Friday, April 17, 2015

Menonton Langsung Dadong Ngeliak





Ini salah satu kisah langsung dan otentik yang pernah diterima penulis terkait dengan masalah orang bisa ngeliak. Ada suatu cerita dari daerah Sidemen Karangasem. Sebut saja namanya Ni Luh Ayu, seorang anak kecil dengan banyak saudara dan banyak ibu. Ia tinggal bersama ibu tirinya disertai dadong (nenek) di sebuah gubuk yang sepi jauh dari pemukiman masyarakat. Luh Ayu ketika itu masih berumur sekitar tujuh tahun.
Pada suatu hari Ni Luh Ayu melihat si dadong memegang seutas kain. Kain itu menarik perhatian Ayu sambil mendekat. Kain itu dilihtanya berwarna poleng-poleng. Ia tak tahu apa itu. Dadong kemudian menaruh kain panjang poleng itu di suatu tempat kusus di dalam rumah. Dan kerapkali Ayu melihat dadongnya berbicara menghadap ke sabuk (kain poleng), seolah-olah ada yang diajak bicara. Namun ayu bengong saja, sebab ia tak mengerti apa yang dilakukan oleh dadong dan siapa yang diajak bicara. Ayu pun bertanya keada dadongnya tentang siapa yang diajak bicara. Dadongnya cuma menjawab “sing dadi, sing dadi”. Maksudnya Ayu si anak kecil tak boleh tahu siapa yang diajak bicara.  
Setelah beberapa hari kemudian, suatu malam kain yang dibawa dadongnya itu dikeluarkan oleh dadong lalu di letakkan di atas meja. Tampak oleh Ayu bahwa kain itu diajak bicara oleh dadong. Anehnya lagi kain tersebut seperti bisa berdiri dan tampak hidup seperti ular. Ayu bertanya pada dadong, apa yang dadong bilang, apa yang dadong lalukan?. I Dadong mengatakan “ten dados”, tak boleh, tak boleh ikut, tak boleh tahu.
Dalam beberapa saat setelah itu dadong kemudian keluar menuju halaman rumahnya dengan memakai sabuk tersebut. Karena saking senang dan sayangnya kepada dadong, Ni Luh Ayu lalu mengikuti sambil mengatakan “dadong kar kije…. dadong kar kije” (nenek mau kemana?).  I Dadong tak menyahut, langkahnya pasti dan lurus ke luar rumah. Ni Ayu pun terus mengikuti dari belakang. Sebab Luh Ayu memang tak bisa berpisah atau jauh-jauh dari dadongnya. Setelah sampai di tempat tertentu, Ni Luh Ayu melihat dadongnya mengurai rambut, kemudian salah satu kakinya diangkat kemudian meloncat (nengkleng). Ni Luh Ayu yang lugu pun setia menunggui dadongnya yang melakukan ritual yang tak ia ketahui. Setelah beberapa kali nengkleng sambil berputar, kemudian Ni Luh Ayu melihat muka dari dadongnya berubah menjadi membesar dan berlubang- lubang (mungkin itu yang dikatakan orang selama ini sebagai wajah seperti umah tabuan / rumah tawon). Ni Luh Ayu yang melihat itu sama sekali tak takut, karena ia sangat senang dan sangat sayang pada dadongnya yang diajaknya sehari-hari kemanapun pergi.
Dadong yang sudah berubah wujud tersebut kemudian meneruskan langkahnya, entah kemana. Namun Ni Luh Ayu tetap berkata dan bertanya “dadong kar kije”. Dadongnya yang sudah jadi liak tak menyahut dan langsung pergi. Sempat Luh Ayu mengikuti langkah dadongnya beberapa langkah, namun dadongnya semakin menjauh. Ni Luh Ayu lalu tak lagi mengikuti dadongnya dan bergegas kembali ke rumah untuk memberi tahu ibu tirinya yang sedang tidur. Ia membangunkan ibu tirinya dan mengatakan “biang, biang,… dadong di sisi ngigel sambil nengkleng, muane dadi cara umah tabuan” (ibu, ibu,.. nenek di luar sana menari-nari, mukanya seperti rumah tawon). Lalu dadong pergi entah kemana. Demikian Ni Luh Ayu memberitahu ibu tirinya.
Biyang / ibu  tirinya menyahut seadanya, “ahh…  ten dados.. ten dados” (ah tidak boleh…). Maksudnya tak boleh melihat dan tak boleh mengikuti. Mungkin saja byangnya ini sudah mengetahui kebiasaan dadongnya yang mempraktekkan ilmu pengeliakan.
