Wednesday, December 23, 2015

GETIH KUCIT BUTUAN untuk NGEREH




PEMBANGKIT ENERGI KEHIDUPAN

            Darah adalah salah satu persembahan dalam konteks tantrayana. Dalam Durga Puja, ada lima paripurna Durga-Murti yang semuanya memiliki kekuatan astral yang terserap dalam susunan alam semesta. Hal ini termuat dalam lontar Purwa Gamasasana dinyatakan bahwa kekuatan itu dinyatakan sebagai “Panca Durgha”, yakni Kala Durgha, Durgha Suksmi, Sri Durgha, Sri Dewi Durgha, Sri Aji Durgha lima macam Durgha ini menguasai lima arah angin dan setelah dilebur segala bentuk kekotoran, akan mendapatkan kemakmuran.
            Kehidupan ini dalam bingkai Tantra (sebagai pemuja Durga/ Ibu Dewi) terdiri dari konteks “memiliki”. Maka yang hidup, baik sekala dan niskala, memiliki darah, memiliki daging, memiliki air, memiliki air susu dan memiliki tetabuhan. Semua hal itu, diperlukan dalam kehidupan. Seseorang tidak akan hidup tanpa darah, daging, air, susu dan sedikit tetabuhan.
            Setiap bangunan palinggih, petapakan, pelawatan, ketika diupacarai dan meplaspas, akan diguratkan arang, darah, dan daging. (dalam beberapa tradisi, palinggih hanya diguratkan base dan pamor, sebagai pengganti daging dan darah). Tetapi esensinya adalah sama, ingin sebuah kehidupan. Bentuk plawatan Barong dan Rangda, ketika melakukan upacara menghidupan atau sakralisasi yang memohon anugerah alam semesta agar berkenan mendiami, akan memerlukan sarana berupa darah, sebagai esensi dari kehidupan. Maka ketika upacara ini berlangsung, upacara yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1.   Caru Pancasata lengkap berisi nasi Wong-wongan Leak mancawarna.
2.   Segehan Agung, Segehan 108, segehan Barak 3 tanding, Segehan   Mancawarna.
2.      Getih dan Jeroan Babi, mata babi apasang ditempatkan pada tebongkak
3.      Depan Rangda ditaruh banten disertai Getih Kucit Butuan
4.      Di sebelah Rangda ditempatkan sanggah cucuk dengan banten daksina, pejati lengkap.
5.      Kober Durga Dewi, ayam biying hidup penyambleh,
6.      Sor sanggah Tebasan ayam merah, tumpeng merah serta kelengkapannya.
7.      Ayam Merah Brahma dipanggang dengan segahan merah 3 tanding.
8.      Tengkorak manusia 3 buah ditaruh ditempat Rangda sebagai tempat duduk si pemundut.
9.      Di depan Pura Prajapati ayam Brumbun serta kelengkapannya.
10.  Caru manca sanak serta kelengkapannya,   
11.  Celeng Butuan hidup yang akan digunakan saat NgĂ©reh berhasil sebagai persembahan yang akan dipotong.
12.  Carang Dadap bercabang tiga   
(Model sarana pengerehan ini merupakan salah satu model yang diterapkan di sebuah desa di Gianyar).

