Thursday, June 23, 2016

“Jero Gede Jero Luh”





“Jero Gede” julukan untuk Barong Landung yang berwarna hitam (laki-laki), sedangkan “Jero Luh” sebutan untuk Barong Landung yang putih (perempuan). Namun istilah Jero Gede Jero Luh dalam hal ini bukanlah ditujukan untuk menyebut kedua sosok yang disakralkan umat Hindu di Bali. Justru istilah ini digunakan oleh masyarakat tradisional Bali sebagai sebuah sindiran bagi mereka yang suka mengambil hak milik orang lain secara tidak sah alias korupsi.
Jero Gede Jero Luh diartikan sebagai “Suba Gede Aluh Baan Nguluh” artinya kalau sudah besar, gampang ditelan. Ungkapan ini digunakan oleh orang Bali untuk menggambarkan perilaku manusia licik yang suka mengambil keuntungan dari suatu lembaga atau kegiatan tertentu. Contoh yang paling klasik adalah di banjar atau sebuah sekaa dengan susah payah anggota banjar atau anggota sekaa mengumpulkan dana entah itu dari hasil pentas, iuran, atau mengumpulkan dana dari jerih payah. Dikumpulkan dalam kurun waktu tertentu yang dikoordinir oleh seorang kelian, dengan harapan ketika Galungan tiba, uang tersebut dibagikan sebagai bekal hari raya.
Namun apa yang terjadi? Seringkali anggota banjar menjadi kebakaran jenggot, gigit jari, bahkan ada yang tersulut emosinya ketika mendengar dana yang ia simpan bersama warga yang lainnya ternyata telah habis. Ada yang secara polos mengakui bahwa dananya habis terpinjam oleh pengurus dan akhirnya tak mampu mengembalikan. Ada juga yang dananya habis, dibuatkan laporan tertulis fiktif digunakan untuk kegiatan ini itu yang tak karuan, alias dana tersebut dikorupsi oleh pengurus. Belum lagi seringkali catannya ada, uangnya raib tak ada cerita. Banyak istilah kemudian muncul untuk kasus-kasus beginian di masyarakat seperti “sekaa maan ngedum buku” artinya anggota rapat hanya dapat membagikan buku atau mendengar laporan ketua, sedangkan uangnya sudah habis entah dipakai apa.
Dari kejadian ini, lalu muncul ungkapan Jero Gede Jero Luh. Dengan susah payah para anggota mengumpulkan dana dan sesudah terkumpul banyak, maka dengan gampang para pengurus menggunakan atau menilep uang tersebut untuk keperluan pribadinya. Mental-mental seperti ini sudah banyak terjadi dan akan menurunkan kredibilitas pengurus, dan bahkan banyak organisasi yang bubar karena kasus Jero Gede Jero Luh, alias uang organisasi banyak yang dikorupsi.
Ketika anggota menuntut pertanggungjawaban, banyak diantara mereka yang menyatakan khilap bahwa uang tersebut sudah kadung digunakan, dan tak mampu mengembalikan lagi. Malah ada yang pasrah “silahkan mau diapakan saya silahkan”. Demikian sering terjadi dalam masyarakat Bali terkait dengan dana publik atau dana organisasi yang raib tanpa pengelolaan yang baik atau karena sengaja ditilep oleh para pengurus.
Pernah juga kita dengar lelucon di masyarakat tentang adanya pemaksan yang ngedum basa artinya membagi bumbu. Oleh karena dana yang semestinya digunakan untuk membeli nangka dan celeng untuk ngelawar ternyata dihabiskan oleh kelian pemaksan. Atau sering kita mendengar sebuah sekaa teruna yang menjadi mandeg kegiatannya atau bahkan hampir bubar disebabkan karena laporan pertanggungjawaban keuangan sekaa teruna tak karuan dan bahkan habis.
Kasus-kasus tersebut di atas adalah sebagian kecil dari sekian banyak kejadian di masyarakat Bali tentang penggerogotan atau korupsi dana-dana masyarakat yang diistilahkan dengan “Jero Gede Jero Luh”.
            Ini artinya dunia korupsi atau praktek korupsi sebenarnya sudah terjadi sejak jaman dahulu dengan berbagai motif. Cuman kadarnya saja yang berbeda. Kalau dulu hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup akibat tuntutan ekonomi keluarga, dan itupun dilakukan secara tak sadar dan tak sengaja. Kadung Demen, Celak-celek Dapetang Telah, artinya “kadung enak, diambil sedikit demi sedikit, akhirnya habis”. (Ki Buyut Dalu/inks 2016)




