Friday, April 17, 2015

Menonton Langsung Dadong Ngeliak





Ini salah satu kisah langsung dan otentik yang pernah diterima penulis terkait dengan masalah orang bisa ngeliak. Ada suatu cerita dari daerah Sidemen Karangasem. Sebut saja namanya Ni Luh Ayu, seorang anak kecil dengan banyak saudara dan banyak ibu. Ia tinggal bersama ibu tirinya disertai dadong (nenek) di sebuah gubuk yang sepi jauh dari pemukiman masyarakat. Luh Ayu ketika itu masih berumur sekitar tujuh tahun.
Pada suatu hari Ni Luh Ayu melihat si dadong memegang seutas kain. Kain itu menarik perhatian Ayu sambil mendekat. Kain itu dilihtanya berwarna poleng-poleng. Ia tak tahu apa itu. Dadong kemudian menaruh kain panjang poleng itu di suatu tempat kusus di dalam rumah. Dan kerapkali Ayu melihat dadongnya berbicara menghadap ke sabuk (kain poleng), seolah-olah ada yang diajak bicara. Namun ayu bengong saja, sebab ia tak mengerti apa yang dilakukan oleh dadong dan siapa yang diajak bicara. Ayu pun bertanya keada dadongnya tentang siapa yang diajak bicara. Dadongnya cuma menjawab “sing dadi, sing dadi”. Maksudnya Ayu si anak kecil tak boleh tahu siapa yang diajak bicara.  
Setelah beberapa hari kemudian, suatu malam kain yang dibawa dadongnya itu dikeluarkan oleh dadong lalu di letakkan di atas meja. Tampak oleh Ayu bahwa kain itu diajak bicara oleh dadong. Anehnya lagi kain tersebut seperti bisa berdiri dan tampak hidup seperti ular. Ayu bertanya pada dadong, apa yang dadong bilang, apa yang dadong lalukan?. I Dadong mengatakan “ten dados”, tak boleh, tak boleh ikut, tak boleh tahu.
Dalam beberapa saat setelah itu dadong kemudian keluar menuju halaman rumahnya dengan memakai sabuk tersebut. Karena saking senang dan sayangnya kepada dadong, Ni Luh Ayu lalu mengikuti sambil mengatakan “dadong kar kije…. dadong kar kije” (nenek mau kemana?).  I Dadong tak menyahut, langkahnya pasti dan lurus ke luar rumah. Ni Ayu pun terus mengikuti dari belakang. Sebab Luh Ayu memang tak bisa berpisah atau jauh-jauh dari dadongnya. Setelah sampai di tempat tertentu, Ni Luh Ayu melihat dadongnya mengurai rambut, kemudian salah satu kakinya diangkat kemudian meloncat (nengkleng). Ni Luh Ayu yang lugu pun setia menunggui dadongnya yang melakukan ritual yang tak ia ketahui. Setelah beberapa kali nengkleng sambil berputar, kemudian Ni Luh Ayu melihat muka dari dadongnya berubah menjadi membesar dan berlubang- lubang (mungkin itu yang dikatakan orang selama ini sebagai wajah seperti umah tabuan / rumah tawon). Ni Luh Ayu yang melihat itu sama sekali tak takut, karena ia sangat senang dan sangat sayang pada dadongnya yang diajaknya sehari-hari kemanapun pergi.
Dadong yang sudah berubah wujud tersebut kemudian meneruskan langkahnya, entah kemana. Namun Ni Luh Ayu tetap berkata dan bertanya “dadong kar kije”. Dadongnya yang sudah jadi liak tak menyahut dan langsung pergi. Sempat Luh Ayu mengikuti langkah dadongnya beberapa langkah, namun dadongnya semakin menjauh. Ni Luh Ayu lalu tak lagi mengikuti dadongnya dan bergegas kembali ke rumah untuk memberi tahu ibu tirinya yang sedang tidur. Ia membangunkan ibu tirinya dan mengatakan “biang, biang,… dadong di sisi ngigel sambil nengkleng, muane dadi cara umah tabuan” (ibu, ibu,.. nenek di luar sana menari-nari, mukanya seperti rumah tawon). Lalu dadong pergi entah kemana. Demikian Ni Luh Ayu memberitahu ibu tirinya.
