Hari suci menurut Hindu Bali adalah setiap hari.
Artinya setiap hari itu disebut dengan luang.
Semua dihitung berdasarkan wewaran dan
wuku sehingga melahirkan hari-hari
suci secara berurut adalah Hari Soma Ribek,
Sabuh Mas, Pagerwesi, Tumpek Landep, Buda Cemeng Ukir, Tumpek Wariga, Galungan,
Pemacekan Agung, Kuningan, Buda Kliwon Paang, Tumpek Krulut, Buda Cemeng
Merakih, Anggarkasih Tambir, Buda Kliwon Matal, Tumpek Uye atau Tumpek Kandang,
Anggarkasih Perangbakat, Buda Kliwon Ugu, Tumpek Wayang, Buda Cemeng Klawu, dan
Saraswati. Itulah beberapa hari suci menurut Gama Hindu Bali. Selain itu
masih banyak hari di luar perhitungan
wuku seperti Hari Kajeng Kliwon yang jatuh setiap lima belas hari sekali yang
merupakan hari keramat dan sekaligus hari suci. Lalu ada persembahan purnama
tilem, ngesanga atau Nyepi, Siwaratri, dll.
Selain hari suci Agama Bali (Hindu Bali), sarana
upacara dan bantennya juga banyak dari yang terkecil sampai yang besar atau dari
tingkatan nista, madya dan utama,
meliputi banten saiban (jotan) setiap
hari sehabis memasak, segehan, segehan agung, caru eka sata, caru panca
sata, caru panca sanak, caru Resi gana, caru panca Kelud, caru Balik Sumpah,
Tawur, Tawur Agung, Tawur Panca Walikrama, Tawur Ekadasa Rudra. Demikian
juga dengan bentuk ayaban dari yang
terkecil bunga asebit sari, canang,
pejati, peras pengambeyan, udel kurenan, pregembal (pulegembal), bebangkit,
nyatur, dll.
Belum lagi bebantenan yang sifatnya untuk upacara khusus seperti prayascita, pengulapan, durmanggala, serta
sesayut-sesayut yang jumlahnya beranekaragam.
Demikian juga dengan jenis upacara yang dilakukan
baik itu untuk kalangan perorangan maupun secara bersama oleh masyarakat
seperti persembahyangan biasa, odalan,
ngenteg linggih, karya pedudusan alit, pedudusan agung, memungkah, ngusaba
desa, ngusaba nini, nangluk merana, wana kretih, Betara turun kabeh, Panca Wali
Krama, Tri Buana, Eka buwana, Merebu
Bumi, Eka Dasa Rudra, dll.
Sedangkan upacara khusus yang sering dilakukan oleh
masyarakat seperti misalnya ngulapin,
melaspas, mendak betara, nebusin, ngaturang guru piduka, bendu piduka, mapemayu,
mewinten, melukat, mediksa, mekelud, mebayuh, dll. Dalam sebuah karya saja
sangat banyak rangkaian karya yadnya yang mesti diikuti seperti matur pakeling artinya menghaturkan
permakluman kehadapan Ida Betara bahwa masyarakt akan menyelenggarakan karya
yadnya, tahapan berikutnya adalah nuasen
karya yakni sebagai tonggak mulai mempersiapkan segala kebutuhan yang
diperlukan dalam karya, dilanjutkan dengan neteg dan melaspas segala sarana upacara yadnya, ngingsah adalah membersihkan dan menyucikan sarana bebantenan dan
perlengkapan tetandingan yang diperlukan, mapepada
yakni menyucikan hewan-hewan yang akan dijadikan sarana banten, tawur atau pecaruan adalah nyomia bhuta kala menjadi Dewa, Melasti merupakan rangkaian untuk
menyucikan segala bentuk prelingga
dan pretima Ida Betara, dan puncak
karya yakni menghaturkan segala persembahan sebagai rasa bhakti dan pengorbanan
yang tulus iklas kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa agar beliau berkenan
memberikan anugrah kesentausaan kepada umat manusia di dunia, diisi dengan
acara tedun ke peselang, termasuk
juga medana-dana di bale pedanan, dan
seterusnya.
Apa yang diungkapkan di atas adalah sebagian kecil dari
sekian banyak rangkain ritual dan rangkaian kegiatan sosial keagamaan yang
mesti dilalui dan dilaksanakan oleh manusia Hindu Bali baik secara perseorangan
maupun secara bersama sama, namun tetap dengan prinsip kemampuan dan keiklasan.
Karena dalam Hindu Bali ini sudah diberikan rentang yang sangat fleksibel
mengenai skala upacara baik dari tingkat nista yang terdiri dari tiga bagian,
madya juga dibagi tiga, dan utama juga di bagi tiga. Jadi dengan demikian kalau
memang semua umat menyadari hal demikain maka, sebenarnya sekian banyak upacara
dan acara, sepertinya semua tak akan memberatkan, karena semuanya sudah diberi
kesempatan untuk menjalankan yadnya sesuai dengan kemampuan. Bukan sesuai
dengan kemauan.
Semua ini tak ada pada praktek agama Hindu di India
atau praktek sampradaya yang berkembang kembali di tanah Bali. (Ki Buyut/Kanduk)
No comments:
Post a Comment