Monday, December 26, 2016

Awal NAGA BESUKI Berstana di Gunung Agung




“BALI” berarti “SAKTI”

kanduksupatra.blogspot.com. Dikisahkan Betara Guru memiliki putra bernama Naga Besuki, tinggal bersama di Gunung Semeru. Pada suatu pagi Naga Besuki menghadap ayahnya. Betara Guru berkata “wahai anakku, kenapa tumben pagi-pagi datang ke mari?
Naga Besuki berkata “ayah, anaknda ingin sekali bertemu dengan saudara-saudara yang ada di Bali yakni Betara Geni Jaya yang berstana di Gunung Lempuyang, Betara Mahadewa di Gunung Agung, Betara Hyang Tumuwuh di Batukaru, Betara Manik Gumawang di Gunung Beratan dan Betara Hyang Tugu di Gunung Andakasa. Anaknda sangat rindu bertemu dengan saudara di Bali. Itulah sebabnya anaknda mohon ijin untuk pergi ke Bali”. kanduksupatra.blogspot.com.
Betara Guru berkata “anakku, kalau boleh janganlah anaknda pergi ke Bali untuk mencari saudaramu. Sebab pulau Bali itu sangat jauh dari sini. Bila anaknda ke sana maka sudah tentu akan menyeberang laut. Selain itu keempat saudaramu berstana berjauhan satu sama lain dan dibatasi oleh hutan belantara yang berbahaya. Ayah yakin engkau akan menemui kesulitan dalam perjalanan. Dan seandainya engkau ke sana, maka siapa yang akan ayah ajak untuk menjaga Gunung Semeru”
Naga Besuki berkata lagi “kalau demikian ayahnda berarti melarang anaknda ke Bali dan ayahnda meragukan kesaktianku. Tadi ayah mengatakan bahwa pulau Bali dibatasi laut. Kalau hanya laut, maka gampang bagiku untuk mengatasinya. Demikian juga ayah mengatakan tempat saudaraku berjauhan satu sama lainnya dibatasi hutan. Seberapa besarkah pulau Bali itu? Demikian Naga Besuki berkata dan meremehkan perjalanan menuju ke Bali
“Jangan meremehkan pulau Bali. Jangan dianggap pulau Bali sebesar telur. Naga Besuki, kalau demikian maumu ayah tak lagi melarangmu. Pergilah ke pulau Bali” Demikian Betara Guru. kanduksupatra.blogspot.com.
Naga Besuki dengan gembiranya mohon pamit untuk pergi ke pulau Bali. Naga Besuki berangkat dari Semeru menuju Blambangan. Dalam perjalanan, segala yang dilewati menjadi rusak dan banyak pohon yang tumbang, karena Naga Besuki amatlah besar dan panjang. Demikian juga dengan binatang hutan semua berlarian.
Tak lama dalam perjalanan sampailah Naga Besuki di Blambangan. Naga Besuki naik ke atas gunung di Blambangan untuk melihat pulau Bali. Oleh karena dari kejauhan, maka pulau Bali kelihatan sangat kecil. Kemudian Naga Besuki berkata dalam hati “ternyata aku telah dibohongi oleh ayah. Sudah nampak pulau Bali sebesar telur. Ayah tak percaya dengan kemampuanku”. kanduksupatra.blogspot.com.
Apa yang dikatakan oleh Naga Besuki telah diketahui oleh Betara Guru dan beliau mengikuti perjalanan Naga Besuki, namun beliau tak tampak. Tiba-tiba kemudian Betara Guru menampakkan diri di depan Naga Besuki dan berkata “Hai Naga Besuki, karena engkau telah meremehkan pulau Bali dan mengatakan sebesar telur maka sekarang buktikanlah. Dari sini kelihatan sebuah puncak gunung, gunung itu bernama Gunung Simanunggal. Dapatkah engkau menelan puncak gunung tersebut? Kalau engkau bisa maka ayah yakin dengan kesaktianmu”
Naga Besuki berkata “baiklah ayah. Kalau demikian perintah ayah, maka anaknda akan menelan puncak Gunung Simanunggal. Bahkan kalau ayah mengijinkan maka anaknda akan menelan pulau Bali sekaligus”. kanduksupatra.blogspot.com.
Naga Besuki bersiap-siap untuk menelan pulau Bali. Dari mata Naga Besuki memancar sinar terang memandang tajam Gunung Simanunggal. Tampak Naga Besuki bagaikan seekor burung Garuda raksasa yang sedang menyambar puncak Gunung Simanunggal. Tapi sayang, jangankan menelan semuanya, menelan puncak Gunung Simanunggal saja tak bisa.  Naga Besuki lalu mengelepar-gelepar sambil membelah puncak gunung Simanunggal, yang menyebabkan puncak Gunung bagian selatan terlempar. Naga Besuki mencoba sekuat tenaga dan berulang-ulang untuk dapat menelan puncak Gunung Simanunggal, namun tak berhasil. Hal tersebut diketahui oleh Betara Guru.
Betara Guru berkata “Naga Besuki, masihkah engkau ingin melanjutkan kehendakmu?
Naga Besuki berkata “Anaknda mohon ampun atas keangkuhan anaknda. Anaknda telah menganggap enteng dan meremehkan pulau Bali. Sekarang silahkan ayahnda menghukum anaknda atas keangkuhan ini”. kanduksupatra.blogspot.com.
Betara Guru bersabda “anakku Naga Besuki, mulai saat ini ayah mengingatkanmu mulai sekarang jangan lagi meremehkan pulau Bali. Agar engkau mengetahui saja bahwa Bali artinya Sakti. Oleh karena itu, mulai saat ini ayahnda perintahkan kepadamu agar tinggal di Gunung Simanunggal bersama dengan saudara-saudaramu menjaga pulau. Runtuhnya puncak Gunung Simanunggal bagian selatan adalah atas perbuatanmu, maka dari itu engkau harus menjaganya agar tak runtuh lagi”
Demikian sabda Betara Guru kepada Naga Besuki. Dan mulia saat itu Naga Besuki sangat taat kehadapan titah Hyang Betara Guru. Dan semenjak Naga Besuki berstana di Gunung Simanunggal, maka sangat jarang terjadi gempa, banjir, dan angin ribut di Bali. Gunung Simanunggal juga disebut dengan Gunung Tolangkir atau Gunung Agung.
Demikian dikisahkan. Ampura. Semoga tak terkena cakrabhawa rajapinulah sosod uphadrawa, menyebut beliau Yang Maha Suci.  kanduksupatra.blogspot.com. #kibuyutdalu. #BudayaBali #OriginalArtikelByKanduk



