Friday, April 10, 2015

Serba Serbi Nerang Ujan





REKAYASA CUACA OLEH MANUSIA

Selain dunia calonarang, dunia yang paling ngetren belakangan ini adalah dunia nerang ujan. Bagaimana caranya agar tidak jatuh hujan pada waktu yang dikehendaki. Hal ini dinilai penting untuk kepentingan umum, misalnya ketika ada upacara ngaben, nganten, odalan, atau karya yaadnya lainnya. Lebih lebih pada musim hujan, pastilah ruang gerak langkah akan menjadi sedikit terhambat atau terganggu ketika hujan turun. Kalau hujan, wah kasihan pengantennya, kasihan tamunya, kasihan bantennya, dan satu lagi kasihan menu makanannya mudah masem alias basi. Lebih kasihan lagi ketika odalan kehujanan, jero mangku yang sudah lingsir - lingsir menggigil kedinginan ketika harus menjalani penglien atau prosesi odalan. Demikian I Putu Laklak Pikang membuka diialognya suatu pagi dengan I Gede Ongo Ongol.
Mengingat hal tersebut, maka peran dari mereka yang memiliki kemampuan nerang menjadi semakin krusial. Ketika musim hujan, selain upacara, tamu, makanan, maka yang menjadi perhatian adalah bagaimana menciptakan susanana nyaman bagi tamu yakni bagaimana caranya agar tidak hujan pada saat upacara. Maka sang punya gawe mulailah berpikir kemana minta tolong, kepada siapa minta bantuan, dan sebagainya. Sudah tentu ada beberapa alternatif. Sebab kebaradaan tukang terang di tanah Bali sudah merupakan suatu hal yang lumrah, namun tak layak untuk dibeberkan secara terbuka. Semuanya masih semacam kasak kusuk. Lanjut I Putu Jaya Merana.
I Gede Ongol Ongol lalu menimpali, “ketika sebuah perhelatan yadnya berjalan dengan baik tanpa ada hujan, maka kita sering mendengar kalimat “Nah ne mara hebat, nyen nerang?” sebagai tanda memuji. Namun sebaliknya ketika hujan turun pastilah ada yang nyeloteh “aduh kok bisa hujan. Kenken tukang terang ne, nyen nerang? Pasti tukang terang e pules”. Demikian sering terdengar dua hal yang sangat kotradiktif dalam melihat adanya hujan atau tak hujan dalam sebuah upacara. Dan inii merupakan realitas kehidupan di tanah Bali, lebih - lebih berkaitan dengan hajatan upacara adat atau agama.
Dari beberapa tukang terang yang ada (yang dikenal), beberapa menang sudah tak asing lagi alias sering menjalankan ritual penerangan di tempat tempat orang punya gawe. Dari sekian banyak menjalankan prosesi tersebut, banyak yang berhasil dan mendapatkan jempol yang diacung acung alias acungan jempol, dan sering pula kebobolan sehingga mendapatkan cibiran “sapih” artinya seri. Maksudnya nerang payu ujan payu. Demikian I Ngurah Godoh Embon ikut nimbrung pagi itu di atas taban bale banjar.
Lagi lagi ia menambahkan “Dalam dunia niskala di Bali, khusunya penerangan, tak jarang orang orang berlagak bisa nerang, berlagak sakti, berlagak hebat mau mengatur alam atau merekayasa cuaca sesuai dengan keinginannya. Memang sih secara tradisonal banyak sarana yang digunakan, ada yang memakai banten barak, memakai sarana base, sarana sembe, rokok, jangu, dll. Bahkan ada yang sarananya sedikit nyeleneh yakni si penerang harus dibawakan minuman “BIR BINTANG”. Entah itu sarananya yang sejati atau asisten tukang terangnya yang pingin bir sehingga menjadi suatu hal yang baku. Bahkan bir yang diminta adalah bir bintang. Jadi kita tak habis pikir, yang dibutuhkan dalam penerangan itu apakah airnya, alkoholnya, botolnya atau yang lainnya. Itu semua hanyalah sarana untuk memohon, apa saja boleh. Tetapi yang lebih penting adalah kekuatan jnana serta keiklasan dalam memohon”.
