Monday, December 7, 2015

SIAPAKAH BELIAU RATU GEDE MECALING ?




Om awignamastu. Semoga tak terkena cakrabhawa rajapinulah, karena mengungkap Beliau yang sangat suci dan pingit.
Siapa sebenarnya tokoh Ratu Gede Mecaling? Apakah tokoh ini adalah nama lain dari Dalem Nusa, Dalem Sawangan, Dalem Bungkut atau Ratu Dalem Ped? Mengapa pengaruh mistik Ratu Gede Mecaling demikian kuat mencekam pikiran orang Bali? Berikut dicoba melacak geneologi Ratu Gede Mecaling dan hubungannya dengan nama-nama lain, yang agak mirip dan mempunyai pengaruh mistik yang juga sangat besar.
Kepercayaan alam gaib manusia Bali tidak dapat diputuskan hubungannya dengan tokoh-tokoh seperti Dalem Nusa, Dalem Bungkut, Dalem Sawangan,  Ratu Gede Mecaling dan Ratu Dalem Ped. Kepercayaan bahwa tokoh-tokoh itu memiliki kekuatan gaib dalam wujud bencana, apabila masyarakat Bali kurang memperhatikan mereka, sebaliknya akan mendapat keselamatan dan umur panjang, apabila memuja mereka secara sepatutnya, adalah kepercayaan yang demikian besar dan tidak terkikis oleh perkembangan zaman, yang membawa pemikiran-pemikiran yang rasional.
Dengan demikian, tidaklah berlebihan atau mengada-ada, apabila dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran rasional yang diperoleh karena proses pendidikan formal masih sangat kuat berdampingan dengan pemikiran-pemikiran irasional. Seakan melupakan saja pemikiran rasional itu, orang Bali dapat melaksanakan ritual yang diperintahkan oleh mitologi dari tokoh-tokoh berpengaruh di atas, dan ihwal pengaruh mistik-gaib  tokoh-tokoh itu tertulis di dalam narasi-narasi yang memiliki persepsinya sendiri-sendiri.  Artinya, terdapat kelempok teks yang menarasikan tokoh Ratu Gede Mecaling adalah tokoh yang sama dengan tokoh Dalem Nusa, Dalem Bungkut atau Dalem Sawangan. Namun, ditemukan juga kelompok teks yang lain, yang menarasikan bahwa tokoh-tokoh itu sesungguhnya berbeda satu sama lain, kecuali kesamaan yang digambarkan bahwa mereka memiliki kekuatan gaib yang tinggi dan  sebagai bentuk ancaman niskala pada masyarakat Bali, terutama di Bali dataran atau selatan.
Lontar “Ratu Gede Mecaling” (koleksi Fakultas Sastra Unud), yang versi terjemahannya dapat dibaca dalam buku Leak dalam Folklore Bali (Jiwa Atmaja, 2005) adalah salah satu teks yang narasinya mengacaukan sosok Ratu Gede Mecaling dengan tokoh Dalem Bungkut. Narasi ini diawali dengan kekalahan Dalem Nusa, raja Nusa Penida yang diserang pasukan Gelgel yang dipinpin oleh Krian Jelantik atau yang dikenal dengan nama I Gusti jelantik Bogol, lalu Dalem Nusa yang menyerah dalam perang tanding dengan I Gusti Jelantik Bogol itu,  mengancam bahwa roh beliau tidak akan ke sorga, namun tetap berada di Nusa, dan setiap sasih keenem akan menyerang penduduk Bali dengan kekuatan gaibnya, sehingga bencana terjadi di pulau Bali. Teks ini secara terang-terang menyebut raja Nusa Penida itu sebagai Ratu Gede Mecaling. Padahal, Dalem Nusa yang diserang oleh pasukan Gelgel itu bukanlah Ratu Gade Mecaling.
Sementara orang Bali, yang umumnya terpengaruh oleh ancaman gaib Ratu Gede Mecaling itu, mulai melakukan ritual untuk penangkal serangan gaib, yang datang pada setiap sasih keenem. Jika ancaman niskala ini hanyalah kutukan di dalam mitos, maka ia mungkin berarti hanya peringatan bahwa memang pada sasih keenem itu, yang disebut musim pancaroba memang menimbulkan wabah atau penyakit, terutama pada masa lampau ketika penduduk belum memiliki pengetahuan untuk melindungi diri dari ancaman musam atau alam.
