Friday, October 2, 2015

Soroh Menak dan Soroh Jaba





Sistem warna yang berkembang jaman dahulu di Bali kemudian secara feodal diwariskan dan berkembang menjadi sistem kasta, telah membawa warna tersendiri bagi kehidupan masyarakat Bali. Terserah orang mengatakan itu sebagai warna yang tertuang dalam kitab Weda. Sedangkan penjabarannya berdasarkan peran atau posisi di masyarakat, ataukah sebagai sebuah kasta yang merupakan kedudukan di dalam masyarakat. Namun apapun namanya, di Bali yang namanya kasta atau warna tersebut telah becampur dan dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat Hindu Bali sejak jaman dahulu (semenjak Majapahit berkuasa di Bali). Masyarakat Bali menjalankan semua itu dengan tulus iklas, masyarakat Bali menjalankannya secara sistematis, yang memunculkan pola hubungan sosial masyarakat, memunculkan adat-istiadat serta tataan sosial masyarakat seperti sekarang ini.
Terkait dengan soroh, di Bali sebenarnya banyak ada soroh, yang maksudnya adalah garis keturunan atau dinasti atau klan dalam masayarakat. Semenjak kekuasaan di Bali dipegang oleh Majapahit, maka hal tersebut menjadi semakin jelas. Sejak kemenangan Majapahit di Bali, maka kekuasaan dipegang oleh Majapahit dengan menempatkan seorang Adipati di Bali yang kemudian bergelar Dalem. Demikian juga dengan para arya sebagai panglima perang, kemudian ditempatkan tersebar di seluruh wilayah di Bali, menjadi penguasa lokal sebagai bagian dari kekuasan Majapahit di Bali. Mereka ini menjadi kelas masyarakat tersendiri di dalam masyarakat Bali. Mereka-mereka ini kemudian menjadi orang-orang istana, orang-orang berkuasa yang disebut dengan Wong Puri atau kalangan dalam istana. Sebagai kebalikan dari di dalam istana atau di jero, maka ada orang yang berada di luar jero. Siapakah ia? Mereka adalah para Bali (masyarakat Bali terdahulu) yang dapat ditundukkan ketika ekspansi Majapahit ke Bali. Mereka kemudian ditempatkan di luar istana, maka ia kemudian disebut dengan soroh jaba (jaba=luar) atau kalangan di luar sitana, alias masyarakat biasa.
Dalam kaitannya dengan kalangan jaba, maka tak semua kalangan jaba tersebut adalah golongan kawula (golongan sudra). Jaba hanyalah sebagai pembedaan mengenai tempat dan kekuasaan. Kawula adalah mereka yang menjadi parekan di jero atau istana atau pelayan, sedangkan sudra adalah dari golongan kelas bawah yang sampai sekarang dalam definisinya tak begitu jelas di Bali. Sehingga masyarakat awam mengatakan bahwa mereka yang selain menak (kesatrya, satrya Dalem dan Ida Bagus) dinyatakan sebagai sudra. Padahal bukan demikian adanya.
Seperti halnya, sesuai dengan keputusan Adipati Bali jaman dahulu bahwa dari keturunan Pasek, Bandesa, dan lain-lainya ditempatkan sebagai soroh jaba tapi bukan kawula atau bukan sudra. Karena mereka adalah para kesatrya Bali pada masa pemerintahan sebelumnya, dan mereka juga adalah keturuan Brahmana pada jaman sebelumnya.
Jadi dengan demikian soroh jaba yang sebenarnya adalah untuk membedakan posisi atau kedudukan dalam kekuasaan pada jaman dahulu.  Soroh jaba lebih kepada kedudukan dan fungsinya di luar kekuasaan atau di luar istana. Sedangkan perkembangannya di masyarakat sampai saat ini bahwa golongan / soroh jaba adalah golongan rendah, atau pelayan atau parekan. Sebenarnya kalau menilik dari arti kata serta posisi, maka pelayan di dalam istana pun sebenarnya adalah orang istana atau wong puri, atau wong jero. Namun perkembangannya sekarang bahwa yang dimasud dengan soroh jaba tersebut adalah rakyat biasa dan bukan dari keturunan menak. (Kand).

No comments:

Post a Comment