Wednesday, December 21, 2016

IBU


IBU berasal dari kata “bu” artinya “lahir”. IBU artinya “yang melahirkan”. Dalam konsep Hindu Bali, IBU adalah kemanunggalan aspek laki-laki dan perempuan (Meme - Bapa) / (Bapa Akasa - Ibu Pertiwi) / (Lingga - Yoni). Penyatuan kedua aspek ini yang mengadakan manusia di dunia.
Ketika bayi lahir, membuat banten "bu".
Beliau para leluhur yang telah suci di alam sunya disebut BETARA HYANG IBU / BETARA KAWITAN / BETARA LELANGIT / BATUR KALAWASAN PETAK.
Kumpulan keluarga - keluarga dalam satu garis keturunan (soroh) membuat tempat pemujaan leluhur yang disebut dengan PURA IBU.
Ikatan kekeluargaan dari keluarga-keluarga dalam satu garis keturunan disebut PAIBON (disebut pula Panti atau Dadya).
HARI IBU sejatinya penghormatan kepada orangtua (Meme - Bapa), termasuk di dalamnya Pekak – Dadong, Kumpi, Buyut, Klab, Klambiyung, Bungkar, Wareng, Klewaran, dan seterusnya yang disebut dengan para leluhur / Batara Ibu / Kawitan.
Dalam konteks kekinian, sebagai symbol dan objek penghormatan adalah Si Ibu, karena secara nyata beliulah yang mengandung dan yang melahirkan. Ampura. Itulah kenapa tak ada Hari Bapak.

#OriginalArtikelByKanduk #SelamatHariIbu #Ngeramangsawa #PongahJuariNyatua #kanduksupatra.blogspot.com.

