Friday, February 26, 2016

BEDOGOL, Kawasan Suci yang Terabaikan




”Jeneng cai cara bedogol” Yang dimaksud adalah sebuah patung yang berdiri di suatu tempat sendirian, biasanya di perempatan, peteluan (pertigaan) di tengah jalan. Atau kadangkala di tengah sawah ada sebuah tugu sering disebut bedugul sebagai pengulun sawah. Bedogol juga digunakan untuk menyebutkan orang yang perawakannya pendek gemuk.
Kalau jaman dahulu banyak kita temukan bedogol di tengah perempatan, namun saat ini hanya ada beberapa bedogol saja yang masih berdiri. Semua ini akibat pengembangan infrastruktur jalan dan keramaian lalu lintas. Sekarang bedogol dianggap sesuatu yang mengganggu lalu lintas jalan raya, sehingga banyak bedogol yang digeser bahkan banyak bedogol yang dihilangkan. Padahal para tetua Bali dalam menjalankan agamanya menempatkan perempatan dan bedogolnya sebagai salah satu kiblat dan tempat menjalankan ritual keagamaan.
Bedogol yang berada di tengah perempatan atau pertigaan adalah sebagai tugu peringatan bahwa di tempat itu merupakan tempat suci. Bedogol itu merupakan titik pusat dari kawasan itu. Sebagai tempat yang angker, tempat dimana tersimpan aura kesucian sekaligus kekeramatan, sehingga disimbolkan dengan bedogol (patung raksasa) sebagai kekuatan Dewa ya Bhuta ya. Artinya di sana adalah tempat memohon dan melepas. Memohon maksudnya adalah melakukan ritual tertentu kehadapan penguasa alam semesta atau kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa untuk memohon anugrah tertentu. Sedangkan melepas maksudnya adalah mengembalikan sesuatu yang tak diinginkan atau sesuatu yang tak baik agar kembali ke alamnya masing-masing.  Tempat itu adalah titik pusat atau titik nol kilometer wilayah tersebut. Sehingga banyak orang melakukan ritual di perempatan. Ada ritual pemanggilan roh saat orang ngulapin atau ritual melepas mala ketika ditimpa marabahaya. Artinya di sana merupakan tempat pelepasan dan pemanggilan. Pempatan tersebut merupakan titik temu antara ruang dan waktu, antara kekuatan bhuta dan dewa. Di sana adalah pusat, di sana adalah titik nol dari alam semesta.
Segala macam ritual bisa dilakukan di pempatan, seperti Tawur Kesanga yang dilakukan di catuspata (pempatan agung), dalam ruang lingkup provinsi, catuspata kabupaten, catuspata desa, dan banjar. Catuspata merupakan pusat dari wewidangan tersebut. Perempatan agung merupakan titik pusat cakra dunia. Catuspata merupakan simbul dari tapak dara sebagai penyederhanaan dari suastika. Catuspata merupakan titik pusat dari kekuatan dewata nawa sanga, caturloka pala. Catuspata merupakan titik pertemuan sebelas Rudra (Eka dasa Rudra), manisfestasi Siwa yang berwujud menyeramkan. Catuspata adalah titik pusat dari padma buana. Di catus pata merupakan windu (titik nol) dari alam semesta.
Catuspata merupakan titik temu antar kekuatan Anggapati, Prajapati, Banaspati, Banaspatiraja. Pempatan merupakan titik temu dari kekuatan bhuta dan kala yang disimbolkan dengan bedogol, sebagai sebuah peringatan kepada manusia akan kekuatan niskala dari pempatan. Perempatan diibaratklan sebagai samudara yang luas, diibaratkan angkasa raya maha luas atau diibaratkan alam semesta alam. Oleh karenanya, apa saja ada di sana, dan apa saja bisa dilakukan di sana.
