Monday, November 14, 2016

“GUMI CAPUNG BANGKOK” Kelihaian dalam menunjukkan dalil-dalil “pembenaran”





kanduksupatra.blogspot.com. Ketika kecil, sering diperdengarkan cerita berjudul “silih dalih”. Kisah kehidupan binatang yang dipersonifikasikan sebagai manusia. Berawal dari kebiasaan dari I Kedis Blatuk (burung Belatuk) setiap pagi membunyikan “kulkul bulus” (mematuk-matuk kayu di dekat sarangnya) yang membuat semua masyarakat hutan menjadi geger. Lalu datang I Capung Bangkok membawa “tumbak poleng” (ekornya bagaikan tombak berwarna hitam putih) dengan wajah beringas. Ketika ditanya mengapa I Capung Bangkok membawa “tumbak poleng”, karena I Blatuk “nepak kulkul bulus”. Sekarang yang menjadi terdakwa adalah I Kedis Blatuk. Yang diinterogasi sekarang adalah I Kedis Blatuk. Mengapa I Blatuk Ngulkul, karena I Kunang-kunang “ngaba api” (membawa api). Sekarang beralih yang menjadi terdakwa adalah I Kunang-kunang. “Mengapa kamu membawa api yang membahayakan isi hutan bisa terbakar?” I Kunang-kunang menjawab,” Aku membawa api malam-malam, karena khawatir terperosok ke dalam lubang yang dibuat oleh I Beduda (kumbang tanah)”. Kemudian kasus beralih, yang menjadi terdakwa adalah I Beduda. I Beduda diadili dan ia berkelit dengan alasan bahwa lubang yang ia buat untuk melindungi diri karena I Kebo (kerbau) selalu membuang kotorannya sembarangan di jalan. Nah, kemudian kasus merembet kepada I Kerbau yang kemudian diadili. Kerbau yang dungu dan tak bersalah tersebut tak dapat berdalih dan berkelit dari permasalahan yang sebenarnya ia tidak tahu. Karena kebodohan I Kebo berdalih, maka ia dinyatakan bersalah atas semua kasus yang terjadi. Akhirnya I Kebo menjadi pesakitan dengan dicocok hidungnya. kanduksupatra.blogspot.com.
Ini adalah sebuah cerminan dari dunia binatang yang tak bedanya dengan apa yang terjadi dalam masyarakat saat ini. Suasana menjadi riuh rendah ketika dimulai oleh seseorang yang meletupkan masalah (istilah kerennya “provokator”) dalam hal ini adalah I Kedis Blatuk. Provokasi lalu memunculkan aksi-aksi masyarakat di kalangan akar rumput yang sejatinya tak paham dengan akar permasalahan (diwakili oleh I Capung Bangkok). Aksi ini menuding salah satu sasaran tembaknya (diwakili oleh I Kunang kunang). Sasaran tembak ini pun tak tinggal diam, dia kemudian mengalihkan sasaran tembak kepada mereka yang tak disukai (I Beduda misalnya). Dan ketika sasaran tembak ini tak bisa berkelit, maka dengan terpaksa ia harus menuding temannya untuk dijadikan kambing hitam (diwakili oleh I Kebo).
Sibuk untuk saling tuduh, saling tunjuk hidung, saling menyalahkan, selalu melimpahkan kesalahan kepada pihak lain, dan seringkali merembet keluar permasalahan, sehingga permasalahan yang sebenarnya menjadi kabur. Semuanya menunjukkan dalil-dalil dan bukti-bukti “pembenaran” (bukan kebenaran). Ketika bukti pembenaran terasa lemah, maka secepat kilat menggiring isu ke wilayah lain dalam rangka pengaburan masalah. Masyarakat menjadi bingung dibuatnya. Ujung-ujungnya yang menjadi pesakitan, yang menjadi korban adalah rakyat kecil, rakyat miskin yang bodoh.
Fenomena silih dalih akan tetap berlangsung dan membudaya, sampai-sampai sang pengarang jaman dahulu mengarang cerita “Tantri” menyindir prilaku manusia yang curang dan mau menang sendiri, tak pernah berani secara jantan mengakui kesalahan. 
Weleh… weleh….. dasar Gumi Capung Bangkok. Silih dalih, saling tuduh.... #kanduksupatra.blogspot.com / ki buyut dalu#.
#OriginalArtikelByKanduk

No comments:

Post a Comment