Siapa sebenarnya tokoh Ratu Gede Mecaling? Apakah tokoh ini adalah nama lain dari Dalem Nusa, Dalem Sawangan, Dalem Bungkut atau Ratu Dalem Ped? Mengapa pengaruh mistik Ratu Gede Mecaling demikian kuat mencekam pikiran orang Bali? Berikut dicoba melacak geneologi Ratu Gede Mecaling dan hubungannya dengan nama-nama lain, yang agak mirip dan mempunyai pengaruh mistik yang juga sangat besar.
Kepercayaan alam
gaib manusia Bali tidak dapat diputuskan hubungannya dengan tokoh-tokoh seperti
Dalem Nusa, Dalem Bungkut, Dalem Sawangan, Ratu Gede Mecaling dan Ratu Dalem Ped.
Kepercayaan bahwa tokoh-tokoh itu memiliki kekuatan gaib dalam wujud bencana,
apabila masyarakat Bali kurang memperhatikan mereka, sebaliknya akan mendapat
keselamatan dan umur panjang, apabila memuja mereka secara sepatutnya, adalah
kepercayaan yang demikian besar dan tidak terkikis oleh perkembangan zaman,
yang membawa pemikiran-pemikiran yang rasional.
Dengan demikian,
tidaklah berlebihan atau mengada-ada, apabila dikatakan bahwa
pemikiran-pemikiran rasional yang diperoleh karena proses pendidikan formal masih
sangat kuat berdampingan dengan pemikiran-pemikiran irasional. Seakan melupakan
saja pemikiran rasional itu, orang Bali dapat melaksanakan ritual yang diperintahkan
oleh mitologi dari tokoh-tokoh berpengaruh di atas, dan ihwal pengaruh
mistik-gaib tokoh-tokoh itu tertulis di
dalam narasi-narasi yang memiliki persepsinya sendiri-sendiri. Artinya, terdapat kelempok teks yang
menarasikan tokoh Ratu Gede Mecaling adalah tokoh yang sama dengan tokoh Dalem
Nusa, Dalem Bungkut atau Dalem Sawangan. Namun, ditemukan juga kelompok teks
yang lain, yang menarasikan bahwa tokoh-tokoh itu sesungguhnya berbeda satu
sama lain, kecuali kesamaan yang digambarkan bahwa mereka memiliki kekuatan
gaib yang tinggi dan sebagai bentuk
ancaman niskala pada masyarakat Bali, terutama di Bali dataran atau selatan.
Lontar “Ratu
Gede Mecaling” (koleksi Fakultas Sastra Unud), yang versi terjemahannya dapat
dibaca dalam buku Leak dalam Folklore
Bali (Jiwa Atmaja, 2005) adalah salah satu teks yang narasinya mengacaukan
sosok Ratu Gede Mecaling dengan tokoh Dalem Bungkut. Narasi ini diawali dengan
kekalahan Dalem Nusa, raja Nusa Penida yang diserang pasukan Gelgel yang
dipinpin oleh Krian Jelantik atau yang dikenal dengan nama I Gusti jelantik
Bogol, lalu Dalem Nusa yang menyerah dalam perang tanding dengan I Gusti
Jelantik Bogol itu, mengancam bahwa roh
beliau tidak akan ke sorga, namun tetap berada di Nusa, dan setiap sasih keenem akan menyerang penduduk Bali
dengan kekuatan gaibnya, sehingga bencana terjadi di pulau Bali. Teks ini
secara terang-terang menyebut raja Nusa Penida itu sebagai Ratu Gede Mecaling.
Padahal, Dalem Nusa yang diserang oleh pasukan Gelgel itu bukanlah Ratu Gade
Mecaling.
Sementara orang
Bali, yang umumnya terpengaruh oleh ancaman gaib Ratu Gede Mecaling itu, mulai
melakukan ritual untuk penangkal serangan gaib, yang datang pada setiap sasih keenem. Jika ancaman niskala ini
hanyalah kutukan di dalam mitos, maka ia mungkin berarti hanya peringatan bahwa
memang pada sasih keenem itu, yang
disebut musim pancaroba memang menimbulkan wabah atau penyakit, terutama pada
masa lampau ketika penduduk belum memiliki pengetahuan untuk melindungi diri
dari ancaman musam atau alam.