            Dalam persembahan berupa kucit butuan, maka darah yang didapat akan ditempatkan dalam sebuah wadah takir. Darah itu adalah sebuah persembahan sekaligus refleksi kekuatan alam semesta yang menopang kehidupan. Darah itu juga merupakan elemen pengantar kekuatan, dari transeden menuju madia yang immanen atau materi. Namun dalam konteks yang sesuai dengan sastra.
            Akan berbeda arti, ketika seseorang menumpahkan darah ayah atau kelinci ke atas banten pesucian, maka banten itu tidak lagi patut untuk dipersembahkan. Sebab difinisi darahnya sudah berbeda. Jadi, darah kucit yang ditempatkan dalam takir sebagai persembahan dalam ngereh, adalah refleksi kekuatan, sedangkan jika darah menetes tanpa konsep jelas dan indik-indik (juklak dan juknis) yang jelas, maka itu mengotori persembahan.
            Dengan demikian, kita berfikir untuk masuk dalam esensi badaniah untuk memberi sebuah sentuhan kekuatan. Itulah tantrayana. Sebab ketika seseorang mengenyampingkan badan materi, maka jiva juga tidak akan pernah bisa memainkan peranannya. Dengan kata lain, badan hidup karena jiva sebagai esensi utama, sedangkan jiwa dapat berkarma, karena ada badan. Jadi badan yang lengkap untuk dapat menopang segala bentuk karma, pastilah ada darah, daging dan tulang, serta dihidupi oleh air dan susu.
            Pola pikir Tantrayana memang demikian. Masalahnya sekarang adalah, tidak semua dari kita memiliki pandangan yang universal untuk menelaah segala bentuk tafsir filsafat dari ajaran yang berbeda. ketika kita berbeda pandangan, berbeda filsafat dan berbeda paham teologi, maka kita akan menyalahkan yang lain dan membenarkan apa yang kita kerjakan, dengan beragam cara.
            Darah itu sendiri merupakan keseimbangan dalam bentuk material. Persembahan air merupakan persembahan pralambang sekala-niskala (material dan transeden). Kemudian persembahan susu (transeden) dan darah itu sendiri merupakan persembahan yang memberikan kehidupan dalam tataran materi (sekala/immanen). Lebih sederhananya, persembahan berupa darah itu ditujukan secara khusus untuk menghidupkan benda-benda material menjadi memiliki kekuatan supranatural. (ki buyut).
           


Tuesday, December 22, 2015

SUNDA UPASUNDA, BUNGA RATNA dan BIDADARI NILOTAMA




Dalam kitab Adi Parwa pada masa lalu dikisahkan dua orang raksasa kembar melakukan tapa yang sangat tekun. Kedua raksasa tersebut bernama Raksasa Sunda dan Raksasa Upasunda. Keduanya bertapa bermaksud mendapatkan anugrah agar dapat menguasai kayangan para dewa..
Keduanya bertapa sangat keras dan tekun, sehingga membuat para dewa di kayangan menjadi kawatir. Jangan-jangan tapanya berhasil sehingga niatnya untuk menguasai kayangan dan mengusir para dewa dari suarga. Dicarilah upaya oleh para dewa untuk menggagalkan kehendak dari dua raksasa sakti tersebut. Dewa Brahma kemudian minta kepada Dewa Wiswakarma untuk menciptakan seorang bidadari yang sangat cantik untuk menggoda tapa dari kedua raksasa tersebut. Dewa Wiswakarma kemudian menciptakan seorang bidadari yang cantik dengan menggunakan bunga ratna dan biji wijen. Terciptalah seorang bidadari cantik yang diberi nama Dewi Nilotama.
Karena saking cantiknya bidadari tersebut, membuat Dewa Brahma berkepala empat agar dapat menyaksikan kecantikan bidadari Dewi Nilotama dari segala arah. Demikian pula dengan Dewa Indra menjadi bermata seribu, untuk dapat melihat kecantikan Dewi Tilotama dari segala penjuru.
Bidadari Dewi Nilotama kemudian menjalankan tugasnya ke dunia untuk mengganggu tapa raksasa Sunda dan Upasunda. Dalam tapanya yang berat tersebut, kedua raksasa tersebut sangat terpesona dengan kecantikan dari bidadari Dewi Tilotama. Kedua raksasa tersebut kemudian menghentikan tapanya, dan berusaha untuk mendapatkan bidadari cantik itu. Raksasa Sunda dan Upasunda yang kembar dan sama-sama sakti tersebut akhirnya berperang mati-matian. Duniapun menjadi genjong karena perkelahian dasyat antara dua saudara kembar raksasa tersebut. Akhirnya kedua raksasa tersebut menemui ajalnya memperebutkan Nilotama. Bidadari Dewi Nilotama kemudian kembali ke kayangan, karena tugasnya telah selesai. Kemudian para Dewa di kayangan kembali merasa lega dan tidak kawatir lagi dengan rencana dari kedua raksasa tersebut.
Karena Bidadari Dewi Tilotama diciptakan dari bunga ratna, maka atas jasa tersebut, bunga ratna mendapat wara nugraha (anugrah) sebagai bunga utama untuk memuja Hyang Widhi dan para Dewa, dan sebagai bunga utama untuk kegiatan keagamaan untuk sarana pemujaan. Sehingga sampai saat ini masyarakat Hindu Bali di Bali menggolongkan bunga ratna sebagai bunga yang utama, selain bunga tunjung, dll.(Ki Buyut).

