Sunday, June 19, 2016

Silih Dalih di Gumi Capung Bangkok




Ketika kecil, sering diperdengarkan cerita berjudul silih dalih. Cerita tersebut adalah kisah kehidupan binatang yang dipersonifikasikan sebagai manusia. Berawal dari kebiasaan dari I Kedis Blatuk setiap pagi membunyikan kulkul bulus, yang membuat semua masyarakat hutan menjadi geger. Datang kemudian I Capung Bangkok membawa tumbak poleng. Ketika ditanya mengapa I Capung Bangkok membawa tumbak poleng, karena I Blatuk nepak kulkul bulus. Sekarang yang menjadi terdakwa adalah I Kedis Blatuk. Yang diinterogasi sekarang adalah I Kedis Blatuk. Mengapa I Blatuk Ngulkul, karena I Kunang-kunang ngaba api. Sekarang beralih yang menjadi terdakwa adalah I Kunang-kunang. “Mengapa kamu membawa api kemana-mana yang membahayakan bisa-bisa isi hutan menjadi terbakar?” I Kunang-kunang menjawab,” Aku membawa api malam-malam, karena khawatir terperosok ke dalam lubang yang dibuat oleh I Beduda”. Kemudian kasus beralih, yang menjadi terdakwa sekarang adalah I Beduda. I Beduda diadili dan ia berkelit dengan alasan bahwa lubang yang ia buat untuk melindungi diri karena I Kerbau selalu membuang kotorannya sembarangan di jalan. Nah, kemudian kasus merembet kepada I Kerbau yang kemudian diadili. Kerbau yang dungu dan tak bersalah tersebut tak dapat berdalih dan berkelit dari permasalahan yang sebenarnya ia tidak tahu. Karena kebodohan I Kebo berdalih, maka ia dinyatakan bersalah atas semua kasus yang terjadi tersebut. Akhirnya I Kebo-lah yang menjadi pesakitan dengan dicocok hidungnya agar ia tidak dapat kemana-mana dan tidak membuang kotorannya sembarangan di jalan.
Ini adalah sebuah kisah cerminan dari dunia binatang yang tak bedanya dengan apa yang terjadi dewasa ini di alam manusia dan masyarakat kita sekarang. Dalam berbagai permasalahan, entah siapa yang memulai duluan, atau entah siapa yang menjadi biang keroknya, semuanya tak pernah terselesaikan secara tuntas dan adil. Sangat jarang terjadi penyelesaian permasalahan atau kasus secara tuntas, berkeadilan, yang didasari atas kebenaran. Ini semuanya karena faktor masyarakat yang sibuk untuk mencari alasan atau dalih pembenaran, sehingga ia terlepas bebas dari segala tuntutan atau segala masalah. Padahal sebenarnya ia sendiri yang mengawali atau ia sendiri yang menjadi biang kerok dari semua permasalahan.
Semua sibuk untuk saling tuduh, saling menyalahkan, dan merembet keluar permasalahan, sehingga permasalahan yang sebenarnya menjadi kabur. Saling tuduh, saling tuding, saling tunjuk hidung, dan akhirnya semuanya tidak ada yang dinyatakan bersalah karena semua menunjukkan dalil-dalil dan bukti-bukti pembenaran. Ketika mereka tak dapat menunjukkan bukti pembenaran, maka dengan secepat kilat mereka menggiring isu atau permasalahan ke wilayah lain sehingga masalah yang menimpa dirinya menjadi kabur, dan bahkan pada akhirnya dianggap tidak bersalah, alias menyandang gelar sebagai pahlawan, mungkin itu pahlawan kesiangan.
Karena kepintaran diantara kita untuk menunjuk kesalahan orang lain untuk menutupi kesalahan diri sendiri, menyebabkan masyarakat menjadi bingung dibuatnya. Dan sudah dapat dipastikan ujung-ujungnya yang menjadi pesakitan, yang menjadi koraban adalah rakyat kecil atau yang bodoh yang tak tahu masalah, rakyat yang miskin dan sebagainya.
