Wednesday, November 25, 2015

Balian Banyol




Made Robot, demikian namanya. Ia adalah seorang asisten balian super sakti di Denpasar dan sekitarnya. Balian yang tak pernah kalah dalam berbagai pertarungan, balian yang profesional, artinya ia hidup dan menghidupi keluarganya dari pekerjaan sebagai seorang balian. Selain mengobati, balian juga kerap melakukan kontrak dengan pihak EO (Event Organiser) untuk keperluan nerang, agar tak hujan saat pertunjukan. Atau kontrak dengan tokoh politik tertentu untuk urusan niskala, dll. Kontraknya dijamin mutu, dengan biaya puluhan juta. Sampai sekarang kontrak nerang-nya tak pernah bobol karena nerang pada sasih ketiga (musim kering). Itulah sekilas tentang bosnya si Robot.
Robot sendiri bukanlah orang aji keteng aji dadua, alias bukan orang sembarangan. Selain sebagai seorang asisten balian super sakti, sejatinya ia sendiri adalah seorang putra dari balian sakti. Ia juga  akademisi dengan karya tulis masternya tentang liak. Lalu melanjutkan ke program doktor. Artinya si Robot sendiri adalah seorang akademisi sekala niskala. Robot juga mengajar disebuah perguruan tinggi sekelas Institut yang sebenarnya mengurus tentang filsafat agama Hindu, namun nampaknya orang-orang di sana lebih sibuk mengurus ilmu kedigjayaan serta direpotkan dengan urusan mistik. Pokoknya full mistik (bukan full music !).
Sebagai seorang asisten balian sakti, si Robot sungguh sangat sibuk dibuatnya. Sibuk ngurusin pasien si bos, serta mendampingi si bos ketika bertandang ke suatu kegiatan dalam uruasan perbalian, adat, agama, dll. Namun disela-sela kesibukannya, si Robot suatu hari mampir ke kantor Nyoman Tobor (kebalikan dari Robot). Si Robot mengatakan saat ini ia sedang pusing - pusing sedikit. Bukannya masuk angin, tapi kemarin malam ketika berjalan di sebuah ruas jalan, ia seperti terkena  angin semilir alias serangan niskala. Namun tak apa !, sebab serangannya tak begitu keras, serta bisa ditanggulangi, hanya menyebabkan pusing sedikit. Temannya terheran mendengar omongan si Robot yang selalu mistik.  Angin mistik, panas mistik, hujan mistik, pokoknya mistik tik tik tikkk….
Si Robot melanjutkan ceritanya, bahwa Bos beserta dengan seka calonarangnya bertandang ke tanah Nusa Penida. Orang kaum spiritual pasti tahu bahwa bahwa Nusa Penida  adalah gumi wayah dalam hal dunia mistik. Sebab taksu mistik dan perbalian tedun di sana yakni di Pura Ratu Gede Dalem Ped sebagai dewan taksu balian dan kesaktian. Boleh dikata gurunya menjajal MABES alias markas besar dunia niskala dengan pertunjukan calonarang. Semuanya itu dilakukan atas dasar ngayah. Tapi yang tak habis pikir dari si Robot bahwa ngayah kok ngundang-ngundang dan nantang-nantang orang-orang sakti di sana. Aneh…. , namun demikian semuanya berjalan aman-aman saja. Sebab acara ngundang liak dan orang sakti disana berlangsung sekitar jam dua atau setengah tiga pagi. Artinya para liak sudah buk aling alias tidur nyenyak.
Masih cerita tentang calonarang, Robot mengatakan bahwa ketika pertunjukan calonarang diadakan di sebuah desa tertentu, rombongan calonarang tak nunas kopi dan nasi di tempat pentas dengan alasan agar tak merepotkan orang di sana. Padahal mereka kawatir jikalau ada orang nyengkalen dengan cetik dan sebagainya. Oleh karenanya semua peserta calonarang mebekel kopi sasetan, permen kopi, serta mebekel nasi kotak. (Jadi namanya bukan seka calonarang tetapi seka pindah makan ! Haa…). Sehingga mendapat julukan seka calonarang getap alias penakut.