Setelah mendapat jawaban demikian, Ni Luh Ayu kembali mencari dadongnya keluar ke tempat dimana ia nengkleng tadi. Ternyata dadongnya sudah ada di sana kembali. Lalu kembali ia menanyakan kepada dadongnya “dadong mare kije, dadong ngudiang ?” (dadong tadi kenana dan ngapain?). Tetap dadongnya diam seribu basa. Sehingga Ayu hanya bisa menonton dadongnya, demikian juga dadongnya asyik dengan ritual liaknya. Ketika itu Ni Luh Ayu merasakan sakit perut ingin beol. Maka ia kemudian beol di semak-semak tak jauh dari tempat dadongnya ngeliak, sambil menonton dadongnya. Dadongnya kemudian dilihat berjalan keliling dan sesaat hilang. Beberapa saat kemudian dadongnya muncul tepat dari arah depan Ni Luh Ayu yang sedang beol. Dadongnya sudah berubah wujud kembali menjadi kuda berkaki tiga, dua di belakang, satu di depan.
Ni Luh Ayu menjadi heran dan bingung kok dadongnya bisa kelihatan seperti kuda berkaki tiga dan mengeluarkan suara kuk,.. kukk,… kuuk,… kuk…, demikian sambil keliling melintas di depan Ni Luh Ayu yang sedang jongkok. Disamping itu terdengar juga suara gledug,.. gledug,… gledug… seperti suara langkah kaki kuda. Dadong yang sudah menjadi kuda lalu melintas di depan Ni Luh Ayu. Ayu pun mengamati dadongnya dengan seksama. Dan ketika kuda itu lewat di depan Ayu, ternyata dari belakang tak tampak kuda lagi. Yang kelihtan malah dadongnya sendiri yang berjalan membungkuk tertatih-tetih sedang menggenggam sebuah tongkat dengan kedua tangannya. Jadi kelihatan seperti kuda berkaki tiga (kaki belakang adalah dua kaki dadong, satu kaki depan adalah tongkat yang dibawanya). Dadong tampak seperti bermuka kuda, karena dalam ritualnya dadong sambil meniup sebuah alat bunyi-bunyian, sehingga mulut dadong kelihatan lebih monyong. Alat bunyi ini ditiup mengeluarkan suara kuk… kuk.. kuk… Sedangkan suara gledug… gledug… tersebut adalah suara hentakan tongkat yang dibawa oleh dadong.
Ni Ayu yang melihat kejadian itu sama sekali tak merasa takut, cuman dia bertanya-tanya, dadongnya sedang ngapain. Ia hanya selalu ingin dekat dengan dadongnya dan ingin agar dadongnya cepat pulang ke rumah. Ritual malam itu pun berakhir, dadongpun kembali ke rumah diikuti oleh Ni Ayu. Sesampai di rumah, dadongnya menaruh barang atau kain sesabukan itu di tempat semula. Disarankan oleh dadongnya agar kalau dadong sudah keluar rumah dengan mengenakan sabuk ini malam-malam, maka tak boleh ikut. Demikian juga dengan ni byangnya juga menyarankan demikian.
Pada suatu hari, dengan perasaan yang biasa-biasa saja dan mungkin penasaran dengan benda seperti ikat pinggang poleng berisi bentol bentol itu, Ni Luh Ayu kemudian melihatnya di tempat penyimpanan. Dilihatnya barang tersebut tergeletak di sana. Ia mencoba untuk mengambil barang tersebut dan melilitkannya di pinggang mengikuti seperti apa yang dilakukan oleh dadongnya. Lalu ia berjalan keluar. Ternyata Ni Luh Ayu merasakan dirinya berjalan melayang tanpa menyentuh tanah, ia pun kebingungan dan merasa ketakutan. Ia kemudian segera kembali berjalan ke dalam rumah lalu membuka ikat pinggang tersebut serta menaruhnya kembali di tempat semula. Ia kembali merasa seperti biasa. Hal itu dilakukannya tanpa sepengetahuan dadongnya. Dan karena pernah merasakan keajaiban dari sabuk dadongnya itu, maka ia tak berani lai mencoba-coba mengenakan sabuk itu lagi, karena takut melayang-layang.
