Tuesday, October 27, 2015

Kriminalisasi Jenasah Rame Rame ke Krematorium



Ada sekian banyak krama adat yang hidup rantauan merasa cemas ketika suatu saat nanti pulang kampung untuk menyelenggarakan upacara terutama pitra yadnya. Karena upacara pitra yadnya dilaksanakan sesuai dengan dresta, awig awig, atau desa mawacara, serta melibatkan krama banjar atau krama desa. Mau tak mau krama yang ada di rantauan harus ke kampung halaman karena terkait dengan sistem pemujaan Hindu Bali yang tak lepas dari Betara Hyang Kawitan yakni para leluhur yang telah suci dan dipuja di Merajan Ageng maupun di Paibon dan Panti / Dadia. Inilah yang menyebabkan krama Bali Hindu terikat dengan tanah kelahirannya.
Ketika mereka berada di rantauan, maka sudah otomatis mereka tak dapat berinteraksi secara keseharian dengan krama di desa dalam kegiatan adat dan agama. Kecemasan mereka muncul ketika merasakan adat di tanah kelahirannya yang dinilai keras atau kurang fleksible terhadap perkembangan jaman. Lebih lebih mereka sudah kadung terbiasa dengan lingkungan yang lebih moderat di tanah rantauan. Kerapkali mereka merasa asing, merasa risih, atau mungkin cemas ketika pulang kampung. Suatu situasi yang makin menjauhkan mereka dari masyarakat adat di kampung halamannya. Mereka mulai serba sulit, mulai enggan, bahkan jarang mengikuti kegiatan adat. Di pihak lain, adat dan masyarakat adat juga mulai memberi penilaian pada mereka ini. Maka dalam situasi seperti ini, mulailah masyarakatt adat bicara, sangsi, adat mulai bergeming. Sangsi adat yang sifatnya administratif seperti denda sesuai dengan ketentuan mungkin bisa diterima. Namun yang dikawatirkan adalah sangsi adat non administratif yang ditunggangi oleh kebiasaan yang sering disebut dengan “suryak siyu”. Sangsi adat yang sifat diprovokatif oleh kelompok tertentu, ditunggangi oleh sentimen pribadi, atau latar belakang lainnya. Hal seperti ini sudah banyak dialami oleh krama rantuan. Namun tidak saja krama rantauan, sangsi adat yang kaku juga kerap menimpa krama yang sehari harinya berdiam di desa adat itu sendiri.
Aneh memang aneh, justru awig awig menjadi senjata makan tuan, menjadi pisau yang menyayat diri sendiri. Kenapa tidak, karena adat dan awig awig yang dibuat justru mengenai krama sendiri, bahkan menyulitkan anak cucu sendiri kelak di kemudian hari. Situasi ini menimbulkan banyak kasus adat di tanah ini, yang sebagaian besar menimpa krama adatnya sendiri dan tak pernah ada penyelesaian yang jelas. Adanya “tradisi” mesbes bangke, “tradisi” ngarap, krama kesepekan, seorang krama terusir dari tanah kelahirannya, dll. Yang sejatinya disebabkan oleh oknum - oknum yang sigug melahirkan awig awig yang kaku.
Semua itu sejatinya adalah “tindakan kriminal” yang mengatasnamakan adat, tindakan amoral yang berlindung di balik awig awig, dan justru sebagian orang menganggap bahwa itu adalah “tradisi”. Aneh memang perbuatan demikian disebut tradisi. Seolah menggeser serta mengkerdilkan makna tradisi itu sendiri. Padahal tradisi adalah kebiasaan - kebiasaan yang berlangsung secara turun - temurun dalam sekelompok orang yang dilakukan secara sadar atas dasar daya cipta, rasa dan karsa. Sedangkan dalam kasus adat hanyalah berdasarkan egoisme, sentimen pribaddi atau kelompok, dendam bercampur emosi. Banyak kasus adat yang dikatakan sebagai “tradisi” sebenarnya tindakan “kejahatan” yang dilakukan secara berulang atas nama adat dan awig awig, tanpa pernah ada yang mengontrol. Kejahatan yang dilakukan secara rutin dikatakan sebagai “tradisi”. Ini sesuatu yang aneh dan aneh…
Bagi masyarakat yang berpikir humanis dan moderat sudah tentu menilai sikap “tradisi” ini semestinya dihindari, jika tidak bisa merubah apalagi melawan. Daripada “megarang balung” tak karuan, lalu beberapa orang dari kalangan tokoh masyarakat mencoba untuk menempuh jalan damai, jalan tengah terhadap situasi sulit yang dihadapi manusia Bali dalam eksistensi adat. Dimana di satu sisi ada yang ingin mempertahankan adat secara kaku dengan alasan keajegan Bali dan Hindu. Namun di sisi lain perkembangan jaman menuntut adat beradaptasi. Dalam kepentingan ini, di beberapa desa adat menemukan jalan keluar, namun di banyak desa tak menemukan jalan keluar sehingga konflik adat mengemuka. Dan yang banyak menjadi sasaran adalah ketika penyelenggaraan upacara pitra yadnya “ngaben”.