Ritual yang dilakukan di perempatan seperti: 1) mebanten saiban/rarapan/canang setiap hari sebagai permohonan kehadapan Ida Sanghyang Whidi Wasa dalam prabawa sebagai dewa pempatan untuk memberikan kesejahteraan dan keselamatan kepada umat manusia  2) Ngulapin yakni ritual permohonan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa agar beliau berkenan mengembalikan energi seseorang yang terpancar secara tak disadari saat mengalami kecelakaan. Ngulapin juga dimaksudkan sebagai ritual penjemputan roh seseorang yang telah meninggal ketika akan diaben. Hal ini dilakukan apabila jasad yang bersangkutan tak ditemukan, atau jasadnya dikubur di luar daerah sehingga tak memungkinkan untuk membawa jasadnya kembali.  3) Melakukan ritual pecaruan dalam rangka Kesanga untuk mengharmoniskan alam semesta. 4) Mepiteh prasawya atau berputar di perempatan pada saat upacara ngaben adalah sebagai permakluman kehadapan Hyang Betara di perempatan sekaligus memohon petunjuk dan penerangan jalan menuju ke sunialoka 5) Membuang segala sesuatu yang bersifat negatif di perempatan seperti ritual ruatan/ penglukatan atau nebusin di perempatan  6) Melakukan upacara melancaran dan di setiap perempatan melakukan mesolah dihaturkan sesaji dengan harapan Ida Betara yang diiring melancaran berkenan turun ke dunia memberikan pemberkatan kepada alam semesta. 7) Dalam upacara karya di sebuah Pura Kayangan Tiga, maka setelah upacara berakhir dilakukan upacara nyenuk yang artinya upacara meajar-ajar atau beranjangsana keliling desa melewati beberapa pempatan di wilayah itu untuk memberikan anugrah kehadapan masyarakat karena telah melaksanakan upacara tersebut dengan tulus iklas. 8) Upacara pemasupatian atupun ngerehang juga dilakukan di perempatan. 9) Sarana pecaruan atau juga durmanggala (banten utuk pembersihan dari segala mala atau keletehan atau kekotoran secara niskala) setelah dilakukan upacara juga dibuang ke perempatan sebagai tempat yang terdekat. Selain itu juga dibuang ke sungai atau ke laut. Namu ke pempatanlah yang paling dekat.
Banyak dan seringnya dilakukan upacara menandakan bahwa amat pentingnya perempatan dalam kehidupan manusia Bali. Artinya catuspata memiliki nilai religious yang sangat tinggi dan memiliki aura yang niskala yang sangat kental. Manusia Hindu Bali pasti mengatakan bahwa perempatan adalah salah satu tempat yang suci sekaligus angker selain kuburan.
Dalam perkembangan sekarang ini, perempatan agung tak banyak mendapat perhatian. Demi kepentingan praktis, maka banyak pempatan dengan bedogolnya diabaikan begitu saja. Artinya sikap religius masayarat sekitarnya mengenai perempatan sudah semakin meluntur. Dengan demikian menyebabkan aura perempatan menjadi tak harmonis lagi, dan sudah pasti mengakibatkan sesuatu yang tak harmonis juga di lingkungan tersebut. Misalnya menyebabkan banyak kecelakaan, adanya perkelahian atau kericuhan lainnya, dll. Karena tak banyak dilakukan proses penyucian maka aura tersebut menjadi bersifat negatif, atau sifat bhuta yang menonjol. Keadaan ini sudah pasti menyebabkan terjadinya sifat-sifat bhuta yang mengganggu.
Mengingat pentingnya catuspata dalam kehidupan manusia Bali, maka sudah barang tentu mulai saat ini perempatan mesti dipelihara dan dilestarikan keberadaannya sebagai sebuah kawasan suci, sebagai kawasan religius. Perempatan adalah stana Ida Betara Dalem (Siwa) dalam prabawa beliau sebagai “dewan pempatan” yang disebut dengan Ida Sanghyang Catur Bhuana, dan aspek bhuta dari kekuatan dewata dari pempatan bergelar Sang Buta Kala Dengen.
Perempatan dipercaya sebagai sumbu cakra dunia. Artinya dengan melakukan ritual di perempatan maka manusia berusaha memelihara perputaran cakra dunia agar tak terhenti. Apabila perputaran cakra dunia berhenti, maka proses kehidupan di dunia juga akan terhenti. Ini artinya dengan melakukan yadnya secara berkesinambungan di catuspata maka manusia telah memelihara perputaran cakra. Artinya, dengan yadnya yang dilakukan tersebut manusia telah memelihara alam semesta.