            Padahal, dalam “Babad Belahbatuh” (koleksi Gedong  Kertya; nomor tidak tercatat), dan “Babad Dalem”, yang mengisahkan serangan pasukan Gelgel ke Nusa Penida tidak satu kata pun ditemukan yang menyebut, atau mendeskripsikan tokoh Ratu Gede Mecaling adalah nama lain dari Dalem Nusa. Meskipun kedua teks sejarah tradisional itu tidak membersihkan diri dari ikatan kepercayaan kekuatan gaib, misalnya digambarkan kekuatan gaib mengenai keris yang digunakan untuk membunuh Dalem Nusa sesungguhnya berasal dari Bhatara di Toh Langkir (Gunung Agung), namun tidak ditemukan narasi adanya ancaman niskala Dalem Nusa terhadap penduduk Bali sebagaimana dilukiskan lontar mengenai Ratu Gede Mecaling yang memang tidak tergolong teks sejarah itu. Juga, dalam kedua babad itu, tidak ditemukan narasi kekuatan gaib yang mengarah kepada penggunaan ilmu hitam sebagaimana dilukiskan lontar cerita rakyat itu, yang kemudian dipersepsi seperti itu oleh umumnya orang Bali.
Babad “Nusa Penida” (dalam versi terjemahan Jero Mangku Made Buda), yang narasinya agak mirip dengan “Lontar Dukuh Jumpungan” justru mengisahkan geneologi tokoh Ratu Gede Mecaling sebagai manusia biasa, yakni sebagai putra dari I Renggan dengan Ni Merahim. Ratu Gede Mecaling lahir pada Saka 180, sedangkan saudara perempuannya  bernama Ni Tole lahir pada tahun Saka 185. Ni Tole diperistri oleh Dalem Sawang yang menjadi raja di Nusa. Jika dihubungkan dengan “Babad Dalem” dan “Babad Belah Batuh”, jelas sekali bahwa Dalem Sawang bukanlah Dalem Nusa yang diserang oleh pasukan Gelgel itu. Ada dua alasan mengapa kedua tokoh itu berbeda. Pertama, Dalem Nusa atau Dalem Bungkut adalah seketurunan atau keluarga dekat Dalem Di Made, sedangkan Dalem Sawang adalah raja Nusa yang memerintah dalam kurun waktu yang sangat berjauhan dengan masa pemerintahan Dalem Nusa atau Dalem Bungkut.
I Gede Mecaling melakukan yoga semadhi di Ped, pengastawanya  ditujukan kepada Bhatara Siwa, karena ketekunannya melakukan yoga, I Gede Mecaling dianugrahkan Kanda Sana, yang membuat tubuhnya berubah tinggi besar, wajahnya menyeramkan, taringnya menjadi panjang, suaranya menggetarkan seisi jagat raya. Melihat perubahan itu, I Gede Mecaling pun meraung-raung yang membuat Marcapada gempar. Singkat cerita, Bhatara Indra berhasil memotong  kedua taring I Gede Mecaling, yang membuat I Gede Mecaling tidak lagi meraung-raung. Beliau kemudian melakukan yoga semadhi di Ped sehingga mendapatkan panca taksu, yakni taksu kesaktian, taksi balian, taksu pengeger, taksu penolak grubug, dan taksu mengadakan kemeranan. Meskipun mungkin agak kurang masuk akal, setelah Dalem Dukud moksa, I Gede Mecalinglah yang menjadi raja di Nusa. I Gede Mecaling bergelar I Papak Poleng, sedangkan istrinya bergelar Papak Selem.
Anehnya, meskipun kelompok teks kedua yang membedakan riwayat tokoh I Gede Mecaling, Dalem Nusa, Dalem Sawang, namun hampir semuanya menyisipkan gambaran kepercayaan magis yang cenderung menyeramkan. Babad “Nusa Penida”, misalnya menyebut dua kali mengenai kata mecaling. Pertama, ketika Dalem Sawang menyampaikan pastu yang berbunyi:”Barang siapa yang ingin menyusung Durga Dewi pengastawanya ke dalem Nusa sepatutnya menggunakan kayu perahu sebagai prelingga sarwa mecaling, karena kayu perahu berasal dari pengendrana Ida Bhatara Siwa (Dukuh Jumpungan), maka sidi, sakti, perkasalah dia”. Kedua, kata mecaling digunakan sebagai nama tokoh sebagaimana disebutkan sebelumnya. ( Ki Buyut).

No comments:

Post a Comment