Lain lagi cerita si Robot tentang Calonarang. Ketika adegan sedang tegang-tegangnya saat keluarnya bangke matah yang di-tegen atau dipapah. Tak boleh ada orang lain selain kru yang negen, takut kalau terjadi hal yang tak diinginkan. Ketika diusung, bangke matah yang tadinya sudah terbujur kaku, ketika sampai di atas panggung dalam keadaan ditegen, bangke tersebut ngerejit bangun dalam keadaan terbungkus kasa. Sontak saja tukang tegen terkejut dan segera membawa bangke matah ke tengah kalangan, sebab kawatir telah terjadi serangan hebat terhadap si bangke matah tadi. Adegan bangke matah pun dipersingkat. Dan ketika sampai di tengah kalangan, dicek secara niskala oleh sang Bos, ternyata tak apa-apa. Namun kenapa bangke matah terkejut bangun?. Menurut pengakuannya, karena si bangke matah tertusuk kancing baju si tukang tegen, membuat ia terkejut dan ngerejit, bukannya karena serangan niskala. Bisa jadi leaknya berubah wujud menjadi kancing peniti. Demikian si Robot sambil ketawa.
Lagi si Robot bercerita tentang seka calonarangnya yang akan mentas pada hari tenget yakni pemagpag kajeng kliwon di sebuah desa yang terkenal mistiknya. Persiapan matang pun dilakukan oleh sang bos dan Si Robot. Untuk meyakinkan keselamatan seluruh kru pemain, maka semuanya yang mengikuti rombongan dibagikan sabuk kesaktian. Sabuk ini menurut si Bos sangat ampuh dan memiliki kekuatan besar. Yakin tak akan tembus oleh pengaruh niskala darimana pun. Namun sebelum berangkat, si bos mengatakan bahwa energi sabuk ini memang besar, namun durasinya sangat pendek yakni cuma tiga hari, setelah itu kekuatannya menurun. Sebab sabuk ini tak menggunakan bahan pengawet, sehingga perlu dilakukan pengecasan setiap kajeng kliwon ke rumah sang balian dengan menghaturkan canang dan tentunya sesari. Aman…. Namun dalam pertunjukan ini, Robot yang menjaidi asisten disuruh membawa kompek / tas sang bos. Ketika sang bos sibuk menjaga pertunjukan, si Robot disuruh mengambil pulpen di tas si bos. Ketika dibuka sedikit tas tersebut, ternyata penuh berisi gegemet anti mencret alias obat mencret seperti enterostop dan diapet, dll. Artinya untuk jaga-jaga jika pasukannya terserang leak dan mencret-mencret, maka obat pamungkasnyanya adalah diapet atau enterostop.
Pada suatu hari si Robi mengikuti perjalanan bosnya. Dalam perjalanan banyak orang nelpon. Dan setiap ada orang nelpon, si Robot selalu bertanya sire nike nelpon jero. Jawabnya adalah “ada pasien sedang menunggu di rumah”. Setiap ada orang nelpon jawabannya selalu demikian. Padahal yang nelpon bukan pasien. Sepertinya si balian ini ajum sekali, agar keliahatan banyak pasien,  alias sing taen nduk. Terakhir kemudian jero balian menerima telepon dari rumah yang mengatakan bahwa jero balian dicari oleh orang gede gede tegeh. Jero balian sedikit terlihat panik, lalu  segera pulang sambil memikirkan orang gede tegeh tersebut pastilah sesuhunan jero balian yang sedang mijil, maka perlu dilakukan pemendakan penyamblehan, serta dihaturkan ayaban dan rayunan. Maka segera jero gede balik ke rumah. Sesampai di rumah, asisten jaga di rumah mengatakan bahwa anak gede tegeh tersebut sedang berada di bale daja. Maka jero balian segera ke sana. Namun yang didapatnya adalah empat orang yang berbadan kekar tinggi besar. Mereka adalah deb kolektor yang sedang menagih angsuran motor Si Robot yang sudah dua kali angsuran tak bayar.