Perputaran cakra yang secara terus terus-menerus melalui yadnya tersebut menyebabkan kehidupan terus berlangsung. Perputaran cakra ke arah yang positif tersebut bagaikan perputaran Gunung Mandara yang akan mengeluarkan “amerta” untuk kehidupan manusia. Keluarya amerta inilah yang akan dinikmati manusia dalam bentuk perputaran kehidupan, perputaran ekonomi, dan limpahan bahan makanan sandang serta ketentraman.
Kembali ke masalah bedogol yang sudah hampir tak ada, segenap lapisan masyarakat, pemerintah semuanya mesti memusatkan perhatian kepada bedogol sebagai sebuah simbol titik nol kehidupan, sebagai simbol alam raya, sebagai simbol pemutaran cakra dunia, bedogol sebagai pusering jagad. Oleh karenanya bedogol mesti kembali dipasang. Bedogol mesti ditempatkan di setiap perempatan dalam rangka memutar kembali cakra dunia untuk memperkuat pancaran taksu alam semesta khususnya tanah Bali.
Bedogol adalah patung tak berbunyi, tak bergerak. Ia sendirian berada di tengah perempatan. Si bedogol itu memberi peringatan kepada manusia yang lewat di sana bahwa kita sedang berada di persimpangan. Artinya bedogol ingin mengatakan “tempuhlah jalan yang semestinya agar tak tersesat, dan hati-hatilah”. Mungkin begitu ingin ia katakan kepada setiap manusia yang lewat di sana. Namun karena perkembangan jaman, banyak yang mengabaikan keberadaan bedogol di perempatn jalan, bahkan sudah tak ada lagi. Masyarakat banyak melakukan ritual di pinggir jalan dan bukan di tengah perempatan karena keramaian jalan dan kawatir terserempet lalu lintas. Maka banyaklah manusia yang tersesat dan berada di persimpangan jalan.
Mengingat dari semua itu maka apapun alasannya, yang namanya bedogol dan perempatan mesti dipelihara dengan baik kesucian dengan segala aspek ritualnya. Masyarakat harus tetap memelihara agar ada ruang melakukan ritual di tengah perempatan yang disebut dengan catuspata. Akan lebih terasa auranya kalau sebuah pempatan dipasang bedogol (patung berbentuk raksasa) yang kecil dengan segala aktivitas ritualnya, dibandingkan dengan memajang patung adipura yang besar namun kering makna. (Ki Buyut/Kanduk)

Monday, February 22, 2016

Hindu Bali Sembahyang Saat Odalan ?




Bagi yang rajin sembahyang setiap hari jangan tersinggung atau marah dulu. Sebab apa yang akan diungkap adalah realitas di Bali terdahulu, yakni “Bagaimana Hindu Bali bersembahyang?. Tak semua akan bisa menjawab. Kalaupun di kalangan cendekiawan Hindu, maka seringkali terjadi bahwa diantara dua atau tiga orang pastilah ada perbedaan pendapat. Sebab di Hindu Bali tak ada cara sembahyang yang baku. Semua disesuiakan dengan situasi dan kondisi. Cuman belakangan dibuat ketentuan bahwa sembahyang dengan cakupan tangan kara kalih (cakupan kedua belah telapak tangan),  kemudian ada panca sembah. Pembaharuan Hindu Bali memperkenalkan Tri Sandya.
Agama Bali kalau dipikir-pikir sejatinya tak mengenal cara sembahyang yang baku, hanya dikenal cara mencakupkan tangan kara kalih sebagai tanda bhakti kehadapan Hyang Parama Kawi. Jarang ada bisa mengucapkan mantra, kecuali sang pemangku. Jero mangku yang nganteb bantenpun hanya sebatas mesee (berdoa sesuai dengan bahasa sendiri). Karena tak sembarang orang boleh memantra, sebab tak semua orang boleh membaca lontar akibat adanya hukum aja wera.
