Tuesday, January 26, 2016

Fenomena Ikut Aliran, Dot Aluh dan Termakan Promosi ?




Aliran yang dimaksud di sini adalah kelompok perguruan spiritual di di dalam praktek agama Hindu yang keberadaannya belakangan ini semakin marak di Bali. Bahasa awamnya adalah aliran. Namun dalam dunia spiritual sering disebut sampradaya, paksa, perguruan, parampara, aguron-guron atau sekte. Semuanya itu adalah bagian intergral dari Weda.
Dalam kamus sansekerta Sampradaya dapat berarti: - seorang yang memberi anugrah, - penyaji, - tradisi, - ajaran agama yang sudah mantap yang diajarkan oleh seorang guru suci, - kepercayaan yang telah mentradisi, - sesuatu yang khas yang merupakan bagian dari system ajaran weda, - suatu cara pengungkapan tradisi weda, - satu versi dalam tradisi ajaran weda. Sampradaya atau aguron-guron dapat pula dipahami sebagai berguru kepada orang bijak.
Aliran / sampradaya bersifat universal dan fleksibel serta memiliki Adikara (desiplin) seperti karma, bhakti, dan jnana. Memuja salah satu manifestasi Tuhan (ista dewata). Dalam realitasnya di masyarakat sampradaya termuat dalam kitab-kitab Purana, Regweda, Bagawad Gita, dll. Demikian pula dengan tradisi Hindu di Indonesia terdahulu terdapat banyak sekte atau paksa seperti Waisnawa, Siwa, Sakta, Ganapatya, Jaina, Gaura, Tantrayana, Bhairawa, dll.
Sampradaya juga diartikan sebagai garis perguruan tempat pengajaran ilmu pengetahuan spiritual. Menurut DR Goris (1974), pada abad ke 9 terdapat banyak sekte di Bali seperti Ganesa, Siwa Sidhanta, Bairawa, Pasupata, Waisnawa, Bodha, Brahmana, Sora, dll. Dalam keadaan demikian terjadi persaingan dan berujung perpecahan di tengah masyarakat ketika itu. Untuk mengatasi masalah tersebut maka raja Udayana bersama dengan permaisurinya Gunaprya Dharma Patni melalui Mpu Kuturan menyatukan sekte-sekte tersebut menjadi paham Tri Murti seperti yang diterapkan oleh masyarakat Hindu Bali sampai sekarang ini. Proses penyatuan tersebut berlangsung di tempat yang sekarang disebut dengan Pura Samuantiga. Karena di tempat tersebut terjadi penyatuan diantara sekte-sekte keagamaan.
Aliran / aguron-guron atau sekte memiliki ciri spiritual yang tidak terlalu terkait pada lembaga. Namun lebih menekankan pada sikap mental, spirit pada niskama karma. Mereka adalah penekun weda, mempelajari weda, dan penganut weda. Mereka adalah bagian dari Hindu yang besar ini. Sampradaya mengejar apa yang juga menjadi tujuan umat Hindu lainnya yakni mokshartam jagadita ya ca iti dharma.
Dalam realities ke kinian di Nusantara, khsusunya di Bali, kebeeradaan aliran spiritual yang disebut dengan sampradaya ini mulai berkembang kembali. Setelah seribu tahun para sampradaya disatukan menjadi paham ri murti, kini aliran mulai menggeliat dan terbangun mencari bentukn ya tersendiri. Di tengah-tengah kehidupan agama Siwa Budha dalam paham Tri Murti, kini banyak muncul aliran spiritual seperti Krisna Balaram, Sai Baba, Ananda Marga, Brahma Kumaris, dll, yang di bawa oleh para aktivis aliran itu sendiri.
Keberadaan mereka yang dulu sekitar tahun 1970-an di Indonesia sempat dilarang karena dianggap “mengacaukan” praktek agama Hinddu di Inddonesia khsusunya di bali seperti apa yang sudah diwariskan sejak jaman Mpu Kuturan. Namun sekarang, dalam alam keterbukaan, mereka muncul dan semakin eksis di tengah masyarakat.
Organisasi mereka lebih modern, tidak lagi bersandar kepada adat, seperti agama Hindu Bali yang diwariskan oleh Mp Kuturan. Dalam implementasi ajarannya, mereka lebih pada tataran filsafat dan etika, jauh dari kesan ritual-ritual yang gemerlap seperti apa yang tersaji dalam praktek Hindu Bali sampai saat ini. Mereka lebih dilandasi oleh rasa semangat spiritual dan semangat eksis. Artinya mereka dilandasi oleh semangat untuk tetap mempertahankan Hindu di tengah-tengah gempuran jaman, serta gempuran dari agama lain di muka bumi ini. Semangat inilah yang tampak dalam keseharian mereka, sehingga mengesankan mereka kukuh dalam keyakinan serta sedikit bersifat “promotif”.
