Tuesday, November 17, 2015

ADAT MESATYA DI BALI (3), Kesaksian Dubois (1829)



Kesaksian Dubois (1829)
Pierre Dubois, pegawai pemerintah Belanda keturunan Belgia atau Perancis, putera dari  J.A.Du Bois, Asisten Residen Lampung, Sumatera, juga  bukan seorang  turis asing yang sengaja datang ke Bali untuk menonton pertunjukan masatia. Tetapi di tempat masatia dia diperlakukan bak seorang turis oleh “guidenya”, I Gusti Made Oka, anak bungsu dari I Gusti Ngurah Pemecutan, salah seorang raja dari kerajaan Badung pada waktu itu, yang pelebon-nya berlangsung pada tahun 1829. Dalam pelebon itu, tujuh perempuan dikorbankan. Dubois tidak merinci siapa-siapa saja mereka itu, apakah istri, gendak atau sekadar perempuan biasa yang menjadi penyeroan, pelayan di puri. Tidak lupa I Gusti Made Oka menjelaskan kepada Dubois bahwa upacara masatia hanya dilangsungkan pada pelebon (pembakaran jenazah) raja-raja dan keluarganya yang kaya dan berkuasa dan tidak oleh triwangsa rendahan, apalagi oleh rakyat jelata.
Reportasenya jauh lebih mendetil dibandingkan dengan paparan Oosterwijck, dan penulisannya pun dilakukan segera sesudah upacara masatia usai. Benar-benar seperti reportase langsung. Dubois yang bertempat sementara di Kuta dari April 1827 sampai Mei 1831, tidak hanya menuliskan pengalaman dan perasaannya sebagai orang Eropa tentang masatia yang dipandangnya sebagai perbuatan barbar, tetapi dia juga menulis tentang tugasnya membeli budak Bali sebanyak 1000 sampai 1200 orang. Dia juga memaparkan pandangannya tentang keadaan sosial ekonomi, politik di Bali, tentang perbudakan dan pejualan budak, impor dan pejualan candu, konflik dan peperangan antar raja-raja di Bali, pokoknya tentang masyarakat, budaya dan agama di Bali. Dia menghadiri upacara masatia itu memang karena diundang oleh Penguasa Badung.
Berikut adalah cuplikan terjemahan bebas dari reportasenya mengenai upacara masatia yang disaksikannya.
”Sekarang terlihatlah seorang dari bela (baca: orang yang masatia) berjalan ke          ujung jembatan……Semua penonton menggumamkan kidung       pemakaman…..Bela itu melonggarkan ikatan rambutnya, membiarkannya jatuh             terburai di pundaknya…..Dia menjinjingkan kain sarungnya setinggi lututnya…..,     menari seperti orang kesurupan…….Ayahnya memberikan sebilah keris    kepadanya. Dia melukai lengan dan bahunya dengan keris itu…Darah mengucur dari lukanya dan dia memerahkan dahinya dengan darahnya. Perbuatan itu   bertujuan menunjukkan kepada keluarganya,---yang selalu mendorong-dorongnya       untuk ikut masatia dan memberani-beranikan dirinya---, bahwa dia tidak takut     pada kematian. Perempuan bela itu ikut berguman mengikuti gumaman penonton         yang sayup-sayup didengarnya…….Dia kemudian sampai di ujung   jembatan…….Dikembalikannya keris yang diberikan oleh ayahnya. Kedua      tangannya lalu ditangkupkannya di dadanya, lalu dia menceburkan dirinya,---        tubuhnya tampak oleh penonton hanya sekelebatan saja di udara---, lalu dia langsung jatuh di tumpukan bara api berkobar-kobar, yang telah siap menunggu           kedatangannya.  Selusin orang laki-laki, yang mengitari unggunan api, yang masing-masing telah siap dengan kayu api dan bambu panjang penuh berisi minyak, segera menyirami tubuh bela itu. Teriakan kegembiraan membahana dari      ribuan penonton yang memberkati takdirnya”.
                        Peristiwa yang paling menyayat hati, tulis Dubois, adalah ketika bela yang terakhir, seorang perempuan tua, yang semua rambutnya telah memutih, melakukan tugasnya sebagai bela. Dia memerlukan waktu kurang dari dua detik menuju ujung jembatan bambu, karena hanya dengan tiga kali lompatan, dia kemudian langsung menceburkan dirinya ke tumpukan bara api di bawahnya. Dia hanya seorang babu dari putra mahkota almarhum yang dipelebon.
            Dubois mengakhiri laporannya dengan nada satir, sinis.  Diutarakannya kegembiraan putra raja setelah upacara usai. I Gusti Made Oka, putra terbungsu dari raja yang dipelebon, berkata dengan bangganya, layaknya seorang guide yang jempolan yang telah berhasil memuaskan tamu-tamunya. Bakat orang Bali dalam bisnis pariwisata agaknya mulai tampak.
“Well, tuan-tuan, tidakkah Anda tercekam dengan keteguhan hati semua bela? Tak seorangpun takut, semua mereka menceburkan diri ke bara api dengan begitu indahnya. Para penggede dan penonton bergembira ria menyaksikan semuanya. Tetapi, marilah kita sekarang pergi dari sini untuk selanjutnya menikmati santap siang”.
            Ada perbedaan antara pengertian Satia dengan Bela. Menurut R. Friedrich, bela mengacu pada perempuan yang pada waktu pembakaran suami atau junjungannya menceburkan diri hidup-hidup pada kobaran api tanpa ditikam dengan keris terlebih dahulu, sedangkan yang melakukan satia ditikam dengan keris oleh ayah, kakak atau keluarganya sebelum menceburkan dirinya ke tumpukan bara api. Istiah bela juga dimaksudkan bagi siapa saja yang memilih ikut mati bersama junjungannya pada perang puputan. (Ki Buyut Dalu)

No comments:

Post a Comment