Uniknya lagi, umat Hindu Bali (Gama Bali) pada masa lalu tak pernah mengenal sembahyang setiap hari apalagi tiga hari sekali. Umat hanya bersembahyang mencakupkan tangan hanya saat menghaturkan pujawali atau odalan di pura atau sanggah tertentu. Selain itu sangat jarang sekali menghaturkan bhakti. Cukup dengan menghaturkan canang atau banten. Termasuk pada saat hari suci Galungan pun tak ada yang mencakupkan tangan di merajan atau pura. Cukup dengan menghaturkan canang dan banten, lalu nunas tirtha, tirtha inilah yang kemudian dilungsur sebagai berkah anugrah dari Hyang Betara. Demikian jaman dahulu.
Begitu sederhana agama Hindu Bali pada masa lalu. Namun kondisi moral umat sangat terjaga, termasuk ketaatan akan tradisi Hindu Bali sangat kental, sehingga tak ada yang  berubah dari waktu ke waktu. Karena dikalangan umat Hindu bali kawatir mendapat peringatan dari niskala berupa musibah atau bencana apabila melakukan hal-hal terkait agama dan adat tidak sesuia dengan apa yang telah diwariskan leluhur. Takut dengan hukum kawitan. Atas dasar kemurnian hati tersebut, umat Hindu Bali moralitasnya terjaga pada jaman dahulu. Walau tak banyak mengetahui pengetahuan Weda, dan hanya sembahyang enam bulan sekali (ketika odalan).
Sangat berbeda dengan jaman sekarang dimana, frekuensi umat bersembahyang sangat tinggi, bahkan tiga kali sehai dengan ber-Trisandya, kemudian tirtayatra, meditasi, yoga, dll. Bahkan karya yadnya yang diselenggarakan besar-besaran (“jor-joran”) justru menyebabkan manusia Bali Hindu terperosok dalam jurang egoisme. Akhirnya kemurnian beragama dan kemurnian moralitas umat Hindu Bali justru merosot kalau dibandingkan dengan kemurnian jiwa ketika manusia Bali dahulu bersembahyang hanya enam bulan sekali, dan tak bisa berbahasa mantra.
Terus bagaimana dengan pakaian sembahyang umat agama Bali? Orang Hindu Bali tak mengenal pakaian sembahyang yang baku. Yang dipunyai adalah pakaian adat yang kerap digunakan untuk sembahyang atu menjalankan ritual tertentu. Pakaian tersebut adalah kamben, saput, selempot (senteng) dan udeng. Setelah dikenal adanya baju, maka ditambah lagi dengan baju.
 Adanya pakaian ke pura seperti berwarna putih kuning atau putih-putih akibat adanya semacam gerakan  kebangkitan Hindu yang dipelopori oleh mahasiswa di Jawa Timur tahun 1990-an dan gerakan ini semakin semarak ketika berbondongnya umat  Hindu Bali tangkil ke pura Gunung Mandara Giri Semeru Agung di Lumajang Jawa Timur. Mulai saat itu muncul keseragaman pakaian dalam bersembahyang. Sedangkan mengenai pakaian hitam-hitam dalam upcara ngaben sejatinya adalah akibat kaul dari seorang anggota kerajaan Badung (Pemecutan) ketika wafatnya salah seorang pembesar kerajaan Pemecutan sekitar tahun delapan puluhan. Mulai saat itu banyak yang meniru bahwa ke tempat berbelasungkawa menggunakan pakaian hitam.  Lebih-lebih umat lain juga menggunakan pakaian hitam dalam upacara berkabung. Padahal sejatinya dalam budaya dan agama Hindu Bali, warna hitam dalam upacara kematian tak disarankan sebagai tanda bersedih. Karena umat Hindu Bali memahami hari pengabenan merupakan hari pelepasan dengan ilklas tanpa diiringi rasa sedih, melainkan didasari atas rasa kesadaran yang tinggi bahwa hakekat hidup ini berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya. Artinya semua itu tak perlu disedihi, semestinya semua dalam keadaan bhakti dan iklas akan kemahakuasaan Ida Sanghyang Embang sebagai pemeralina segala yang ada di dunia ini. Artinya bahwa saat upacara pengabenan tak menggunakan warna hitam sebagai lambang berduka cita. (Ki Buyut/kanduk).

