Bagi yang rajin sembahyang setiap
hari jangan tersinggung atau marah dulu. Sebab apa yang akan diungkap adalah
realitas di Bali terdahulu, yakni “Bagaimana Hindu Bali bersembahyang?. Tak
semua akan bisa menjawab. Kalaupun di kalangan cendekiawan Hindu, maka
seringkali terjadi bahwa diantara dua atau tiga orang pastilah ada perbedaan
pendapat. Sebab di Hindu Bali tak ada cara sembahyang yang baku. Semua disesuiakan
dengan situasi dan kondisi. Cuman belakangan dibuat ketentuan bahwa sembahyang
dengan cakupan tangan kara kalih
(cakupan kedua belah telapak tangan), kemudian
ada panca sembah. Pembaharuan Hindu Bali memperkenalkan Tri Sandya.
Agama Bali kalau dipikir-pikir sejatinya
tak mengenal cara sembahyang yang baku, hanya dikenal cara mencakupkan tangan
kara kalih sebagai tanda bhakti kehadapan Hyang Parama Kawi. Jarang ada bisa
mengucapkan mantra, kecuali sang pemangku. Jero mangku yang nganteb bantenpun
hanya sebatas mesee (berdoa sesuai dengan bahasa sendiri). Karena tak sembarang
orang boleh memantra, sebab tak semua orang boleh membaca lontar akibat adanya
hukum aja wera.
Uniknya lagi, umat Hindu Bali
(Gama Bali) pada masa lalu tak pernah mengenal sembahyang setiap hari apalagi
tiga hari sekali. Umat hanya bersembahyang mencakupkan tangan hanya saat
menghaturkan pujawali atau odalan di pura atau sanggah tertentu. Selain itu
sangat jarang sekali menghaturkan bhakti. Cukup dengan menghaturkan canang atau
banten. Termasuk pada saat hari suci Galungan pun tak ada yang mencakupkan
tangan di merajan atau pura. Cukup dengan menghaturkan canang dan banten, lalu
nunas tirtha, tirtha inilah yang kemudian dilungsur sebagai berkah anugrah dari
Hyang Betara. Demikian jaman dahulu.
Begitu sederhana agama Hindu Bali
pada masa lalu. Namun kondisi moral umat sangat terjaga, termasuk ketaatan akan
tradisi Hindu Bali sangat kental, sehingga tak ada yang berubah dari waktu ke waktu. Karena
dikalangan umat Hindu bali kawatir mendapat peringatan dari niskala berupa
musibah atau bencana apabila melakukan hal-hal terkait agama dan adat tidak
sesuia dengan apa yang telah diwariskan leluhur. Takut dengan hukum kawitan.
Atas dasar kemurnian hati tersebut, umat Hindu Bali moralitasnya terjaga pada
jaman dahulu. Walau tak banyak mengetahui pengetahuan Weda, dan hanya
sembahyang enam bulan sekali (ketika odalan).
Sangat berbeda dengan jaman
sekarang dimana, frekuensi umat bersembahyang sangat tinggi, bahkan tiga kali
sehai dengan ber-Trisandya, kemudian tirtayatra, meditasi, yoga, dll. Bahkan
karya yadnya yang diselenggarakan besar-besaran (“jor-joran”) justru menyebabkan
manusia Bali Hindu terperosok dalam jurang egoisme. Akhirnya kemurnian beragama
dan kemurnian moralitas umat Hindu Bali justru merosot kalau
dibandingkan dengan kemurnian jiwa ketika manusia Bali dahulu bersembahyang
hanya enam bulan sekali, dan tak bisa berbahasa mantra.
Terus bagaimana dengan pakaian
sembahyang umat agama Bali? Orang Hindu Bali tak mengenal pakaian sembahyang
yang baku. Yang dipunyai adalah pakaian adat yang kerap digunakan untuk
sembahyang atu menjalankan ritual tertentu. Pakaian tersebut adalah kamben,
saput, selempot (senteng) dan udeng. Setelah dikenal adanya baju, maka ditambah
lagi dengan baju.
Adanya pakaian ke pura seperti berwarna putih
kuning atau putih-putih akibat adanya semacam gerakan kebangkitan Hindu yang dipelopori oleh
mahasiswa di Jawa Timur tahun 1990-an dan gerakan ini semakin semarak ketika berbondongnya umat
Hindu Bali tangkil ke pura Gunung
Mandara Giri Semeru Agung di Lumajang Jawa Timur. Mulai saat itu muncul
keseragaman pakaian dalam bersembahyang. Sedangkan mengenai pakaian hitam-hitam
dalam upcara ngaben sejatinya adalah akibat kaul dari seorang anggota kerajaan
Badung (Pemecutan) ketika wafatnya salah seorang pembesar kerajaan Pemecutan sekitar
tahun delapan puluhan. Mulai saat itu banyak yang meniru bahwa ke tempat berbelasungkawa
menggunakan pakaian hitam. Lebih-lebih
umat lain juga menggunakan pakaian hitam dalam upacara berkabung. Padahal
sejatinya dalam budaya dan agama Hindu Bali, warna hitam dalam upacara kematian
tak disarankan sebagai tanda bersedih. Karena umat Hindu Bali memahami hari
pengabenan merupakan hari pelepasan dengan ilklas tanpa diiringi rasa sedih,
melainkan didasari atas rasa kesadaran yang tinggi bahwa hakekat hidup ini
berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya. Artinya semua itu tak perlu
disedihi, semestinya semua dalam keadaan bhakti dan iklas akan kemahakuasaan
Ida Sanghyang Embang sebagai pemeralina
segala yang ada di dunia ini. Artinya bahwa saat upacara pengabenan tak
menggunakan warna hitam sebagai lambang berduka cita. (Ki Buyut/kanduk).
No comments:
Post a Comment