Dalam semangat ini kerapkali mereka yang ada di dalam aliran menjadi terprovokasi oleh semangatnya sendiri. Sering muncul debat yang berkepanjangan mereka memeprtahankan filsafatnya masing-masing. Semangat tinggi justru menjerumuskan dalam ego. Keberadaan aliran-aliran ini kerapkali mendobrak pakem-pakem serta etika dalam bersembahyang. Ambil contoh, di setiap hari minggu di kawasan car free day selalu muncul kelompok-kelompok dari aliran Krisna berbaur dengan lalu serta hhiruk pikuk dari masyaakat yang sedang berolah raga. Tentu saja ini memunculkan kesan yang kontradiktif terhadap aharan Hindu yang sejatinya mencari keamanan, kenyamana, dalam berse,bahyang. Namun kenapa justru mereka selalu muncul di tempat keramaian dan membawa keramaian tersendiri, karena mereka selalu membawa alat pengeras suara untuk melantunkan “puja puji” ditambah lagi dengan mereka membawa alat-alat music yang sejatinya bukan budaya Bali atau budaya Inddonesia. Belum lagi penampilan mereka mengenakan pakaian “iimport” yang sejatinya jauh dalam pakem buddaya Bali maupun budaya nusantara.
Kesan lain muncul adalah “campah”, - mohon maaf – dalam tradisi Hindu Bali selalu mengedepankan sisi pantas, sisi kenyamanan, sisi kesucian, serta sisi etika. Bagaimana bisa berkonsentrasi dalam pemujaan ketika di sekeliling kita orang banyak lalu lalang dengan kepentingan lain seperti olah raga dengan busana yang kerapkali macam-macam. Sehingga dengan demikian kesan yang muncul bukanlah pemujaan, tapi malah promosi aliran dengan menunjukkan eksistensinya di tengah-tengah kerumunan masyarakat.
Apapun kesannya, yang jelas dengan gaya “promotif” yang intensif ini telah berhasil menggaet banyak orang untuk ikut bergabung di dalamnya. Ini sebagai pertanda bahwa apa yang mereka tawarkan dapat diterima oleh beberapa kalangan. Barang dagangan berupa sorga,  Tuhan, dan kemudahan serta kemurahan lainnya ternyata cukup menarik minat beberapa kalangan. Banyak yang menruh harapan spiritual dari aliran-aliran baru ini.
Pertanyaan kemudian muncul “kenapa orang Bali yang beragama Hindu Bali banyak kepincut dengan aliran-aliran baru tersebut? Dalam penyusuran ddi lapangan tampak bahwa ketekunan mereka untuk “menjajakan” maksudnya menginformasikan sekaligus mengajak khalayak ramai untuk memahami apa yang mereka jajakan. Hal lainnya adalah dalam kondisi saat ini, ada beberapa kalangan yang merasa sulit, merasa berat atau bahakn repot dengan pola beragama seperti yang sudah diwariskan oleh leluhur Hindu Bali sejak dulu. Dan ketika ada tawaran yang lebih mudah, lebih sederhana, dan konon lebih modern sekaligus menjanjikan sorga dan kemuliaan, maka secara otomatis ada saja orang yang tergiur. Yang lainnya mungkin akibat faktor kegagalan dari umat Hindu tradisional Bali dalam memahami ajaran leluhur yang telah mengantarkannya menjadi manusia, atau telah membesarkannya di tanah Bali ini. Dengan demikian ada seseorang masyarakat menyimpulkan bahwa banyaknya umat Hindu Bali masuk dan ikut dalam aliran ini adalah karena “dot aluh” (ingin gampang) dan “termakan promosi” tanpa pernah memahamai kesejatian dari kemuliyaan ajaran Hindu.
Kenapa aliran dinilai sebagai “momok” di Indonesia khususnya di Bali adalah karena prilaku oknum-oknumnya yang terlalu keindia-indiaan. Padahal di bali sudah ada tata cara beragama Hindu yang sudah digariskan oleh para leluhur terdahulu. Budaya India yang dibawa mentah mentah inilah yang kerap berbenturan dengan budaya Bali yang nota bene rohnya adalah Hindu.
Satu lagi yang menyebabkan para oknum sampradaya atau aliran tersebut kurang mendapat respon di masyarakat kebanyakan adalah sikap yang selalu mengangung-agungkan Weda. Seolah-olah hanya mereka saja yang membaca Weda atau mengenal Weda. Padahal mereka tak sadari bahwa Weda di Indonesia sudah mengalami transpormasi dan disesuaikan dengan kehidupan masyarakat, budaya, serat alam serta iklim Nusantara sehingga melahirkan penerapan Weda seperti yang ada saat ini di Bali atau di nusantara. Bukan berarti Hindu Bali tak berdasarkan Weda. Namun Weda yang telah mengalami penafsiran, mengalami transpormasi, serta mengalami kulturisasi sehingga mendapatkan bentuk seperrti Hindu Nusantara saat ini.
Justru masyarakat Hindu Bali mengkawatirkan mereka yang mempelajari dan membaca Weda secara langsung. Dikawatirkan akan salah tangkap, salah tafsir, salah mengerti. Karena Weda adalah luas, dalam, dan memerlukan kebijaksanaan dalam mengupas maknanya. Bukan dengan ego-ogeoan, dan sok sok pernah membaca Weda. Inilah yang terjadi saat ini pada teman-teman yang tergabung dalam sampradaya / aliran sehingga yang muncul ke permukaan bukanlah kebijaksanaan tetapi EGO.
Dengan mengadopsi praktek Hindu India, maka Hindu Nusantara telah kehilangan jati dirinya.  Padahal semestinya adalah dimana bumi dipijak disana langit dijungjung. Ketika berada di Jawa maka ikuti tata cara beraggama Hindu Jawa. Jika di Bali ikuti tata cara Hindu Bali. Jika di India silahkan seperti India. Biar tidak kacau…….. (Kanduk Supatra).

No comments:

Post a Comment