Wednesday, December 16, 2015

SIWA NATARAJA , BERKESENIAN DALAM RANGKA PEMUJAAN




Setiap Tahun di Bali kita disuguhkan dengan suatu perhelatan akbar berupa pesta kesenian Bali. Dan tak asing lagi bahwa di dalamnya akan ada suatu simbul dari pesta kesenian Bali yakni Siwa Nataraja, selalu terpampang di atas candi bentar raksasa di Arda Candra, Taman Budaya Denpasar. Rupanya banyak diantara kita belum mengetahui apa itu Siwa Nataraja yang menjadi simbul tersebut.
Siwanataraja dalam fisolofi India dikatakan sebagai perwujudan dari Dewa Siwa sebagai penari kosmis. Tarian tersebut mengandung banyak makna, simbolisasi, filosofi, dan kreatifitas berkesenian, khususnya kesenian di Bali. Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali mempunyai kedudukan yang sangat mendasar, karena tidak dapat dipisahkan dari religius masyarakat Hindu Bali. Upacara yadnya yang diselenggarakan di pura-pura juga tidak lepas dari kesenian seperti seni suara, tari, karawitan, seni lukis, seni rupa, dan sastra. Candi-candi, pura-pura dan dan lain-lainnya dibangun sedemikian rupa sebagai ungkapan rasa estetika, etika, dan sikap religius dari para umat penganut Hindu di Bali.
Pregina atau penari dalam semangat ngayah mempersembahkan kesenian tersebut sebagai wujud bhakti kehadapan Hyang Siwa yang pada hakekatnya adalah Ida Sanghyang Widhi Wasa. Di dalamnya ada rasa bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri yakni Dewa Siwa. Para seniman ingin sekali menjadi satu dengan seni itu karena sesungguhnya tiap-tiap insan di dunia ini adalah percikan seni. Dalam artian adalah Siwa Nata Raja bersemayam dalam setiap insan di dunia ini.
Dalam mitologinya, tarian-tarian diciptakan oleh Dewa Brahma, dan sebagai dewa tarian adalah Dewa Siwa dikenal dengan sebutan Siwa Nata Raja. Beliau memutar dunia ini dengan suatu gerakan-gerakan mistis yang disebut dengan mudra, yang memiliki kekuatan gaib.  Dimana setiap gerakan tangan dan gerakan tubuhnya memiliki kekuatan, sehingga tarian ini tidak semata-mata mementingkan keindahan rupa. Namun didasari atas gerakan mudra tersebut, sehingga tarian tersebut memiliki kekuatan sekala niskala. Namun hanya beberapa saja dari gerakan mudra itu yang dapat dijumpai dalam tarian Bali. Namun demikian ciri khas tarian Bali dan nilai artistic magisnya yang bersifat sekala niskala tetap kita jumpai, walaupun tidak sepenuhnya dalam bentuk mudra.  
Seniman Bali lebih banyak seniman karya, dan sedikit yang menjadi seniman filsafat. Sebagai seniman karya, seniman Bali mampu menghasilkan sebuah karya seni yang bagus, dan bahkan monumental. Namun tidak banyak yang dapat mengapresiasikan karyanya. Lain halnya dengan seniman filsafat, dimana seorang seniman lebih berorientasi pada pengartian dari karyanya. Walaupun seringkali karya tersebut kurang diminati oleh penikmatnya.