Seperti halnya kasus korupsi yang terjadi di  daerah ini, tampaknya tidak akan pernah terselesaikan dan akan memerlukan waktu yang lama dan pelik karena kepintaran dari para oknumnya untuk berdalih. Si A tunjuk si B, si B tunjuk si C, si C katakan Si D, Si D menuduh si E dan seterusnya, tanpa ada ujung pangkal bagaikan “lingkaran setan”. Sampai-sampai akhirnya si jaksa dan hakim menjadi bingung sendirian. Dan ironisnya tetap ujung-ujungya yang dirugikan adalah rakyat sendiri.
Contoh lain misalnya mengenai kebijakan di daerah seperti kasus-kasus pembebasan tanah atau kasus lahan publik. Ketika permasalahan tersebut diungkit dan diangkat ke permukaan, maka semua pejabat yang dahulunya sebagai pemegang kebijakan seperti kebakaran jenggot. Mereka sibuk berdalih dan menyatakan ini adalah kebijakan pusat, pusat bilang ini kebijakan daerah. Ketika di daerah, dibilang ini Gubernur. Ditelusuri Gubernur katanya Bupati. Bupati ditanya katanya sudah mendapatkan rekomendasi dari masyarakat melalui tokoh-tokoh masyarakat. Lalu masyarakat yang mana? Kembali masuk dalam “lingkaran Bhuta Kala”
Kasus terorisme pun demikian. Satu kelompok masyarakat mengatakan bahwa itu doktrin keliru dari sebuah agama. Kelompok agama itu lalu menuding bahwa hal itu akibat dari kesenjangan sosial dan ekonomi yang menuduh pemerintah yang kurang mampu membangun ekonomi bangsa. Pemerintah lalu berdalih bahwa itu adalah kurangnya peranan para pemuka agama dalam memberikan penyejukan iman. Di lain pihak hal itu dituding terjadi karena kelemahan intelijen serat kurang tegasnya aparat dalam menindak kaum radikal. Lalu dari pihak keamanan mengatakan bahwa adanya propokator, dsb. Kembali masuk ke dalam “lingkaran iblis”.     
Demikian juga yang hangat saat ini masalah reklamasi yang menerpa beberapa daerah di Indonesia termasuk Bali. Masyarakat awam mengatakan ini ulah Bupati dan Gubernur. Gubernur Bilang ini adalah kebijakan Pusat. Pusat bilang ini atas proposal dari daerah. Ditelusuri di daerah, konon katanya adanya joint antara penguasa dan pengusaha. Penguasa dan penguasa konon telah memiliki ijin prinsip, serta telah mendapatkan rekomendasi dari pemerintah daerah, pemerintah desa, lalu oleh adat. Nah kemudian timbul pertnayaan: masyarakat yang mana?, pemerintah yang mana?, adat yang mana?, tokoh masyarakat yang mana?, penguasa yang mana?, penguasa yang mana? Dan seterusnya. Serba tak jelas! Kembali ke dalam “lingkaran setan iblis dan bhuta kala”.
Tampaknya fenomena silih dalih di gumi ini akan tetap berlangsung sampai ke depan, dan inilah sebuah budaya di masayarak kita. Karena mungkin prilaku yang sudah membudaya ini sudah ada sejak jaman dahulu, sehingga sampai-sampai sang pengarang jaman dahulu mengarang cerita binatang yang tujuannya adalah untuk menyindir prilaku manusia yang curang dan mau menang sendiri, tak pernah berani secara jantan mengakui kesalahan. Serta yang menyedihkan sekali dengan pongah juari-nya dalam bentangan kasus yang menimpa dirinya, ia menyatakan diri sebagai pihak yang benar dan mendapatkan gelar sebagai pahlawan kesiangan. Weleh… weleh….. dasar Gumi Capung Bangkok. Saling tuduh, dan semua mencarii pembenaran. (ki buyut dalu / ink. 2016).