Karena banyaknya pertanyaan, tentu saja ada yang sedikit jahil. Ada pemikiran yang nyeleneh bahwa yang dibutuhkan adalah alkohonya, dengan harapan ketika sudah tahap hampir mabuk maka akan muncul bintang bintang. Itu artinya ketika bintang sudah kelihatan, pastilah tak hujan. Pahhh itu pikiran jail, tapi bisa jadi di akal. Artinya yang dibutuhkan adalah bintangnya. Haaaa….
Tapi kayaknya tak mungkin demikian. Namun apapun itu… semua adalah sarana untuk memohon kehadapan Hyang Widhi dalam prebawa beliau sebagai sebagai Sanghyang Brahma, Sanghyang Agni dan Sanghyang Bayu, sebagai kekuatan panas, api dan angin yang sudah tentu diharpakan dapat menghalau hujan atau mendung”.
I Putu Laklak Pikang punya cerita lain lagi “Ada lagi yang menampilkan diri begitu meyakinkan dan sedikit seram, dimana ketika nerang mereka membawa sebuah keris dari rumah yang konon keris itu adalah keris pusaka Brahma Ambara, yang berkasiat untuk nerang. Ketika nerang, si tukang terang itu menghaturkan banten, kemak - kemik, lalu menunjuk - nunjukkan kerisnya ke arah awan. Tampak memang seram sekali, dan meyakinkan. Namun lucunya, ketika beberapa lama kemudian, entah darimana datangnya awan yang bergerombol banyak (seperti awan CB atau awan commulonimbus) yang tebal dan gelap. Maka sang tukang terang kelabakan, mengacung acung kan kerisnya, mau dibawa kemana, atau mau diarahkan kemana. Sang tukang terang tak berdaya, maka hujan pun turun dengan lebatnya.
Kasihan juga, permohonannya pada hari ini tak terkabulkan oleh Sanghyang Brahma, mungkin Sanghyang Brahma sudah dipermaklumkan sebelumnya oleh Sanghyang Indra dan Sanghyang Wisnu bahwa pada hari ini beliau akan menghujani daerah tersebut untuk kepentingan agar tanaman dan alam menjadi sejuk, serta tanaman dapat tumbuh subur, berbunga dan berbuah, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia. Mungkin juga dengan hujan yang lebat tersebut, Sanghyang Wisnu dan Hyang Indra akan meruat alam  serta membersihkan segala kotoran dan mala di dunia, dimana segala macam kotoran dan penyakit akan dihanyutkan oleh air hujan lalu disucikan di laut. Bisa jadi…
Oleh karena itu, kali ini Hyang Brahma tak mengabulkan permohonan para tukang terang, demi kepentingan umat manusia di dunia. Kalau semuanya minta endang atau terang terus, tak baik untuk alam dan manusia. Mungkin demikian makna positifnya.
Dalam dunia penerangan, sering juga ada cibiran bagi mereka yang selalu berpikir ke arah niskala. Sebut saja namannya Made Kakah Dungkah sering berujar “kalau tak ada hujan, semua nitig tangkah ngaku nerang. Tapi kalau sudah hujan, semua tiarap tak ada yang berani bertanggung jawab” Demikian ia ceplas ceplos ketika menghadiri sebuah acara adat, dimana acara tersebut diguyur hujan dari pagi sampai sore tak ada jedanya. Kalau mau dibilang sakti nerang, maka terimalah order pada bulan - bulan antara Juni – Juli – Agustus – September. Pada bulan itu, tukang terang sembilan puluh delapan persen berhasil. Karena bulan itu bulan musim kemarau, mana ada hujan?. Kalau saat itu pastilah orang bilang tukang terangnya sakti.
I Nyoman Klepon Benyek berseru “Kalau nerang pada bulan Desember, Januari, Februari, maka siap siaplah menerima cibiran, sebab bulan itu bulan basah. Seperti kata I Ketut Mokoh Megenyolan “kanti ngencit tukang terange” yang artinya tukang terangnya sampai mencret mencret tak akan terang, sebab bulan itu bulan basah. Sehingga angka keberhasilan nerang cuman lima persen”.
