sungsungan Jagat (Ida Sanghyang Widhi Wasa) sudah menciptakan hukum adil yang disebut dengan hukm karmapala. Artinya bahwa hukum tersebut akan bertindak dengan sendirinya, tak perlu diawasi, dan pasti berlaku adil untuk siapa saja. Oleh karena itu sebagai manusia Bali, akan terikat dengan tiga hukum di dunia ini yakni hukum negara, hukum agama atau hukum Tuhan (karmapala) dan hukum leluhur / kawitan seperti yang dituliskan dalam bhisama leluhur.
Terus kenapa orang Non Hindu tak pernah terkena kesisipan kawitan atau hukuman dari leluhur?. Karena mereka tak menyembah leluhur. Hukuman leluhur akan terintegrasi menjadi satu dengan hukum karma. Tapi bagaimana orang Non Hindu bisa terkena hukum karma, sedangkan mereka tak percaya dengan hukum karma?. Hukum karma adalah istilah untuk keyakinan Hindu, sedangkan bahasa universalnya adalah hukum Tuhan atau hukum sebab akibat. Hukum karma sebagai hukum Tuhan berlaku untuk semua, dimana saja dan kapan saja. Dipercaya atau tidak, diyakini atau tidak, semua mahluk di dunia ini tak akan bisa lepas dari hukum karma / hukum Tuhan / hukum sebab akibat ini. Hukum karma bersifat universal, adil,rinci, tak bisa ditawar, tak bisa disuap, mencakup masa lalu, masa kini, dan masa yang akan dating.
Kurang lebih demikian. Mohon maaf atas kelancangan ini.  (buyut/Sup).


Friday, October 9, 2015

Bungkak Nyuh Gading





Bungkak Nyuh Gading digunakan dalam yadnya karena memiliki makna filosofis yang sangat mendalam, yakni:       - Bungkak nyuh gading sebagai simbol kekuatan toya (air) sukla. - Bungkak nyuh gading sebagai simbol kekuatan Tirtha Mahamerta (Tirta Dewa Siwa). - Bungkak nyuh gading sebagai simbol untuk nyomya kekuatan Sad Ripu atau sifat keraksasaan. - Bungkak nyuh gading sebagai simbul atau niasa kekuatan Dewa Wisnu.
Dengan demikian, menandakan bahwa bungkak nyuh gading sebagai simbul kesucian dari Para Dewa. Penggunaan bungkak nyuh gading dalam upacara yaitu: - Upacara Dewa Yadnya, diantaranya pada upakara / banten prayascita, banten mulang dasar bale dan mulang dasar bangunan suci, dll. - Upacara Pitra Yadnya terutama pada adegan saat upacara ngaben, banten Diyus Kamaligi. - Upacara Rsi Yadnya terutama pada banten prayascita. - Upacara Manusa Yadnya, pada saat upacara metatah sebagai tempat potongan gigi. - Bungkak nyuh gading dipakai sebagai sarana melukat. Bungkak nyuh gading dipercayai sebagai simbol kekuatan suci Ida Bhatara Wisnu, bahkan diyakini sebagai kekuatan tirtha Mahamerta (Siwa tirtha).
Berdasarkan hal tersebut di atas jelaslah bahwa bungkak nyuh gading bermakna:           - Sebagai perantara nyomya kekuatan Sad Ripu pada upacara metatah. - Sebagai linggih kekuatan suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa tatkala mulang dasar bangunan rumah, merajan dan sebagainya. -Sebagai sarana penyucian atau penglukatan. - Sebagai lambang Tri Loka, yaitu alam bawah (Bhur Loka), alam tengah(Bwah Loka), alam atas (Swah Loka),
Fungsi nyuh gading minyaknya dipakai sebagai perlengkapan pada banten catur. Minyak kelapa gading juga dipakai sebagai sarana tambahan dalam obat-obatan alternatif.
Berkaitan dengan pembicaraan tentang nyuh atau kelapa dalam upacara Hindu Bali serta dikaitkan dengan kasiat magisnya, maka ada baiknya juga disinggung mengenai nyuh maadan yakni kelapa tertentu yang memiliki fungsi khusus dalam sebuah upacara besar seperti pedudusan. Kelapa-kelapa tersebut antara lain: Nyuh gading berwarna kuning kemerahan, sebagai symbol dari Sanghyang Mahadewa, letaknya di bagian barat dari rangkaian kelapa-kelapa tersebut, sebagai sarana memohon Tirtha Kundalini. Nyuh Bulan, berwarna putih kekuningan, sebagai symbol dari Sanghyang Iswara letaknya di timur, sebagai sarana memohon Tirtha Sanjiwani. Nyuh Gadang atau kelapa hijau sebagai symbol dari Sanghyang Wisnu, letaknya di utara, sebagai saranaa memohon Tirtha Kamnadalu. Nyuh Udang berwarna merah, sebagai symbol Sanghyang Brahma, letaknya di selatan, sebagai sarana memohon Tirtha Pawitra. Sedangkan Nyuh Sudamala sebagai simbol Dewa Siwa, letaknya di tengah, sebagai sarana memohon Tirtha Mahamerta.
Inilah salah satu peran dari kelapa dalam upacara Hindu. Dan kalau dikaitkan dengan dunia magis mistik, maka kelapa sangat memiliki makna magis dan mistik. Karena secara tidak langsung kelapa-kelapa yang telah melewati sebuah rangkaian upacara telah mengalami berbagai macam penyucian, penyupatan, dan pasupati, sehingga memiliki kekuatan dewata atau energi positif. Inilah yang menyebabkan para kalangan usadawan atau balian kerapkali menggunakan kelapa ini sebagai sarana untuk pengobatan, karena diyakini kelapa tersebut telah diberkati para Dewa serta memiliki kemampuan untuk mengusir kekuatan negatif, apalagi penyakit-penyakit yang disebabkan oleh ilmu hitam. Karena akan mengalami penyupatan dari kekuatan dewata yang ada pada nyuh bekas upacara tersebut. Kira-kira demikian. (Taksu/Ki Buyut Dalu).