Demikian kisah nyata yang di alami Ni Luh Ayu ketika kecil menyaksikan ritual dadongnya dengan mengenakan sabuk itu. Ni Luh Ayu pun tak tahu apa yang dilihatnya dan apa yang dilakukan oleh dadongnya. Seiring dengan berjalannya waktu, maka Ni Luh Ayu yang kecil dan lugu, kini menjadi dewasa. Saat ini ia mulai memahamai mengenai benda tersebut serta praktek apa yang dilakukan oleh dadongnya. Rupanya benda seutas kain tersebut yang sering disebut orang dengan sabuk pengeliakan. Sedangkan ritual nengkleng yang dilakukan dadongnya adalah ritual ngerehin dengan sikap masuku tunggal (berdiri dengan satu kaki) sambil menari-nari memuja Ida Betari Durga untuk mencapai puncak pemujaannya yang disebut dengan nadi. Pada saat nadi, maka bayu sabda idep si pemuja itu kemudian menyatu dan mencapai puncak. Si pelaku lalu diselimuti oleh energi sukma tertentu, sehingga yang bersangkutan tampak seperti apa yang mereka inginkan. Ada yang diselimuti oleh energi sukma dimana mukanya tampak berubah menyeramkan berupa bojog, celuluk, jaran, kebo, bade, rangda, dll. Si pelaku liak menjadi asik dengan dirinya, menikmati puncak pemujaannya (lia, lila, liang / senang / nikmat) dengan segala sensasinya. Yang tampak seperti jaran berkaki tiga disebut dengan gegendu jaran, sedangkan kerbau berkaki tiga dsebut dengan gegendu kebo.
Menurut cerita orang yang tahu masalah pengeliakan, jarang ada orang yang bisa dilihat atau diikuti oleh orang lain ketika melakukan ritual nengkleng, kecuali memang satu murid seperguruan. Namun kejadian Ni Luh Ayu yang masih kecil ini termasuk aneh. Mungkin karena Ni Luh Ayu dianggap masih kecil, tak tahu apa-apa, sehingga dadongnya tak melarang Ayu menyaksikan ritual ngeliak yang ia lakukan. Mungkin dadongnya berpikir begini “walaupun dilihat toh juga ia tak mengerti”. Bisa jadi si dadong mulai memperkenalkan sedini mungkin ilmu liak kepada cucu satu satunya itu, sebagai penerus dikemudian hari. Atau mungkin dadongnya juga berpikir begini “ngeliak sambil ngempu” (ngeliak sambil mengajak cucu). Ha..ha..ha..  Tapi dadongnya tak berpikir bahwa apa yang dilihat oleh cucunya itu tersimpan dalam memori otaknya, lalu ketika dewasa ia akan memikirkan kembali masa kecil dan teringat dengan apa yang ia lihat waktu kecil. Pada saat itulah baru ia paham tentang apa yang dilakukan oleh dadongnya terdahulu. Cucunya mulai paham bahwa ternyata dadongnya sebagai penekun ilmu liak. Dan… ketika semua itu disadari oleh Ayu, dadongnya sudah meninggal.  
Nah yang menjadi pertanyaan sekarang, dimanakah sabuk itu disimpan oleh dadongnya? Siapakah yang mewarisi ilmu itu sekarang? Kepada siapakah sabuk itu diberikan? Ni Luh Ayu merasa heran, takjub dan kadangkala lucu ketika menceritakan pengalaman masa kecilnya itu. Sedangkan Ni Luh Ayu sampai saat ini tak pernah menyentuh dunia liak seperti yang dilakoni oleh dadongnya terdahulu. Ia malah ngiring sesuhunan dan menjadi seorang spiritualis. Ayu menikah dengan seorang pria pengusaha dari Singaraja yang juga salah seorang teman dari putra proklamator Republik Indonesia yang juga sebagai seniman.
    

Friday, April 10, 2015

Serba Serbi Nerang Ujan





REKAYASA CUACA OLEH MANUSIA

Selain dunia calonarang, dunia yang paling ngetren belakangan ini adalah dunia nerang ujan. Bagaimana caranya agar tidak jatuh hujan pada waktu yang dikehendaki. Hal ini dinilai penting untuk kepentingan umum, misalnya ketika ada upacara ngaben, nganten, odalan, atau karya yaadnya lainnya. Lebih lebih pada musim hujan, pastilah ruang gerak langkah akan menjadi sedikit terhambat atau terganggu ketika hujan turun. Kalau hujan, wah kasihan pengantennya, kasihan tamunya, kasihan bantennya, dan satu lagi kasihan menu makanannya mudah masem alias basi. Lebih kasihan lagi ketika odalan kehujanan, jero mangku yang sudah lingsir - lingsir menggigil kedinginan ketika harus menjalani penglien atau prosesi odalan. Demikian I Putu Laklak Pikang membuka diialognya suatu pagi dengan I Gede Ongo Ongol.