Tuesday, February 16, 2016

Manusia Bali Manusia Pasupati




Dalam Tutur Kanda Pat disebutkan ketika sang ibu dan sang ayah dalam pandangan matanya berkeinginan untuk melakukan senggama, maka pada saat itu benih janin sudah terbentuk. Kemudian dilanjutkan melakukan bersengama dan terjadi pertemuan antara kama bang dan kama petak, terjadilah pembenihan atau pembuahan dalam kandungan si ibu. Setelah berumur beberapa bulan, dilakukan upacara magedong-gedongan untuk memberikan rahmat kepada sang cabang bayi agar berkembang dan nantinya lahir dengan baik.
Setelah cukup umurnya maka bayi pun lahir. Ketika itu susah disambut dengan banten bhu atau banten baru lahir. Setelah beberapa hari dilakukan ke upacara kepus pungsed yakni upacara untuk selamatan anaknya yang baru lepas puser. Setelah berumur satu bulan tujuh hari dilakukan upacara bulan pitung dina, dilanjutkan dengan telu bulanan atau nyambutan, otonan setiap enam bulan sebagai peringatan hari kelahira  menurut Hindu Bali. Termasuk pula dilakukan uapacara ngangkid atau mesakapan ke pasih yakni upacara dilakukan di laut dan di sungai.
Lalu setelah mencapai akil balik, bagi yang perempuan dibuatkan upacara raja sewala dan laki-laki dibuatkan upacara raja singa. Selanjutnya dilakukan upacara mepandes/metatah/potong gigi untuk mengendalikan sifat sifat sad ripu dalam diri. Setelah itu barulah si anak Hindu Bali melakuakn upacara pawiwahan/pernikahan. Dan untuk memantapkan pernikahan tersebut banyak umat bali melakukan upacara yang namanya neteg pulu.
Sampai akhirnya manusia Bali meninggal, dilakukan penguburan atau diaben. Setelah itu baru lanjut dengan rangkaian upacara memukur /meligia atau di daerah lain disebut ngeroras. Setelah habis rangkaian tersebut, maka manusia Bali yang dulunya lahir ke dunai kemudian kembali ke alam sunia dilinggihkan di sanggah rong tiga dengan status sebagai betara Hyang Guru yang akan disembah oleh para sentana/keturunan. Para leluhur yang telah meninggal dan berstatus Betara Hyang Guru bisa numitis/bereinkarnasi menjadi anak cucu keturunan dari keluarga yang ditinggalkannya. Demikian rangkaian kehidupan manusia  Bali yang akan terus berputar secara abadi.
Manusia Bali percaya dan yakin bahwa kehidupannya senantiasa disertai dengan kehidupan dari para leluhurnya di alam sana, sehingga manusia  Bali sangat setia melakukan pemujaa kepada leluhur, dan baik buruk keadaan di dunia juga sebenarnya atas rastiti dari para leluhur. Demikian juga para leluhur akan merasa bahagia di alam sana ketika para pretisentananya mendapatkan kebahagiaan dan taat dengan bhisama leluhur. Apabila manusia Bali tak taat dengan leluhur, maka banyak hal buruk yang ia alami selama hidup di dunia. Oleh karena itu manusia bali Hindu paling tidak ada tiga hukum yang mengiktanya yakni hukum kawitan (mengatur kehidupan manusia dengan para leluhurnya), hukum negara (mengatur kehidupan berbangsa), hukum karmapala yang merupakan universal yang mengatur semua ciptaan Tuhan. Ada sebagian kalangan tak percaya dengan karmapala. Percaya atau tidak, setuju atau tidak, hukum karna tetap berlaku untuk siapa saja dan dimana saja. Inilah hukum alam yang maha adil, terperinci, dan tepat waktu. Hukum yang tak boleh disuap, dibeli atau tak pandang bulu dan tak boleh diajak bermain mata.
