Thursday, October 13, 2016

Ila-ila Dahat, Sensasi Ngundang Leak di Panggung






I Lengut Nonton Calonarang

Dulu ketika I Lengut masih kecil, yang namanya Calonarang itu sangat jarang terdengar. Orang takut membicarakan calonarang, apalagi melakoni. Orang menonton dengan was-was, apalagi menjadi pregina calonarang. Artinya Calonarang jaman itu sangatlah membikin bulu kuduk merinding, membuat bayangan orang pada kengerian dengan sosok-sosok menyeramkan, sekaligus mengantarkan pikiran mereka kepada orang-orang yang sakti akan bertarung kedigjayaan. Tak berani orang menggelar drama tari calonarang, karena beresiko bagi penari, bagi penonton, dan bagi wilayah tersebut. Demikian pikiran jaman itu.
Namun sangat berbeda keadaannya dengan satu dekade terakhir ini. Calonarang yang dulunya angker dan menakutkan, kini sangat populer, sangat digandrungi. Setiap saat kita dengar orang mementaskan calonarang, atau lakon yang lain seperti Balian Batur, Basur, dll. Setiap dipentaskan model mistik, selalu dipadati penonton dari desa bersangkutan bahkan desa-desa yang jauh. Entah mereka tahu darimana, yang jelas pentas calon arang itu menjadi trend.
Anehnya lagi, penonton yang datang biasanya berjubel mulai sekitar jam sepuluh atau menjelang tengah malam. Padahal pentas sudah mulai jam delapan. Ada apa dengan penonton?. Ternyata mereka lebih suka menonton adegan yang seram-seram, seperti matah gede (walunateng dirah, atau tokoh yang memerankan tokoh liak. Mereka ingin tahu siapa yang menjadi balian sakti, balian bogbog, siapa yang menjadi bangke matah, siapa yang menjadi pandung, siapa yang nyaluk rangda, dll. Berapa ada rangda, bagaimana yang ngundang liak, siapa saja yang diundang, terus kejadian apa yang terjadi saat itu, dll. Artinya penonton hanya melihat aspek mistik dari  pertunjukan itu. Penonton akan mengukur dan membandingkan calonarang mana yang paling seram, siapa yang paling medengen sebagai pemeran calonaranang, siapa yang paling berani ngundang liak, dll. Artinya penonton akan menilai tingkat sensasi mistik dari pertunjukan itu. Semakin seram, semakin berani, dan semakin hebat sensasi dalam pertujukan tersebut, maka nilai calonarang itu akan semakin seram dalam apresisi penonton. Artinya pula penonton semakin senang.
Di desanya I Lengut yang terletak di tengah kota, terdapat komunitas penggemar calonarang. Seratus persen mereka adalah orang-orang muda dengan tingkat pendidikan yang beragam, dari tamatan SMP sampai mahasiswa. Mereka lahirr dalam dunia modern, dalam situasi yang sudah serba elektrik dengan teknologi canggih. Mungkin karena darah “Bali Totok” yang kental mengalir dalam tubuhnya, justru mereka sangat menyukai pertunjukan calonarang dengan nuansa magis yang kental. Komunitas penggemar calonarang ini menonton calonarang sampai ke tempat yang jauh seperti Gianyar, Bangli, Badung, Tabanan, Karangasem, dll. Mungkin karena hobi… Padahal mereka-mereka itu bukanlah orang penekun spiritual, bukan pula suka dengan benda-benda gaib. Mereka cuma suka menonton, untuk kepuasan rohani yang haus dengan dunia mistik.
