Sunday, June 19, 2016

Silih Dalih di Gumi Capung Bangkok




Ketika kecil, sering diperdengarkan cerita berjudul silih dalih. Cerita tersebut adalah kisah kehidupan binatang yang dipersonifikasikan sebagai manusia. Berawal dari kebiasaan dari I Kedis Blatuk setiap pagi membunyikan kulkul bulus, yang membuat semua masyarakat hutan menjadi geger. Datang kemudian I Capung Bangkok membawa tumbak poleng. Ketika ditanya mengapa I Capung Bangkok membawa tumbak poleng, karena I Blatuk nepak kulkul bulus. Sekarang yang menjadi terdakwa adalah I Kedis Blatuk. Yang diinterogasi sekarang adalah I Kedis Blatuk. Mengapa I Blatuk Ngulkul, karena I Kunang-kunang ngaba api. Sekarang beralih yang menjadi terdakwa adalah I Kunang-kunang. “Mengapa kamu membawa api kemana-mana yang membahayakan bisa-bisa isi hutan menjadi terbakar?” I Kunang-kunang menjawab,” Aku membawa api malam-malam, karena khawatir terperosok ke dalam lubang yang dibuat oleh I Beduda”. Kemudian kasus beralih, yang menjadi terdakwa sekarang adalah I Beduda. I Beduda diadili dan ia berkelit dengan alasan bahwa lubang yang ia buat untuk melindungi diri karena I Kerbau selalu membuang kotorannya sembarangan di jalan. Nah, kemudian kasus merembet kepada I Kerbau yang kemudian diadili. Kerbau yang dungu dan tak bersalah tersebut tak dapat berdalih dan berkelit dari permasalahan yang sebenarnya ia tidak tahu. Karena kebodohan I Kebo berdalih, maka ia dinyatakan bersalah atas semua kasus yang terjadi tersebut. Akhirnya I Kebo-lah yang menjadi pesakitan dengan dicocok hidungnya agar ia tidak dapat kemana-mana dan tidak membuang kotorannya sembarangan di jalan.
Ini adalah sebuah kisah cerminan dari dunia binatang yang tak bedanya dengan apa yang terjadi dewasa ini di alam manusia dan masyarakat kita sekarang. Dalam berbagai permasalahan, entah siapa yang memulai duluan, atau entah siapa yang menjadi biang keroknya, semuanya tak pernah terselesaikan secara tuntas dan adil. Sangat jarang terjadi penyelesaian permasalahan atau kasus secara tuntas, berkeadilan, yang didasari atas kebenaran. Ini semuanya karena faktor masyarakat yang sibuk untuk mencari alasan atau dalih pembenaran, sehingga ia terlepas bebas dari segala tuntutan atau segala masalah. Padahal sebenarnya ia sendiri yang mengawali atau ia sendiri yang menjadi biang kerok dari semua permasalahan.
Semua sibuk untuk saling tuduh, saling menyalahkan, dan merembet keluar permasalahan, sehingga permasalahan yang sebenarnya menjadi kabur. Saling tuduh, saling tuding, saling tunjuk hidung, dan akhirnya semuanya tidak ada yang dinyatakan bersalah karena semua menunjukkan dalil-dalil dan bukti-bukti pembenaran. Ketika mereka tak dapat menunjukkan bukti pembenaran, maka dengan secepat kilat mereka menggiring isu atau permasalahan ke wilayah lain sehingga masalah yang menimpa dirinya menjadi kabur, dan bahkan pada akhirnya dianggap tidak bersalah, alias menyandang gelar sebagai pahlawan, mungkin itu pahlawan kesiangan.
Karena kepintaran diantara kita untuk menunjuk kesalahan orang lain untuk menutupi kesalahan diri sendiri, menyebabkan masyarakat menjadi bingung dibuatnya. Dan sudah dapat dipastikan ujung-ujungnya yang menjadi pesakitan, yang menjadi koraban adalah rakyat kecil atau yang bodoh yang tak tahu masalah, rakyat yang miskin dan sebagainya.