Thursday, December 15, 2016

ANTARA VEGETARIAN dan MIMAMSA, Menurut Lontar Bubuksah



  (Menengahi Debat Yang Tak Berkesudahan)
kanduksupatra.blogspot.com. Diceritakan dua bersaudara kakak beradik bernama Kebo Milir dan Kebo Ngraweg. Keduanya belum mengenal etika, budhi pekerti, sehingga mereka selalu membuat onar, sekaligus mereka kurang disukai oleh saudara dan keluarga. Pada suatu hari mereka meninggalkan wilayah Kediri menuju pertapaan Mandhalangu atas petunjuk dari seorang siswa pertapaan tersebut yang bernama Hulukembang. Di sana mereka berdua diterima menjadi murid, lalu berganti nama: Kebo Milir menjadi Gagaking, sedangkan Kebo Ngraweg menjadi Bubuksah.
Mereka berguru pada seorang pertapa suci, belajar tentang ajaran rahasia keabadian. Mereka juga belajar kepada Sang Jugulwatu, salah seorang putra sang mahamuni yang telah berhasil dalam ujian pantangan-pantangan. Dikatakan berbadan gaib meski usianya masih muda, ia tidak ragu-ragu jika akan menemui ajalnya. Diceritakan pada suatu hari, lebih sepekan badan beliau seperti mati tidak ada yang mengetahui kerahasiaannya, tubuhnya menebar keharuman “pati nira keh wong gawok dening anilih tan katon”. Wafat beliau sangat gaib oleh karena badan beliau tidak terlihat. kanduksupatra.blogspot.com
Kembali diceritakan mereka beerdua. Setelah mendengarkan petuah dari sang guru, mereka berdua ingin melakukan tapa brata di pegunungan pada bulan Purnama Kapat. Dalam perjalanan mereka beristirahat di sebuah balai. Di balai tersebut terdapat lukisan wayang yang menceritakan Sudamala. Lalu mereka tiba di sebuah alas angker, hutan yang menakutkan, banyak binatang buas. Gagaking memutuskan untuk mengajak adiknya membuat pertapaan di tempat ini. Gagaking mengambil tempat di sebelah barat, Bubuksah di sebelah timur.
Sebelum membuat tempat pertapaan, mereka menuju ke sebuah pancuran air. Dilihatlah sebuah patung yang menceritakan lakon Arjuna Tapa. Saat Arjuna melaksanakan tapa yang hebat, meskipun digoda oleh bidadari cantik Supraba, Gagarmayang, dan Tilotama, tidak mengurungkan tapa semadinya. kanduksupatra.blogspot.com
Dikisahkan Gagaking dan Bubuksah melakukan tapa berata dengan cara yang berbeda. Gagaking menjalankan tapa dengan TIDAK MEMAKAN DAGING dan segala yang berasal dari hewani, hanya tumbuhan yang dianggap makanan suci. Sedangkan Bubuksah sebaliknya, dia melakukan tapa brata dengan tekun namun aneh, SEGALA JENIS MAKANAN DIMAKAN. Sesuai dengan janjinya, apapun yang terkena jebag / jebakan yang dipasangnya akan dimakan habis, tidak saja kancil, tikus, dan binatang lainnya juga dimakannya. Diolah menjadi makanan sambil menyanyikan kidung-kidung suci, minum air nira (tuak). Bubuksah sangat ketat dalam menjalankan tapa bratanya. Bubuksah tidak kalah mengagumkan dalam menjalankan tapa bratanya, siang dan malam selalu ingat dengan makanannya, karena masakan yang dibuat harus habis, tidak tersisa sedikitpun. Ini disebut berawa. kanduksupatra.blogspot.com
Dalam pertapaannya, pada suatu hari mereka terlibat diskusi yang hangat. Gagaking memberi tahu kepada adiknya “adinda, apakah yang adinda lalukan itu adalah suci? kenapa kita tidak menjalankan tapa brata yang sama saja dengan memakan makanan yang suci?”.