Mengingat hal tersebut, maka peran dari mereka yang memiliki kemampuan nerang menjadi semakin krusial. Ketika musim hujan, selain upacara, tamu, makanan, maka yang menjadi perhatian adalah bagaimana menciptakan susanana nyaman bagi tamu yakni bagaimana caranya agar tidak hujan pada saat upacara. Maka sang punya gawe mulailah berpikir kemana minta tolong, kepada siapa minta bantuan, dan sebagainya. Sudah tentu ada beberapa alternatif. Sebab kebaradaan tukang terang di tanah Bali sudah merupakan suatu hal yang lumrah, namun tak layak untuk dibeberkan secara terbuka. Semuanya masih semacam kasak kusuk. Lanjut I Putu Jaya Merana.
I Gede Ongol Ongol lalu menimpali, “ketika sebuah perhelatan yadnya berjalan dengan baik tanpa ada hujan, maka kita sering mendengar kalimat “Nah ne mara hebat, nyen nerang?” sebagai tanda memuji. Namun sebaliknya ketika hujan turun pastilah ada yang nyeloteh “aduh kok bisa hujan. Kenken tukang terang ne, nyen nerang? Pasti tukang terang e pules”. Demikian sering terdengar dua hal yang sangat kotradiktif dalam melihat adanya hujan atau tak hujan dalam sebuah upacara. Dan inii merupakan realitas kehidupan di tanah Bali, lebih - lebih berkaitan dengan hajatan upacara adat atau agama.
Dari beberapa tukang terang yang ada (yang dikenal), beberapa menang sudah tak asing lagi alias sering menjalankan ritual penerangan di tempat tempat orang punya gawe. Dari sekian banyak menjalankan prosesi tersebut, banyak yang berhasil dan mendapatkan jempol yang diacung acung alias acungan jempol, dan sering pula kebobolan sehingga mendapatkan cibiran “sapih” artinya seri. Maksudnya nerang payu ujan payu. Demikian I Ngurah Godoh Embon ikut nimbrung pagi itu di atas taban bale banjar.
Lagi lagi ia menambahkan “Dalam dunia niskala di Bali, khusunya penerangan, tak jarang orang orang berlagak bisa nerang, berlagak sakti, berlagak hebat mau mengatur alam atau merekayasa cuaca sesuai dengan keinginannya. Memang sih secara tradisonal banyak sarana yang digunakan, ada yang memakai banten barak, memakai sarana base, sarana sembe, rokok, jangu, dll. Bahkan ada yang sarananya sedikit nyeleneh yakni si penerang harus dibawakan minuman “BIR BINTANG”. Entah itu sarananya yang sejati atau asisten tukang terangnya yang pingin bir sehingga menjadi suatu hal yang baku. Bahkan bir yang diminta adalah bir bintang. Jadi kita tak habis pikir, yang dibutuhkan dalam penerangan itu apakah airnya, alkoholnya, botolnya atau yang lainnya. Itu semua hanyalah sarana untuk memohon, apa saja boleh. Tetapi yang lebih penting adalah kekuatan jnana serta keiklasan dalam memohon”.
Karena banyaknya pertanyaan, tentu saja ada yang sedikit jahil. Ada pemikiran yang nyeleneh bahwa yang dibutuhkan adalah alkohonya, dengan harapan ketika sudah tahap hampir mabuk maka akan muncul bintang bintang. Itu artinya ketika bintang sudah kelihatan, pastilah tak hujan. Pahhh itu pikiran jail, tapi bisa jadi di akal. Artinya yang dibutuhkan adalah bintangnya. Haaaa….
Tapi kayaknya tak mungkin demikian. Namun apapun itu… semua adalah sarana untuk memohon kehadapan Hyang Widhi dalam prebawa beliau sebagai sebagai Sanghyang Brahma, Sanghyang Agni dan Sanghyang Bayu, sebagai kekuatan panas, api dan angin yang sudah tentu diharpakan dapat menghalau hujan atau mendung”.
I Putu Laklak Pikang punya cerita lain lagi “Ada lagi yang menampilkan diri begitu meyakinkan dan sedikit seram, dimana ketika nerang mereka membawa sebuah keris dari rumah yang konon keris itu adalah keris pusaka Brahma Ambara, yang berkasiat untuk nerang. Ketika nerang, si tukang terang itu menghaturkan banten, kemak - kemik, lalu menunjuk - nunjukkan kerisnya ke arah awan. Tampak memang seram sekali, dan meyakinkan. Namun lucunya, ketika beberapa lama kemudian, entah darimana datangnya awan yang bergerombol banyak (seperti awan CB atau awan commulonimbus) yang tebal dan gelap. Maka sang tukang terang kelabakan, mengacung acung kan kerisnya, mau dibawa kemana, atau mau diarahkan kemana. Sang tukang terang tak berdaya, maka hujan pun turun dengan lebatnya.
