Dikisahkan pada jaman silam ada
seorang raja bergelar Sri Dalem Wira Kesari (Sri Kesari Warmadewa) berstana di
lambung Gunung Tolangkir (gunung Agung). Amat berwibawa, beliau adalah cikal
bakal raja utama yang berbudi luhur bagaikan Sanghyang Jina menjelma. Taat
melaksanakan tapa brata samadi.
Keratonnya di Kahuripan, Selonding pura pemujaan beliau, sehingga beliau
terkenal bergelar Dalem Slonding. Beliau juga pendiri Sad Kayangan di Bangsul
(Bali), aman dan tentram kerajaan beliau, para bawahan dan rakyat semuanya taat
kepada raja. Tidak panjang diceritakan, setelah itu bertahta pula raja Bali
berganti-ganti mengendalikan pemerintahan. Putra, cucu, kumpi (cicit) secara
bergantian bertahta di Singhadwala.
Setelah sekian lama berselang,
kemudian dikisahkan bertahta seorang raja besar keturunan Warmadewa (raja
Selonding) yang bergelar Sri Udayana. Kembali aman dan tertib nusa Bali, tak
ada kejahatan, hanya kebenaran yang ada, terpengaruh oleh Dharma sang raja.
Beliau memiliki istri atau permaisuri yakni Dyah Gunapria Darmapatni. Beliau
dicintai rakyat karena cantik pintar dan bijaksana. Beliau putri Jawa keturunan
Danghyang Mpu Sindok.
Adapun ketika beliau bertahta sebagai
raja, didampingi oleh seorang Mpu yang agung bernama Mpu Kuturan. Mpu Kuturan
dari Jawa ke Bali dilukiskan berlayar menggunakan daun Kiambang (kapu-kapu) sebagai perahunya dan daun
Benda (tehep) sebagai layarnya.
Mendarat di pesisir Teluk Padang, pada hari Buda Kliwon Pahang, tahun saka 923
(1001 Masehi). Beliau berpangkat Senapati, pemegang hukum dan tata pemerintahan
raja (penasehat raja). Berkat beliau Mpu Kuturan, di pulau Bali ada Kayangan
Tiga, Sad Kayangan, dengan pura Besakih sebagai kayangan tertinggi, tercantum
dalam pusaka Purana Tattwa, Dewa Tattwa, Widisastra, dan Kusumadewa. Demikian
diceritakan.
Diceritakan kemudian raja Sri Udayana
memiliki seorang putra sulung yang bernama Sri Erlangga yang sedang remaja.
Prabu Sri Erlangga diundang ke Jawa oleh Maharaja Jawa yakni Sri Darmawangsa
Teguh Ananta Wikrama Tungga Dewa, dengan tujuan untuk dinikahkan dengan putri
beliau. Sri Erlanga kemudian pergi dengan senang hati ke tanah Jawa diringi
oleh Ki Patih Twa yang bernama Narottama sebagai pengawal. Diceritakan kemudian
terjadilah pernikahan di Jawa dan Sri Erlangga dinobatkan menjadi raja dan
beliau kemudian menjadi raja besar di Jawa. Dikisahkan pula beliau memiliki
putra dua orang, dimana kedua putra tersebut saling bertengkar tak
henti-hentinya. Ada maksud dari raja Sri Erlangga untuk mendudukkan salah satu
putra beliau di Bali untuk menjadi raja. Namun kehendak tersebut ditolak oleh
penasehat raja Mpu Kuturan karena pertimbangan beliau bahwa di tanah Bali masih
ada seorang putra mahkota pewaris tahta kerajaan yakni Sang Walaprabu. Demikian
diceritakan secara singkat.
Diceritakan kemudian Sri Walaprabu
memegang tampuk kekuasaan di tanah Bali. Kemudian lama kelamaan silih berganti
menjadi raja di Bali. Sang Walaprabu digantikan oleh putra beliau yang bernam
Sri Nari Prabu. Sri Nari Prabu kemudian digantikan oleh putra beliau Sri Jaya
Sakti. Putra Sri Jaya Sakti yakni Sri Jaya Kesunu tidak berkenan menjadi raja,
karena menurut penilaian Sri Jaya Kesunu bahwa siapa yang menduduki tahta
kerajaan maka ia pendek umur. Hanya memegang kekuasaan setahun, dua tahun,
kemudian wafat sampai dengan putra-putranya. Demikian pula dengan tumbuhan serempak mati dan layu, tanaman diserang hama
dan binatang, wabah penyakit menular tak henti-hentinya, banyak penduduk yang
meninggal. Hasil panen gagal dan rakyat menjadi melarat di seluruh Bali. Hal
inilah yang menjadi kekhawatiran dari Sri Jaya Kesunu mengapa beliau tidak
berkehendak menjadi raja.