Bubuksah rupanya tetap teguh dengan pendirian tapa bratanya, meski sang kakak menyatakan ajarannya keliru dan tidak akan dapat mencapai kesempurnaan batin. Bubuksah tetap menjalankan tapa bratanya dengan tekun. kanduksupatra.blogspot.com
Dikisahkan pada suatu hari Betara Guru (Dewa Siwa) mendapatkan laporan dari dewa Indra bahwa ada dua orang manusia yang melakukan tapa untuk mendapatkan surga. Atas laporan tersebut Dewa Siwa hendak menguji keteguhan dalam menjalankan tapa brata. Diutuslah Sang Kala Wijaya untuk menguji kedua pertapa itu. Menguji siapa yang telah mencapai tyaga pati yakni kepasrahan atau kesiapan dalam menyambut kematian.
Sang Kala Wijaya kemudian mengambil wujud sebagai seekor macan putih menuju ke tempat pertapaan. Macan itu pertama menuju ke tempat Gagaking untuk memangsanya. Namun Gagaking menyarankan agar macan itu memangsa adiknya yang gemuk. Berbeda dengan dirinya yang berbadan kurus yang tak akan membuatnya kenyang. Gagaking tidak rela jika dirinya yang memakan makanan suci dimakan oleh binatang yang tidak suci. kanduksupatra.blogspot.com
Mendengar perkataan Gagaking, macan itu lalu menghampiri Bubuksah untuk memangsanya. Melihat kehadiran dari macan putih datang untuk memangsanya, Bubuksah yang pemberani dan siap meskipun ajal menjemputnya. Dia meminta macan itu menunggu sebentar, karena ia akan membersihkan badannya dan melakukan asuci laksana. Setelah itu Bubuksah mempersilahkan macan itu untuk memangsanya. kanduksupatra.blogspot.com
Mendengar perkataan Bubuksah, macan putih yang garang itu mengurungkan niatnya, lalu mengatakan bahwa dirinya diutus oleh Betara Guru untuk menguji tapa mereka. Singkat cerita, atas tapa dari kedua bersaudara itu, macan putih lalu mengajak mereka ke suargaloka menghadap Betara Guru. Bubuksah menunggangi harimau putih itu, sedangkan Gagaking menggelantung di ekornya. Keduanya mencapai kesempurnaan, keduanya mendapatkan sorganya masing-masing. Gagaking mendapatkan sorga tingkat lima sedangkan Bubuksah mendapatkan sorga tingkat tujuh (sorga tertinggi). Demikian ceritanya. kanduksupatra.blogspot.com
Kutipan Lontar Bubuksah ini menjadi renungan penulis, karena hakekat dari pencapaian kebebasan abadi adalah ketulusan, kepasrahan (LASCARYA) dan ketidakterikatan terhadap hal-hal duniawi. Jaman sekarang, laku spiritual yang dijalankan kerapkali atas motif duniawi, popularitas, citra diri, (mohon maaf) kerapkali terselubung motif bisnis, dll. Masih kuat lekatan ego dan kama duniawi. kanduksupatra.blogspot.com
Kutipan Lontar Bubuksah ini juga menginspirasi penulis dalam menengahi perdebatan panjang “tak berkesudahan” antara kaum VEGETARIAN dengan kaum SARWA BAKSA / MIMAMSA / BERAWA. Pada hakekatnya laku spiritual adalah untuk meminimalisir ego dan kama duniawi dalam diri untuk menjadi manusia paripurna. Menurut penulis demikian. Ampura. kanduksupatra.blogspot.com. #ijugul punggung mabet ririh #kibuyutdalu
Lontar Bubuksah ditulis pada Wadoprana Aburih, wuku Kurantil, pada hari kesembilan bulan terang, menjelang bulan (sasih) Jyesta (bulan sebelas) tahun saka 1619. Kemudian di gubah pada Menail Umanis, bulan Kartika, hari ke dua belas bulan gelap tahun saka 1811. kanduksupatra.blogspot.com #OriginalArtikelByKanduk