Atas dasar tersebut, lalu ada ide untuk membuat krematorium yang sifatnya universal sebagai solusi kepada masyarakat yang tertimpa konflik adat, dengan harapan mereka tetap dapat menjalankan ritual agama tanpa harus berseteru dengan masyarakat adat di kampungnya. Sebagai sebuah solusi, sudah tentu kehadiran krematorium bersifat terbatas dan selektif. Hanya orang - orang yang memiliki masalah adat dan tak menemui jalan keluar dalam waktu tertentu, barulah bisa dilakukan di krematorium. Termasuk juga jalan keluar bagi masyarakat yang terkena sengker dewasa (batas waktu hari baik) yakni ketika di suatu desa adat sedang menyelenggarakan dewa yadnya di salah satu kayangan tiga, sehingga dalam jangka waktu beberapa bulan tak boleh melakukan upacara pitra yadnya. Apabila kebetulan salah satu krama ada yang meninggal dalam kurun waktu sengker dewasa tersebut, maka atas seijin dari bendesa adat atau prejuru adat, dapat melakukan pacara pitra yadnya di krematorium dalam batas upacara tertentu misalnya mekingsan di geni, dengan harapan keluarganya tak terlalu lama ngeraksa watangan (jasadnya lama tak diupacarai). Hal ini juga sebuah jalan keluar walaupun bukan karena konflik adat. Artinya bahwa semua dilakukan secara selektif, serta ada ijin dari bendesa atau prejuru adat dimana yang bersangkutan terdaftar sebagai krama adat, sehingga pihak krematorium tak disalahkan oleh adat tertentu.
Setelah sekian waktu berlangsung, justru banyak orang berpaling ke krematorium. Orang yang tak ada masalah dengan desa adat pun banyak yang melakukan upacara di krematorium, karena dirasa praktis dan mungkin murah. Salah satu yang pertama adalah Krematorium Santayana di Jalan Cekomaria, Peguyangan Kangin, Denpasar Utara. Rame - ramelah orang melirik krematorium sebagai pilihan ketika melakukan upacara pitra yadnya. Di pekuburan Cina juga sering dilakukan kremasi oleh krama adat tertentu. Bahkan ada yayasan menyelenggarakan jasa pitra yadnya di pekuburan Katolik, dimana dekat krematorium didirikan sebuah Pura Prajapati sebagai pengayatan terhadap penguasa kuburan atau penguasa kematian menurut Hindu Bali.
Adanya perkembangan model krematorium ini adalah sebagai produk dari perkembangan jaman, sehingga tak mungkin untuk dicegah, bahkan diperkirakan akan semakin menjadi trend di masyarakat. Adanya krematorium ini bagaikan hembusan angin segar bagi mereka yang ada di rantauan. Mereka tak lagi dihantui perasaan was - was ketika nanti menyelenggarakan upacara pitra yadnya seandainya masyarakat di kampungnya tak berkenan. Karena menjadi trend, maka bisa jadi penyelenggara jasa ini tak selektif lagi, sehingga orang berbondong bondong ke krematorium dengan mengabaikan peran desa adat atau banjar adat ke depan. Eksistensi desa adat dalam mengkoordinasikan masalah pitra yadnya menjadi kehilangan daya, sehingga terjadi kerancuan dalam penyelenggaraan pitra yadnya.
Untuk hal tersebut, agar desa adat tak kehilangan taring, maka perlu desa adat membuat awig - awig terhadap masyarakat adatnya untuk melakukan kremasi di krematorium. Mesti ada aturan yang jelas, mesti ada rambu - rambu dari pihak yang berkompenten, agar fenomena ini tak kebablasan yang justru menyebabkan adat menjadi kehilangan kontrol terhadap krama adatnya. Sebab keberadaan desa adat sampai saat ini sangat penting dan menjadi tumpuan utama bagi Agama Hindu Bali. Diakui atau tidak, disadari atau tidak bahwa Agama Hindu Bali sampai saat ini masih bertengger pada eksistensi adat dan desa adat.  Jika desa adat menjadi lemah, maka Hindu Bali lambat laun akan mengalami kegamangan. Maka sangat dipandang perlu kontrol oleh pihak yang berkopenten dalam hal ini apakah Parisada atau Majelis Desa Pakraman.
Artinya pula bahwa penyelenggaraan kremasi oleh jasa kremasi mesti diatur oleh adat dan pihak yang berwenang. Pihak penyelenggara krematorium mesti diberi rambu - rambu dan diawasi sehingga tak sembarangan menerima prosesi kremasi. Terutama bagi mereka - mereka yang masih tercatat sebagai masyarakat adat di suatu desa adat tertentu. Ketika sudah ada ijin  atau rekomendasi dari prejuru desa adat atau banjar adat, barulah penyelenggara jasa kremasi dapat melakukannya.
Fenomena melakukan pitra yadnya di krematorium ini adalah produk sejarah perkembangan jaman, serta sebagai ekses dari “kekakuan” dan “keangkuhan” dari adat itu sendiri. Artinya, dengan adanya alternatif krematorium ini, diharapkan adat yang masih kaku dapat lebih fleksibel dalam mengadaptasi perkembangan jaman, sehingga tak terbelenggu dengan situasi dan kondisi yang mungkin terkesan primitif yang justru menjadi bumerang bagi adat dan krama adat, menjadi bom waktu bagi generasi berikutnya, serta menjadi buah simalakama bagi Agama Hindu itu sendiri.
Sebagai akhir dari pembahasan ini adalah “Adat memang harus dipertahankan sebagai pijakan dari Agama Hindu Bali, namun perkembangan jaman mesti juga diadaptasi sebagai produk waktu sehingga tak akan menjadi bom waktu bagi generasi Hindu ke depan”.
(Buyut/Kanduk Supatra).    



No comments:

Post a Comment