Jero balian pun terkejut dan berseloroh, “tiang telepone wawu rerehe ajak nak gede tegeh, kaden tiang penembahan Sesuhuan di Dalem Ped, yee…, ternyata bapak deb kolektor”.
Akhirnya si balian melunasi dua kali angsuran sepeda motor Si Robot. Ia pun menunduk malu, tapi maau. Haaaaaa /…….  (Ki Buyut).

Sunday, November 22, 2015

Sangging Diserang Leak Seduk



 Kisah Seputar Metatah
Ada cerita menarik tentang Gus Tut yang mendapatkan tugas mengasah gigi (istilah lain dari potong gigi/metatah/mempandes). Suatu hari Ida Bagus Tut Asep Menyan Majegau (nama  imitasi)  kedatangan keluarga I Made Anyung Anyung (karena ia suka mengayung-ngayungkan kemaluannya pada waktu masih kecil), agar Gustut berkenan nyanggingin alias natah (mengasah gigi) di rumahnya tiga hari lagi. Dan sebagai Surya (Siwa), Gustut pastilah berkenan.
Singkat cerita tibalah waktunya untuk acara tersebut. Ida Bagus Ketut Asep Menyan Majegau sudah siap pagi hari mebersih, menghaturkan pejati yang dibawa oleh keluarga Made Anyung-Anyung, sekaligus memohon tuntunan dari Hyang Betara yang melinggih di Merajan. Tak banyak cingcong, Gus Tut berangkat menuju rumah Made Anyung-Anyung, karena sudah di-pendak (dijemput). Seperi biasa Gustut membawa gegemet yang diwariskan oleh penglinsir di grya agar digunakan ketika nyanggingin, agar selamat dari marabahaya niskala.
Dengan penuh percaya diri Gustut menjalankan tugas sosial sebagai seorang Sangging. Awalnya tak apa-apa, dan semuanya aman-aman saja. Persiapaan prosesi mulai dilakukan. Gustut naik ke bale tempat metatah. Di sana sudah terpajang kasur, galeng, dan di atasnya ada telaga ngembeng.  Gustut mulai ngastawa kehadapan Hyang Betara, dan mulailah anak yang metatah menuju ke bale metatah. Pada saat itu Gustut yang sudah biasa melakoni pekerjaan ini, kok tiba-tiba menjadi sedikit tegang. Konsentrasinya goyah tak karuan, namun ia mencoba untuk tenang dan konsentrasi. Demikian juga dengan kakinya mulai kesemutan, tangannya sedikit lemas dan gemetaran. Belum lagi peluh matah-matah (keringat dingin) mengucur deras di sekujur tubuhnya. Gustut mulai sedikit bingung, dalam hatinya berpikir ada apa ini. Ia berpikir, jangan-jangan ada orang yang mencoba untuk nyengkalen (mencelakai) dirinya dengan kekuatan ilmu kewisesan. Namun dengan sedikit saru-saru Gustut mencoba untuk menenangkan diri dengan cara mengacep dan sedikit minum sambil mencoba untuk menguatkan kakinya (toh dari mereka tak ada yang tahu persis mengenai prosesi metatah).
Sambil secara diam-diam meraba gegemet yang ada di pinggangnya (ternyata masih ada), Gus Tut Asep Menyan Majegau melalui natah dengan tetap yakin dengan gegemet serta sesuhunan pasti melindungi dirinya. Gustut sesekali melihat ke samping menoleh orang-orang yang mengelilingi anak yang metatah. Rata-rata mereka setengah baya ke atas dan tak ada yang dikenalnya. Hal ini menambah sedikit khawatir dari Gus Tut. Jangan-jangan salah seorang dari mereka memilki ilmu kewisesan yang tinggi mencoba untuk mencelakai Sang Sangging dan anak yang metatah. Sebab konon dalam keadaan tertidur terlentang saat metatah itu seserang yang ingin mencelakai secara niskala sangat gampang melakukannya. Sehingga sering terdengar bahwa seseorang anak yang metatah mengalami muntah-muntah, mengalami pingsan (nyelek ati), atau sakit berkepanjangan ketika habis metatah. Hal itu konon terjadi sesuatu yang bersifat niskala ketika metatah. Oleh sebab itulah metatah sedikit menegangkan bagi sebagian orang terutama di daerah yang kental dengan nuansa mistik atau kental dengan konflik keluarga.