Kasihan juga, permohonannya pada hari ini tak terkabulkan oleh Sanghyang Brahma, mungkin Sanghyang Brahma sudah dipermaklumkan sebelumnya oleh Sanghyang Indra dan Sanghyang Wisnu bahwa pada hari ini beliau akan menghujani daerah tersebut untuk kepentingan agar tanaman dan alam menjadi sejuk, serta tanaman dapat tumbuh subur, berbunga dan berbuah, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia. Mungkin juga dengan hujan yang lebat tersebut, Sanghyang Wisnu dan Hyang Indra akan meruat alam  serta membersihkan segala kotoran dan mala di dunia, dimana segala macam kotoran dan penyakit akan dihanyutkan oleh air hujan lalu disucikan di laut. Bisa jadi…
Oleh karena itu, kali ini Hyang Brahma tak mengabulkan permohonan para tukang terang, demi kepentingan umat manusia di dunia. Kalau semuanya minta endang atau terang terus, tak baik untuk alam dan manusia. Mungkin demikian makna positifnya.
Dalam dunia penerangan, sering juga ada cibiran bagi mereka yang selalu berpikir ke arah niskala. Sebut saja namannya Made Kakah Dungkah sering berujar “kalau tak ada hujan, semua nitig tangkah ngaku nerang. Tapi kalau sudah hujan, semua tiarap tak ada yang berani bertanggung jawab” Demikian ia ceplas ceplos ketika menghadiri sebuah acara adat, dimana acara tersebut diguyur hujan dari pagi sampai sore tak ada jedanya. Kalau mau dibilang sakti nerang, maka terimalah order pada bulan - bulan antara Juni – Juli – Agustus – September. Pada bulan itu, tukang terang sembilan puluh delapan persen berhasil. Karena bulan itu bulan musim kemarau, mana ada hujan?. Kalau saat itu pastilah orang bilang tukang terangnya sakti.
I Nyoman Klepon Benyek berseru “Kalau nerang pada bulan Desember, Januari, Februari, maka siap siaplah menerima cibiran, sebab bulan itu bulan basah. Seperti kata I Ketut Mokoh Megenyolan “kanti ngencit tukang terange” yang artinya tukang terangnya sampai mencret mencret tak akan terang, sebab bulan itu bulan basah. Sehingga angka keberhasilan nerang cuman lima persen”.
I Nyoman Klepon melanjutkan bicaranya “Ada lagi cerita dari pinggir barat Kota Denpasar, seseorang yang berprofesi sebagai tukang terang memasang harga sebesar sepuluh juta rupiah untuk satu kali event. Ia biasanya melakukan teken kontrak dengan para rumah produksi yang sering melakukan shooting senetron atau iklan. Namun ketika temannya Gung Ngurah Bongkrek datang ke sana untuk meminta bantuan, secara professional mengatakan harganya sekian. Namun, teman Gung Bongkrek membisiki bahwa harga tersebut mahal.  
Lalu atas petunjuk dari I Nyoman Klepon, disarankan untuk mencari tukang terang yang profesional dan modern. Mereka berdua lalu menuju ke rumah seseorang di tengah kota. Gung Bongkrek semakin penasaran, ia mau diajak ke rumah balian siapa atau ke mangku siapa yang bisa nerang. I Nyoman Klepon dalam perjalanan membisikkan Gung Bongkrek bahwa ini adalah rumahnya Lampu Laser. Tapi Gung Bongkrek yang sedikit bongol mendengarnya Mangku Lasan. Maka ia semangat, sambil ingin tahu seperti apa goba atau wajah Mangku Lasan tersebut.
Sesampai di rumah persewaan itu, mereka segera masuk ke sebuah ruangan yang tampaknya seperti kantor. Gung Ngurah Bongrek menjadi heran, kok rumah balian seperti kantor. Ia berpikir, mungkin ini adalah ruang administari balian. Ia pun semakin penasaran karena balian yang dituju tersebut ternyata memilki manajemen modern dengan menggunakan tenaga front office untuk menerima tamu.