Tetapi demikianlah seniman Bali sebagai seniman karya. Mereka akan merasa bangga apabila hasil karyanya dapat menghibur hati orang lain. Mereka tidak banyak mengejar filosofi dari karya seninya tersebut. Mungkin pula karena ketidakmengertian para pencipta tari Bali akan jenis dan arti dari gerakan mudra yang berasal dari tarian kosmis Dewa Siwa tersebut. Di samping itu yang namanya mudra di Bali sangatlah sakral, hanya boleh digunakan oleh para sulinggih. 
Bagi masyarakat Hindu Bali, konsep dan filosofi Siwa Nataraja tidak saja perlu diketahui dan dipahami, tetapi juga dipakai sebagai landasan filsafat di dalam berkesenian. Hindu Bali yang Siwaistis, menempatkan Siwa sebagai Dewa tertinggi, Maha Kuasa, pencipta seni, dan sekaligus sebagai tujuan dari kreatifitas seni. Visualisasi popular dari Siwa adalah Lingga-Yoni. Bentuk antromorfik dari Siwa dapat digambarkan menjadi dua yakni Ugra atau Ghora yakni menyeramkan. Aspek saumya atau santa atau damai. Lingga-Yoni melahirkan aspek Siwa dan Sakti.
Dari Siwa, segala bentuk seni di dunia ini berkembang. Oleh karena itu Siwa dipuja oleh para seniman. Dewa Siwa yang pertamakali melahirkan seni tersebut. Sebagai pencipta tarian, Siwa berwujud Nrtyamurti. Siwa juga mengajarkan kesenian kepada Dewa-Dewa dan umat manusia. Siwa juga disebut Adi Guru atau guru pertama kesenian. Siwa juga sebagai guru yoga, musik, dan jnana (ilmu pengetahuan).
Siwa dalam wujud Siwa Nataraja adalah Siwa dalam postur menari. Gerakannya sangat indah, ritmis dan eksotis mistik yang menggetarkan siapa saja yang menyaksikannya. Gerakannya yang ritmis tersebut sangat harmonis dan melahirkan keindahan. Gerakan dalam Siwa Nataraja adalah juga merupakan simbolisasi dari Panca Aksara. Panca Aksara membentuk tubuh Siwa. Tangan yang memegang api adalah Na, kaki yang menindih raksasa adalah Ma, tangan yang memegang kendang adalah Si, tangan kanan dan kiri yang bergerak adalah Wa, tangan yang memperlihatkan abhaya mudra adalah Ya. Panca Aksara adalah kekuatan yang dapat menghapus noda dan dosa. Si Wa Ya Na Ma, adalah mantra. Si mencerminkan Tuhan, Wa adalah anugrah, Ya adalah jiwa, Na adalah kekuatan yang menutupi kecerdasan, Ma adalah egoisme yang membelenggu jiwa.
Tarian siwa melambangkan pergerakan dunia spirit. Dalam tarian tersebut, semua kekuatan jahat dan kegelapan menjadi sirna.  Tujuan Siwa menari adalah untuk kesejahteraan dan kerahayuan alam semesta, membebaskan roh dari belenggu  (mala), membebaskan dari tiga ikatan yakni anawa, karma, dan maya.  Siwa bukanlah sebagai penghancur, tetapi sebagai regenarator (proses regenerasi). Siwa adalah sebagai manggala data atau pemberi kesucian, dan ananda data yakni sebagai pemberi kebahagiaan. Siwa menciptakan alam semesta dengan cara menari.