Fenomena mistik ini telah menggejala di seluruh masyarakat Bali. Pertunjukan calonarang menjamur dimana-mana. Setiap desa ada calonarang. Bahkan suatu hari ada pementasan calonarang di beberapa tempat di Denpasar, sehingga penggemarnya menjadi “paling”, mana yang harus ditonton. Disamping itu pula, sensasi yang ditampilkan dalam pentas calonarang pada saat ini semakin menjadi-jadi. Kalau dulu penari hanya berani mengundang sebentar dan hanya terbatas pada wilayah tertentu. Namun kali ini banyak yang membuat sensai dengan mengundang liak seluruh Bali, seluruh Indonesia, dan seluruh dunia. Bahkan ada yang menundang jauh hari sebelumya dengan menyebar menyebar famplet, bikin baliho, dan menyertakan nomor HP.  Kalau mengundang dari desa sebelah masih mugkin terjangkau waktunya kalau liak yang diundang mau datang. Tapi kalau leak seluruh Bali, seluruh Indonesia dan seluruh dunia, pastilah mereka terbatas waktu. Belum lagi tiket pesawat untuk datang. Ya kalau leaknya punya uang untuk beli tiket. Itu artinya itu hanya sensai, sebab tak mungkin leak yang diundang itu akan datang pada malam itu.
Ada juga si pemain ngundang leak begitu berani “liak…  ne amah cang. Yen sing bani, panakne masih dadi, kurenane dadi” (Liak…. Makan aku, kalau tak berani makan anakku, atau istriku). Demikian si pengundang leak tersebut dengan sesumbar memperlihatkan kehebatan dirinya. Tapi I Lengut menjadi merinding mendengarnya. Liak pasti tak akan datang atau unjuk gigi pada malam itu. Sebab pentas terjadi di pura, tak mungkin liak akan berani datang ke pura. Pentas atau acara ngundang dilakukan di atas panggung dengan sinar lampu yang terang, dan penonton yang banyak, belum lagi ada sekaa gong, mana berani liak sama orang banyak sama lampu, dan ramaenya suara gong. Tak mungkin! Liak pastilah akan bermain di tempat yang sepi, gelap, dan rahasia. Artinya si pengundang tersebut tak perlu harus menjajakan nyawa dari anak dan istrinya. Ya kalau anak dan istrinya seteguh atau seberani dirinya. Kalau tidak, pastilah ia akan menjadi sasaran dari sesumbar orang tuanya. Sebaiknya jangan, itu namanya ila-ila dahat. Sebab masih ada hari besok. Karena liak pasti berpikir “sing bakat jani buin mani jumunin. Sing bakat lemahne, jeg petengne amah nas ne” Artinya liak akan berpikir tak berhasil sekarang, besok diulang lagi. Tak berhasil siang hari, kita hajar pada malam hari. Demikian kira-kira pikiran para liak yang diundang itu.
Yang paling sering lagi bahwa acara ngundang molor sampai melebihi jam satu dini hari. Artinya adegan ngundang dan bangke matah keluar sekitar jam dua atau jam tiga. Suasananya sudah pagi. Liak yang diundang kayaknya sudah tertidur pulas, atau mungkin leaknya sudah nyuwun keranjang ke pasar untuk berdagang. Entah hal ini disengaja atau tidak. Sebab untuk menyatakan diri berani, maka mengundang sejadi-jadinya, namun hari sudah subuh. Sama artinya dengan mengundang orang yang sudah tak ada di tempat. Namun apapun dikata, undangan sudah dijalankan. Para leak pasti akan datang, tak boleh tidak. Sebab sudah hukumnya, kalau diundang pasti datang dan diladeni. Cuman tinggal mengatur waktu, mengatur jadwal, dll. Demikian pendapat I Lengut yang suka mengamati pementasan berbau mistik.
Pernah juga I Lengut melihat pentas calon arang menggunakan anak-anak untuk mengundang leak. Padahal kalau dilihat dari umur, sepertinya anak tersebut belum tahu apa yang diperankannya itu. Yang seperti ini mestinya perlu untuk dipertimbangkan agar jangan anak-anak menjadi korban sesumbar orang tuanya demi untuk membuat pertunjukan menjadi lebih sesasional. Anak jangan dipakai coba-coba atau dipakai permainan berbahaya seperti ini. Miris I Lengut melihatnya.