Monday, June 13, 2016

Pura Sanghyang Ambu / Bukit Gumang



 

 
Pura Bukit Gumang terletak di Desa Pekraman Bugbug, kabupaten Karangasem. Pura ini berdiri di puncak sebuah bukit yang disebut dengan Bukit Gumang atau Bukit Juru, yang tergolong tandus dengan ketinggian sekitar 279 di atas permukaan laut, hanya dapat dicapai dengan menyusuri lereng bukit dari pinggir jalan raya yang berkelok yang dikenal dengan kawasan Sanghyang Ambu. Kawasan bukit ini dihuni oleh banyak kera-kera liar yang menjadi pengijeng (penghuni) dari Pura Bukit Gumang. Konon menurut cerita penduduk, dulu ketika masih hutannya lebat, di kawasan ini juga terdapat kawanan sapi liar yang disebut dengan Sampi Gumang. Namun sekarang keberadaannya sudah tidak ada lagi. Yang bertahan hidup di sana adalah kawanan kera liar yang disebut dengan Bojog Gumang. Pura Bukit Gumang secara turun temurun diempon oleh lima desa pekraman yakni Desa Bugbug, Bebandem, Datah, Jasri, dan Ngis.
Dari jalan raya menuju ke Pura, maka pengunjung akan  melewati tiga buha punggung bukit. Perjalanan menuju ke Pura Bukit Gumang melewati jalan setapak berbatuan dan sekian banyak anak tangga yang di kanan kirinya dipenuhi dengan pohon-pohon beserta semak-semak tanaman tandus. Sesekali juga disapa oleh sekawanan kera yang menghuni perbukitan tersebut untuk meminta sekedar gagapan (oleh-oleh makanan). Pada punggung bukit yang ketiga, maka sampailah di depan candi bentar yang berdiri megah di atas bukit Gumang. Dari ketinggian bukit, sesekali melepas pandangan ke arah sekelilingnya yang indah. Di arah selatan tampak laut membiru, di sebelah timur tampak perbukitan dan persawahan di bawahnya menghijau, sedangkan di bangian butara kelihatan Gunung Agung yang indah. Di areal pura Bukit Gumang tampak luas di dalamnya, tidak tertata dalam tri mandala, namun pelinggih-pelinggih di Pura Bukit Gumang tersusun secara berderet menjadi enam bagian.
Pertama, leretan bagian barat terdiri dari pelinggih Gaduh Maprucut sebagai stana Betara Gede Gumang,  yang disebut dengan pelinggih Gaduh Pakan Lanang dan tiga buah pelinggih bebaturan capah sebagai pelinggih taksu-taksu. Di bagian selatan agak ke atas terdapat bangunan Bale Agung sebagai tempat metanding banten, dan sebuah tempat air untuk keperluan upacara. Leretan bagian tengah berjejer dari utara ke selatan terdapat bangunan bertumpang tiga sebagai stana Betara Tri Purusa. Di sebelah selatan dari posisi tadi terdapat tonggak-tonggak sesaka sebagai tempat bale panggungan sebagai stana dari Ida Betara dari Desa Bugbug, Bebandem, Jasri, Datah, dan Ngis ketika berlangsung odalan. Di bagian selatannya dari leretan tersebut terdapat pelinggih Gaduh Rong Kalih sebagai stana Bhatara Ayu Lulut stana betara Ayu Mandasar dan Betara Ayu Mas, yang disebut dengan pelinggih Gaduh Pakan Istri, yang dikelilingi oleh tiga buah bebaturan capah yang merupakan pelinggih taksu-taksu. Pada leretan bagian timur, dari utara ke selatan terdapat pelinggih Sanggar Agung stana Hyang Widhi dalam prabawanya sebagai Sanghyng Manik Anrawang atau Sanghyang Mahesora. Di selatannya terdapat bale lantang dan bale pawaregan, dan sebelah selatannnya lagi terdapat bale lantang tempat paebatan. Pada bagian luar, di luar candi bentar sepanjang punggung bukit Gumang terdapat pelinggih bebaturan capah sebagai stana taksu-taksu antara lain pelinggih pengayatan Sanghyang Ambu, Pelinggih Taksu di Canggleg, Pelinggih Taksu di Canggleg Asah, Pelinggih Taksu di Kacu, dan pelinggih Taksu di pemapagan. Pada bagian lereng kelod kangin /tenggara terdapat sebuah pelinggih padma sari sebagai satana Jero Gede Jurang atau Jero Gede Pedasar yakni Betara di Bukit atau Gili Byaha. Pada bagian barat daya atau kelod kauh terdapat dua buah pelinggih bebaturan yakni bebaturan capah adegan sebagai linggih Taksu lanang dan istri.
Mengenai piodalan di Pura Bukit Gumang jatuh pada hari  Purnama Kapat. Dimana piodalan di pura tersebeut dilaksanakan dua macam yakni piodalan alit (aci alit/usaba alit) yang disebut dengan Aci Kedulu Cenik atau Usaba Kedulu Cenik, yang jatuh pada setiap tahun ganjil. Piodalan alit ini cukup dilaksanakan oleh penyungsung dari desa pekaraman Bugbug. Kemudian Piodalan Ageng /Aci Kedulu Gede/Usaba Kedulu Gede/Aci Gumang Ageng/Usaba Gumang Ageng, yang dilaksanakan pada setiap tahun genap. Dalam piodalan ini menghadirkan para Dewa betara-betari yang berstana di di desa-desa pekaraman manca desa yakni Bugbug, Bebandem, Jasri, Ngis, dan Datah.
Upacara Ageng didahului dengan Mabiyasa yakni rangkaian upacara bersukaria menyambut kehadiran dari para Dewa atau Betara-betara dari masing-masing desa karena lama tak bertemu. Upacara ini dilakukan dengan menarikan dan mengadu-adu jempana atau joli oleh para pengiring/pemundut dari manca desa tersebut. Upacara ini bemakna untuk memohon kesuburan dan kemakmuran agar hasil bumi melimpah. Proses ini diakhiri dengan mempersatukan joli atau jempana Bhatara Ukir Gumang dengan jempana Ida Betara Gede Manik Sakti yang berstana di Pura Puseh desa Bebandem. Demikian pula dengan jempana dari desa yang lainnya dilinggihkan di bale panggungan, untuk selanjutnya dilakukan rangkaian upacara selanjutnya.
Inilah adala proses ritual yang menarik yang dilaksanakan di Pura Bukit Gumang. Orang awam sering menyebut dengan Ida Betara mepalu/beradu jempana. Padahal bukan begitu maknanya. Maknanya yang sebenarnya adalah  sebagai ungkapan rasa sukacita serta memohon kesuburan dan kemakmuran kehadapan Ida Betara.
Untuk hari piodalan alit maupun ageng, di Pura Bukit Gumang sudah tentu diramaikan oleh pemedek. Namun ketika hari biasa, sesekali juga ada pemedek yang tangil ke Pura Bukit Gumang untuk melakukan persembahyangn khusus atau hanya untuk bertirthayatra. Pada hari-hari biasa, pemedek mesti membawa sedikit gagapan untuk para monyet yang emnghuni perbukitan tersbeut yang berkeliartan di sekitar pura. Jumlahnya memang tak sedikit, dan kadangkala mereka karean lapar, seringkali sekawanan bojog tersebut memecah konsentrasi ketika ngaturang bhakti. Sehingag alangkah baiknya ketika menghaturkan bhakti pada hari biasa, sebaiknya ada yang mengawasi bojog-bojog tersbeut. Sebab mereka sering ngelebar banten haturan sebelum waktunya. (Ki Buyut Dalu/2008 









