Tuesday, November 17, 2015

ADAT MESATYA DI BALI (4), Kesaksian Zollinger ( 1846)




Kesaksian  Zollinger ( 1846)
            Henrich Zollinger, berbeda dengan Oosterwijck dan Dubois yang keduanya adalah pegawai Kompeni, adalah seorang  biologis yang bertugas di kebun raya  di  Buitenzorg, sekarang Bogor, yang mengunjungi Bali pada tahun 1848 untuk mengumpulkan contoh-contoh tetumbuhan, yang juga mempunyai hobi mendaki gunung. Dia menumpang kapal laut yang membawa serdadu yang melakukan ekspedisi militer terhadap Buleleng, Klungkung dan Karangasem.
            Dia kemudian melanjutkan perjalanannya ke Lombok dengan tujuan yang sama. Di sanalah dia menyaksikan upacara masatia. Pengalamannya ditulisnya dalam sebuah laporan dalam jurnal berbahasa Belanda. Diceriterakannya bahwa seorang Gusti meninggal dunia dengan meninggalkan tiga janda. Salah seorang di antaranya, yang tidak mempunyai anak, masih muda dan cantik, ingin dibunuh untuk menunjukkan cintanya kepada almarhum suaminya, dan dengan perbuatannya itu dia yakin dia akan menjadi istri terpilih yang paling disayangi oleh suaminya di dunia sana.
            Sehari setelah kematian suaminya, dia mandi berkali-kali, memakai pakaian yang paling indah, menghabiskan waktunya berhias dan bersenang-senang dengan keluarganya dan kawan-kawannya, makan yang enak-enak, mengunyah sirih, terus-menerus bersembahyang, dan terus-menerus mengenakan pakaian putih. Rambutnya dihiasi bunga kamboja. Dia sangat tenang dan tidak menunjukkan kesedihan atau penyesalan. Pada hari H masatia, seorang perempuan mendudukkannya di depan jenazah suaminya. Dia bersembahyang berkali-kali sambil memutar-mutar ke segala penjuru angin.  Sesudah itu dia berdiri tegak, siap masatia.
            Seorang kakak angkatnya yang berdiri di depannya bertanya dengan nada rendah kepadanya, apakah dia tetap siap mati. Dia mengangguk. Kakaknya mohon dimaafkan karena bertugas membunuhnya. Sesudah itu, tiba-tiba keris di tangan kakaknya menghujam  dada kirinya. Tetapi sayang lukanya tidak terlalu dalam. Janda itu tetap berdiri, dia tidak rebah. Kakaknya  melemparkan kerisnya dan lari menjauh dari tempat masatia. Seorang laki-laki lain sekarang maju, melanjutkan kerja yang belum selesai. Dia menikam sekeras-kerasnya dada janda yang malang itu. Janda itu rebah tanpa mengeluarkan jeritan sama sekali. Perempuan-perempuan yang mengitarinya segera menggulungnya dengan tikar, menekan dengan sekeras-kerasnya tubuhnya yang terbungkus agar darahnya cepat mengalir keluar. Ternyata dia masih hidup. Lelaki tadi segera menikam punggungnya di antara kedua tulang belikatnya. Janda itu segera meninggal dunia.
            Zollingger pun menumpahkan kemarahannya dengan menceriterakan dengan nada satir bahwa para hadirin yang menyaksikan upacara itu tidak menunjukkan kemarahan ataupun kesedihan dan simpati atas penyembelihan yang menjijikkan itu. Mereka tertawa riang, santai saja bercakap-cakap dengan kawan-kawannya, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Lelaki yang menjadi eksekutor pembantaian juga tenang-tenang saja, membersihkan kerisnya lalu memasukkannya ke dalam warangka atau sarungnya, seperti dia habis menyembelih seekor binatang. (Ki Buyut Dalu)

No comments:

Post a Comment