I Nyoman Klepon lalu memanggil Gung Bongkrek untuk diajak melihat barang ke dalam. Ia terkejut melihat beberapa lampu besar besar ada di dalam ruangan tersebut dengan berbagai macam ukuran dan jumlah banyak. Gung Bongkrek menjadi bingung. Dan dalam kebingungannya ia berpikir bahwa Mangku Lasan kalau nerang menggunakan bantuan lampu. Lalu Nyoman menjelaskan, bahwa tempat ini bukan rumah balian tukang terang seperti yang diketahuinya, tapi ini adalah kantor tempat penyewaan lampu laser untuk mengurai awan agar tak hujan. Biayanya sesuai dengan kesepakatan hanyalah tiga juta rupiah per hari. Biaya ini jauh lebih murah dibanding dengan sesari balian tadi yang sesarinya sepuluh juta rupiah.
Nyoman pun berbisik kepada Gung Bongkrek, “Ini bukan rumahnya Mangku Lasan tetapi, Lampu Laser”. Barulah kemudian Gung Bongkrek mengerti bahwa dirinya diajak untuk menyewa lampu laser. Mungkin secara di akal, ini lebih realistis, lebih nyata, atau mungkin lebih ada kepastian. Sebab sinar lampu itu bisa diarahkan langsung ke awan, sehingga bisa terurai dan tak hujan. Dibandingkan dengan tukang terang, kita tak tahu apa jadinya, gemana jadinya, yang kita tahu hanya kemik kemik dan tudang tuding, tak ada kepastian. Namun ini juga tak ada jaminan seratus persen. Sebab sering pula tukang laser yang basah kuyup kehujanan. Yang pasti manusia ingin memenuhi keinginannya.
I Gede Ongol Ongol berkomentar lagi “Yah…. begitulah, manusia selalu ingin sesuai dengan keinginannya. Manusia mencoba untuk merekayasa cuaca. Yah… bolehlah kalau bisa…….. Tapi ingat semuanya adalah semuanya atas kuasa Hyang Kuasa. Manusia hanya bisa memohon”. Yang paling sederhana menurut aku adalah lebih baik tidak nerang, biarkan alam berjalan sesuai dengan hukumnya. Kalau hujan, lebih baik meembon alias berteduh. Atau kalau memang harus beraktifitas saat hujan, maka gunakan mantel atau payung,…. Sederhanakan…. poloskan, dan mungkin ini adalah cara berpikir yang bebelogan alis tak ruwet”.
Demikian koment akhir dari I Gede Ongol Ongol sambil bergegas mengenakan mantel, soalnya hujan sudah mulai turun. Dan rembug pun bubar seketika.


Naga Anantaboga di Saptapetala






Sanghyang Antaboga atau Sang Hyang Nagasesa atau Sang Hyang Anantaboga adalah dewa penguasa dasar bumi. Dewa itu beristana di Kahyangan Saptapatala atau lapisan ke tujuh dasar bumi. Dari istrinya yang bernama Dewi Supreti, ia mempunyai dua anak yaitu Dewi Nagagini dan Naga Tatmala. Dalam pewayangan disebutkan, walaupun terletak di dasar bumi, keadaan di Saptapatala tidak jauh berbeda dengan di kahyangan lainnya.
Sang Hyang Antaboga adalah putra Anantanaga. Ibunya bernama Dewi Wasu (putri dari Anantaswara). Walaupun dalam keadaan biasa Sang Hyang Antaboga serupa dengan wujud manusia, tetapi dalam keadaan triwikrama, tubuhnya berubah menjadi ular naga besar. Selain itu, setiap 1000 tahun sekali Sang Hyang Antaboga berganti kulit (mlungsungi / mekules).
Dalam pewayangan, dalang menceritakan bahwa Sang Hyang Antaboga memiliki Aji Kawastrawam, yang membuatnya dapat menjelma menjadi apa saja sesuai dengan yang dikehendakinya. Antara lain ia pernah menjelma menjadi garangan putih (semacam musang hutan atau cerpelai) yang menyelamatkan Pandawa dan Kunti dari amukan api pada peristiwa Bale Sigala-gala.
