Tuesday, November 17, 2015

ADAT MESATYA DI BALI (7), Belanda Menghapuskan Adat Mesatia di Bali




Belanda Menghapuskan  Adat  Mesatia di Bali
            Belandalah yang menghapuskan adat masatia di Bali dan sama sekali bukan oleh raja-raja Bali.  Di Bali adat masatia dicekokkan sebagai bagian dari sradha agama Hindu karena memang direkayasa seperti itu untuk menambah ketakutan rakyat dan keagungan raja yang menyelenggarakannya dengan kemasan sebagai citra kesetiaan dan cinta perempuan Bali kepada almarhum suaminya. Kehadiran para pedanda yang muput upacara itu lebih menguatkan persepsi bahwa upacara itu adalah sebuah upacara agama Hindu. Tetapi teks-teks Weda sama sekali tidak ada memuat prihal masatia. Berbeda dengan di India, di Bali tidak ada gerakan anti atas adat itu. Surya Kanta tidak mempermasalahkannya karena adat masatia telah dihapuskan pada waktu gerakan itu muncul di Bali Utara.
            Upacara masatia yang hampir menimbulkan konflik dan insiden antara Raja Tabanan dengan pihak Belanda, adalah upacara masatia dalam rangka pelebon Raja Tabanan, I Gusti Ngurah Agung. Raja yang meninggal pada tanggal 6 Maret 1903,  pelebonnya  baru dilangsungkan pada tanggal 25 Oktober 1903. Pelebon itu  didahului dengan upacara masatia oleh dua janda raja yang sudah tua-tua.
            Pihak Belanda berpendapat upacara itu bertentangan dengan pri-kemanusian dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Belanda berusaha menghalangi dan menggagalkannya dengan kekerasan dengan unjuk kekuatan pengerahan dua kapal perang yang berlabuh di pelabuhan Yeh Gangga. Raja Tabanan, Ratu Ngurah Agung, yang baru saja menggantikan ayahnya menolak keras niat Belanda, karena kalau upacara masatia sampai dibatalkan, martabatnya sebagai raja akan jatuh merosot di kalangan raja-raja di Bali dan rakyat Tabanan, karena upacara itu merupakan lambang kejayaan kerajaan. Di samping itu pembatalan itu akan menimbulkan kegaduhan karena undangan upacara pelebon dan masatia sudah disebar-luaskan ke seluruh Bali. Seluruh raja dan pejabat-pejabat penting di seluruh Bali sudah diundang menyaksikan upacara itu.
            Pihak Belanda dapat memahami alasan itu, tetapi upacara itu hanya boleh dilangsungkan kalau Raja Tabanan  berjanji bahwa segera setelah upacara usai, dia akan bersedia menandatangani perjanjian dengan pihak Belanda yang isinya bahwa untuk selama-lamanya dia tidak akan lagi mengadakan upacara masatia. Raja Tabanan setuju dan upacara berlangsung meriah dan rakyat mendapat “hiburan” yang dinanti-nantikannya.
            Sebagai konsekuensinya Raja Tabanan menanda-tangani perjanjian dengan pihak Belanda yang diwakili oleh Residen Bali dan Lombok, J. Eschbach pada tanggal 20 Januari 1904, yang isinya bahwa di wilayahnya siapa pun tidak akan diijinkan melakukan upacara masatia. Bunyi teks perjanjian itu adalah sebagai berikut.
Ida Anake Agung ring Tabanan masobaya tiba ring raganiya, mekadi ring sapranantika turun-turunanniya ngararyanang sane dinane mangkin salwiring solah krama mesatya-satyaan padem ring jagat Tabanan. Pedagingan saking mangkin Anake Agung tan wenten pisan ngiclenin malih, wawalun Anake Agung, yadiapin wawalun sasemetonanniya, yadiapin wawalun sapasira ugi kabasmi sareng ring sawan lanangniya. Cendeke, Ida Anake Agung, tan wenten pisan nglugrahang malih janma isapasira ugi padem, nyatianin sawan isapasira jua”.  (Singkatnya, Penguasa di Tabanan berjanji untuk dirinya sendiri, juga untuk keturunannya, mulai hari perjanjian menghentikan kebiasaan masatia sampai mati di wilayah Tabanan. Tegasnya  sejak saat itu penguasa tidak akan mengizinkan siapapun, baik jandanya sendiri, janda–janda keluarganya, mau pun janda siapa pun untuk mesatia bersama dengan mayat suaminya. Pendek kata, Penguasa tidak akan menjizinkan manusia siapapun juga, mesatia dengan mayat siapa pun juga).
Raja-Raja di Bali memang telah pernah menanda-tangani perjanjian dengan Belanda yang diwakili oleh J. van Swieten di rumah Mads Lange di Kuta pada tanggal 13 Juli 1949, tetapi dalam perjanjian itu tidak ada diatur sama sekali mengenai adat masatia. Yang secara spesifik telah diatur adalah mengenai penghapusan adat tawan karang di seluruh Bali dan penghapusan perbudakan, penjualan budak dan ekspor budak dari Bali. Untuk menghentikan upacara masatia di seluruh Bali, Belanda memaksa raja-raja Bali lainnya  menanda-tangani perjanjian yang sama substansinya dengan perjanjian dengan Raja Tabanan. Dengan Klungkung perjanjian itu ditandatangani pada tanggal pada tanggal 23  September 1904, dengan Badung pada tanggal 22 Desember 1904, dengan Bangli pada tanggal 19 Januari 1905. Dengan Buleleng dan Jemberana tidak perlu diadakan perjanjian tentang penghapusan adat masatia dan perbudakan, karena telah dihapuskan terlebih dulu oleh van Bloemen Waanders, setelah Buleleng dan Jemberara dijajah Belanda. Untuk Karangasem dan Gianyar juga  tidak diperlukan perjanjian karena yang berkuasa di kedua bekas kerajaan itu adalah Kontrolir Belanda yang pasti tidak akan mengizinkan berlangsungnya upacara mesatia.. Bekas rajanya sudah dijadikan pegawai biasa dengan sebutan stedehouder yang berada di bawah pengawasan seorang Kontrolir. Dengan ditanda-tanganinya perjanjian-perjanjian itu, maka sejak tahun 1905 tidak ada lagi upacara masatia di Bali.
            Mungkin ada yang ”menyesalkan” mengapa salah satu “budaya bangsa” dan “aset unggulan” daya tarik pariwisata Bali dihapuskan, sehingga para guide hanya bisa berceritera saja tentang aib adat masatia yang terjadi pada masa lampau. Mudah-mudahan saja mereka menceriterakan upacara itu kepada tamunya dengan nada sedih penuh maaf dan bukan dengan membangga-banggakannya sebagai tanda kesetiaan perempuan Bali terhadap suaminya. (Ki Buyut Dalu)

No comments:

Post a Comment