Leluhur
manusia Bali sekarang konon berasal dari tanah Jawa, yang bermigrasi ke Bali
secara bertahap dalam kurun waktu berabad-abad. Pertamakali migrasi Wong Aga
pada abad ke VIII Masehi yang konon adalah masyarakat di pesisir timur pulau Jawa
mengikuti perjalanan Maharesi Markandeya ke Bali, Beliau awalnya bertapa di
unung Dieng Jawa tengah. Bersama pengikutnya, Resi Markandeya merabas hutan di
sekitar kaki Gunng Tohlangkir (Gunung Agung). Konon banyak pengikut beliau yang
mengalami sakit dan meninggal. Setelah mengalami kegagalan yang pertama kali,
beliau kembali ke Gunung Raung dan mendapatkan pentunjuk mengenai kenagkeran
tanah Bali. Beliau kemudian kembali ke tanah Bai dengan para pengikut beliau,
lalu menanam panca datu di kaki Gunung Tohlangkir untuk menstabilkan tanah Bali
yang kala itu masih labil. Tempat penanaman panca datu tersebut sampai sekarang
diberi nama pura Besukihan.
Periode
berikutnya adalah kedatangan dari wangsa Warmadewa ke Bali bersama dengan para
pengikutnya ke Bali pada masa awal abad ke X, dengan mendirikan kerajaan
Singamandawa dengan rajanya adalah Sri Kesari Warmadewa. Beliau membuat
pemujaan di Besakih yang kemudian dikenal dengan nama Merajan Slonding. Sri
Kesari Warmadewa juga disebut dengan Dalem Slonding.
Pada
masa itu proses pengayaan keyakinan masyarakat mulai semakin beragam. Paham,
Siwa, Buda sudah banyak dianut. Demikian juga dengan berbagai sekte sudah mulai
banyak dianut oleh masyarakat pada waktu itu seperti sekte Siwa Pasupati,
Brahma, Waisnawa, Bima, Bayu, Indra, Ganapati, Bhairawa, dan dll. Kesemuanya
itu lalu membentuk kesatuan masyarakat majemuk dalam hal praktek keyakinan. Dan
sudah bisa dibayangkan bahwa di kalangan masyarakat konon penuh dengan intrik
kepercayaan. Sudah tentu hal ini akan menjadi sebuah potensi kerawanan masyarakat
yang tak diinginkan, karena setiap sekte menyatakan diri paling baik dan paling
benar. Persaingan ini justru semakin hari semakin terbuka, sehingga sampai pada
akhirnya raja suami istri yakni Udayana Warmadewa dan Gunapria Dharmapatni
mendatangkan para Mpu dari Jawa ke Bali. Salah satunya adalah Mpu Kuturan untuk memikirkan masalah ini.
Atas
prakasrsa Sang Raja dan Mpu Kurutan, maka diselengarakanlah pertemuan besar
atau pesamuan agung para penganut
aliran (sampradaya) di Bali kala itu untuk menciptakan masyarakat yang solid
dan terhindar dari konflik sekte. Pertemuan itu lalu menghasilkan penyatuan
berbagai macam aliran kepercayaan di masyarakat menjadi tiga kelompok besar yakni
Brahma, Wisnu, Siwa. Yang kemudian paham ini dapat diterima oleh semua pihak
sehingga mulai saat itu di Bali diterapkan praktek agama Tri Murti. Yag
sebenarnya adalah mengadopsi paham Hindu di tanah Jawa pada masa lalu, seperti
yang terwujud di candi Prambanan dimana terdapat tempat pemujaan Tri Murti
dengan wahana masing-masing yakni candi Siwa (di tengah), dipait oelh candi
Brahma dan Candi Wisnu. Ini adalah konsep Tri Murti yang ditawari oleh Mpu
Kuturan dan diterima dan diterapkan di masyarakat. Dengan demikain maka setiap
desa adat waktu itu diwajibkan untuk membuat pengayatan Tri Muti yakni pura
Puseh untuk Wisnu, Pura Desa untuk Brhama, dan Pura Dalem untuk Siwa. Kemudian setiap rumah tangga diwajibkan untuk
membuat pelinggih Rong Tiga sebagai tempat pemujaan kehadapan leluhur.