Bahkan yang paling mutakhir, ada bangke matah yang dikubur selama empat jam di setra. Walaupun tidak diurug langsung dengan tanah, dan peti yang digunakan ukuran cukup lebar untuk bisa bergerak leluasa di dalamnya. Tapi ini sudah mengundang ribuan penggemar mistik untuk datang menonton. Setra bagaikan pasar malam. Kesan angkernya mungkin berkurang akibat banyak penonton yang lalu lalang. Tapi itulah bangke matah, selalu membuat orang penasaran. Kembali I Lengut mengurut dada sambil terheran heran.
Pentas calonarang sekarang semakin berani dengan menggunakan bangke matah atau bangke-bangkean. Dahulu, ketika masyarakat masih memegang prinsip ila-ila dahat, jarang menggunakan bangke-bangkean. Kalaupun ada, yang digunakan adalah boneka bayi. Namun sekarang beda, betul-betul menggunakan orang yang masih hidup diperlakukan seperti orang mati kena grubug dimakan liak.  Kemudian salah seorang dari mereka mengundang liak untuk memakan bangke matah tersebut, untuk mintonin kesaktiannya. Ila-ila dahat, demikian I Lengut.
Bahkan untuk kasus ini, sekarang bangke matah tak cukup satu, ada yang pakai dua, tiga, empat, lima, bahkan ada yang memakai delapan bangke matah. Dari golongan anak-anak, dewasa, bahkan dari golongan perempuan. Hebat sekali dan menghebohkan sekali pertunjukan tersebut. Demikian I Lengut. Cuman I Lengut kembali bisa berkata dalam hati “ila-ila dahat”.
Setelah mengamati sekian lama, dengan cara menonton dan terlibat langsung dalam pentas calonarang, rupanya ada kesamaan antara masyarakat penonton dengan pregina. Penonton terpuaskan hatinya dengan suguhan mistik yang sensasional, sedangkan para pregina terpuaskan hatinya untuk menari, demikian juga para jawara yang biasanya di posisi pengabih merasa handal dengan kemampuannya, karena dari sekian undangan yang disampaikan dalam pentas tersebut tak ada yang menanggapi, tak ada tantangan atau tak ada tanggapan dari liak yang diundang.
I Lengut juga berpikir, sepertinya liak-liak yang diundang tersebut mungkin sudah bosan mendapatkan undangan itu-itu saja, dengan menu itu-itu saja. Karena saking seringnya, menyebabkan malas datang. Atau mungkin undangan yang begitu aeng itu hanya dianggap suatu olok-olok oleh para liak. Para liak mungkin juga mengetahui bahwa undangan itu hanyalah sekedar pentas, hanya untuk hiburan, dan tak perlu ditanggapi serius. Jadi liak yang ada sekarang sebenarnya sudah lebih bijaksana, sehingga bisa memilih dan memilah mana yang seken (serius) dan mana yang uluk-uluk (boong-boongan). Karena liak tahu, bahwa para pregina yang koar-koar itu hanyalah ia ngayah di pura. “Biarkan orang ngayah”. Kira-kira begitu pikiran I Liak di rumahnya. Sehingga apapun aeng undangannya di atas panggung, tetap aman-aman saja. Demikian I Lengut mencoba untuk mengingat pentas-pentas calonarang yang pernah ia tonton.
Setiap pertunjukan calonarang atau penyalonarangan, kini disertai dengan inovasi dan kreasi untuk meningkatkan tampil magis dari pertunjukan. Ada ada saja yang baru baik secar kualitas maupun kuantitasnya. Barangkali makin lama makin terkungkung pikiran para penggemarnya dengan pola pikir magis, sehingga mengurangi bahkan menghilangkan daya nalar dan logika penggemarnya. 
Sekali lagi, ngundang liak di atas panggung hanyalah sensasi seni sebuah pertunjukan agar lebih menarik, walaupun sedikit nyerempet-nyerempet. Namun yang lebih penting dari semua itu bahwa semua cerita, semua sensasi, semua heboh-heboh yang dipertunjukan hanyalah merupakan pendahuluan untuk sampai pada acara pokok yakni Ida Betara Sesuhunan mesolah, napak siti, macecingak dan memberikan anugrah kesejahteraan kepada seluruh damuh (umat). Hanya itu tak lebih…
(ki buyut dalu / kanduk) #OriginalArtikelByKanduk




No comments:

Post a Comment