Tuesday, February 2, 2016

Pura Bali, menjadi Angker





Ada yang mengotak atik kata “pura” konon berasal dari kata “pur” yang artinya benteng dan “a” artinya agama. Artinya pura adalah benteng agama. Bisa dipahami bahwa pura adalah tempat pertahanan  spiritual. Pura merupakan alat pemersatu umat, pura merupakan tempat suci serta tempat ibadah.
Pembangunan pura-pura di Bali mengambil konsep segara gunung dan konsep air dan tanah. Artinya para leluhur dan orang waskita senantiasa membangun pura di tempat-tempat yang indah sejuk sepi untuk mendukung suasana pemusatan pikiran kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Tempat tersebut meliputi pinggir pantai, gunung, pinggir sungai, hulu sungai, bukit, atau tempat yang indah lainnya.
Pembangunan pura oleh leluhur Bali diawali dengan pemilihan tempat yang cocok, hari baik (dewasa), sikut (ukuran-ukuran) menggunakan pakem tertentu, sehingga memiliki arti magis (hidup) karena disertai pengurip. Didahului dengan upacara ngeruak (membuka lahan), dilanjutkan dengan nyukat (mengukur), peletakan batu pertama membuat dasar (nasarin) dengan menggunakan sarana banten, mantra dan sastra. Sehingga pada saat itu pula tempat tersbeut sudah bersemayam sastra-sastra suci dan gambar-gambar magis (rerajahan) untuk difungsikan sebagai tempat suci. Semala proses pembangunan pura tersebut sudah tentu para karma menyatukan pikiran perkataan dan perbuatan untuk membuat pondasi spiritual menjadi sakral. Wujud nyatanya adalah melakukan yasa kerti yakni mengendalikan pikiran perkataan dan perbutaan, sehingga semuanya akan menjadi suci.
Setelah selesai secara fisik pembangunan pura dengan pelinggih, pemedalan, dilengkapi ornamen dan patung, maka saatnya dari bangunan pura tersebut untuk disucikan dengan pecaruan, pemlaspas, penanaman panca datu (pedagingan) untuk memberikan kekuatan sekala niskala, diberi ulap-ulap sebagai simbul dari kekuatan dan sinar suci Ida Sanghyang Widhi yang berstana di pelinggih tersebut, demikian juga dilengkapi dengan orti. Barulah dilakukan memakuh dan pemlaspas, lalu menstanakan Ida Betara yang akan dipuja di pura tersebut.
Sampai pada proses ini, pura sudah menjadi tempat suci dan sekaligus sebagai tempat ibadah. Sebagai tempat ibadah maka pura tersebut berfungsi sebagai tempat melakukan pemujaan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, dengan tata cara sembahyang orang Bali. Sedangkan sebagai tempat suci, pura dijaga kebersihan dan kesuciannya dari hal-hal yang bersifat kotor secara sekala niskala. Secara sekala tempat itu harus selalu bersih dari kotoran dan bau yang tak sedap. Demikian juga secara niskala tempat tersebut dibersihkan dari pikiran, perkataan dan perbuatan yang kurang baik. Termasuk juga dijaga etika dalam berpakaian, termasuk dari hal-hal yang berisfat cuntaka atau sebel. Selain itu untuk tetap menjaga aura kesucian dari tempat tersebut maka setiap rerahinan dan purnama tilem, pengempon atau umat menyelenggarakan upacara dan haturan sesaji sebagai sarana pemujaan kehadapan Ista dewata di sana agar berkenan memberikan kesejahteraan, menyelenggarakan odalan dll.
Dalam pembangunan pura sebenarnya sudah dibuatkan purana menyangkut keberadaan dari pura tersebut entah menyangkut nama pura, nama pelinggih dan yang distanakan di sana, odalan atau petoyan, pengempon, serta jenis odalan atau pemujaan yang dihaturkan di sana termasuk bantennya. Purana ini lalu diwarikan kepada generasi muda secara turun temurun untuk dipakai sebagai pegangan dalam mengelola pura tersebut.
Pura-pura di Bali menjadi angker karena pembutannya melalui proses spiritual yang mengandung sastra, mantra, yantra, patra, sebagai pembangkit kekuatan magis. Juga di setiap pura distanakan para pepatih atau penguasa lingkungan pura atau para pengawal Ida Betara yang disebut dengan ancangan. Ancangan inilah yang diberi tugas dan kewenangan oleh Ida Betara untuk menjaga keasrian dan kesucian dari kawasan pura tersebut. Sehingga pura akan menjadi angker dan tak boleh berprilaku semaunya apalagi perbuatan ternoda. inilah yang menyebabkan kentalnya nuansa magis di pura. Kekuatan taksu inilah yang menyebabkan tak boleh sembarangan datang ke pura tanpa mengindahkan etika yang berlaku di pura. Karena Pura menurut Hindu bukan saja sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai tempat suci. (Ki Buyut / Kanduk).

No comments:

Post a Comment