/Inks)

Friday, June 3, 2016

Roro Anteng dan Joko Seger lahirkan Suku Tengger serta berdirinya PURA LUHUR POTEN BROMO




Gunung Bromo


Seperti yang sudah diungkapkan di dalam Lontar Tantu Panggelaran, bahwa Gunung Bromo (Gunung Brahma) adalah gunung yang diciptakan untuk meyangga Gunung Semeru agar kondisinya tetap kokoh. Dengan kokohnya Gunung Semeru, maka Tanah jawa akan menjadi stabil.

Pura Luhur Poten di Lautan Pasir Bromo

Di kawasan Gunung Bromo terdapat banyak gunung-gunung lainnya. Kawasan tersebut dinamakan Pegunungan Tengger yang dihuni oleh masyarakat pemeluk Hindu Jawa. Mereka disebut masyarakat Suku Tengger. Nama Tengger berasal dari legenda masyarakat di sana yakni kisah cinta Roro Anteng (wanita cantik keturunan Majapahit) dengan Joko Seger (anak seorang brahmana). Dari kedua nama itu dipadukan menjadi Teng-Ger (roro anTENG dan joko seGER). Pasangan suami istri tidak memiliki keturunan, lalu memohon kehadapan Dewa yang berstana di Gunung Brahma (Bromo). Permohonannya terkabul dan memiliki banyak anak. Atas rasa syukur mereka kehadapan Batara di Gunung Brahma, mereka menghaturkan sesaji setiap bulan purnama sasih sada. Persembahan syukur inilah yang melahirkan upacara Kesodo (ke-sada) di Gunung Bromo oleh masyarakat Tengger.

Pura Luhur Poten
Dalam perjalanan sejarah masyarakat suku Tengger, tahun 2000 didirikanlah sebuah tempat pemujaan kepada Dewa yang berstana di Gunung Bromo. Tempat pemujaan itu dibangun di sebuah poten (sebidang tanah di lautan pasir). Setelah berdiri tempat pemujaan itu diberi nama PURA LUHUR POTEN (pura yang berada di lautan pasir). Pura ini menjadi pusat kegiatan pemujaan dalam rangka yadnya kesada dan kegiatan keagamaan Suku Tengger. Pura Luhur Poten sebagai tempat pemujaan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam Prabhawa sebagai Batara Brahma. Pura ini disungsung oleh ribuan umat di kawasan Tengger yang terdiri dari desa-desa pegunungan seperti desa Argosari, Ngadisari, Ngadas, Sukapura, Tosari, Wonokitri, dll., yang tersebar di empat kabupaten yakni Lumajang, Probolinggo, Pasuruan, dan Malang.(Ki Buyut Dalu, 2016).