Peristiwa penyatuan ini terjadi di daerah Bata Anyar, yang sekarang disebut
dengan Desa Bedulu. Sedangkan tempat dari pertemuan besar tersebut dibuat
sebuah pura yang diberi nama Pura Samuantiga. Samuan artinya pertemuan, sedangkan tiga adalah paham Tri Murti yang dihasilkan dari pertemuan itu.
Konsep
itu lalu diterapkan di tanah Bali, sehingga masing desa adat memilki pura Puseh
Desa Dalem. Disamping tiga pura tersebut sebagai pura utama di desa adat, namun
tak sampai di sana. Kekuatan local teap masih diakomoddir dalam praktek
keagamaan Hindu di Bali. Seperti pemujaan kehadapan Sanghyang Rambut Sedana,
Sanghyang Sapuh Jagat, Sanghyang Prapati, Dewi melanting, Dewi Kayangan, dll.
yang kesemuanya tersebut masih mencerminkan praktek sampradaya. Namun demikian
mereka tetap dalam satu kesatuan dengan pemersatunya adalah pura Kayangan Tiga
dengan konsep Tri Murthi tersebut.
Artinya
di sini bahwa walaupun sudah tersatukan dalam konsep Brama Wisnu Siwa, namun
dalam praktenya di masyarakat tetap diadopsi berbagai macam konsep
masing-masing sekte. Seperti misalnya sekte Bhairawa Tantra dilengkapi dengan
Pura Prajapati sebagai linggih Sanghyang Merajapati sebagai penguasa kuburan
dan Pura Kayangan sebagai tempat pemujaan Dewi Durga. Termasuk juga berbagai
macam ritual atau upacara di masyarakat Hindu saat ini adalah banyak
menggabungkan ritual dari berbagai sete jaman dahulu seperti Caru Resi Gana
adalah cerminan aliran Ganapati. Ngusaba Nini adalah sebagai cerminan aliran Waisnawa.
Termasuk juga terdapat berbagai macam pelinggih yang mengadopsi berbagi masab
atau filsafat masa lalu seperti pelinggih Penunggun Karang adalah sisa dari
aliran Bhairawa. Dll.
Proses
penyatuan sekte-sekte menjadi paham Tri Murthi sekaligus dengan tetap
memberikan kebebasan kepada masing-masing sekte untuk menyesuaikan praktek
agamnya, hal inilah yang menyebabkan terdapat banyak pura, banyak pelinggih,
banyak upacara, dan baanyak hari raya atau hari suci. Kondisi inilah yang
diwariskan dari generasi ke generasi di Bali.
Sampai
akhirnya tanah Bali dikuasai oleh Raja Kertha Negara dari Singasari, maka
nuansa aliran Bhairawa sangat kental. Sehingga banyak ritual-ritual mistik di
Bali yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk pula pura Dalem menjadi suatu
yang sanagt penting dan sentral saat itu, demikian juga dengan pura Prajapati
sebagai penguasa kuburan, dan pura Kayangan sebagai linggih dari Sakti Dewa
Siwa yakni Durga Dewi.
