Tuesday, February 2, 2016

Rerahinan Gama Bali / Hindu Bali / Gama Tirtha





Hari suci menurut Hindu Bali adalah setiap hari. Artinya setiap hari itu disebut dengan luang. Semua dihitung berdasarkan wewaran dan wuku sehingga melahirkan hari-hari suci secara berurut adalah Hari Soma Ribek, Sabuh Mas, Pagerwesi, Tumpek Landep, Buda Cemeng Ukir, Tumpek Wariga, Galungan, Pemacekan Agung, Kuningan, Buda Kliwon Paang, Tumpek Krulut, Buda Cemeng Merakih, Anggarkasih Tambir, Buda Kliwon Matal, Tumpek Uye atau Tumpek Kandang, Anggarkasih Perangbakat, Buda Kliwon Ugu, Tumpek Wayang, Buda Cemeng Klawu, dan Saraswati. Itulah beberapa hari suci menurut Gama Hindu Bali. Selain itu masih banyak hari  di luar perhitungan wuku seperti Hari Kajeng Kliwon yang jatuh setiap lima belas hari sekali yang merupakan hari keramat dan sekaligus hari suci. Lalu ada persembahan purnama tilem, ngesanga atau Nyepi, Siwaratri, dll.
Selain hari suci Agama Bali (Hindu Bali), sarana upacara dan bantennya juga banyak dari yang terkecil sampai yang besar atau dari tingkatan nista, madya dan utama, meliputi banten saiban (jotan) setiap hari sehabis memasak, segehan, segehan agung, caru eka sata, caru panca sata, caru panca sanak, caru Resi gana, caru panca Kelud, caru Balik Sumpah, Tawur, Tawur Agung, Tawur Panca Walikrama, Tawur Ekadasa Rudra. Demikian juga dengan bentuk ayaban dari yang terkecil bunga asebit sari, canang, pejati, peras pengambeyan, udel kurenan, pregembal (pulegembal), bebangkit, nyatur, dll.
Belum lagi bebantenan yang sifatnya untuk upacara khusus seperti prayascita, pengulapan, durmanggala, serta sesayut-sesayut yang jumlahnya beranekaragam.
Demikian juga dengan jenis upacara yang dilakukan baik itu untuk kalangan perorangan maupun secara bersama oleh masyarakat seperti persembahyangan biasa, odalan, ngenteg linggih, karya pedudusan alit, pedudusan agung, memungkah, ngusaba desa, ngusaba nini, nangluk merana, wana kretih, Betara turun kabeh, Panca Wali Krama, Tri Buana, Eka buwana, Merebu  Bumi, Eka Dasa Rudra, dll.
Sedangkan upacara khusus yang sering dilakukan oleh masyarakat seperti misalnya ngulapin, melaspas, mendak betara, nebusin, ngaturang guru piduka, bendu piduka, mapemayu, mewinten, melukat, mediksa, mekelud, mebayuh, dll. Dalam sebuah karya saja sangat banyak rangkaian karya yadnya yang mesti diikuti seperti matur pakeling artinya menghaturkan permakluman kehadapan Ida Betara bahwa masyarakt akan menyelenggarakan karya yadnya, tahapan berikutnya adalah nuasen karya yakni sebagai tonggak mulai mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan dalam karya, dilanjutkan dengan neteg dan melaspas segala sarana upacara yadnya, ngingsah adalah membersihkan dan menyucikan sarana bebantenan dan perlengkapan tetandingan yang diperlukan, mapepada yakni menyucikan hewan-hewan yang akan dijadikan sarana banten, tawur atau pecaruan adalah nyomia bhuta kala menjadi Dewa, Melasti merupakan rangkaian untuk menyucikan segala bentuk prelingga dan pretima Ida Betara, dan puncak karya yakni menghaturkan segala persembahan sebagai rasa bhakti dan pengorbanan yang tulus iklas kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa agar beliau berkenan memberikan anugrah kesentausaan kepada umat manusia di dunia, diisi dengan acara tedun ke peselang, termasuk juga medana-dana di bale pedanan, dan seterusnya. 
Apa yang diungkapkan di atas adalah sebagian kecil dari sekian banyak rangkain ritual dan rangkaian kegiatan sosial keagamaan yang mesti dilalui dan dilaksanakan oleh manusia Hindu Bali baik secara perseorangan maupun secara bersama sama, namun tetap dengan prinsip kemampuan dan keiklasan. Karena dalam Hindu Bali ini sudah diberikan rentang yang sangat fleksibel mengenai skala upacara baik dari tingkat nista yang terdiri dari tiga bagian, madya juga dibagi tiga, dan utama juga di bagi tiga. Jadi dengan demikian kalau memang semua umat menyadari hal demikain maka, sebenarnya sekian banyak upacara dan acara, sepertinya semua tak akan memberatkan, karena semuanya sudah diberi kesempatan untuk menjalankan yadnya sesuai dengan kemampuan. Bukan sesuai dengan kemauan.
Semua ini tak ada pada praktek agama Hindu di India atau praktek sampradaya yang berkembang kembali di tanah Bali. (Ki Buyut/Kanduk)

No comments:

Post a Comment