Friday, October 2, 2015

“Soroh Paling” dan “Paling Soroh”





Ada fenomena menarik dalam sepuluh tahun belakangan ini, dimana soroh merupakan suatu hal yang sangat dianggap penting bagi kalangan Hindu Bali. Kenapa demikian, karena soroh sebagai sebuah lembaga untuk mewujudkan bhakti kepada leluhur, dimana mansuai Bali mengenal tiga hukum yakni hukum Negara, hukum karmapala, dan hukum kawitan. Hukum kawitan inilah yang melandsasi manusia Bali tak boleh melupakan sejarah leluhur serta tak melupakan asal usul keberadaannya. Sebab sesuai dengan amanat leluhur bahwa apabila melupakan leluhur, maka seseorang akan menjadi gelap hidupnya, menjadi “paling” (bingung) karena tak dilindungi oleh leluhur, tak mendapatkan tuntunan leluhur. Sehingga banyak orang kemudian mengalami masalah dalam hiodup karena kesisipan (disalahkan) oleh leluhur.
Kenapa bisa dermikian? Karena leluhur jaman dahulu memberi pesan kepada pretisentananya agar tak lupa kepada leluhur melalui bhisama. Melalui bhisama itu pula para leluhur menyertakan akibat (kutukan) apabila melanggar. Kutukan inilah yang sampai saat ini banyak menimpa pretisentana yang ada.  Kutukan ini tidak saja akan menimpa mereka yang masih beragama Hindu, tetapi juga bagi sentana yang sudah beralih agama atau keyakinan. Artinya kutukan ini tak memandang bulu. Lebih-lebih mereka yang melupakan adat dan keyakinan leluhur.
Dengan perkembangan jaman dan perjalanan sejarah, memang banyak orang yang kehilangan jejak soroh akibat situasi politik jaman dahulu, banyak orang yang pisah atau jauh dari asal usul kawitannya. Selain itu demi keselamatan, ada pula yang nyineb wangsa (menyembunyikan identitas). Sehingga samapai sekarang banyak yang kehilangan jejak soroh. Sehingga banyak yang menjadi “soroh paling” yakni kelompok orang yang bingung mencari identitas kawitannya.
Ada suatu cerita menarik terkait mereka yang tadinya kebingungan mencari sorohnya, kemudian entah bagaimana, akhirnya ia menemukan sorohnya. Ternyata mereka tergolong soroh yang dulu sebagai penguasa. Mereka sangat bangga dengan hal tersebut, merubah namanya menjadi imbuhan tertentu, menyatakan diri sebagai “soroh paling” yakni merasa paling agung, paling tinggi, paling berkuasa, dll. Hal ini banyak terjadi di masyarakat Bali saat ini. Banyak yang membawa-bawa nama besar leluhur hanya untuk mengagungkan diri kepada kelompok lainnya, tanpa dibarengi dengan sesana atau keluhuran prilaku. Padahal kebesaran dan kemuliaan leluhur jaman dahulu didapat dengan keluhuran budi, keberanian, kekuasaan, keperkasaan. Kemuliaan itu bukan sebagai gelar yang didapat dalam mimpi semalam dengan aksesoris kebesaran. Sehingga menjadilah dia “soroh paling ya”, “paling aeng”, “paling serem”, “paling ajum”, paling… paling dan paling… alias bingung sendiri. Padahal maksud dari pencarian soroh adalah untuk lebih meningkatkan keyakinan dan bhakti dalam rangka memohon tuntunan kepada para leluhur. Hanya sebatas itu saja, agar para leluhur memberikan pencerahan dan tuntunan hidup.
Ketika berbicara mengenai soroh, ada suatu kejadian yang menggelitik di masyarakat. Ada sekelompok masyarakat yang sudah turun temurun bersembahyang di pura ibu, panti, dadia dan pedarman soroh tersebut. Namun beberapa tahun belakangan ini, ketika orang mulai ramai membicarakan soroh, ada seseorang yang menggiring kelompok tersebut untuk bergabung ke soroh tertentu yang menurutnya sebagai soroh yang lebih terhormat dan lebih tinggi. Atas iming-iming kasta yang “lebih tinggi” maka kelompok masyarakat tersebut sebagian berbondong-bondong mengikuti apa kata orang ini. Maka bergantilah soroh mereka yang konon lebih tinggi.
Setelah berjalan beberapa tahun, entah terjadi suatu musibah di dalam keluarganya secara beruntun dan tak masuk akal, maka kelompok masyarakat ini menanyakan keadaan keluarganya kepada orang pintar alias balian. Apa yang terjadi? Ternyata mereka ini mendapat peringatan, bahwa jalan yang ditempuh saat ini salah alias keliru. Konon karena mereka bukan dari golongan itu. Kenapa pula harus berpaling dari yang sudah benar diwarisi sejak turun temurun. Semenjak itu pula, si kelompok yang tadinya sudah berpindah soroh, kini kembali ke sorohnya semula dengan menghaturkan guru piduka ke pura Ibu, Panti, Dadia, dan Pedarman. Kasus seperti itu banyak terjadi, akibat seseorang yang goyah iman diimingi masuk ke soroh yang lebih tinggi yang berlum tentu lebih mulia.
Ada lagi kejadian bahwa sekelompok keluarga tergabung dalam soroh kasta tinggi. Padahal sejatinya yang bersangkutan itu adalah masyarakat biasa. Hal ini bisa terjadi bermula dari yang bersangkutan sebagai parekan tatadan, maka si parekan tersebut selalu ikut muspa dimana gustinya muspa. Setiap odalan ia tangkil ke pura atau merajan gustinya untuk menunjukkan rasa hormat serta bhaktinya kepada gusti dan leluhur gustinya. Hal ini berlangsung terus secara turun temurun. Sampai akhirnya pada sekian generasi, keturunan si parekan sayang tadi tak tak tahu dengan asal usulnya yang sejati, karena ia selalu membuntuti gustinya. Demikian juga dengan keturunan gustinya tak mengetahui persis asal usul dirinya dan parekan tadi. Tetapi karena mereka sama-sama ngaturang bhakti di pura dan merajan yang sama, maka mereka menganggap dirinya satu darah atau satu kawitan, alias satu soroh. Padahal awalnya adalah hubungan dekat antara parekan dan gusti. Demikian banyak yang terjadi di lapangan. (Kanduk/buyut).


No comments:

Post a Comment