Manusia Bali sebenarnya sejak masih dalam kandungan, lahir, masa kanak kanak, remaja, dan bahkan sampai meninggal senantiasa menjalani upacara ritual penyucian dan dipasupati. Artinya dimohonkan keselamatan dengan upacara tertentu, dengan menempatkan dan menggunakan sarana berupa banten, sastra, mantra, serta kidung-kidung untuk menguatkan kehidupan dan spiritual manusia Bali. Tak dipungkiri lagi bahwa manusia Bali dengan segala keriuhannya menjalankan adat budaya dan agamanya sejatinya adalah manusia yang telah di-pasupati. Inilah salah satu alasan mengapa manusia Bali itu tenget. Contohnya sakit kepala ketika melewati jemuran, atau sakit kepala jika makan daging sapi, dll. Karena dalam diri manusia Bali, (terutama yang sudah diwinten) sudah ditempatkan sastra-sastra, mantra magis. Artinya sudah menempatkan dewa-dewa (simbul dewa-dewa) dalam diri manusia itu sendiri.
Itu adalah ukuran manusia Bali yang umum, belum lagi manusia Bali yang menekuni dunia sastra, maka paling tidak ia harus melakukan pewintenan saraswati. Atau juga bagi yang menekuni  dunia spiritual menghidupkan kanda pat, maka ia akan mengalami ritual pasupatai/inisiasi  tertentu. Termasuk yang menjadi mangku didahului dengan pewintenan pemangku. Bahkan yang paling tinggi adalah mediksa untuk menjadi seorang sulinggih.
Artinya  bahwa setiap jenjang kehidupan manusia Bali, senantiasa ditempatkan sastra-satra magis dalam tubuh dan rohani manusia Bali. Dengan demikian manusia Bali sejatinya telah ngelinggihang (menstanakan) dewa-dewa dalam tubuhnya. Sehingga pada saat kematian atau pada ngaben maka semua kekuatan tersebut dikembalikan (diprelina) terlebih dahulu dengan tirtha panembak dan tirtha pengentas. Demikian seterusnya. (Buyut/kanduksupatra).

Monday, February 15, 2016

Betara dibuat susah. Percakapan Imajiner Mangku Gede dgn Ida Betara Sesuhunan



           
Ini salah satu kisah dimana suatu hari Jero Mangku Gede Onya-onya kedatangan pemedek di pura tempatnya ngayah jadi pemangku. Kenapa ia disebut dengan Mangku Gede Onya-onya karena orang menilai dia sebagai mangku yang gede awak (badan besar), munyi gede (volume suara besar dan tinggi) dan bicara agak sedikit tinggi, walaupun bayune enduk. Jero mangku ini kebetulan ngayah di sebuah pura yang terkenal sangat tenget dan terletak di kesunyian.
            Suatu malam ia kedatangn rombongan tangkil ke pura untuk melakukan dewasraya dengan tujuan tertentu. Yang datang itu adalah bapak-bapak kita yang tak asing lagi di layar televisi. Maksud dan tujuannya adalah untuk memohon kehadapan Ida Betara yang melingga melinggih di pura ini mengabulkan permohonannya yakni menjadi penguasa di daerah ini. Ketika itu Jero Mangku Gede Onya-onya telah mempermaklumkan permohonan bapak-bapak tersebut kehadapan Ida Betara.
            Pada malam berikutnya jero mangku kedatangan penangkilan lagi yakni rombongan bapak-bapak dengan tujuan yang sama. Acara pun berlangsung dengan hidmat sampai tengah malam menjelang pagi.
            Minggu besoknya kembali datang serombongan orang tengah malam yakni bapak-bapak yang sudah tak asing lagi untuk mengikuti pemilihan kepala daerah.
            Jero mangku tak ambil pusing, ia menghaturkan dan ngastawang haturan yang dibawa, juga mempermaklumkan maksud dan tujuan dari rombongan yang tangkil kehadapa Ida Betara Sesuhunan. Dan jero mangku pun mendapatkan sesari dan lungsuran bapak-bapak tersebut.