Biyang / ibu  tirinya menyahut seadanya, “ahh…  ten dados.. ten dados” (ah tidak boleh…). Maksudnya tak boleh melihat dan tak boleh mengikuti. Mungkin saja byangnya ini sudah mengetahui kebiasaan dadongnya yang mempraktekkan ilmu pengeliakan.
Setelah mendapat jawaban demikian, Ni Luh Ayu kembali mencari dadongnya keluar ke tempat dimana ia nengkleng tadi. Ternyata dadongnya sudah ada di sana kembali. Lalu kembali ia menanyakan kepada dadongnya “dadong mare kije, dadong ngudiang ?” (dadong tadi kenana dan ngapain?). Tetap dadongnya diam seribu basa. Sehingga Ayu hanya bisa menonton dadongnya, demikian juga dadongnya asyik dengan ritual liaknya. Ketika itu Ni Luh Ayu merasakan sakit perut ingin beol. Maka ia kemudian beol di semak-semak tak jauh dari tempat dadongnya ngeliak, sambil menonton dadongnya. Dadongnya kemudian dilihat berjalan keliling dan sesaat hilang. Beberapa saat kemudian dadongnya muncul tepat dari arah depan Ni Luh Ayu yang sedang beol. Dadongnya sudah berubah wujud kembali menjadi kuda berkaki tiga, dua di belakang, satu di depan.
Ni Luh Ayu menjadi heran dan bingung kok dadongnya bisa kelihatan seperti kuda berkaki tiga dan mengeluarkan suara kuk,.. kukk,… kuuk,… kuk…, demikian sambil keliling melintas di depan Ni Luh Ayu yang sedang jongkok. Disamping itu terdengar juga suara gledug,.. gledug,… gledug… seperti suara langkah kaki kuda. Dadong yang sudah menjadi kuda lalu melintas di depan Ni Luh Ayu. Ayu pun mengamati dadongnya dengan seksama. Dan ketika kuda itu lewat di depan Ayu, ternyata dari belakang tak tampak kuda lagi. Yang kelihtan malah dadongnya sendiri yang berjalan membungkuk tertatih-tetih sedang menggenggam sebuah tongkat dengan kedua tangannya. Jadi kelihatan seperti kuda berkaki tiga (kaki belakang adalah dua kaki dadong, satu kaki depan adalah tongkat yang dibawanya). Dadong tampak seperti bermuka kuda, karena dalam ritualnya dadong sambil meniup sebuah alat bunyi-bunyian, sehingga mulut dadong kelihatan lebih monyong. Alat bunyi ini ditiup mengeluarkan suara kuk… kuk.. kuk… Sedangkan suara gledug… gledug… tersebut adalah suara hentakan tongkat yang dibawa oleh dadong.
Ni Ayu yang melihat kejadian itu sama sekali tak merasa takut, cuman dia bertanya-tanya, dadongnya sedang ngapain. Ia hanya selalu ingin dekat dengan dadongnya dan ingin agar dadongnya cepat pulang ke rumah. Ritual malam itu pun berakhir, dadongpun kembali ke rumah diikuti oleh Ni Ayu. Sesampai di rumah, dadongnya menaruh barang atau kain sesabukan itu di tempat semula. Disarankan oleh dadongnya agar kalau dadong sudah keluar rumah dengan mengenakan sabuk ini malam-malam, maka tak boleh ikut. Demikian juga dengan ni byangnya juga menyarankan demikian.
Pada suatu hari, dengan perasaan yang biasa-biasa saja dan mungkin penasaran dengan benda seperti ikat pinggang poleng berisi bentol bentol itu, Ni Luh Ayu kemudian melihatnya di tempat penyimpanan. Dilihatnya barang tersebut tergeletak di sana. Ia mencoba untuk mengambil barang tersebut dan melilitkannya di pinggang mengikuti seperti apa yang dilakukan oleh dadongnya. Lalu ia berjalan keluar. Ternyata Ni Luh Ayu merasakan dirinya berjalan melayang tanpa menyentuh tanah, ia pun kebingungan dan merasa ketakutan. Ia kemudian segera kembali berjalan ke dalam rumah lalu membuka ikat pinggang tersebut serta menaruhnya kembali di tempat semula. Ia kembali merasa seperti biasa. Hal itu dilakukannya tanpa sepengetahuan dadongnya. Dan karena pernah merasakan keajaiban dari sabuk dadongnya itu, maka ia tak berani lai mencoba-coba mengenakan sabuk itu lagi, karena takut melayang-layang.