Putrinya, Dewi Nagagini menikah dengan Bima, orang kedua dalam keluarga Pandawa. Cucunya yang lahir dari Dewi Nagagini bernama Antareja atau Anantaraja. Sang Hyang Antaboga mempunyai kemampuan menghidupkan orang mati yang kematiannya belum digariskan, karena ia memiliki air suci Tirta Amerta. Air sakti itu kemudian diberikan kepada cucunya Antareja dan pernah dimanfaatkan untuk menghidupkan Dewi Wara Subadra yang mati karena dibunuh Burisrawa dalam lakon Subadra Larung. Sang Hyang Antaboga pernah dimintai tolong Batara Guru menangkap Nagatatmala, anaknya sendiri. Waktu itu Nagatatmala kepergok sedang berkasih-kasihan dengan Dewi Mumpuni, istri Batara Yamadipati. Namun para dewa gagal menangkapnya karena kalah sakti. Karena Nagatatmala memang bersalah walau itu anaknya, Sang Hyang Antaboga terpaksa menangkapnya. Namun Dewa Ular itu tidak menyangka Batara Guru akan menjatuhkan hukuman mati pada anaknya dengan memasukkannya ke Kawah Candradimuka. Untunglah Dewi Supreti istrinya, kemudian menghidupkan kembali Nagatatmala dengan Tirta Amerta. Batara Guru juga pernah mengambil kulit yang tersisa sewaktu Sang Hyang Antaboga mrungsungi dan menciptanya menjadi makhluk ganas yang mengerikan. Batara Guru menamakan makhluk ganas itu Candrabirawa.
Sang Hyang Antaboga, ketika masih muda disebut Nagasesa. Walaupun ia cucu Sang Hyang Wenang, wujudnya tetap seekor naga, karena ayahnya yang bernama Antawisesa juga seekor naga. Ibu Nagasesa bernama Dewi Sayati, putri Sang Hyang Wenang. Suatu ketika para dewa berusaha mendapatkan Tirta Amerta yang membuat mereka bisa menghidupkan orang mati. Guna memperoleh Tirta Amerta para dewa harus mengaduk dasar samudra. Mereka mencabut Gunung Mandara dari tempatnya dibawa ke samudra, dibalikkan sehingga puncaknya berada di bawah, lalu memutarnya untuk melubangi dasar samudra itu.
Namun setelah berhasil memutarnya, para dewa tidak sanggup mencabut kembali gunung itu. Padahal jika gunung itu tidak bisa dicabut, mustahil Tirta Amerta dapat diambil. Pada saat para dewa sedang bingung itulah Nagasesa datang membantu. Dengan cara melingkarkan badannya yang panjang ke gunung itu dan membetotnya ke atas, Nagasesa berhasil menjebol Gunung Mandira, dan kemudian menempatkannya di tempat semula. Dengan demikian para dewa dapat mengambil Tirta Amerta yang mereka inginkan. Itu pula sebabnya, Nagasesa yang kelak lebih dikenal dengan nama Sang Hyang Antaboga juga memiliki Tirta Amerta.
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa untuk mendapatkan Tirta Amerta, para dewa bukan mengebor samudra, melainkan mengaduk-aduknya. Ini didasarkan atas arti kata ngebur dalam bahasa Jawa, yang artinya mengaduk-aduk, mengacau, membuat air samudra itu menjadi kacau.
Jasa Nagasesa yang kedua adalah ketika ia menyerahkan Cupu Linggamanik kepada Bathara Guru. Para dewa memang sangat menginginkan cupu mustika itu. Waktu itu Nagasesa sedang bertapa di Guwa Ringrong dengan mulut terbuka. Tiba-tiba melesatlah seberkas cahaya terang memasuki mulutnya. Nagasesa langsung mengatupkan mulutnya dan saat itulah muncul Bathara Guru. Dewa itu menanyakan kemana perginya cahaya berkilauan yang memasuki Guwaringrong. Nagasesa menjawab, cahaya mustika itu ada pada dirinya dan akan diserahkan kepada Bathara Guru, bilamana pemuka dewa itu mau memeliharanya baik-baik. Bathara Guru menyanggupinya, sehingga ia mendapatkan Cupu Linggamanik yang semula berujud cahaya itu.
Cupu Linggamanik sangat penting bagi para dewa, karena benda itu mempunyai khasiat dapat membawa ketentraman di kayangan. Itulah sebabnya semua dewa di kahyangan merasa berhutang budi pada kebaikan hati Nagasesa. Karena jasa-jasanya itu para dewa lalu menghadiahi Nagasesa kedudukan yang sederajat dengan para dewa dan berhak atas gelar Bathara atau Sang Hyang. Sejak itu ia bergelar Sang Hyang Antaboga. Para dewa juga memberinya hak sebagai penguasa alam bawah tanah. Tidak hanya itu, oleh para dewa Nagasesa juga diberi Aji Kawastram yang membuatnya sanggup mengubah wujud dirinya menjadi manusia atau makhluk apa pun yang dikehendakinya.