Monday, December 12, 2016

DELEM dan SANGUT berkeluh kesah di hari purnama


SEPERTINYA ………….
Aku terlalu bersemangat berkeyakinan, sehingga penampilanku aku kesankan sebagai orang spiritual. Ego kah aku ?
Aku terlalu bersemangat menempatkan diriku sebagai manusia berkeyakinan, semua aku bawa - bawa ke urusan keyakinan. Ego kah aku ?
Aku terlalu bersemangat mengabarkan kebenaran keyakinanku, seolah – olah orang lain tak memiliki kebenaran. Ego kah aku?
Aku terlalu bersemangat memandang perbedaan keyakinanku dengan orang lain, seolah - olah semua harus mengikuti seperti keyakinanku. Ego kah aku ?
Aku terlalu bersemangat menghimpun diriku dalam kelompok keyakinan, melahirkan istilah manyoritas dan minoritas. Ego kah aku ?
Aku terlalu bersemangat meneriakkan keyakinanku paling besar dan berkuasa, sehingga yang kecil dan lemah harus minggir. Ego kah aku ?
Aku terlalu bersemangat menyiarkan keyakinanku yang paling mulia dan paling beradab, seolah – olah tetanggaku aku pandang sebagai orang hina dan biadab. Ego kah aku ?
Aku terlalu bersemangat menerapkan paham dan keyakinanku, sesolah-olah tak ada ruang bagi orang lain di sampingku menjalankan keyakinannya. Ego kah aku ?
Aku terlalu bersemangat berjalan di jalur ketuhanan, sampai-sampai jalur kemanusiaan terabaikan. Ego kah aku?
Aku terlalu bersemangat menyebut diri benar, sampai-sampai orang lain menyandang predikat sesat. Ego kah aku?
Aku terlalu bersemangat berwacana tentang kebenaran, tapi aku lupa berbuat kebenaran. Ego kah aku ?
Aku terlalu bersemangat mengurusi keyakinan tetangga, disisi lain aku sangat marah dan bereaksi keras ketika terusik. Ego kah aku?

Kenapa semangatku berbuah ego …… ?
SEPERTINYA ……
Aku harus sujud kepada Sang Nabe Bhagawan Abhiyasa (Bagawan Biasa). Belajar menjadi orang “Biasa Biasa Saja”. Aku mesti kembali ke pekerti leluhur. Kembali kepada kearifan dan kebijaksanaan leluhur nusantara. Semoga pikiran baik datang dari segala penjuru. Rahayu… rahayu… rahayu ... #OriginalArtikelByKanduk
(kanduksupatra.blogspot.com. / ki buyut dalu)