Padahal,
dalam “Babad Belahbatuh” (koleksi Gedong Kertya; nomor tidak tercatat), dan “Babad
Dalem”, yang mengisahkan serangan pasukan Gelgel ke Nusa Penida tidak satu kata
pun ditemukan yang menyebut, atau mendeskripsikan tokoh Ratu Gede Mecaling
adalah nama lain dari Dalem Nusa. Meskipun kedua teks sejarah tradisional itu
tidak membersihkan diri dari ikatan kepercayaan kekuatan gaib, misalnya
digambarkan kekuatan gaib mengenai keris yang digunakan untuk membunuh Dalem
Nusa sesungguhnya berasal dari Bhatara di Toh Langkir (Gunung Agung), namun
tidak ditemukan narasi adanya ancaman niskala Dalem Nusa terhadap penduduk Bali
sebagaimana dilukiskan lontar mengenai Ratu Gede Mecaling yang memang tidak
tergolong teks sejarah itu. Juga, dalam kedua babad itu, tidak ditemukan narasi
kekuatan gaib yang mengarah kepada penggunaan ilmu hitam sebagaimana dilukiskan
lontar cerita rakyat itu, yang kemudian dipersepsi seperti itu oleh umumnya
orang Bali.
Babad “Nusa
Penida” (dalam versi terjemahan Jero Mangku Made Buda), yang narasinya agak
mirip dengan “Lontar Dukuh Jumpungan” justru mengisahkan geneologi tokoh Ratu
Gede Mecaling sebagai manusia biasa, yakni sebagai putra dari I Renggan dengan
Ni Merahim. Ratu Gede Mecaling lahir pada Saka 180, sedangkan saudara perempuannya bernama Ni Tole lahir pada tahun Saka 185. Ni
Tole diperistri oleh Dalem Sawang yang menjadi raja di Nusa. Jika dihubungkan
dengan “Babad Dalem” dan “Babad Belah Batuh”, jelas sekali bahwa Dalem Sawang
bukanlah Dalem Nusa yang diserang oleh pasukan Gelgel itu. Ada dua alasan
mengapa kedua tokoh itu berbeda. Pertama, Dalem Nusa atau Dalem Bungkut adalah
seketurunan atau keluarga dekat Dalem Di Made, sedangkan Dalem Sawang adalah
raja Nusa yang memerintah dalam kurun waktu yang sangat berjauhan dengan masa
pemerintahan Dalem Nusa atau Dalem Bungkut.
I Gede Mecaling
melakukan yoga semadhi di Ped, pengastawanya ditujukan kepada Bhatara Siwa, karena
ketekunannya melakukan yoga, I Gede Mecaling dianugrahkan Kanda Sana, yang
membuat tubuhnya berubah tinggi besar, wajahnya menyeramkan, taringnya menjadi
panjang, suaranya menggetarkan seisi jagat raya. Melihat perubahan itu, I Gede
Mecaling pun meraung-raung yang membuat Marcapada gempar. Singkat cerita,
Bhatara Indra berhasil memotong kedua
taring I Gede Mecaling, yang membuat I Gede Mecaling tidak lagi meraung-raung.
Beliau kemudian melakukan yoga semadhi di Ped sehingga mendapatkan panca taksu,
yakni taksu kesaktian, taksi balian, taksu pengeger, taksu penolak grubug, dan
taksu mengadakan kemeranan. Meskipun mungkin agak kurang masuk akal, setelah
Dalem Dukud moksa, I Gede Mecalinglah yang menjadi raja di Nusa. I Gede
Mecaling bergelar I Papak Poleng, sedangkan istrinya bergelar Papak Selem.
Anehnya,
meskipun kelompok teks kedua yang membedakan riwayat tokoh I Gede Mecaling,
Dalem Nusa, Dalem Sawang, namun hampir semuanya menyisipkan gambaran
kepercayaan magis yang cenderung menyeramkan. Babad “Nusa Penida”, misalnya
menyebut dua kali mengenai kata mecaling. Pertama, ketika Dalem Sawang
menyampaikan pastu yang berbunyi:”Barang siapa yang ingin menyusung Durga Dewi
pengastawanya ke dalem Nusa sepatutnya menggunakan kayu perahu sebagai
prelingga sarwa mecaling, karena kayu perahu berasal dari pengendrana Ida
Bhatara Siwa (Dukuh Jumpungan), maka sidi, sakti, perkasalah dia”. Kedua, kata
mecaling digunakan sebagai nama tokoh sebagaimana disebutkan sebelumnya. ( Ki Buyut).
No comments:
Post a Comment