Tak
berhenti sampai di sana, sejarah perjalanan paham Hindu di tanah Bali mengalami
pengayaan sejalan dengan kondisi politik ekspansi kerajaan masa lalu, terutama
perkembangan olitik di tanah Jawa. Dimana dalam perkembangan selanjutnya tanah
Bali jatuh ke tangan Majapahit. Dari sini kemudian para Arya banyak datang ke
Bali beserta dengan para prajuritnya. Demikian juga setelah seorang adipati
perwakilan Majapahit ditempatkan di Bali, yakni Sri Kresna Kepakisan dengan
istananya di Samprangan, kemudian selanjutnya berpindah ke Gelgel sesuai dengan
situasi dan kondisi saat itu. Dan menjelang keruntuhan Majapahit di tanah Jawa,
di Bali sedang berkuasa Dalem Waturenggong dengan kekuasaan yang gemilang. Pada
masa itu datang para pendeta dari Jawa yakni
Danghyang Nirartha yang membawa paham Siwa Sidhanta, dimana beliau memusatkan
pemujaan pada satu aspek Tuhan yakni Siwa. Siwa adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Bentuk dari tempat pemujaan beliau adalah Padmasana, sebagai kreasi dari simbol
Lingga Yoni. Dari sini masyarakat Bali mengadopsi paham Siwa Sidhanta dan
membuat pelinggih lagi yakni Padmasana. Sehingga pura-pura di Bali lambat laun
dilengkapi dengan pelinggih Padmasana, yang diposisikan di pojok timur laut,
dengan posisi menghadap ke baratdaya. Sedangkan kalau Padmasana tunggal seperti
di pura Jagatnata, posisinya berada di timur atau di utara menghadap ke barat
atau selatan.
Sejak
kehadiran Danghyang Nirartha di Bali, mampu menambah kaya kehidupan keagamaan
di Bali secara filsafat, upacara, susila dan bentuk pelinggih. Pengaruh beliau
semakin kuat di masyarakat kaena kewaskitaan dan kesaktian beliau sehingga beliau
disebut Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang menyebabkan masyarakat semakin yakin
mengikuti ajaran beliau. Lebih-lebih beliau menjadi Purohito atau Bagawanta
kerajaan, sehingga paham ini banyak pengikutnya yang melahirkan tradisi belajar
agama kala itu dengan sebutan Siwa dan Sisya yakni hubungan antara Guru (Siwa
Guru) dan Sisya (murid) yang diwarisi secara turun temurun oleh masyarakat
Hindu sampai saat ini. Demikian juga kedatangan Danghyang Astapaka ke Bali
dengan mengajarkan masab Budha Kasogatan semakin memperkaya khidupan Hindu di
Bali bersenyawa dengan paham-paham hindu yang sah bersenyawa sebelumnya.
Kalau
dilihat dari kulit luarnya bahwa agama Hindu yang diterapkan di Bali sangat
jauh berbeda dengan Hindu yang ada di tanah kelahirannya yakni India. Kenapa
demikian? sebab agama Hindu yang dipraktekkan di Bali saat ini adalah merupakan
persenyawaan berbagai macam aliran di Hindu yang datang ke Bali sejak
berabad-abad yang lalu lalu mengalami penyesuaian dengan situasi dan daya nalar
masyarakat saat itu. Sehingga akhirnya
menjadi agama Hindu seperti sekarang ini. Hindu Bali atau lebih karakteristik
disebut sebagai “Agama Bali” sejatinya adalah penerapan Weda dalam berbagai
sisi atau segi. Sedangkan orang India sebagai pemeluk Hindu terbagi dalam sekte-sekte
tertentu yang hanya memuja satu aspek Tuhan seperti pemuja Siwa, Brahma, Wisnu
atau Krisna, Ganesa, Dewi/Durga, dll. Disamping itu masyarakat India memeluk Hindu
lebih banyak dalam koridor filsafat dan etika. Sedangkan bagi manusia Bali menerapkan
ajaran Hindu dalam tiga kerangka dasar yakni filsafat (tattwa), upacara
(ritual) dan susila (etika) yang dijalankan secara seimbang dan dibalut dalam
kerangka budaya serta adat istiadat. Ini artinya bahwa manusia Bali menerapkan
ajaran Hindu lebih riil. Manusia Hindu Bali lebih terinci mengejawantahkan
ajaran Weda dengan segala varisainya, dibandingkan dengan pemuluk Hindu India.
