Tuesday, February 16, 2016

Manusia Bali Manusia Pasupati




Dalam Tutur Kanda Pat disebutkan ketika sang ibu dan sang ayah dalam pandangan matanya berkeinginan untuk melakukan senggama, maka pada saat itu benih janin sudah terbentuk. Kemudian dilanjutkan melakukan bersengama dan terjadi pertemuan antara kama bang dan kama petak, terjadilah pembenihan atau pembuahan dalam kandungan si ibu. Setelah berumur beberapa bulan, dilakukan upacara magedong-gedongan untuk memberikan rahmat kepada sang cabang bayi agar berkembang dan nantinya lahir dengan baik.
Setelah cukup umurnya maka bayi pun lahir. Ketika itu susah disambut dengan banten bhu atau banten baru lahir. Setelah beberapa hari dilakukan ke upacara kepus pungsed yakni upacara untuk selamatan anaknya yang baru lepas puser. Setelah berumur satu bulan tujuh hari dilakukan upacara bulan pitung dina, dilanjutkan dengan telu bulanan atau nyambutan, otonan setiap enam bulan sebagai peringatan hari kelahira  menurut Hindu Bali. Termasuk pula dilakukan uapacara ngangkid atau mesakapan ke pasih yakni upacara dilakukan di laut dan di sungai.
Lalu setelah mencapai akil balik, bagi yang perempuan dibuatkan upacara raja sewala dan laki-laki dibuatkan upacara raja singa. Selanjutnya dilakukan upacara mepandes/metatah/potong gigi untuk mengendalikan sifat sifat sad ripu dalam diri. Setelah itu barulah si anak Hindu Bali melakuakn upacara pawiwahan/pernikahan. Dan untuk memantapkan pernikahan tersebut banyak umat bali melakukan upacara yang namanya neteg pulu.
Sampai akhirnya manusia Bali meninggal, dilakukan penguburan atau diaben. Setelah itu baru lanjut dengan rangkaian upacara memukur /meligia atau di daerah lain disebut ngeroras. Setelah habis rangkaian tersebut, maka manusia Bali yang dulunya lahir ke dunai kemudian kembali ke alam sunia dilinggihkan di sanggah rong tiga dengan status sebagai betara Hyang Guru yang akan disembah oleh para sentana/keturunan. Para leluhur yang telah meninggal dan berstatus Betara Hyang Guru bisa numitis/bereinkarnasi menjadi anak cucu keturunan dari keluarga yang ditinggalkannya. Demikian rangkaian kehidupan manusia  Bali yang akan terus berputar secara abadi.
Manusia Bali percaya dan yakin bahwa kehidupannya senantiasa disertai dengan kehidupan dari para leluhurnya di alam sana, sehingga manusia  Bali sangat setia melakukan pemujaa kepada leluhur, dan baik buruk keadaan di dunia juga sebenarnya atas rastiti dari para leluhur. Demikian juga para leluhur akan merasa bahagia di alam sana ketika para pretisentananya mendapatkan kebahagiaan dan taat dengan bhisama leluhur. Apabila manusia Bali tak taat dengan leluhur, maka banyak hal buruk yang ia alami selama hidup di dunia. Oleh karena itu manusia bali Hindu paling tidak ada tiga hukum yang mengiktanya yakni hukum kawitan (mengatur kehidupan manusia dengan para leluhurnya), hukum negara (mengatur kehidupan berbangsa), hukum karmapala yang merupakan universal yang mengatur semua ciptaan Tuhan. Ada sebagian kalangan tak percaya dengan karmapala. Percaya atau tidak, setuju atau tidak, hukum karna tetap berlaku untuk siapa saja dan dimana saja. Inilah hukum alam yang maha adil, terperinci, dan tepat waktu. Hukum yang tak boleh disuap, dibeli atau tak pandang bulu dan tak boleh diajak bermain mata.
Manusia Bali sebenarnya sejak masih dalam kandungan, lahir, masa kanak kanak, remaja, dan bahkan sampai meninggal senantiasa menjalani upacara ritual penyucian dan dipasupati. Artinya dimohonkan keselamatan dengan upacara tertentu, dengan menempatkan dan menggunakan sarana berupa banten, sastra, mantra, serta kidung-kidung untuk menguatkan kehidupan dan spiritual manusia Bali. Tak dipungkiri lagi bahwa manusia Bali dengan segala keriuhannya menjalankan adat budaya dan agamanya sejatinya adalah manusia yang telah di-pasupati. Inilah salah satu alasan mengapa manusia Bali itu tenget. Contohnya sakit kepala ketika melewati jemuran, atau sakit kepala jika makan daging sapi, dll. Karena dalam diri manusia Bali, (terutama yang sudah diwinten) sudah ditempatkan sastra-sastra, mantra magis. Artinya sudah menempatkan dewa-dewa (simbul dewa-dewa) dalam diri manusia itu sendiri.
Itu adalah ukuran manusia Bali yang umum, belum lagi manusia Bali yang menekuni dunia sastra, maka paling tidak ia harus melakukan pewintenan saraswati. Atau juga bagi yang menekuni  dunia spiritual menghidupkan kanda pat, maka ia akan mengalami ritual pasupatai/inisiasi  tertentu. Termasuk yang menjadi mangku didahului dengan pewintenan pemangku. Bahkan yang paling tinggi adalah mediksa untuk menjadi seorang sulinggih.
Artinya  bahwa setiap jenjang kehidupan manusia Bali, senantiasa ditempatkan sastra-satra magis dalam tubuh dan rohani manusia Bali. Dengan demikian manusia Bali sejatinya telah ngelinggihang (menstanakan) dewa-dewa dalam tubuhnya. Sehingga pada saat kematian atau pada ngaben maka semua kekuatan tersebut dikembalikan (diprelina) terlebih dahulu dengan tirtha panembak dan tirtha pengentas. Demikian seterusnya. (Buyut/kanduksupatra).

No comments:

Post a Comment