Aliran yang dimaksud di sini
adalah kelompok perguruan spiritual di di dalam praktek agama Hindu yang
keberadaannya belakangan ini semakin marak di Bali. Bahasa awamnya adalah
aliran. Namun dalam dunia spiritual sering disebut sampradaya, paksa, perguruan,
parampara, aguron-guron atau sekte. Semuanya itu adalah bagian
intergral dari Weda.
Dalam kamus sansekerta
Sampradaya dapat berarti: - seorang yang memberi anugrah, - penyaji, - tradisi,
- ajaran agama yang sudah mantap yang diajarkan oleh seorang guru suci, -
kepercayaan yang telah mentradisi, - sesuatu yang khas yang merupakan bagian
dari system ajaran weda, - suatu cara pengungkapan tradisi weda, - satu versi
dalam tradisi ajaran weda. Sampradaya atau aguron-guron dapat pula dipahami
sebagai berguru kepada orang bijak.
Aliran / sampradaya bersifat universal dan
fleksibel serta memiliki Adikara (desiplin) seperti karma, bhakti, dan jnana.
Memuja salah satu manifestasi Tuhan (ista dewata). Dalam realitasnya di
masyarakat sampradaya termuat dalam kitab-kitab Purana, Regweda, Bagawad Gita,
dll. Demikian pula dengan tradisi Hindu di Indonesia terdahulu terdapat banyak
sekte atau paksa seperti Waisnawa, Siwa, Sakta, Ganapatya, Jaina, Gaura,
Tantrayana, Bhairawa, dll.
Sampradaya juga diartikan
sebagai garis perguruan tempat pengajaran ilmu pengetahuan spiritual. Menurut
DR Goris (1974), pada abad ke 9 terdapat banyak sekte di Bali seperti Ganesa,
Siwa Sidhanta, Bairawa, Pasupata, Waisnawa, Bodha, Brahmana, Sora, dll.
Dalam keadaan demikian terjadi persaingan dan berujung perpecahan di tengah
masyarakat ketika itu. Untuk mengatasi masalah tersebut maka raja Udayana
bersama dengan permaisurinya Gunaprya Dharma Patni melalui Mpu Kuturan
menyatukan sekte-sekte tersebut menjadi paham Tri Murti seperti yang
diterapkan oleh masyarakat Hindu Bali sampai sekarang ini. Proses penyatuan
tersebut berlangsung di tempat yang sekarang disebut dengan Pura Samuantiga.
Karena di tempat tersebut terjadi penyatuan diantara sekte-sekte keagamaan.
Aliran / aguron-guron atau sekte memiliki ciri spiritual yang tidak terlalu terkait pada
lembaga. Namun lebih menekankan pada sikap mental, spirit pada niskama karma.
Mereka adalah penekun weda, mempelajari weda, dan penganut weda. Mereka adalah
bagian dari Hindu yang besar ini. Sampradaya mengejar apa yang juga menjadi
tujuan umat Hindu lainnya yakni mokshartam jagadita ya ca iti dharma.
Dalam realities ke kinian di
Nusantara, khsusunya di Bali, kebeeradaan aliran spiritual yang disebut dengan
sampradaya ini mulai berkembang kembali. Setelah seribu tahun para sampradaya
disatukan menjadi paham ri murti, kini aliran mulai menggeliat dan terbangun
mencari bentukn ya tersendiri. Di tengah-tengah kehidupan agama Siwa Budha
dalam paham Tri Murti, kini banyak muncul aliran spiritual seperti Krisna
Balaram, Sai Baba, Ananda Marga, Brahma Kumaris, dll, yang di bawa oleh para
aktivis aliran itu sendiri.
Keberadaan mereka yang dulu
sekitar tahun 1970-an di Indonesia sempat dilarang karena dianggap “mengacaukan”
praktek agama Hinddu di Inddonesia khsusunya di bali seperti apa yang sudah
diwariskan sejak jaman Mpu Kuturan. Namun sekarang, dalam alam keterbukaan,
mereka muncul dan semakin eksis di tengah masyarakat.
Organisasi mereka lebih
modern, tidak lagi bersandar kepada adat, seperti agama Hindu Bali yang
diwariskan oleh Mp Kuturan. Dalam implementasi ajarannya, mereka lebih pada
tataran filsafat dan etika, jauh dari kesan ritual-ritual yang gemerlap seperti
apa yang tersaji dalam praktek Hindu Bali sampai saat ini. Mereka lebih dilandasi
oleh rasa semangat spiritual dan semangat eksis. Artinya mereka dilandasi oleh
semangat untuk tetap mempertahankan Hindu di tengah-tengah gempuran jaman,
serta gempuran dari agama lain di muka bumi ini. Semangat inilah yang tampak
dalam keseharian mereka, sehingga mengesankan mereka kukuh dalam keyakinan
serta sedikit bersifat “promotif”.
Dalam semangat ini kerapkali
mereka yang ada di dalam aliran menjadi terprovokasi oleh semangatnya sendiri.
