Tuesday, November 17, 2015

ADAT MESATYA DI BALI (1)



ADAT


Para pakar berbeda pendapat mengenai kapan tradisi satia atau sati mulai dipraktikkan di India. Ada yang berpendapat tradisi itu telah dilaksanakan pada periode Weda (kira-kira 5500 tahun yang lalu), ada pula yang berpendapat tradisi itu dimulai setelah munculnya sistem kasta pada awal abad pertama Masehi. Sati pertama yang terdokumentasikan oleh penulis Barat adalah pada waktu janda dari Heggadctoma yang bernama Balakka melakukan sati pada tahun 908 Masehi. Pada tahun 1510, seorang Portugis menyaksikan seorang janda dari kalangan ksatria melakukan sati. Sesudah itu seorang wisatawan Italia menulis laporan panjang lebar tentang upacara sati yang terjadi di Ikkeri.
Seorang janda brahmana diizinkan melakukan sati pada tahun 1805 oleh Dewan Purnayya dari pengadilan di Woyeyars. Di Bali tidak pernah ada janda brahmana yang melakukan sati. Berbeda juga dengan di Bali, di India jarang sekali janda dari golongan ksatria yang melakukan sati. Di Bali upacara Satia biasa dilakukan oleh golongan triwangsa atasan, terutama oleh raja-raja dan memang dalam perkembangannya kemudian hanya keluarga raja-raja saja yang melakukannya. Sangat berbeda dengan di India yang hanya janda dari golongan kasta rendahan saja yang melakukan sati, di Bali upacara satia yang dilaksakan oleh keluarga raja, jarang sekali yang dilakukan oleh janda raja yang berasal dari prami, tetapi kebanyakan dilakukan oleh janda-janda raja yang  berasal dari kasta rendahan, atau oleh gendak-gendak raja dan bahkan oleh pelayan-pelayannya, kendatipun selalu disanjung-sanjung bahwa perbuatan satia di Bali mencerminkan kesetiaan perempuan Bali terhadap suaminya.
Upacara sati sangat ditentang oleh pemimpin-pemimpin terkenal India. Pada tahun 1827,  Rajaram Mohan Roy, melalui organisasi  Brahmo Samay berjuang menentang pelaksanaan sati. Gerakan ini mendapat dukungan dari pemimpin India lainnya seperti Dayananda Saraswati dan Gandhi. Karena perjuangan itu pada tahun 1829 sati dilarang oleh pemerintah Inggris, dengan surat keputusan yang ditanda-tangani oleh Lord William Bentick.
Pelarangan itu tidak serta merta menghapuskan tradisi sati di India, karena janda yang melakukan sati mendapat penghomatan yang tinggi di India, dan mendapat gelar sebagai perempuan yang penuh kebajikan. Patung-patung dan bahkan tempat pemujaan didirikan untuk menghormati dan memuja janda yang membakar dirinya hidup-hidup bersamaan dengan pembakaran jenazah suaminya. Seringkali perbuatan sati dilakukan secara tiba-tiba, tanpa ada yang mengetahuinya terlebih dulu, karena dirahasiakan oleh janda bersangkutan. Tiba-tiba saja janda itu menceburkan dirinya ke dalam kobaran api yang membakar jenazah suaminya, tanpa ada upacara khusus seperti di Bali.
            Pengaruh epos Mahabhrata yang sangat terkenal di India sangat mungkin ikut memberi inspirasi pelaksanaan  sati, karena Madri, janda dari Raja Pandu melakukan sati pada waktu pembakaran jenazah suaminya.
Setelah keluarnya larangan pemerintah Inggris pada tahun 1829, masih tetap saja  terjadi sati di India. Yang paling menghebohkan adalah upacara sati yang berlangsung pada tahun 1987, setelah India merdeka. Roop Kumar, seorang janda muda melakukan sati di Negara bagian Rhajastan. Para pendukung upacara itu ditahan oleh pemerintah India. Pada tahun 1996 Pengadilan India menyatakan perbuatan  sati adalah perbuatan bunuh diri berdasarkan tradisi sosial kuno dan pengadilan membebaskan mereka yang membantu Roop Kumar melakukan sati.
Pada tahun 2002 Kuttu Bai, seorang janda dari Negara bagian Madhya Prades, yang berumur 65 tahun, melakukan sati.
            Timbul pertanyaan mengapa janda-janda itu ”ikhlas” melakukan sati. Dr. (Mrs.) Jyotsna Kamat menegaskan ada tiga pertimbangan utamanya.

1) Pertimbangan Ekonomi. Masyarakat India adalah  masyarakat yang didominasi kaum laki-laki dan bila sang suami meninggal, jandanya tidak memiliki apa-apa. Memang anak lelakinya yang akan merawat dan menanggung hidupnya, tetapi kalau keluarganya sangat miskin dia akan menjadi beban bagi anak-anaknya. Tidak ada jaminan sosial bagi masa depannya. Jalan yang “terbaik” adalah menjadi Sati.
2) Pertimbangan Sosial. Menjanda diangggap kutukan di India.  Di India kehadiran seorang janda dalam pergaulan di muka umum dianggap aneh dan kurang baik oleh masyarakat sekitarnya. Mereka diharapkan selalu diam di rumah, menjalani hidup menyendiri dan penuh kedukaan. Kehidupan seperti itu pasti menyengsarakan, dan jalan satu-satunya untuk mengatasinya adalah dengan melakukan sati.
3) Pertimbangan Religius. Di India janda-janda yang melakukan sati dihormati oleh lingkungannya, karena menurut kepercayaan, janda yang melakukan sati akan langsung masuk sorga. Mereka dianggap menjadi dewi oleh masyarakat lingkungannya. Patung dan kuil-kuil akan didirikan untuk memujanya. Orang India, terutama perempuannya, meminta berkah ke kuil itu agar perkawinannya kekal, minta pengobatan atau keturunan.

Tradisi Sati  di Bali
Bagaimana dengan satia atau  mesatia di Bali? Tidak diketahui dengan pasti kapan adat mesatia itu mulai diperkenalkan di Bali. Dalam catatan-catatan, babad-babad ataupun paswara-paswara tidak ada informasi pengenai pelaksanaan satia di Bali. Setelah  kedatangan orang-orang Eropa, yang kebetulan menyaksikan dengan mata kepala sendiri pelaksanaan upacara mesatia itu kemudian  menuliskan pengalamannya dan mempublikasikannya dalam penerbitan-penerbitan khusus, majalah-majalah dan jurnal-jurnal ilmiah, barulah terungkap ke dunia luar adanya upacara adat mesatia di Bali dan Bali menjadi “terkenal” sebagai pulau pengorbanan manusia hidup-hidup atau human sacrifices, karena yang ikut mesatia di Bali ternyata kebanyakan bukan berasal dari janda-janda raja atau sanak keluarganya, tetapi oleh gendak-gendaknya, pelayannya, karena mesatia di Bali sudah menjadi alat untuk menunjukkan tinggi rendah derajat dan gensi seorang raja.
Mungkin saja adat mesatia ditiru dari adat sati di India, naka tidak jauh dari kebenaran bahwa adat itu mulai dilaksanakan di Bali setelah Bali ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1343, karena dalam parasasti raja-raja Bali Kuno tidak terdapat uraian yang memberitakan bahwa upacara mesatia pernah dilakukan.. (Ki Buyut Dalu)

No comments:

Post a Comment