Secara konseptual Siwa Nataraja sebagai wujud nyata diterapkan dalam aktifitas keagamaan di Bali yang selanjutkan mengalir menjadi bentuk-bentuk kesenian. Gerakan tangan (mudra) tersebut kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan anggota badan. Pada upacara yadnya  terdengar weda mantra sang sulinggih, suara genta, kidung, kekawin, gamelan, tarian, banten yang ditata indah adalah pada dasarnya perwujudan rasa seni yang dipersembahkan kepada Tuhan.
Wayang sapuh leger misalnya, adalah suatu paduan yang harmonis antara seni pertunjukkan dengan filsafat ketuhanan. Dalam hal ini adalah permohonan perlindungan keselamatan kehadapan Dewa Siwa. Ketika itu Sang Dalang memohon tirtha sapuh leger dengan mencelupkan wayang Acintya, Sanghyang Tunggal, Sanghyang Licin ke dalam sangku, selanjutnya tirtha tersebut digunakan untuk menghilangkan mala secara niskala. Acintya dengan suku tunggal tersebut pada dasarnya adalah Siwa Nataraja itu sendiri dalam tradisi Bali.
Seperti pula misalnya dengan tarian telek, dimana Dewa Siwa menguji kesetiaan Dewi Giri Putri. Siwa kemudian berpura-pura sakit dan hanya dapat disembuhkan dengan empehan lembu (air susu lembu). Yangmana dari cerita tersebut kemudian muncul berbagai macam kesenian tari dengan wujud masing-masing seperti baris, barong, rangda, rarung, dan lain-lain.
Siwa Nataraja adalah upaya pencarian kebenaran, kesucian, keharmonisan, melalui berkesenian (satyam, siwam, sundaram). Berkesenian di dalam kaitannya dengan Hindu di Bali adalah sebuah langkah pemujaan untuk menyatu dengan pencipta seni itu sendiri yakni Dewa Siwa. Berkesenian adalah sebuah upaya mencari kepuasan bhatin, mencari kesenangan, mencari keseimbangan, mencari pembebasan dalam penyatuan dengan sang pencipta, yakni sumber dari seni itu sendiri yakni Sang Hyang Siwa.
 Dengan memahami konsep Siwanata Raja dalam berkesenian, sudah sepantasnya para seniman Bali yang didasari atas ajaran Hindu, menggali lebih banyak mengenai tarian kosmis Dewa Siwa. Karena dalam mitologi Siwa Nataraja, ada sekitar seratus delapan gerakan yang memiliki makna yang sangat mendasar. Namun dalam prakteknya di Bali, tidak semua dikenal. Hanya beberapa hal yang merupakan dasar-dasar tari Bali seperti tandang, tangkep, seledet, tanjek, agem, piles dan lain-lain. Nantinya seniman Bali selain sebagai seniman karya, juga diimbangi dengan kemampuan sebagai seniman filsafat.  (ki buyut dalu)