Persenyawaan
dengan budaya setempat, serta dengan paham pra Hindu di Bali, maka Hindu
menjadi sangat karakteristik di Bali. Menjadi sebuah agama yang kelihatan jauh
dari akarnya Weda. Namun sejatinya, penerapan Weda di Bali lebih riil yakni
melalui nyanyian, sastra, lambng-lambang, lukisan, patung, pelinggih-pelinggih,
candi-candi sastra yang disebut dengan banten, mantra-mantra, yasa kerthi
(pengendalian diri), ayah-ayahan, dll. Namun dengan melihat praktek di lapangan
seperti itu ada yang berpendapat bahwa Agama Hindu Bali menyimpang dari Weda. Sudah
tentu hal ini adalah penilaian yang dangkal dan tak paham dengan hindu Bali. Karena
sejatinya, Hindu Bali adalah pengejawantahan ajaran weda secara riil dalam
kehidupan sehari-hari, dan mencakup semua Dewa semua aliran, tak hanya sebatas
satu paham atau ista dewata saja.
Karena
persenyawaan dengan budaya dan kentalnya praktek ritual Hindu di Bali, termasuk
juga berkah Dewa-Dewa diwujudkan dalam bentuk air suci atau tirtha, maka agama Hindu Bali juga
disebut dengan Agama Tirtha. Termasuk juga nama-nama Dewa-Dewa di Bali disesuaikan
dengan budaya setempat, seperti Betara Sapuh Jagat, Btari Melanting, Betara Pengulun
Carik, Betara Pemayun Sakti, Ratu Nyoman Sakti, dll. (Baca pada Tutur Gong
Besi). Padahal dalam Weda tak ada nama-nama tersebut. Inilah bukti terjadinya akulturasi
seni budaya, dan paham bumi atau pra Hindu dari masyarakat pemeluk Hindu di
Bali.
Manusia
Hindu Bali larut dalam ritual-ritual keagamaan dan bahkan ritual-ritual mistik.
Maka tak heran kalau di Bali saat ini masih berlangsung “jaman brahmana” yakni
jaman dimana kegiatan ritual upacara keagamaan sangat kental. Sedangkan di
tanah India jaman brahmana ini sudah berabad-abad yang lalu ditinggalkan, dan beralih
ke beragama filsafat. Sedangkan di Bali Bali masih berdoa dengan sastra,
mantra, lagu atau kidung, dengan sarana banten, persembahan kesenian berupa
tari-tarian dan panca gita (kidung, gambelan, genta, kulkul, mantra).
Inilah
Agama Bali, yakni agama yang menjadi “agem-agem” atau pegangan manusia Bali sampai saat ini. Bentuk Agama Bali yang
ada saat ini adalah merupakan perpaduan dari berbagai macam aliran atau sekte
dalam Agama Hindu, diselaraskan dengan kondisi adat budaya masyarakat setempat
dengan prosesnya cukup panjang. Lalu dalam perkembangannya saat ini, agama
Hindu Bali mendapat tambahan lagi dengan datangnya berbagai macam aliran ke
dari India ke Bali. Kelompok Sampradaya gencar masuk ke Bali, dan sedang
berproses untuk kdua kali nya dengan Hindu bali. (persenyawaan pertama ketika
seribu tahun yang lalu, yang akhirnya disatukan oleh Mpu Kuturan).
Sampradaya
kini menjadi sebuah kekuatan alternatif dari masyarakat Hindu Bali. Sehingga
banyak para rohaniawan Sampradaya datang ke Bali, banyak aliran masuk ke Bali.
Padahal kalau kita ikuti proses terjadinya Agama Hindu Bali saat ini,
kedatangan Sampradaya sudah diakomodir ketika pertemuan Samuan Tiga seribu
tahun yang lalu. Artinya bahwa agama Hindu Bali saat ini adalah kumpulan dari
berbagai macam Sampradaya. Kalau sekarang ada Sampradaya lagi, maka kejadiannya
akan persis terjadi ketika seribu tahun lalu. Pastilah ada kepentingan sekte,
pastilah ada kepentingan aliran dan macam-macam. Justru hal ini akan terjadi
potensi konflik di intern Hindu itu sendiri. Belum lagi kompetisi dengan yang
di luar Hindu. Mungkinkah akan terjadi persenyawaan kedua setelah seribu tahun.
Sekarang tinggal pilih mau bersenyawa atau kembali pecah menuju induk
masing-masing yakni Sampradaya masing-masing? (Ki Buyut Dalu/Kanduk)
top
ReplyDelete