Ketika itu Sri Jaya Kesunu hanya
berpikir tentang kondisi kerajaannya yang mengalami kegeringan, sehingga Sri Jaya Kesunu ingin mendapatkan jawaban dari
semua keadaan tersebut. Beliau kemudian memutuskan untuk melakukan tapa brata yoga samadi memuja Betari Hyang Nini (Dewi Durga) pada tengah malam di
Pura Dalem Kedewatan (Pura Dalem Puri).
Setelah melakukan penunggalan bayu, sabda idep, melakukan yoga samadi
memohon kehadiran Ida Hyang Betari Nini, maka Ida Betari kemudian berkenan dan
muncul di hadapan Sri Jaya Kesunu. Ida Betari Durga bersabda ” Hai anaku Sri
Jaya Kesunu, apa maksudmu datang menghadap Ibu? Katakanlah!
Sri Jaya Kesunu menjawab “Hyang mulia
Ida Betari Durga, hamba memohon wahyu dan restu agar panjang usia. Yang
bertahta menjadi raja, hidarkan dari kematian agar panjang usia rakyat semua,
agar negara aman sentosa”.
Ida Hyang Betari bersabda “wahai
anakku Jaya Kesunu, dengarkan sabdaku kepadamu. Satu sebab mengapa raja-raja
Bali tidak lanjut/panjang usia, karena tiap-tiap tiganing Dungulan tidak
membuat upacara byakala, menyimpang
dari tata terdahulu. Itulah sebabnya setiap yang bertahta menjadi raja belum
dua tahun telah wafat, sampai dengan sebagian besar rakyatnya. Mereka dijatuhi
hukuman kematian oleh para dewata, sebab tempat suci kayangan, kabuyutan serta
pemujaan lainnya semua telah rusak, tidak dipelihara seperti semula terdahulu.
Mengakibatkan kehancuran negara, penyakit dan binatang menyebar dan memakan,
sebab tak ada kesujudan manusia kepada dewa-dewa, juga tak ada yang melakukan
tapa, brata, semadi, tak ada yang berlaku tertib, tak ada yang berniatkan
dharma dan kebaikan. Kenyataan tersebut
menimbulkan percekcokan menyebar luas, maka setiap menjelang kala tiga, matilah
ia. Sebab noda dari badan kasarnya meresap sampai ke hati nuraninya. Kini bila
anaknda ingin menjadi raja, anaknda juga harus wajib menjaga peraturan (sasana),
anaknda wajib memelihara kayangan dan kabuyutan, serta tempat-tempat pemujaan,
anaknda agar tetap sujud bhakti, dan beryoga semadi memuja Tuhan Yang Maha Esa.
Tiap-tiap Kala Teluning Dungulan pada hari selasa Wage, pada saat itu anaknda
harus melakukan korban Byakala, juga seluruh rakyatmu, seluruh penduduk Bali
bergembira ria berpesta di rumah masing-masing, membuat sesajen untuk para
dewa-dewa, mendirikan penjor di setiap pintu pekarangan rumah, agar sesuai
dengan tata cara masa silam”. Demikian sabda Ida Hyang Betari Nini keada Sri
Jaya Kesunu.
Sri Jaya Kesunu berhatur “daulat
paduka Hyang Betari Nini, hamba sangat berterimakasih.
Setelah itu raja Sri Jaya Kesunu
memerintahkan kepada seluruh rakyatnya untuk memperbaiki perahyangan,
memerlihara sad kahyangan, kahyangan tiga, sampai dengan kabuyutan, dan
menyelenggarakan upacara yadnya untuk bumi seperti dahulu kala ketika leluhur
beliau memerintah pulau Bali terdauhulu yang menyebabkan negara aman dan
tentram, terhindar dari penyakit serta bahaya yang menyulitkan.
Diceritakan kemudian Sri Jaya Kesunu tiba saatnya untuk
kembali ke Wisnuloka, kerajaan kemudian diwariskan kepada putra beliau yakni
Sri Jaya Pangus. Beliau kemudian memindahkan kerajaan ke Bedahulu. Aci-aci sad
kayangan dan Besakih terus dilanjutkan sampai dengan yadnya pembersihan bumi.
Juga diselenggarakan upacara Tawur Eka Dasa Rudra, yang disaksikan oleh tujuh
Empu bersaudara yakni Mpu Ketek, Mpu Kananda. Mpu Wradnyana. Mpu Witadharma,
Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, dan Mpu Dangka. (Ki Buyut/kanduk).
No comments:
Post a Comment