Monday, December 7, 2015

SIAPAKAH BELIAU RATU GEDE MECALING ?




Om awignamastu. Semoga tak terkena cakrabhawa rajapinulah, karena mengungkap Beliau yang sangat suci dan pingit.
Siapa sebenarnya tokoh Ratu Gede Mecaling? Apakah tokoh ini adalah nama lain dari Dalem Nusa, Dalem Sawangan, Dalem Bungkut atau Ratu Dalem Ped? Mengapa pengaruh mistik Ratu Gede Mecaling demikian kuat mencekam pikiran orang Bali? Berikut dicoba melacak geneologi Ratu Gede Mecaling dan hubungannya dengan nama-nama lain, yang agak mirip dan mempunyai pengaruh mistik yang juga sangat besar.
Kepercayaan alam gaib manusia Bali tidak dapat diputuskan hubungannya dengan tokoh-tokoh seperti Dalem Nusa, Dalem Bungkut, Dalem Sawangan,  Ratu Gede Mecaling dan Ratu Dalem Ped. Kepercayaan bahwa tokoh-tokoh itu memiliki kekuatan gaib dalam wujud bencana, apabila masyarakat Bali kurang memperhatikan mereka, sebaliknya akan mendapat keselamatan dan umur panjang, apabila memuja mereka secara sepatutnya, adalah kepercayaan yang demikian besar dan tidak terkikis oleh perkembangan zaman, yang membawa pemikiran-pemikiran yang rasional.
Dengan demikian, tidaklah berlebihan atau mengada-ada, apabila dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran rasional yang diperoleh karena proses pendidikan formal masih sangat kuat berdampingan dengan pemikiran-pemikiran irasional. Seakan melupakan saja pemikiran rasional itu, orang Bali dapat melaksanakan ritual yang diperintahkan oleh mitologi dari tokoh-tokoh berpengaruh di atas, dan ihwal pengaruh mistik-gaib  tokoh-tokoh itu tertulis di dalam narasi-narasi yang memiliki persepsinya sendiri-sendiri.  Artinya, terdapat kelempok teks yang menarasikan tokoh Ratu Gede Mecaling adalah tokoh yang sama dengan tokoh Dalem Nusa, Dalem Bungkut atau Dalem Sawangan. Namun, ditemukan juga kelompok teks yang lain, yang menarasikan bahwa tokoh-tokoh itu sesungguhnya berbeda satu sama lain, kecuali kesamaan yang digambarkan bahwa mereka memiliki kekuatan gaib yang tinggi dan  sebagai bentuk ancaman niskala pada masyarakat Bali, terutama di Bali dataran atau selatan.
Lontar “Ratu Gede Mecaling” (koleksi Fakultas Sastra Unud), yang versi terjemahannya dapat dibaca dalam buku Leak dalam Folklore Bali (Jiwa Atmaja, 2005) adalah salah satu teks yang narasinya mengacaukan sosok Ratu Gede Mecaling dengan tokoh Dalem Bungkut. Narasi ini diawali dengan kekalahan Dalem Nusa, raja Nusa Penida yang diserang pasukan Gelgel yang dipinpin oleh Krian Jelantik atau yang dikenal dengan nama I Gusti jelantik Bogol, lalu Dalem Nusa yang menyerah dalam perang tanding dengan I Gusti Jelantik Bogol itu,  mengancam bahwa roh beliau tidak akan ke sorga, namun tetap berada di Nusa, dan setiap sasih keenem akan menyerang penduduk Bali dengan kekuatan gaibnya, sehingga bencana terjadi di pulau Bali. Teks ini secara terang-terang menyebut raja Nusa Penida itu sebagai Ratu Gede Mecaling. Padahal, Dalem Nusa yang diserang oleh pasukan Gelgel itu bukanlah Ratu Gade Mecaling.
Sementara orang Bali, yang umumnya terpengaruh oleh ancaman gaib Ratu Gede Mecaling itu, mulai melakukan ritual untuk penangkal serangan gaib, yang datang pada setiap sasih keenem. Jika ancaman niskala ini hanyalah kutukan di dalam mitos, maka ia mungkin berarti hanya peringatan bahwa memang pada sasih keenem itu, yang disebut musim pancaroba memang menimbulkan wabah atau penyakit, terutama pada masa lampau ketika penduduk belum memiliki pengetahuan untuk melindungi diri dari ancaman musam atau alam.