Sering muncul debat yang berkepanjangan mereka memeprtahankan filsafatnya
masing-masing. Semangat tinggi justru menjerumuskan dalam ego. Keberadaan
aliran-aliran ini kerapkali mendobrak pakem-pakem serta etika dalam
bersembahyang. Ambil contoh, di setiap hari minggu di kawasan car free day selalu muncul
kelompok-kelompok dari aliran Krisna berbaur dengan lalu serta hhiruk pikuk
dari masyaakat yang sedang berolah raga. Tentu saja ini memunculkan kesan yang
kontradiktif terhadap aharan Hindu yang sejatinya mencari keamanan, kenyamana,
dalam berse,bahyang. Namun kenapa justru mereka selalu muncul di tempat
keramaian dan membawa keramaian tersendiri, karena mereka selalu membawa alat
pengeras suara untuk melantunkan “puja puji” ditambah lagi dengan mereka
membawa alat-alat music yang sejatinya bukan budaya Bali atau budaya
Inddonesia. Belum lagi penampilan mereka mengenakan pakaian “iimport” yang
sejatinya jauh dalam pakem buddaya Bali maupun budaya nusantara.
Kesan lain muncul adalah
“campah”, - mohon maaf – dalam tradisi Hindu Bali selalu mengedepankan sisi
pantas, sisi kenyamanan, sisi kesucian, serta sisi etika. Bagaimana bisa
berkonsentrasi dalam pemujaan ketika di sekeliling kita orang banyak lalu
lalang dengan kepentingan lain seperti olah raga dengan busana yang kerapkali
macam-macam. Sehingga dengan demikian kesan yang muncul bukanlah pemujaan, tapi
malah promosi aliran dengan menunjukkan eksistensinya di tengah-tengah
kerumunan masyarakat.
Apapun kesannya, yang jelas
dengan gaya “promotif” yang intensif ini telah berhasil menggaet banyak orang
untuk ikut bergabung di dalamnya. Ini sebagai pertanda bahwa apa yang mereka
tawarkan dapat diterima oleh beberapa kalangan. Barang dagangan berupa sorga, Tuhan, dan kemudahan serta kemurahan lainnya
ternyata cukup menarik minat beberapa kalangan. Banyak yang menruh harapan
spiritual dari aliran-aliran baru ini.
Pertanyaan kemudian muncul
“kenapa orang Bali yang beragama Hindu Bali banyak kepincut dengan
aliran-aliran baru tersebut? Dalam penyusuran ddi lapangan tampak bahwa
ketekunan mereka untuk “menjajakan” maksudnya menginformasikan sekaligus
mengajak khalayak ramai untuk memahami apa yang mereka jajakan. Hal lainnya
adalah dalam kondisi saat ini, ada beberapa kalangan yang merasa sulit, merasa
berat atau bahakn repot dengan pola beragama seperti yang sudah diwariskan oleh
leluhur Hindu Bali sejak dulu. Dan ketika ada tawaran yang lebih mudah, lebih
sederhana, dan konon lebih modern sekaligus menjanjikan sorga dan kemuliaan,
maka secara otomatis ada saja orang yang tergiur. Yang lainnya mungkin akibat
faktor kegagalan dari umat Hindu tradisional Bali dalam memahami ajaran leluhur
yang telah mengantarkannya menjadi manusia, atau telah membesarkannya di tanah
Bali ini. Dengan demikian ada seseorang masyarakat menyimpulkan bahwa banyaknya
umat Hindu Bali masuk dan ikut dalam aliran ini adalah karena “dot aluh” (ingin
gampang) dan “termakan promosi” tanpa pernah memahamai kesejatian dari kemuliyaan
ajaran Hindu.
Kenapa aliran dinilai
sebagai “momok” di Indonesia khususnya di Bali adalah karena prilaku oknum-oknumnya
yang terlalu keindia-indiaan. Padahal di bali sudah ada tata cara beragama
Hindu yang sudah digariskan oleh para leluhur terdahulu. Budaya India yang
dibawa mentah mentah inilah yang kerap berbenturan dengan budaya Bali yang nota
bene rohnya adalah Hindu.
Satu lagi yang menyebabkan
para oknum sampradaya atau aliran tersebut kurang mendapat respon di masyarakat
kebanyakan adalah sikap yang selalu mengangung-agungkan Weda. Seolah-olah hanya
mereka saja yang membaca Weda atau mengenal Weda. Padahal mereka tak sadari
bahwa Weda di Indonesia sudah mengalami transpormasi dan disesuaikan dengan
kehidupan masyarakat, budaya, serat alam serta iklim Nusantara sehingga
melahirkan penerapan Weda seperti yang ada saat ini di Bali atau di nusantara.
Bukan berarti Hindu Bali tak berdasarkan Weda. Namun Weda yang telah mengalami
penafsiran, mengalami transpormasi, serta mengalami kulturisasi sehingga
mendapatkan bentuk seperrti Hindu Nusantara saat ini.
Justru masyarakat Hindu Bali
mengkawatirkan mereka yang mempelajari dan membaca Weda secara langsung.
Dikawatirkan akan salah tangkap, salah tafsir, salah mengerti. Karena Weda
adalah luas, dalam, dan memerlukan kebijaksanaan dalam mengupas maknanya. Bukan
dengan ego-ogeoan, dan sok sok pernah membaca Weda. Inilah yang terjadi saat
ini pada teman-teman yang tergabung dalam sampradaya / aliran sehingga yang
muncul ke permukaan bukanlah kebijaksanaan tetapi EGO.
Dengan mengadopsi praktek
Hindu India, maka Hindu Nusantara telah kehilangan jati dirinya. Padahal semestinya adalah dimana bumi dipijak
disana langit dijungjung. Ketika berada di Jawa maka ikuti tata cara beraggama
Hindu Jawa. Jika di Bali ikuti tata cara Hindu Bali. Jika di India silahkan
seperti India. Biar tidak kacau…….. (Kanduk
Supatra).
No comments:
Post a Comment