Demikian kisah nyata yang di alami Ni Luh Ayu ketika kecil menyaksikan ritual dadongnya dengan mengenakan sabuk itu. Ni Luh Ayu pun tak tahu apa yang dilihatnya dan apa yang dilakukan oleh dadongnya. Seiring dengan berjalannya waktu, maka Ni Luh Ayu yang kecil dan lugu, kini menjadi dewasa. Saat ini ia mulai memahamai mengenai benda tersebut serta praktek apa yang dilakukan oleh dadongnya. Rupanya benda seutas kain tersebut yang sering disebut orang dengan sabuk pengeliakan. Sedangkan ritual nengkleng yang dilakukan dadongnya adalah ritual ngerehin dengan sikap masuku tunggal (berdiri dengan satu kaki) sambil menari-nari memuja Ida Betari Durga untuk mencapai puncak pemujaannya yang disebut dengan nadi. Pada saat nadi, maka bayu sabda idep si pemuja itu kemudian menyatu dan mencapai puncak. Si pelaku lalu diselimuti oleh energi sukma tertentu, sehingga yang bersangkutan tampak seperti apa yang mereka inginkan. Ada yang diselimuti oleh energi sukma dimana mukanya tampak berubah menyeramkan berupa bojog, celuluk, jaran, kebo, bade, rangda, dll. Si pelaku liak menjadi asik dengan dirinya, menikmati puncak pemujaannya (lia, lila, liang / senang / nikmat) dengan segala sensasinya. Yang tampak seperti jaran berkaki tiga disebut dengan gegendu jaran, sedangkan kerbau berkaki tiga dsebut dengan gegendu kebo.
Menurut cerita orang yang tahu masalah pengeliakan, jarang ada orang yang bisa dilihat atau diikuti oleh orang lain ketika melakukan ritual nengkleng, kecuali memang satu murid seperguruan. Namun kejadian Ni Luh Ayu yang masih kecil ini termasuk aneh. Mungkin karena Ni Luh Ayu dianggap masih kecil, tak tahu apa-apa, sehingga dadongnya tak melarang Ayu menyaksikan ritual ngeliak yang ia lakukan. Mungkin dadongnya berpikir begini “walaupun dilihat toh juga ia tak mengerti”. Bisa jadi si dadong mulai memperkenalkan sedini mungkin ilmu liak kepada cucu satu satunya itu, sebagai penerus dikemudian hari. Atau mungkin dadongnya juga berpikir begini “ngeliak sambil ngempu” (ngeliak sambil mengajak cucu). Ha..ha..ha..  Tapi dadongnya tak berpikir bahwa apa yang dilihat oleh cucunya itu tersimpan dalam memori otaknya, lalu ketika dewasa ia akan memikirkan kembali masa kecil dan teringat dengan apa yang ia lihat waktu kecil. Pada saat itulah baru ia paham tentang apa yang dilakukan oleh dadongnya terdahulu. Cucunya mulai paham bahwa ternyata dadongnya sebagai penekun ilmu liak. Dan… ketika semua itu disadari oleh Ayu, dadongnya sudah meninggal.  
Nah yang menjadi pertanyaan sekarang, dimanakah sabuk itu disimpan oleh dadongnya? Siapakah yang mewarisi ilmu itu sekarang? Kepada siapakah sabuk itu diberikan? Ni Luh Ayu merasa heran, takjub dan kadangkala lucu ketika menceritakan pengalaman masa kecilnya itu. Sedangkan Ni Luh Ayu sampai saat ini tak pernah menyentuh dunia liak seperti yang dilakoni oleh dadongnya terdahulu. Ia malah ngiring sesuhunan dan menjadi seorang spiritualis. Ayu menikah dengan seorang pria pengusaha dari Singaraja yang juga salah seorang teman dari putra proklamator Republik Indonesia yang juga sebagai seniman.
    

No comments:

Post a Comment