            Padahal, dalam “Babad Belahbatuh” (koleksi Gedong  Kertya; nomor tidak tercatat), dan “Babad Dalem”, yang mengisahkan serangan pasukan Gelgel ke Nusa Penida tidak satu kata pun ditemukan yang menyebut, atau mendeskripsikan tokoh Ratu Gede Mecaling adalah nama lain dari Dalem Nusa. Meskipun kedua teks sejarah tradisional itu tidak membersihkan diri dari ikatan kepercayaan kekuatan gaib, misalnya digambarkan kekuatan gaib mengenai keris yang digunakan untuk membunuh Dalem Nusa sesungguhnya berasal dari Bhatara di Toh Langkir (Gunung Agung), namun tidak ditemukan narasi adanya ancaman niskala Dalem Nusa terhadap penduduk Bali sebagaimana dilukiskan lontar mengenai Ratu Gede Mecaling yang memang tidak tergolong teks sejarah itu. Juga, dalam kedua babad itu, tidak ditemukan narasi kekuatan gaib yang mengarah kepada penggunaan ilmu hitam sebagaimana dilukiskan lontar cerita rakyat itu, yang kemudian dipersepsi seperti itu oleh umumnya orang Bali.
Babad “Nusa Penida” (dalam versi terjemahan Jero Mangku Made Buda), yang narasinya agak mirip dengan “Lontar Dukuh Jumpungan” justru mengisahkan geneologi tokoh Ratu Gede Mecaling sebagai manusia biasa, yakni sebagai putra dari I Renggan dengan Ni Merahim. Ratu Gede Mecaling lahir pada Saka 180, sedangkan saudara perempuannya  bernama Ni Tole lahir pada tahun Saka 185. Ni Tole diperistri oleh Dalem Sawang yang menjadi raja di Nusa. Jika dihubungkan dengan “Babad Dalem” dan “Babad Belah Batuh”, jelas sekali bahwa Dalem Sawang bukanlah Dalem Nusa yang diserang oleh pasukan Gelgel itu. Ada dua alasan mengapa kedua tokoh itu berbeda. Pertama, Dalem Nusa atau Dalem Bungkut adalah seketurunan atau keluarga dekat Dalem Di Made, sedangkan Dalem Sawang adalah raja Nusa yang memerintah dalam kurun waktu yang sangat berjauhan dengan masa pemerintahan Dalem Nusa atau Dalem Bungkut.
I Gede Mecaling melakukan yoga semadhi di Ped, pengastawanya  ditujukan kepada Bhatara Siwa, karena ketekunannya melakukan yoga, I Gede Mecaling dianugrahkan Kanda Sana, yang membuat tubuhnya berubah tinggi besar, wajahnya menyeramkan, taringnya menjadi panjang, suaranya menggetarkan seisi jagat raya. Melihat perubahan itu, I Gede Mecaling pun meraung-raung yang membuat Marcapada gempar. Singkat cerita, Bhatara Indra berhasil memotong  kedua taring I Gede Mecaling, yang membuat I Gede Mecaling tidak lagi meraung-raung. Beliau kemudian melakukan yoga semadhi di Ped sehingga mendapatkan panca taksu, yakni taksu kesaktian, taksi balian, taksu pengeger, taksu penolak grubug, dan taksu mengadakan kemeranan. Meskipun mungkin agak kurang masuk akal, setelah Dalem Dukud moksa, I Gede Mecalinglah yang menjadi raja di Nusa. I Gede Mecaling bergelar I Papak Poleng, sedangkan istrinya bergelar Papak Selem.
Anehnya, meskipun kelompok teks kedua yang membedakan riwayat tokoh I Gede Mecaling, Dalem Nusa, Dalem Sawang, namun hampir semuanya menyisipkan gambaran kepercayaan magis yang cenderung menyeramkan. Babad “Nusa Penida”, misalnya menyebut dua kali mengenai kata mecaling. Pertama, ketika Dalem Sawang menyampaikan pastu yang berbunyi:”Barang siapa yang ingin menyusung Durga Dewi pengastawanya ke dalem Nusa sepatutnya menggunakan kayu perahu sebagai prelingga sarwa mecaling, karena kayu perahu berasal dari pengendrana Ida Bhatara Siwa (Dukuh Jumpungan), maka sidi, sakti, perkasalah dia”. Kedua, kata mecaling digunakan sebagai nama tokoh sebagaimana disebutkan sebelumnya. ( Ki Buyut).