Wednesday, December 7, 2016

Upacara Pamahayu Jagat. Memohon Dijauhkan dari RUUG JAGAT






kanduksupatra.blogspot.com. Dalan kondisi tertentu seperti adanya bencana alam, wabah penyakit atau terjadi perubahan sikap masyarakat yang cenderung beringas alias sangar, maka ini adalah sebuah pertanda alam, sebuah pertanda bahwa dunia ini sedang sakit. Dunia ini sedang bergejolak, atau dalam istilah para tetua Bali disebut dengan ruug jagat. Dunia dan isinya sedang bergejolak.
Dalam kacamata para waskita di nusantara terutama di daerah Bali yang kental dengan Gama Bali / Hindu Bali / Gama Tirtha yang dalam prakteknya lebih pada mazab Siwa Bhairawa, memandang bahwa situasi ini perlu dilakukan sebuah upaya spiritual. Ritual yang dilakukan adalah memohon kehadapan Sanghyang Adikala (penguasa seluruh kekuatan di alam raya) dalam hal ini adalah Dewa Siwa dan saktinya Dewi Durga untuk menentramkan dunia. Maka ritual yang dilakukan adalah dengan melakukan Pamahayu Jagat.
Pamahayu Jagat intinya berasal dari kata hayu / ayu yang artinya baik dan sejahtera sedangkan jagat artinya dunia atau alam semesta. Dengan dengan demikian pemahayu jagat artinya sebuah ritual yang dilakukan dengan tujuan untuk memohon kehadapan Hyang Kuasa agar dunia dianugrahkan ketentraman, kebaikan, dan kesejahteraan. kanduksupatra.blogspot.com
Dalam konsep Siwa Bhairawa maka ritual pemahayu jagat dilakukan dengan car menghaturkan caru dalam berbagai tingkatan. Baik dalam skala rumah tangga, desa, kabupaten maupun provinsi atau dalam skala seluruh dunia. Banyak macam pemahayu jagat yang dilakukan seperti halnya setiap menjelang Nyepi dengan menghaturkan caru dalam tingkatan rumah tangga, banjar, desa, kabupaten, maupun provinsi. Termasuk pula pemahayu yang dilakukan di tiap pura kayangan jagat di Bali dan di Indonesai, seperti yang dilakukn di Pura Agung Besakih dalam rangka Betara Turun Kabeh, Pancawalikrama, Merebu Bhumi, Tribhuwana, dan yang terbesar adalah Ekadasa Rudra. Semua itu adalah upacara ritual yang ditempuh dalam rangka peneduh atau pemahayu jagat. Termasuk caru caru peneduh yang dilakukan pada sasih kenem setia tahunnya.
Salah satu pemahayu jagat yang rutin dilakuakn di Pantai Geger di Nusa Dua Bali yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Badung. Atau pemahayu jagat yang dilakukan oleh pemerintah Kota Denpasar di Pantai Mertasari. Tingakatan pemahayu jagat yang dilakukan dengan menghaturkan Caru Balik Sumpah bersaranakan hewan caru berupa kebo, sapi, kambing, banyak, itik, ayam, babi, dll. Dalam prosesinya disediakan seperangkat caru lengkap dengan pengidernya di segala arah. Dilengkapi dengan sanggar tawang sebagai linggih sanghyang Trik Sakti, Brahma Wisnu Iswara sebagai manifesatsi Ida Sanghyang Widhi Wasa. Juga disediakan sanggar pengayatan kehadapan Sanghyang Luhuring Akasa yakni para dewa yang berstana di atas, di luar angkasa, yang memenuhi alam semesta ini. kanduksupatra.blogspot.com.
Pemujaan dilakukan oleh Sang Tri Sadaka yakni di Sulinggih dari golongan Resi Bujangga, Buda Kasogatan, Sulinggih Siwa. Diawali dengan pemujaan yang dilakukan oleh Sang Sulinggih Resi Bujangga yang dengan weda mantra beliau, serta peralatan yang digunakan seperti sungu, ketipluk, gentorang, genta uter, mampu mengundang para bebhutan atau kekuatan negatif di alam, terkumpul di hadapan caru balik sumpah. Para bebhutan tersebut kemudian dipersilahkan untuk menikmati caru yang telah disediakan. Demikian juga dilakukan mulang pekelem yakni penenggelaman pramana suci berupa hewa (kebo) ke tengah laut sebagai sarana permohonan kehadapan Hyang Maha Kala agar memberikan kekuatan agar dunia bawah baik itu tanah dan laut menjadi stabil. Demikian juga sering dilakukan di kawah gunung, dengan harapan melalui pramana suci hewan pekelem ini dapat menstabilkan gunung, dijauhkan dari bencana, dan selalu memberikan kesuburan dan air bagi penduduk yang mendiaminya.
Prosesi selanjutnya adalah, ketika sang Bhutakala telah datang dan menikmati semua caru, maka sang bhuta kala menjadi tenang. Dalam keadaan tenang, sang bhutakala tersebut oleh sulinggih dari golongan Budha Kasogatan disupat sehingga muncul sifat - sifat positif atau sifat kedewaan. Intinya bahwa pada proses ini Sang Butakala disupat menjadi Dewa oleh Sulinggih Budha. Setelah bersifat kedewataan, maka para dewa tersebut dipersilahkan untuk menempatkan posisi dalam kedewataan. kanduksupatra.blogspot.com.
Tahapan berikutnya adalah para dewa yang sudah berstana dalam posisi masing - masing, kemudian dipuja oleh Sang Sulinggih dari golongan Siwa. Dihaturkan ayaban dan sebaginya, seraya memohon kehadapan para dewa agar sudi menganugrahkan ketentraman, kesejahteraan, dan kemakmuran. Agar manusia dijauhkan dari sifat angkara murka, dijauhkan dari segala penyakit dan bencana, agar alam dianugrahkan kestabilan dan kesuburan.
Inilah prinsip dari upacara pemahayu jagat yang dilaksanakan secara rutin dalam rangka memohon kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam prabawa sebagai Sanghyang Tiga Wisesa agar bhumi ini, alam semesta dan segala isinya dianugrahkan ketentraman, kesejahteraan, dan kemamuran.
Upcara pemahayu jagat sejatinya didasari atas konsep Dewa ya Kala ya. Dimana sang bhuta kala yang ngrebeda dipanggil dan diberikan sesaji agar somia. Dalam keadaan somia atau degdeg / tenang, muncul sifat - sifat kedewataan. Dalam sifat kedewataan ini kemudian dipuja untuk melimpahkan berkah atau waranugraha. Inilah konsep manusia Bali yang memegang Gama Hindu Bali dalam menghadapai RUUG JAGAT. #OriginalArtikelByKanduk (kanduksupatra.blogspot.com. #ki buyut dalu).
 

No comments:

Post a Comment