Itu pula yang menyebabkan banyak orang menyiapkan banyak pengabih atau mungkin bekel (jimat) saat metatah. Ada pula yang mencoba untuk mengalihkan perhatian dari mereka yang inin  berbuat jahat dengan cara mengalihkan jam metatah. Sehingga ada orang yang metatah pada dini hari seperti jam empat jam lima. Dengan harapan leak yang ingin mecelakai orang metatah maupun Si Sangging masih tidur atau mungkin mengantuk. Dengan harapan si metatah dan sangging selamat dari ancaman celaka  niskala.
Kembali ke masalah Gustut yang tegang. Gus Tut memang mengetahui bahwa keluarga dimana tempat ia natahin dikenal masyarakat sebagai keluarga yang suka memperdalam ilmu kewisesan. Sampai saat terakhir ia natahin, ketegangannya tak surut juga. Tangannya masih gemetaran (walaupun masih bisa disembunyikan), dan kakinya yang terasa tetap kesemutan, dengan konsentrasi yang sedikit buyar, namun ia tetap mencoba untuk konsentrasi.
Kini berakhirlah acara metatah tersebut, berjalan lancar dan aman, tak ada kejadian khusus yang menimpa si metatah. Gus Tut merasa lega dan merasa sukses, walaupun dalam dirinya masih berkecamuk tentang pergulatan niskala. I Made Anyung-Anyung pun menghaturkan suksma kehadapan Gus Tut, dan menyuguhkan suguhan “boga samatra”. Gustut was-was juga dengan suguhan tersebut (bukan bermaksud untuk mencurigai Made Anyung-anyung, namun siapa tahu diantara orang yang hadir di sana ada maksud tak baik). Namun dengan keyakinan dan demi menghormati tuan rumah, maka Gus Tut ditemani oleh beberapa orang dekat kemudian menyantap boga samatra tersebut dengan senang hati.
Tak diceritakan dalam pesta akhir metatah tersebut, Gustut kembali ke grya dengan perasaan lega dan badan segar bugar. Tangannya tak lagi gemetaran, kakinya tak masih kesemutan, dan pikirannya menjadi tenang dan segar kembali. Setelah menyantap makanan tersebut. Gustut kembali merasa aneh dan berpikir, “kok tiba-tiba menjadi segar?”. Ia lalu berpikir di grya.
Dalam renungannya ia mulai tersenyum dan berkata dalam hatinya “sialan, bukannya saya kena tembak niskala saat natahin. Bukannya gegemet leluhurnya kalah sakti dengan ilmu orang-oang. Bukannya Ida Betara tak melindungi. Tapi karena tergesa-gesa dan tegang tadi pagi, akhirnya lupa makan. Rupanya perut lapar menyebabkan tangan gemetar, kaki semutan, dan pikiran kosong. Sialan ….”
Mendengar kata hati dari Gustut tersebut, mungkin saja cecak yang ada di tembok berkata dalam hatinya “haa…. Ternyata leak menyerang perut Gustut namanya Leak Seduk, alias perut lapar. Hahahaaaaa…….” (Ki Buyut Dalu)



Tuesday, November 17, 2015

ADAT MESATYA DI BALI (7), Belanda Menghapuskan Adat Mesatia di Bali




Belanda Menghapuskan  Adat  Mesatia di Bali
            Belandalah yang menghapuskan adat masatia di Bali dan sama sekali bukan oleh raja-raja Bali.  Di Bali adat masatia dicekokkan sebagai bagian dari sradha agama Hindu karena memang direkayasa seperti itu untuk menambah ketakutan rakyat dan keagungan raja yang menyelenggarakannya dengan kemasan sebagai citra kesetiaan dan cinta perempuan Bali kepada almarhum suaminya. Kehadiran para pedanda yang muput upacara itu lebih menguatkan persepsi bahwa upacara itu adalah sebuah upacara agama Hindu. Tetapi teks-teks Weda sama sekali tidak ada memuat prihal masatia. Berbeda dengan di India, di Bali tidak ada gerakan anti atas adat itu. Surya Kanta tidak mempermasalahkannya karena adat masatia telah dihapuskan pada waktu gerakan itu muncul di Bali Utara.