            Pada rerahinan berikutnya, jero mangku ke pura menghaturkan canang. Dalam kesunyian di pura, jero mangku mendapat kleteg pewisik mengenai orang-orang yang menghaturkan sembah beberapa waktu lalu. Seolah-olah jero mangku gede berdialog dengan Ida Betara Sesuhunan di sana. Mungkin begini kalau diterjemahkan sabda beliau “eh mangku gede, semua yang menghadap ke sini minta agar menang dalam pilkada nanti. Setahuku hanya diperlukan seorang pemimpin. Tapi yang minta menang ada tiga, kan tidak mungkin semuanya menang. Sungguh amat sulit bagiku sebagai Betara untuk mengambil keputusan. Semuanya minta dengan sangat, agar dikabulkan doanya” demikian kira percakapan batin tersebut.
            Kemudian belum sempat Ida Betara mengambil keputusan atas permintaan para kandidat tersebut, bapak-bapak yang bersangkutan telah datang kembali untuk memohon lebih keras lagi agar cita-citanya terkabul, ditambah lagi ia mengumbar sesangi (kaul) di mana-mana“. Ida Betara sedikit kesal dan beliau bersabda kepada mereka semua itu “ yang jadi betara itu aku atau kamu. Kalau kamu memang bersikeras, lebih baik kamu saja yang jadi betara, sehingga kau bisa semaumu”. Demikian Ida Betara sedikit kesal terhadap pemedek yang bersikeras tersebut. Mereka datang ketika perlu, namun pada saat mereka tak perlu atau sedang bersenang-senang, tak pernah ingat ngaturang bhakti kehadapan Ida Betara. Kalau orang mengistilahkan tain blek tain belenget, suba jelek mara inget.
            Di lain pihak ada seorang pemedek yang menghubungi jero mangku gede onya-onya untuk menghaturkan bhakti agar sembuh dari segala penyakit, sekalian mendapat kerahayuan dan rejeki. Sungguh banyak permintaan dari orang itu ketika datang ke pura menghaturkan sarana pejati asoroh. Kembali Ida Betara mengalami kesulitan atas permohon pemedek tersebut. Sebab menjadi Ida Betara tak boleh pelit sebab Ida Betara adalah maha pemurah. Namun di lain pihak Ida Betara mengetahui bahwa yang bersangkutan secara karma harus mengalami sakit, tidak rejekian. Inilah yang membuat Betara semakin sulit.
            Setelah sekian kali orang tersebut nunasica, permohonannya tak terkabulkan. Sampai akhirnya pada suatu saat terjadi dialog batin antara Jero Mangku Gede Onya-onya dengan Ida Betara Sesuhunan. Kira-kira dialog tersebut sebagai berikut “mengapa orang yang nunasica sekian kali tak terkabul doanya. Kenapa Ida Betara begitu sulit untuk memberikan kesembuhan kepada manusia. Padahal Betara sangat sakti”. Demikian kata Jero Mangku.
            Karena saking kesalnya, maka keluar kata-kata Jero Mangku Gede Onya-onya “tiang icen dados betara, betara dados manusa. Kalau tyang jadi betara, apa yang diminta manusia akan saya kabulkan”. Demikan omongan dari Jero Mangku Gede yang disahut oleh Ida Betara. “Ida Betara sing ja pripit, Ida Betara sangat sih (penyayang), tetapi manusia memiliki karma yang harus dijalankan. Demikian juga manusia seringkali datang memuja dan meminta ketika mereka kesusahan atau perlu. Padahal semestinya manusa datang setiap saat memuja Ida Betara. Manusa bhakti ring betara, betara sih tekening manusa. “kalau manusia bhakti kehadapan Ida Betara, maka Betara pun akan sayang kepada manusia”. Ida Betara pun “mur” kembali ke kayangan untuk mengakhiri dialog batin dengan Jero Mangku Gede Onya onya yang bikin kesal.
Mangku Gede pun mepamit dari pura sambil bergumam “mungkin Ida Betara lelah”. 
Demikianlah Mangku Gede, seperti bicara dengan temannya saja.  Haaa… (Ki Buyut/ Kanduk).