Monday, February 22, 2016

Hindu Bali Sembahyang Saat Odalan ?




Bagi yang rajin sembahyang setiap hari jangan tersinggung atau marah dulu. Sebab apa yang akan diungkap adalah realitas di Bali terdahulu, yakni “Bagaimana Hindu Bali bersembahyang?. Tak semua akan bisa menjawab. Kalaupun di kalangan cendekiawan Hindu, maka seringkali terjadi bahwa diantara dua atau tiga orang pastilah ada perbedaan pendapat. Sebab di Hindu Bali tak ada cara sembahyang yang baku. Semua disesuiakan dengan situasi dan kondisi. Cuman belakangan dibuat ketentuan bahwa sembahyang dengan cakupan tangan kara kalih (cakupan kedua belah telapak tangan),  kemudian ada panca sembah. Pembaharuan Hindu Bali memperkenalkan Tri Sandya.
Agama Bali kalau dipikir-pikir sejatinya tak mengenal cara sembahyang yang baku, hanya dikenal cara mencakupkan tangan kara kalih sebagai tanda bhakti kehadapan Hyang Parama Kawi. Jarang ada bisa mengucapkan mantra, kecuali sang pemangku. Jero mangku yang nganteb bantenpun hanya sebatas mesee (berdoa sesuai dengan bahasa sendiri). Karena tak sembarang orang boleh memantra, sebab tak semua orang boleh membaca lontar akibat adanya hukum aja wera.
Uniknya lagi, umat Hindu Bali (Gama Bali) pada masa lalu tak pernah mengenal sembahyang setiap hari apalagi tiga hari sekali. Umat hanya bersembahyang mencakupkan tangan hanya saat menghaturkan pujawali atau odalan di pura atau sanggah tertentu. Selain itu sangat jarang sekali menghaturkan bhakti. Cukup dengan menghaturkan canang atau banten. Termasuk pada saat hari suci Galungan pun tak ada yang mencakupkan tangan di merajan atau pura. Cukup dengan menghaturkan canang dan banten, lalu nunas tirtha, tirtha inilah yang kemudian dilungsur sebagai berkah anugrah dari Hyang Betara. Demikian jaman dahulu.
Begitu sederhana agama Hindu Bali pada masa lalu. Namun kondisi moral umat sangat terjaga, termasuk ketaatan akan tradisi Hindu Bali sangat kental, sehingga tak ada yang  berubah dari waktu ke waktu. Karena dikalangan umat Hindu bali kawatir mendapat peringatan dari niskala berupa musibah atau bencana apabila melakukan hal-hal terkait agama dan adat tidak sesuia dengan apa yang telah diwariskan leluhur. Takut dengan hukum kawitan. Atas dasar kemurnian hati tersebut, umat Hindu Bali moralitasnya terjaga pada jaman dahulu. Walau tak banyak mengetahui pengetahuan Weda, dan hanya sembahyang enam bulan sekali (ketika odalan).
Sangat berbeda dengan jaman sekarang dimana, frekuensi umat bersembahyang sangat tinggi, bahkan tiga kali sehai dengan ber-Trisandya, kemudian tirtayatra, meditasi, yoga, dll. Bahkan karya yadnya yang diselenggarakan besar-besaran (“jor-joran”) justru menyebabkan manusia Bali Hindu terperosok dalam jurang egoisme. Akhirnya kemurnian beragama dan kemurnian moralitas umat Hindu Bali justru merosot kalau dibandingkan dengan kemurnian jiwa ketika manusia Bali dahulu bersembahyang hanya enam bulan sekali, dan tak bisa berbahasa mantra.
Terus bagaimana dengan pakaian sembahyang umat agama Bali? Orang Hindu Bali tak mengenal pakaian sembahyang yang baku. Yang dipunyai adalah pakaian adat yang kerap digunakan untuk sembahyang atu menjalankan ritual tertentu. Pakaian tersebut adalah kamben, saput, selempot (senteng) dan udeng. Setelah dikenal adanya baju, maka ditambah lagi dengan baju.
 Adanya pakaian ke pura seperti berwarna putih kuning atau putih-putih akibat adanya semacam gerakan  kebangkitan Hindu yang dipelopori oleh mahasiswa di Jawa Timur tahun 1990-an dan gerakan ini semakin semarak ketika berbondongnya umat  Hindu Bali tangkil ke pura Gunung Mandara Giri Semeru Agung di Lumajang Jawa Timur. Mulai saat itu muncul keseragaman pakaian dalam bersembahyang. Sedangkan mengenai pakaian hitam-hitam dalam upcara ngaben sejatinya adalah akibat kaul dari seorang anggota kerajaan Badung (Pemecutan) ketika wafatnya salah seorang pembesar kerajaan Pemecutan sekitar tahun delapan puluhan. Mulai saat itu banyak yang meniru bahwa ke tempat berbelasungkawa menggunakan pakaian hitam.  Lebih-lebih umat lain juga menggunakan pakaian hitam dalam upacara berkabung. Padahal sejatinya dalam budaya dan agama Hindu Bali, warna hitam dalam upacara kematian tak disarankan sebagai tanda bersedih. Karena umat Hindu Bali memahami hari pengabenan merupakan hari pelepasan dengan ilklas tanpa diiringi rasa sedih, melainkan didasari atas rasa kesadaran yang tinggi bahwa hakekat hidup ini berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya. Artinya semua itu tak perlu disedihi, semestinya semua dalam keadaan bhakti dan iklas akan kemahakuasaan Ida Sanghyang Embang sebagai pemeralina segala yang ada di dunia ini. Artinya bahwa saat upacara pengabenan tak menggunakan warna hitam sebagai lambang berduka cita. (Ki Buyut/kanduk).

No comments:

Post a Comment