Seperti halnya kasus korupsi yang terjadi di  daerah ini, tampaknya tidak akan pernah terselesaikan dan akan memerlukan waktu yang lama dan pelik karena kepintaran dari para oknumnya untuk berdalih. Si A tunjuk si B, si B tunjuk si C, si C katakan Si D, Si D menuduh si E dan seterusnya, tanpa ada ujung pangkal bagaikan “lingkaran setan”. Sampai-sampai akhirnya si jaksa dan hakim menjadi bingung sendirian. Dan ironisnya tetap ujung-ujungya yang dirugikan adalah rakyat sendiri.
Contoh lain misalnya mengenai kebijakan di daerah seperti kasus-kasus pembebasan tanah atau kasus lahan publik. Ketika permasalahan tersebut diungkit dan diangkat ke permukaan, maka semua pejabat yang dahulunya sebagai pemegang kebijakan seperti kebakaran jenggot. Mereka sibuk berdalih dan menyatakan ini adalah kebijakan pusat, pusat bilang ini kebijakan daerah. Ketika di daerah, dibilang ini Gubernur. Ditelusuri Gubernur katanya Bupati. Bupati ditanya katanya sudah mendapatkan rekomendasi dari masyarakat melalui tokoh-tokoh masyarakat. Lalu masyarakat yang mana? Kembali masuk dalam “lingkaran Bhuta Kala”
Kasus terorisme pun demikian. Satu kelompok masyarakat mengatakan bahwa itu doktrin keliru dari sebuah agama. Kelompok agama itu lalu menuding bahwa hal itu akibat dari kesenjangan sosial dan ekonomi yang menuduh pemerintah yang kurang mampu membangun ekonomi bangsa. Pemerintah lalu berdalih bahwa itu adalah kurangnya peranan para pemuka agama dalam memberikan penyejukan iman. Di lain pihak hal itu dituding terjadi karena kelemahan intelijen serat kurang tegasnya aparat dalam menindak kaum radikal. Lalu dari pihak keamanan mengatakan bahwa adanya propokator, dsb. Kembali masuk ke dalam “lingkaran iblis”.     
Demikian juga yang hangat saat ini masalah reklamasi yang menerpa beberapa daerah di Indonesia termasuk Bali. Masyarakat awam mengatakan ini ulah Bupati dan Gubernur. Gubernur Bilang ini adalah kebijakan Pusat. Pusat bilang ini atas proposal dari daerah. Ditelusuri di daerah, konon katanya adanya joint antara penguasa dan pengusaha. Penguasa dan penguasa konon telah memiliki ijin prinsip, serta telah mendapatkan rekomendasi dari pemerintah daerah, pemerintah desa, lalu oleh adat. Nah kemudian timbul pertnayaan: masyarakat yang mana?, pemerintah yang mana?, adat yang mana?, tokoh masyarakat yang mana?, penguasa yang mana?, penguasa yang mana? Dan seterusnya. Serba tak jelas! Kembali ke dalam “lingkaran setan iblis dan bhuta kala”.
Tampaknya fenomena silih dalih di gumi ini akan tetap berlangsung sampai ke depan, dan inilah sebuah budaya di masayarak kita. Karena mungkin prilaku yang sudah membudaya ini sudah ada sejak jaman dahulu, sehingga sampai-sampai sang pengarang jaman dahulu mengarang cerita binatang yang tujuannya adalah untuk menyindir prilaku manusia yang curang dan mau menang sendiri, tak pernah berani secara jantan mengakui kesalahan. Serta yang menyedihkan sekali dengan pongah juari-nya dalam bentangan kasus yang menimpa dirinya, ia menyatakan diri sebagai pihak yang benar dan mendapatkan gelar sebagai pahlawan kesiangan. Weleh… weleh….. dasar Gumi Capung Bangkok. Saling tuduh, dan semua mencarii pembenaran. (ki buyut dalu / ink. 2016).

No comments:

Post a Comment