Sunday, November 22, 2015

Sangging Diserang Leak Seduk



 Kisah Seputar Metatah
Ada cerita menarik tentang Gus Tut yang mendapatkan tugas mengasah gigi (istilah lain dari potong gigi/metatah/mempandes). Suatu hari Ida Bagus Tut Asep Menyan Majegau (nama  imitasi)  kedatangan keluarga I Made Anyung Anyung (karena ia suka mengayung-ngayungkan kemaluannya pada waktu masih kecil), agar Gustut berkenan nyanggingin alias natah (mengasah gigi) di rumahnya tiga hari lagi. Dan sebagai Surya (Siwa), Gustut pastilah berkenan.
Singkat cerita tibalah waktunya untuk acara tersebut. Ida Bagus Ketut Asep Menyan Majegau sudah siap pagi hari mebersih, menghaturkan pejati yang dibawa oleh keluarga Made Anyung-Anyung, sekaligus memohon tuntunan dari Hyang Betara yang melinggih di Merajan. Tak banyak cingcong, Gus Tut berangkat menuju rumah Made Anyung-Anyung, karena sudah di-pendak (dijemput). Seperi biasa Gustut membawa gegemet yang diwariskan oleh penglinsir di grya agar digunakan ketika nyanggingin, agar selamat dari marabahaya niskala.
Dengan penuh percaya diri Gustut menjalankan tugas sosial sebagai seorang Sangging. Awalnya tak apa-apa, dan semuanya aman-aman saja. Persiapaan prosesi mulai dilakukan. Gustut naik ke bale tempat metatah. Di sana sudah terpajang kasur, galeng, dan di atasnya ada telaga ngembeng.  Gustut mulai ngastawa kehadapan Hyang Betara, dan mulailah anak yang metatah menuju ke bale metatah. Pada saat itu Gustut yang sudah biasa melakoni pekerjaan ini, kok tiba-tiba menjadi sedikit tegang. Konsentrasinya goyah tak karuan, namun ia mencoba untuk tenang dan konsentrasi. Demikian juga dengan kakinya mulai kesemutan, tangannya sedikit lemas dan gemetaran. Belum lagi peluh matah-matah (keringat dingin) mengucur deras di sekujur tubuhnya. Gustut mulai sedikit bingung, dalam hatinya berpikir ada apa ini. Ia berpikir, jangan-jangan ada orang yang mencoba untuk nyengkalen (mencelakai) dirinya dengan kekuatan ilmu kewisesan. Namun dengan sedikit saru-saru Gustut mencoba untuk menenangkan diri dengan cara mengacep dan sedikit minum sambil mencoba untuk menguatkan kakinya (toh dari mereka tak ada yang tahu persis mengenai prosesi metatah).
Sambil secara diam-diam meraba gegemet yang ada di pinggangnya (ternyata masih ada), Gus Tut Asep Menyan Majegau melalui natah dengan tetap yakin dengan gegemet serta sesuhunan pasti melindungi dirinya. Gustut sesekali melihat ke samping menoleh orang-orang yang mengelilingi anak yang metatah. Rata-rata mereka setengah baya ke atas dan tak ada yang dikenalnya. Hal ini menambah sedikit khawatir dari Gus Tut. Jangan-jangan salah seorang dari mereka memilki ilmu kewisesan yang tinggi mencoba untuk mencelakai Sang Sangging dan anak yang metatah. Sebab konon dalam keadaan tertidur terlentang saat metatah itu seserang yang ingin mencelakai secara niskala sangat gampang melakukannya. Sehingga sering terdengar bahwa seseorang anak yang metatah mengalami muntah-muntah, mengalami pingsan (nyelek ati), atau sakit berkepanjangan ketika habis metatah. Hal itu konon terjadi sesuatu yang bersifat niskala ketika metatah. Oleh sebab itulah metatah sedikit menegangkan bagi sebagian orang terutama di daerah yang kental dengan nuansa mistik atau kental dengan konflik keluarga.
Itu pula yang menyebabkan banyak orang menyiapkan banyak pengabih atau mungkin bekel (jimat) saat metatah. Ada pula yang mencoba untuk mengalihkan perhatian dari mereka yang inin  berbuat jahat dengan cara mengalihkan jam metatah. Sehingga ada orang yang metatah pada dini hari seperti jam empat jam lima. Dengan harapan leak yang ingin mecelakai orang metatah maupun Si Sangging masih tidur atau mungkin mengantuk. Dengan harapan si metatah dan sangging selamat dari ancaman celaka  niskala.
Kembali ke masalah Gustut yang tegang. Gus Tut memang mengetahui bahwa keluarga dimana tempat ia natahin dikenal masyarakat sebagai keluarga yang suka memperdalam ilmu kewisesan. Sampai saat terakhir ia natahin, ketegangannya tak surut juga. Tangannya masih gemetaran (walaupun masih bisa disembunyikan), dan kakinya yang terasa tetap kesemutan, dengan konsentrasi yang sedikit buyar, namun ia tetap mencoba untuk konsentrasi.
Kini berakhirlah acara metatah tersebut, berjalan lancar dan aman, tak ada kejadian khusus yang menimpa si metatah. Gus Tut merasa lega dan merasa sukses, walaupun dalam dirinya masih berkecamuk tentang pergulatan niskala. I Made Anyung-Anyung pun menghaturkan suksma kehadapan Gus Tut, dan menyuguhkan suguhan “boga samatra”. Gustut was-was juga dengan suguhan tersebut (bukan bermaksud untuk mencurigai Made Anyung-anyung, namun siapa tahu diantara orang yang hadir di sana ada maksud tak baik). Namun dengan keyakinan dan demi menghormati tuan rumah, maka Gus Tut ditemani oleh beberapa orang dekat kemudian menyantap boga samatra tersebut dengan senang hati.
Tak diceritakan dalam pesta akhir metatah tersebut, Gustut kembali ke grya dengan perasaan lega dan badan segar bugar. Tangannya tak lagi gemetaran, kakinya tak masih kesemutan, dan pikirannya menjadi tenang dan segar kembali. Setelah menyantap makanan tersebut. Gustut kembali merasa aneh dan berpikir, “kok tiba-tiba menjadi segar?”. Ia lalu berpikir di grya.
Dalam renungannya ia mulai tersenyum dan berkata dalam hatinya “sialan, bukannya saya kena tembak niskala saat natahin. Bukannya gegemet leluhurnya kalah sakti dengan ilmu orang-oang. Bukannya Ida Betara tak melindungi. Tapi karena tergesa-gesa dan tegang tadi pagi, akhirnya lupa makan. Rupanya perut lapar menyebabkan tangan gemetar, kaki semutan, dan pikiran kosong. Sialan ….”
Mendengar kata hati dari Gustut tersebut, mungkin saja cecak yang ada di tembok berkata dalam hatinya “haa…. Ternyata leak menyerang perut Gustut namanya Leak Seduk, alias perut lapar. Hahahaaaaa…….” (Ki Buyut Dalu)



No comments:

Post a Comment