Sebagian orang menyebutnya Aji Kemayan, spertinya sebutan itu kurang pas, karena Kemayan yang berasal dari kata ‘maya’ adalah aji untuk membuat pemilik ilmu itu menjadi tidak terlihat oleh mata biasa. Kata ‘maya’ artinya tak terlihat. Jadi yang benar adalah Aji Kawastram. Untuk membangun ikatan keluarga, para dewa juga menghadiahkan seorang bidadari bernama Dewi Supreti sebagai istrinya.
Perlu diketahui, cucu Sang Hyang Antaboga, yakni Antareja hanya terdapat dalam pewayangan di Indonesia. Dalam Kitab Mahabarata, Antareja tidak pernah ada, karena tokoh itu memang asli ciptaan nenek moyang orang Indonesia. Sang Hyang Antaboga pernah berbuat kesalahan ketika dalam sebuah lakon carangan terbujuk hasutan Prabu Boma Narakasura cucunya, untuk meminta Wahyu Senapati pada Bathara Guru. Bersama dengan menantunya, Prabu Kresna yang suami Dewi Pertiwi, Antaboga berangkat ke kahyangan. Ternyata Bathara Guru tidak bersedia memberikan wahyu itu pada Boma, karena menurut pendapatnya Gatotkaca lebih pantas dan lebih berhak. Selisih pendapat yang hampir memanas ini karena Sang Hyang Antaboga hendak bersikeras, tetapi akhirnya silang pendapat itu dapat diredakan oleh Bathara Narada. Wahyu Senapati tetap diperuntukkan bagi Gatotkaca.


Sanghyang Wenang





Sanghyang Wenang gemar bertapa dan olah batin, sama seperti kakeknya dulu, Sanghyang Nurcahya. Segala macam tempat wingit ia datangi. Segala macam jenis tapa brata ia jalankan. Ia kemudian membangun istana yang melayang di udara, tepatnya di atas puncak Gunung Tunggal, sebuah gunung tertinggi di Pulau Malwadewa. Setelah 300 tahun bertakhta, ia akhirnya dipertuhankan oleh seluruh di pulau tersebut.
Pada saat itu hidup seorang raja bangsa manusia bernama Prabu Hari dari kerajaan Keling di Jambudwipa. Ia marah mendengar ulah Sanghyang Wenang yang mengaku Tuhan tersebut. Tanpa membawa pasukan ia datang menggempur Kahyangan Pulau Malwadewa seorang diri. Perang adu kesaktian pun terjadi. Dalam pertempuran itu Prabu Hari akhirnya mengakui keunggulan Sanghyang Wenang.
Prabu Hari kemudian mempersembahkan putrinya yang bernama Dewi Sahuti sebagai istri Sanghyang Wenang. Dari perkawinan itu lahir seorang putra berwujud akyan, yang diliputi cahaya merah, kuning, hitam, dan putih. Setelah dimandikan dengan Tirtamarta Kamandalu, keempat cahaya dalam tubuh bayi itu bersatu. Bayi tersebut kemudian menjadi sosok berbadan rohani yang memancarkan cahaya. Putra pertama Sanghyang Wenang itu diberi nama Sanghyang Tunggal. Peristiwa ini terjadi pada tahun 3500 Matahari.
Beberapa waktu kemudian Dewi Sahuti melahirkan bayi kembar dampit / buncing, laki-laki-perempuan, yang keduanya juga berwujud akyan, dengan diliputi cahaya. Keduanya kemudian dimandikan dengan Tirtamarta Kamandalu dan diberi nama oleh sang ayah, yang laki-laki diberi nama Sanghyang Hening, sementara yang perempuan diberi nama Dewi Suyati.
Sementara itu, perjalanan kehidupan kakak kandung Sanghyang Wenang, yaitu Sanghyang Darmajaka telah menjadi raja di negeri Selong. Sanghyang Darmajaka mempunyai istri bernama Dewi Sikandi, putri Prabu Sikanda dari Kerajaan Selakandi. Dari perkawinan tersebut Sanghyang Darmajaka mendapatkan lima orang anak, yaitu Dewi Darmani, Sanghyang Darmana, Sanghyang Triyarta, Sanghyang Caturkaneka, dan Sanghyang Pancaresi.
Sanghyang Darmajaka kemudian berbesan dengan Sanghyang Wenang, yaitu melalui pernikahan Dewi Darmani dan Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal sendiri kemudian menjadi raja Keling, menggantikan sang kakek Prabu Hari.