            Upacara masatia yang hampir menimbulkan konflik dan insiden antara Raja Tabanan dengan pihak Belanda, adalah upacara masatia dalam rangka pelebon Raja Tabanan, I Gusti Ngurah Agung. Raja yang meninggal pada tanggal 6 Maret 1903,  pelebonnya  baru dilangsungkan pada tanggal 25 Oktober 1903. Pelebon itu  didahului dengan upacara masatia oleh dua janda raja yang sudah tua-tua.
            Pihak Belanda berpendapat upacara itu bertentangan dengan pri-kemanusian dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Belanda berusaha menghalangi dan menggagalkannya dengan kekerasan dengan unjuk kekuatan pengerahan dua kapal perang yang berlabuh di pelabuhan Yeh Gangga. Raja Tabanan, Ratu Ngurah Agung, yang baru saja menggantikan ayahnya menolak keras niat Belanda, karena kalau upacara masatia sampai dibatalkan, martabatnya sebagai raja akan jatuh merosot di kalangan raja-raja di Bali dan rakyat Tabanan, karena upacara itu merupakan lambang kejayaan kerajaan. Di samping itu pembatalan itu akan menimbulkan kegaduhan karena undangan upacara pelebon dan masatia sudah disebar-luaskan ke seluruh Bali. Seluruh raja dan pejabat-pejabat penting di seluruh Bali sudah diundang menyaksikan upacara itu.
            Pihak Belanda dapat memahami alasan itu, tetapi upacara itu hanya boleh dilangsungkan kalau Raja Tabanan  berjanji bahwa segera setelah upacara usai, dia akan bersedia menandatangani perjanjian dengan pihak Belanda yang isinya bahwa untuk selama-lamanya dia tidak akan lagi mengadakan upacara masatia. Raja Tabanan setuju dan upacara berlangsung meriah dan rakyat mendapat “hiburan” yang dinanti-nantikannya.
            Sebagai konsekuensinya Raja Tabanan menanda-tangani perjanjian dengan pihak Belanda yang diwakili oleh Residen Bali dan Lombok, J. Eschbach pada tanggal 20 Januari 1904, yang isinya bahwa di wilayahnya siapa pun tidak akan diijinkan melakukan upacara masatia. Bunyi teks perjanjian itu adalah sebagai berikut.
Ida Anake Agung ring Tabanan masobaya tiba ring raganiya, mekadi ring sapranantika turun-turunanniya ngararyanang sane dinane mangkin salwiring solah krama mesatya-satyaan padem ring jagat Tabanan. Pedagingan saking mangkin Anake Agung tan wenten pisan ngiclenin malih, wawalun Anake Agung, yadiapin wawalun sasemetonanniya, yadiapin wawalun sapasira ugi kabasmi sareng ring sawan lanangniya. Cendeke, Ida Anake Agung, tan wenten pisan nglugrahang malih janma isapasira ugi padem, nyatianin sawan isapasira jua”.  (Singkatnya, Penguasa di Tabanan berjanji untuk dirinya sendiri, juga untuk keturunannya, mulai hari perjanjian menghentikan kebiasaan masatia sampai mati di wilayah Tabanan. Tegasnya  sejak saat itu penguasa tidak akan mengizinkan siapapun, baik jandanya sendiri, janda–janda keluarganya, mau pun janda siapa pun untuk mesatia bersama dengan mayat suaminya. Pendek kata, Penguasa tidak akan menjizinkan manusia siapapun juga, mesatia dengan mayat siapa pun juga).
