Wednesday, December 23, 2015

GETIH KUCIT BUTUAN untuk NGEREH




PEMBANGKIT ENERGI KEHIDUPAN

            Darah adalah salah satu persembahan dalam konteks tantrayana. Dalam Durga Puja, ada lima paripurna Durga-Murti yang semuanya memiliki kekuatan astral yang terserap dalam susunan alam semesta. Hal ini termuat dalam lontar Purwa Gamasasana dinyatakan bahwa kekuatan itu dinyatakan sebagai “Panca Durgha”, yakni Kala Durgha, Durgha Suksmi, Sri Durgha, Sri Dewi Durgha, Sri Aji Durgha lima macam Durgha ini menguasai lima arah angin dan setelah dilebur segala bentuk kekotoran, akan mendapatkan kemakmuran.
            Kehidupan ini dalam bingkai Tantra (sebagai pemuja Durga/ Ibu Dewi) terdiri dari konteks “memiliki”. Maka yang hidup, baik sekala dan niskala, memiliki darah, memiliki daging, memiliki air, memiliki air susu dan memiliki tetabuhan. Semua hal itu, diperlukan dalam kehidupan. Seseorang tidak akan hidup tanpa darah, daging, air, susu dan sedikit tetabuhan.
            Setiap bangunan palinggih, petapakan, pelawatan, ketika diupacarai dan meplaspas, akan diguratkan arang, darah, dan daging. (dalam beberapa tradisi, palinggih hanya diguratkan base dan pamor, sebagai pengganti daging dan darah). Tetapi esensinya adalah sama, ingin sebuah kehidupan. Bentuk plawatan Barong dan Rangda, ketika melakukan upacara menghidupan atau sakralisasi yang memohon anugerah alam semesta agar berkenan mendiami, akan memerlukan sarana berupa darah, sebagai esensi dari kehidupan. Maka ketika upacara ini berlangsung, upacara yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1.   Caru Pancasata lengkap berisi nasi Wong-wongan Leak mancawarna.
2.   Segehan Agung, Segehan 108, segehan Barak 3 tanding, Segehan   Mancawarna.
2.      Getih dan Jeroan Babi, mata babi apasang ditempatkan pada tebongkak
3.      Depan Rangda ditaruh banten disertai Getih Kucit Butuan
4.      Di sebelah Rangda ditempatkan sanggah cucuk dengan banten daksina, pejati lengkap.
5.      Kober Durga Dewi, ayam biying hidup penyambleh,
6.      Sor sanggah Tebasan ayam merah, tumpeng merah serta kelengkapannya.
7.      Ayam Merah Brahma dipanggang dengan segahan merah 3 tanding.
8.      Tengkorak manusia 3 buah ditaruh ditempat Rangda sebagai tempat duduk si pemundut.
9.      Di depan Pura Prajapati ayam Brumbun serta kelengkapannya.
10.  Caru manca sanak serta kelengkapannya,   
11.  Celeng Butuan hidup yang akan digunakan saat Ngéreh berhasil sebagai persembahan yang akan dipotong.
12.  Carang Dadap bercabang tiga   
(Model sarana pengerehan ini merupakan salah satu model yang diterapkan di sebuah desa di Gianyar).

            Dalam persembahan berupa kucit butuan, maka darah yang didapat akan ditempatkan dalam sebuah wadah takir. Darah itu adalah sebuah persembahan sekaligus refleksi kekuatan alam semesta yang menopang kehidupan. Darah itu juga merupakan elemen pengantar kekuatan, dari transeden menuju madia yang immanen atau materi. Namun dalam konteks yang sesuai dengan sastra.
            Akan berbeda arti, ketika seseorang menumpahkan darah ayah atau kelinci ke atas banten pesucian, maka banten itu tidak lagi patut untuk dipersembahkan. Sebab difinisi darahnya sudah berbeda. Jadi, darah kucit yang ditempatkan dalam takir sebagai persembahan dalam ngereh, adalah refleksi kekuatan, sedangkan jika darah menetes tanpa konsep jelas dan indik-indik (juklak dan juknis) yang jelas, maka itu mengotori persembahan.
            Dengan demikian, kita berfikir untuk masuk dalam esensi badaniah untuk memberi sebuah sentuhan kekuatan. Itulah tantrayana. Sebab ketika seseorang mengenyampingkan badan materi, maka jiva juga tidak akan pernah bisa memainkan peranannya. Dengan kata lain, badan hidup karena jiva sebagai esensi utama, sedangkan jiwa dapat berkarma, karena ada badan. Jadi badan yang lengkap untuk dapat menopang segala bentuk karma, pastilah ada darah, daging dan tulang, serta dihidupi oleh air dan susu.
            Pola pikir Tantrayana memang demikian. Masalahnya sekarang adalah, tidak semua dari kita memiliki pandangan yang universal untuk menelaah segala bentuk tafsir filsafat dari ajaran yang berbeda. ketika kita berbeda pandangan, berbeda filsafat dan berbeda paham teologi, maka kita akan menyalahkan yang lain dan membenarkan apa yang kita kerjakan, dengan beragam cara.
            Darah itu sendiri merupakan keseimbangan dalam bentuk material. Persembahan air merupakan persembahan pralambang sekala-niskala (material dan transeden). Kemudian persembahan susu (transeden) dan darah itu sendiri merupakan persembahan yang memberikan kehidupan dalam tataran materi (sekala/immanen). Lebih sederhananya, persembahan berupa darah itu ditujukan secara khusus untuk menghidupkan benda-benda material menjadi memiliki kekuatan supranatural. (ki buyut).
           


No comments:

Post a Comment