Dalam Tutur Kanda Pat disebutkan
ketika sang ibu dan sang ayah dalam pandangan matanya berkeinginan untuk
melakukan senggama, maka pada saat itu benih janin sudah terbentuk. Kemudian
dilanjutkan melakukan bersengama dan terjadi pertemuan antara kama bang dan kama petak, terjadilah pembenihan atau pembuahan dalam kandungan si
ibu. Setelah berumur beberapa bulan, dilakukan upacara magedong-gedongan untuk memberikan rahmat kepada sang cabang bayi
agar berkembang dan nantinya lahir dengan baik.
Setelah cukup umurnya maka bayi pun
lahir. Ketika itu susah disambut dengan banten bhu atau banten baru lahir. Setelah beberapa hari dilakukan ke upacara
kepus pungsed yakni upacara untuk
selamatan anaknya yang baru lepas puser. Setelah berumur satu bulan tujuh hari
dilakukan upacara bulan pitung dina, dilanjutkan
dengan telu bulanan atau nyambutan, otonan setiap enam bulan
sebagai peringatan hari kelahira menurut
Hindu Bali. Termasuk pula dilakukan uapacara ngangkid atau mesakapan ke
pasih yakni upacara dilakukan di laut dan di sungai.
Lalu setelah mencapai akil balik,
bagi yang perempuan dibuatkan upacara raja
sewala dan laki-laki dibuatkan upacara raja
singa. Selanjutnya dilakukan upacara mepandes/metatah/potong
gigi untuk mengendalikan sifat sifat sad
ripu dalam diri. Setelah itu barulah si anak Hindu Bali melakuakn upacara pawiwahan/pernikahan. Dan untuk memantapkan
pernikahan tersebut banyak umat bali melakukan upacara yang namanya neteg pulu.
Sampai akhirnya manusia Bali
meninggal, dilakukan penguburan atau diaben. Setelah itu baru lanjut dengan
rangkaian upacara memukur /meligia atau di daerah lain disebut ngeroras.
Setelah habis rangkaian tersebut, maka manusia Bali yang dulunya lahir ke dunai
kemudian kembali ke alam sunia
dilinggihkan di sanggah rong tiga dengan
status sebagai betara Hyang Guru yang akan disembah oleh para sentana/keturunan. Para leluhur yang
telah meninggal dan berstatus Betara Hyang Guru bisa numitis/bereinkarnasi menjadi anak cucu keturunan dari keluarga
yang ditinggalkannya. Demikian rangkaian kehidupan manusia Bali yang akan terus berputar secara abadi.
Manusia Bali percaya dan yakin
bahwa kehidupannya senantiasa disertai dengan kehidupan dari para leluhurnya di
alam sana, sehingga manusia Bali sangat
setia melakukan pemujaa kepada leluhur, dan baik buruk keadaan di dunia juga
sebenarnya atas rastiti dari para
leluhur. Demikian juga para leluhur akan merasa bahagia di alam sana ketika
para pretisentananya mendapatkan kebahagiaan dan taat dengan bhisama leluhur. Apabila manusia Bali
tak taat dengan leluhur, maka banyak hal buruk yang ia alami selama hidup di
dunia. Oleh karena itu manusia bali Hindu paling tidak ada tiga hukum yang
mengiktanya yakni hukum kawitan (mengatur
kehidupan manusia dengan para leluhurnya), hukum negara (mengatur kehidupan
berbangsa), hukum karmapala yang merupakan universal yang mengatur semua
ciptaan Tuhan. Ada sebagian kalangan tak percaya dengan karmapala. Percaya atau
tidak, setuju atau tidak, hukum karna tetap berlaku untuk siapa saja dan dimana
saja. Inilah hukum alam yang maha adil, terperinci, dan tepat waktu. Hukum yang
tak boleh disuap, dibeli atau tak pandang bulu dan tak boleh diajak bermain
mata.
Manusia Bali sebenarnya sejak masih
dalam kandungan, lahir, masa kanak kanak, remaja, dan bahkan sampai meninggal
senantiasa menjalani upacara ritual penyucian dan dipasupati. Artinya dimohonkan
keselamatan dengan upacara tertentu, dengan menempatkan dan menggunakan sarana
berupa banten, sastra, mantra, serta kidung-kidung untuk menguatkan kehidupan dan
spiritual manusia Bali. Tak dipungkiri lagi bahwa manusia Bali dengan segala
keriuhannya menjalankan adat budaya dan agamanya sejatinya adalah manusia yang
telah di-pasupati. Inilah salah satu
alasan mengapa manusia Bali itu tenget. Contohnya sakit kepala ketika
melewati jemuran, atau sakit kepala jika makan daging sapi, dll. Karena dalam
diri manusia Bali, (terutama yang sudah diwinten) sudah ditempatkan
sastra-sastra, mantra magis. Artinya sudah menempatkan dewa-dewa (simbul
dewa-dewa) dalam diri manusia itu sendiri.
Itu adalah ukuran manusia Bali
yang umum, belum lagi manusia Bali yang menekuni dunia sastra, maka paling
tidak ia harus melakukan pewintenan
saraswati. Atau juga bagi yang menekuni
dunia spiritual menghidupkan kanda
pat, maka ia akan mengalami ritual pasupatai/inisiasi tertentu. Termasuk yang menjadi mangku
didahului dengan pewintenan pemangku. Bahkan yang paling tinggi adalah mediksa untuk menjadi seorang sulinggih.
Artinya bahwa setiap jenjang kehidupan manusia Bali, senantiasa
ditempatkan sastra-satra magis dalam tubuh dan rohani manusia Bali. Dengan
demikian manusia Bali sejatinya telah ngelinggihang
(menstanakan) dewa-dewa dalam tubuhnya. Sehingga pada saat kematian atau pada ngaben maka semua kekuatan tersebut
dikembalikan (diprelina) terlebih dahulu dengan tirtha panembak dan tirtha
pengentas. Demikian seterusnya. (Buyut/kanduksupatra).
No comments:
Post a Comment