Wednesday, December 7, 2016

Upacara Pamahayu Jagat. Memohon Dijauhkan dari RUUG JAGAT






kanduksupatra.blogspot.com. Dalan kondisi tertentu seperti adanya bencana alam, wabah penyakit atau terjadi perubahan sikap masyarakat yang cenderung beringas alias sangar, maka ini adalah sebuah pertanda alam, sebuah pertanda bahwa dunia ini sedang sakit. Dunia ini sedang bergejolak, atau dalam istilah para tetua Bali disebut dengan ruug jagat. Dunia dan isinya sedang bergejolak.
Dalam kacamata para waskita di nusantara terutama di daerah Bali yang kental dengan Gama Bali / Hindu Bali / Gama Tirtha yang dalam prakteknya lebih pada mazab Siwa Bhairawa, memandang bahwa situasi ini perlu dilakukan sebuah upaya spiritual. Ritual yang dilakukan adalah memohon kehadapan Sanghyang Adikala (penguasa seluruh kekuatan di alam raya) dalam hal ini adalah Dewa Siwa dan saktinya Dewi Durga untuk menentramkan dunia. Maka ritual yang dilakukan adalah dengan melakukan Pamahayu Jagat.
Pamahayu Jagat intinya berasal dari kata hayu / ayu yang artinya baik dan sejahtera sedangkan jagat artinya dunia atau alam semesta. Dengan dengan demikian pemahayu jagat artinya sebuah ritual yang dilakukan dengan tujuan untuk memohon kehadapan Hyang Kuasa agar dunia dianugrahkan ketentraman, kebaikan, dan kesejahteraan. kanduksupatra.blogspot.com
Dalam konsep Siwa Bhairawa maka ritual pemahayu jagat dilakukan dengan car menghaturkan caru dalam berbagai tingkatan. Baik dalam skala rumah tangga, desa, kabupaten maupun provinsi atau dalam skala seluruh dunia. Banyak macam pemahayu jagat yang dilakukan seperti halnya setiap menjelang Nyepi dengan menghaturkan caru dalam tingkatan rumah tangga, banjar, desa, kabupaten, maupun provinsi. Termasuk pula pemahayu yang dilakukan di tiap pura kayangan jagat di Bali dan di Indonesai, seperti yang dilakukn di Pura Agung Besakih dalam rangka Betara Turun Kabeh, Pancawalikrama, Merebu Bhumi, Tribhuwana, dan yang terbesar adalah Ekadasa Rudra. Semua itu adalah upacara ritual yang ditempuh dalam rangka peneduh atau pemahayu jagat. Termasuk caru caru peneduh yang dilakukan pada sasih kenem setia tahunnya.
Salah satu pemahayu jagat yang rutin dilakuakn di Pantai Geger di Nusa Dua Bali yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Badung. Atau pemahayu jagat yang dilakukan oleh pemerintah Kota Denpasar di Pantai Mertasari. Tingakatan pemahayu jagat yang dilakukan dengan menghaturkan Caru Balik Sumpah bersaranakan hewan caru berupa kebo, sapi, kambing, banyak, itik, ayam, babi, dll. Dalam prosesinya disediakan seperangkat caru lengkap dengan pengidernya di segala arah. Dilengkapi dengan sanggar tawang sebagai linggih sanghyang Trik Sakti, Brahma Wisnu Iswara sebagai manifesatsi Ida Sanghyang Widhi Wasa. Juga disediakan sanggar pengayatan kehadapan Sanghyang Luhuring Akasa yakni para dewa yang berstana di atas, di luar angkasa, yang memenuhi alam semesta ini. kanduksupatra.blogspot.com.
Pemujaan dilakukan oleh Sang Tri Sadaka yakni di Sulinggih dari golongan Resi Bujangga, Buda Kasogatan, Sulinggih Siwa. Diawali dengan pemujaan yang dilakukan oleh Sang Sulinggih Resi Bujangga yang dengan weda mantra beliau, serta peralatan yang digunakan seperti sungu, ketipluk, gentorang, genta uter, mampu mengundang para bebhutan atau kekuatan negatif di alam, terkumpul di hadapan caru balik sumpah. Para bebhutan tersebut kemudian dipersilahkan untuk menikmati caru yang telah disediakan. Demikian juga dilakukan mulang pekelem yakni penenggelaman pramana suci berupa hewa (kebo) ke tengah laut sebagai sarana permohonan kehadapan Hyang Maha Kala agar memberikan kekuatan agar dunia bawah baik itu tanah dan laut menjadi stabil. Demikian juga sering dilakukan di kawah gunung, dengan harapan melalui pramana suci hewan pekelem ini dapat menstabilkan gunung, dijauhkan dari bencana, dan selalu memberikan kesuburan dan air bagi penduduk yang mendiaminya.
Prosesi selanjutnya adalah, ketika sang Bhutakala telah datang dan menikmati semua caru, maka sang bhuta kala menjadi tenang. Dalam keadaan tenang, sang bhutakala tersebut oleh sulinggih dari golongan Budha Kasogatan disupat sehingga muncul sifat - sifat positif atau sifat kedewaan. Intinya bahwa pada proses ini Sang Butakala disupat menjadi Dewa oleh Sulinggih Budha. Setelah bersifat kedewataan, maka para dewa tersebut dipersilahkan untuk menempatkan posisi dalam kedewataan. kanduksupatra.blogspot.com.
Tahapan berikutnya adalah para dewa yang sudah berstana dalam posisi masing - masing, kemudian dipuja oleh Sang Sulinggih dari golongan Siwa. Dihaturkan ayaban dan sebaginya, seraya memohon kehadapan para dewa agar sudi menganugrahkan ketentraman, kesejahteraan, dan kemakmuran. Agar manusia dijauhkan dari sifat angkara murka, dijauhkan dari segala penyakit dan bencana, agar alam dianugrahkan kestabilan dan kesuburan.
Inilah prinsip dari upacara pemahayu jagat yang dilaksanakan secara rutin dalam rangka memohon kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam prabawa sebagai Sanghyang Tiga Wisesa agar bhumi ini, alam semesta dan segala isinya dianugrahkan ketentraman, kesejahteraan, dan kemamuran.
Upcara pemahayu jagat sejatinya didasari atas konsep Dewa ya Kala ya. Dimana sang bhuta kala yang ngrebeda dipanggil dan diberikan sesaji agar somia. Dalam keadaan somia atau degdeg / tenang, muncul sifat - sifat kedewataan. Dalam sifat kedewataan ini kemudian dipuja untuk melimpahkan berkah atau waranugraha. Inilah konsep manusia Bali yang memegang Gama Hindu Bali dalam menghadapai RUUG JAGAT. #OriginalArtikelByKanduk (kanduksupatra.blogspot.com. #ki buyut dalu).