Friday, October 2, 2015

Ngobrol dengan Celuluk






I Runtag memang seorang petani yang ulet dan polos. Tak ada pekerjaan lain yang dilakukannya selain bergelut dengan lumpur. Ngedas lemah (subuh) ia sudah berangkat ke sawah, siang masih di sawah sampai sore. Malam pun sudah biasa di sawah. Itulah I Runtag seorang petani tardisional Bali dengan segala keluguannya. Dia tidak sendirian, tetapi pada umumnya petani yang lain juga begitu keadaannya. Sehingga di sawah tersebut tidak pernah sepi.
Diceritakan suatu hari I Runtag sudah menanam padi, dan di pupuk. Ia tinggal menjaga keadaan air agar tanaman padinya tidak kekeringan. Nah, kebetulan pada suatu hari air kali agak seret, dan ia kebagian air paling belakang, karena sawahnya berada di tebenan atau hilir dari barisan petak sawah. Maka ia mengairi sawahnya sampai malam. Krama petani yang lainnya ketika itu sudah mendapatkan air. Tinggal sawah I Runtag yang belum terairi.
Menjelang malam I Runtag datang ke sawah. Para petani yang lainnnya sudah pulang tinggal ia sendiri di sawah. Malam itu juga  sawahnya harus dapat air agar tidak kekeringan besoknya. Maka berangkatlah ia ke sawah sendirian. Hujan gerimis mengiringi langklahnya di kegelapan malam yang sunyi senyap.  Tanpa pernah merasa takut sedikit pun karena sudah biasa di sawah pada malam hari. Tetapi ketika itu ia sedikit makesieng karena merasa sendirian. Tapi kemudian ia berusaha melawan rasa khawatir tersebut agar tidak ketakutan.
Ia pun kemudian sampai di sawah. Pengalapan (lubang saluran air) pun di buka agar air bisa mengalir ke petak sawah. Kondisi air tidak begitu lancar ketika itu, sehingga ia selalu mondar mandir mengontrol di petak sawah dan penajnag sungai. Siapa tahu ada sampah atau pepohonan yang menghambat jalannya air. Ia mengontrol, sampai di hulu sungai, dan akhirnya sampailah I Runtag di empelan atau grembengan atau bendungan kecil di kali.
Dengan rasa percaya diri I Runtag melangkah pasti di keremangan malam yang hanya di temani kunang-kunang, suara godogan, dan suara pindekan (baling-baling). Ia lalu melihat sesosok orang di dekat grembengan (bendungan air kali) tersebut. I Runtag pun dengan ramah menyapa orang yang belum jelas tersebut. Seperti biasa salam dari jauh mereka “weee… nyen to, ngudiang to ? ( eh, siapa itu, sedang apa di sana). Begitulah kata I Runtag dari jauh. Tapi orang tersebut sama sekali tidak menyahut setelah dipanggil beberapa kali. Selangkah kemudian I Runtag menuju ke grembengan mendekati orang yang dikiranya sama dengan dirinya sedang mencari air di sawah. Semakin dekat, sedikit jelas kelihatan sosok orang tersebut. Di lihatnya orang tersebut memakai kamben duur entud, memakai baju batik, tetapi mukanya belum kelihatan, dan tampaknya orang tersebut menyembunyikan mukannya dengan kain putih. I Runtag dengan tanpa curiga macam-macam, ia menyapa orang tersebut.
Mungkin tak tahan dengan keramahan I Runtag, akhirnya ia mencoba bersikap ramah pula kepada I Runtag. Ia pun menyahut sambil memperlihatkan wajahnya. Wehehehhhh…. Cang I Nyonyo Lambih, wehehehhhhh…. Demikian sahutnya, yang membikin I Runtag terkejut setengah mati. Karena dilihatnya wajah orang tersebut berubah seperti umah tabuan (bagaikan rumah tawon). Mukanya seperti celuluk dalam cerita calonarang. I Runtag pun lari tunggang-langgang, meloncati kali dan ngengsut (nyangkut) di pohon galing-galing dan glagah yang ada di pinggir kali tersebut. Karena saking takutnya, ia tak merasakan sakit. Lari secepat mungkin biar sampai di rumah.
Akhirnya sampailah ia di rumah, yang membuat istri dan keluarganya kaget tengah malam. Ia kemudian menceritakan kejadian tersebut kepada keluarganya di rumah. Karena saking takut dan kagetnya ketika malam itu, I Runtag kemudian menjadi tidak enak selama seminggu di rumah. Untuk sementara urusan sawahnya diurus oleh anaknya yang paling sulung.
Berita tentang pengalaman I Runtag pun kemudian menyebar dikalangan petani di sawah dan di banjarnya. Banyak yang datang menengok dan bertanya kepada I Runtag di rumahnya ketika ia masih sakit. Datanglah suatu hari I Dayuh, teman akrabnya. Mereka bercerita seadanya. I Runtag pun ketika malam itu tidak tahu kalau malam tersebut adalah pemagpag kajeng kliwon, menjelang tilem. Ditambah dengan suasana hujan gerimis, maka itulah hari yang memang disukai oleh orang-orang untuk ngelekas. Karena suasananya sepi dan mencekam, jadi tidak banyak orang keluar rumah, sehingga tidak banyak gangguan. Nah apalagi kemudian pada malam itu lewat grembengan, karena orang begitu suka di tempat itu, karena grembengan tempat yang angker dan bagus untuk ngeleak. Belum lagi nanti kalau ada bangkai-bangkai binatang yang nyangkut, kalau sudah menjadi leak, maka akan terasa nikmat baunya. Padahal sejatinya baunya adalah sangat busuk.
Demikian I Dayuh mengingatkan I Runtag, kalau bepergian malam, perlu juga melihat atau mengingat hari atau rerahinan. (Ki Buyut / Kand).


No comments:

Post a Comment