I Nyoman Klepon melanjutkan bicaranya “Ada lagi cerita dari pinggir barat Kota Denpasar, seseorang yang berprofesi sebagai tukang terang memasang harga sebesar sepuluh juta rupiah untuk satu kali event. Ia biasanya melakukan teken kontrak dengan para rumah produksi yang sering melakukan shooting senetron atau iklan. Namun ketika temannya Gung Ngurah Bongkrek datang ke sana untuk meminta bantuan, secara professional mengatakan harganya sekian. Namun, teman Gung Bongkrek membisiki bahwa harga tersebut mahal.  
Lalu atas petunjuk dari I Nyoman Klepon, disarankan untuk mencari tukang terang yang profesional dan modern. Mereka berdua lalu menuju ke rumah seseorang di tengah kota. Gung Bongkrek semakin penasaran, ia mau diajak ke rumah balian siapa atau ke mangku siapa yang bisa nerang. I Nyoman Klepon dalam perjalanan membisikkan Gung Bongkrek bahwa ini adalah rumahnya Lampu Laser. Tapi Gung Bongkrek yang sedikit bongol mendengarnya Mangku Lasan. Maka ia semangat, sambil ingin tahu seperti apa goba atau wajah Mangku Lasan tersebut.
Sesampai di rumah persewaan itu, mereka segera masuk ke sebuah ruangan yang tampaknya seperti kantor. Gung Ngurah Bongrek menjadi heran, kok rumah balian seperti kantor. Ia berpikir, mungkin ini adalah ruang administari balian. Ia pun semakin penasaran karena balian yang dituju tersebut ternyata memilki manajemen modern dengan menggunakan tenaga front office untuk menerima tamu.
I Nyoman Klepon lalu memanggil Gung Bongkrek untuk diajak melihat barang ke dalam. Ia terkejut melihat beberapa lampu besar besar ada di dalam ruangan tersebut dengan berbagai macam ukuran dan jumlah banyak. Gung Bongkrek menjadi bingung. Dan dalam kebingungannya ia berpikir bahwa Mangku Lasan kalau nerang menggunakan bantuan lampu. Lalu Nyoman menjelaskan, bahwa tempat ini bukan rumah balian tukang terang seperti yang diketahuinya, tapi ini adalah kantor tempat penyewaan lampu laser untuk mengurai awan agar tak hujan. Biayanya sesuai dengan kesepakatan hanyalah tiga juta rupiah per hari. Biaya ini jauh lebih murah dibanding dengan sesari balian tadi yang sesarinya sepuluh juta rupiah.
Nyoman pun berbisik kepada Gung Bongkrek, “Ini bukan rumahnya Mangku Lasan tetapi, Lampu Laser”. Barulah kemudian Gung Bongkrek mengerti bahwa dirinya diajak untuk menyewa lampu laser. Mungkin secara di akal, ini lebih realistis, lebih nyata, atau mungkin lebih ada kepastian. Sebab sinar lampu itu bisa diarahkan langsung ke awan, sehingga bisa terurai dan tak hujan. Dibandingkan dengan tukang terang, kita tak tahu apa jadinya, gemana jadinya, yang kita tahu hanya kemik kemik dan tudang tuding, tak ada kepastian. Namun ini juga tak ada jaminan seratus persen. Sebab sering pula tukang laser yang basah kuyup kehujanan. Yang pasti manusia ingin memenuhi keinginannya.
I Gede Ongol Ongol berkomentar lagi “Yah…. begitulah, manusia selalu ingin sesuai dengan keinginannya. Manusia mencoba untuk merekayasa cuaca. Yah… bolehlah kalau bisa…….. Tapi ingat semuanya adalah semuanya atas kuasa Hyang Kuasa. Manusia hanya bisa memohon”. Yang paling sederhana menurut aku adalah lebih baik tidak nerang, biarkan alam berjalan sesuai dengan hukumnya. Kalau hujan, lebih baik meembon alias berteduh. Atau kalau memang harus beraktifitas saat hujan, maka gunakan mantel atau payung,…. Sederhanakan…. poloskan, dan mungkin ini adalah cara berpikir yang bebelogan alis tak ruwet”.
Demikian koment akhir dari I Gede Ongol Ongol sambil bergegas mengenakan mantel, soalnya hujan sudah mulai turun. Dan rembug pun bubar seketika.


No comments:

Post a Comment