Raja-Raja di Bali memang telah pernah menanda-tangani perjanjian dengan Belanda yang diwakili oleh J. van Swieten di rumah Mads Lange di Kuta pada tanggal 13 Juli 1949, tetapi dalam perjanjian itu tidak ada diatur sama sekali mengenai adat masatia. Yang secara spesifik telah diatur adalah mengenai penghapusan adat tawan karang di seluruh Bali dan penghapusan perbudakan, penjualan budak dan ekspor budak dari Bali. Untuk menghentikan upacara masatia di seluruh Bali, Belanda memaksa raja-raja Bali lainnya  menanda-tangani perjanjian yang sama substansinya dengan perjanjian dengan Raja Tabanan. Dengan Klungkung perjanjian itu ditandatangani pada tanggal pada tanggal 23  September 1904, dengan Badung pada tanggal 22 Desember 1904, dengan Bangli pada tanggal 19 Januari 1905. Dengan Buleleng dan Jemberana tidak perlu diadakan perjanjian tentang penghapusan adat masatia dan perbudakan, karena telah dihapuskan terlebih dulu oleh van Bloemen Waanders, setelah Buleleng dan Jemberara dijajah Belanda. Untuk Karangasem dan Gianyar juga  tidak diperlukan perjanjian karena yang berkuasa di kedua bekas kerajaan itu adalah Kontrolir Belanda yang pasti tidak akan mengizinkan berlangsungnya upacara mesatia.. Bekas rajanya sudah dijadikan pegawai biasa dengan sebutan stedehouder yang berada di bawah pengawasan seorang Kontrolir. Dengan ditanda-tanganinya perjanjian-perjanjian itu, maka sejak tahun 1905 tidak ada lagi upacara masatia di Bali.
            Mungkin ada yang ”menyesalkan” mengapa salah satu “budaya bangsa” dan “aset unggulan” daya tarik pariwisata Bali dihapuskan, sehingga para guide hanya bisa berceritera saja tentang aib adat masatia yang terjadi pada masa lampau. Mudah-mudahan saja mereka menceriterakan upacara itu kepada tamunya dengan nada sedih penuh maaf dan bukan dengan membangga-banggakannya sebagai tanda kesetiaan perempuan Bali terhadap suaminya. (Ki Buyut Dalu)

ADAT MESATYA DI BALI (6), Kesaksian Friederich ( 1841)




Kesaksian Friederich ( 1841)
             Dr. R. Th. Friederich adalah seorang yang sengaja didatangkan oleh Gubernur Jandral Hindia Belanda sebagai penasehat dalam urusan adat, agama dan budaya Bali, karena dia adalah seorang  orientalis dan linguis yang ahli tentang agama Hindu dan mahir berbahasa Sansekerta dan Jawa Kuno. Kehadirannya pada pelebon Raja Gianyar pada tanggal 20 Desembar 1847 adalah bersama dengan Helms dan Mads Lange.
            Kesaksiannya tidak jauh berbeda dengan kesaksian Helms. Dia juga menekankan kebingungannya bahwa selama upacara berlangsung, penonton bersorak-sorai, seperti menonton pertunjukan biasa dengan diiringi gamela yang terus menerus dipukul. Serdadu-serdadu menambah kegaduhan dengan suara tembakan-tembakan bedilnya dan meriam juga ditembakkan. Tidak seorang pun dari 40.000 penonton yang tidak menunjukkan wajah gembira ria, bak menyaksikan pertunjukan hebat. Tidak ada yang menunjukkan rasa belas kasihan dan rasa berdosa, kecuali beberapa orang Eropa yang keinginannya hanya satu, yaitu secepatnya mengakhiri pelaksanaan adat yang barbar itu.
            Demikianlah ringkasan kesaksian lima orang asing tentang upacara mesatia di Bali dari zaman Gelgel, semasa pemerintahan Dalem Sagening sampai dengan menjelang dikalahkannya kerajaan Buleleng oleh Belanda pada tahun 1849 yang disarikan dari artikel panjang yang berjudul Human Sacrifise in Bali: Sources, Notes, and Commentary  karya pakar sejarah, Alfons  van der Kraan. Tentu saja jumlah upacara masatia di Bali tidak hanya yang terekam dalam tulisan kelima orang itu saja. Jumlahnya pasti lebih banyak, hanya saja tidak terekam atau sudah ada yang merekammnya tetapi tidak dipublikasikannya. (Ki Buyut Dalu).