PEMBANGKIT ENERGI KEHIDUPAN
Darah
adalah salah satu persembahan dalam konteks tantrayana.
Dalam Durga Puja, ada lima paripurna Durga-Murti yang semuanya memiliki
kekuatan astral yang terserap dalam susunan alam semesta. Hal ini termuat dalam
lontar Purwa Gamasasana dinyatakan
bahwa kekuatan itu dinyatakan sebagai “Panca
Durgha”, yakni Kala Durgha, Durgha
Suksmi, Sri Durgha, Sri Dewi Durgha, Sri Aji Durgha lima macam Durgha ini menguasai lima arah angin dan
setelah dilebur segala bentuk kekotoran, akan mendapatkan kemakmuran.
Kehidupan
ini dalam bingkai Tantra (sebagai pemuja Durga/ Ibu Dewi) terdiri dari konteks
“memiliki”. Maka yang hidup, baik sekala dan niskala, memiliki darah, memiliki
daging, memiliki air, memiliki air susu dan memiliki tetabuhan. Semua hal itu, diperlukan dalam kehidupan. Seseorang
tidak akan hidup tanpa darah, daging, air, susu dan sedikit tetabuhan.
Setiap
bangunan palinggih, petapakan, pelawatan,
ketika diupacarai dan meplaspas, akan diguratkan arang, darah, dan daging.
(dalam beberapa tradisi, palinggih hanya diguratkan base dan pamor, sebagai
pengganti daging dan darah). Tetapi esensinya adalah sama, ingin sebuah
kehidupan. Bentuk plawatan Barong dan
Rangda, ketika melakukan upacara
menghidupan atau sakralisasi yang memohon anugerah alam semesta agar berkenan
mendiami, akan memerlukan sarana berupa darah, sebagai esensi dari kehidupan.
Maka ketika upacara ini berlangsung, upacara yang diperlukan adalah sebagai
berikut:
1. Caru Pancasata lengkap berisi nasi Wong-wongan Leak mancawarna.
2. Segehan Agung, Segehan 108, segehan Barak 3
tanding, Segehan Mancawarna.
2. Getih dan Jeroan
Babi, mata babi apasang ditempatkan pada tebongkak
3. Depan Rangda ditaruh banten disertai Getih Kucit
Butuan
4. Di sebelah Rangda ditempatkan sanggah cucuk dengan
banten daksina, pejati lengkap.
5. Kober Durga
Dewi, ayam biying hidup penyambleh,
6. Sor sanggah Tebasan ayam merah,
tumpeng merah serta kelengkapannya.
7. Ayam Merah
Brahma dipanggang dengan segahan merah 3 tanding.
8. Tengkorak
manusia 3 buah ditaruh ditempat Rangda
sebagai tempat duduk si pemundut.
9. Di depan Pura
Prajapati ayam Brumbun serta kelengkapannya.
10. Caru manca sanak serta kelengkapannya,
11. Celeng Butuan
hidup yang akan digunakan saat Ngéreh
berhasil sebagai persembahan yang akan dipotong.
12. Carang Dadap
bercabang tiga
(Model sarana pengerehan ini
merupakan salah satu model yang diterapkan di sebuah desa di Gianyar).
Dalam
persembahan berupa kucit butuan, maka darah yang didapat akan ditempatkan dalam
sebuah wadah takir. Darah itu adalah
sebuah persembahan sekaligus refleksi kekuatan alam semesta yang menopang
kehidupan. Darah itu juga merupakan elemen pengantar kekuatan, dari transeden
menuju madia yang immanen atau materi. Namun dalam konteks yang sesuai dengan
sastra.
Akan
berbeda arti, ketika seseorang menumpahkan darah ayah atau kelinci ke atas banten pesucian, maka banten itu tidak
lagi patut untuk dipersembahkan. Sebab difinisi darahnya sudah berbeda. Jadi,
darah kucit yang ditempatkan dalam takir
sebagai persembahan dalam ngereh,
adalah refleksi kekuatan, sedangkan jika darah menetes tanpa konsep jelas dan indik-indik (juklak dan juknis) yang
jelas, maka itu mengotori persembahan.
Dengan
demikian, kita berfikir untuk masuk dalam esensi badaniah untuk memberi sebuah
sentuhan kekuatan. Itulah tantrayana. Sebab ketika seseorang mengenyampingkan
badan materi, maka jiva juga tidak akan pernah bisa memainkan peranannya.
Dengan kata lain, badan hidup karena jiva sebagai esensi utama, sedangkan jiwa
dapat berkarma, karena ada badan. Jadi badan yang lengkap untuk dapat menopang
segala bentuk karma, pastilah ada darah, daging dan tulang, serta dihidupi oleh
air dan susu.
Pola
pikir Tantrayana memang demikian. Masalahnya sekarang adalah, tidak semua dari
kita memiliki pandangan yang universal untuk menelaah segala bentuk tafsir
filsafat dari ajaran yang berbeda. ketika kita berbeda pandangan, berbeda
filsafat dan berbeda paham teologi, maka kita akan menyalahkan yang lain dan
membenarkan apa yang kita kerjakan, dengan beragam cara.
Darah
itu sendiri merupakan keseimbangan dalam bentuk material. Persembahan air
merupakan persembahan pralambang sekala-niskala
(material dan transeden). Kemudian persembahan susu (transeden) dan darah itu
sendiri merupakan persembahan yang memberikan kehidupan dalam tataran materi
(sekala/immanen). Lebih sederhananya, persembahan berupa darah itu ditujukan
secara khusus untuk menghidupkan benda-benda material menjadi memiliki kekuatan
supranatural. (ki buyut).