Thursday, September 10, 2015

Gegemet Caling Macan I Bracuk





Bracuk tak menyangka dirinya akan mendapat jodoh seorang gadis dari Denpasar yang merupakan jantung tanah Bali. Gadis kota yang ia dapatkan berasal dari sebuah desa di kota Denpasar yang menurut orang-orang terkenal dengan alam niskalanya, terkenal dengan kekuatan mistiknya. Kalau orang luar bilang, Desa ini memang tenget, ditambah lagi dengan penduduknya memang serem. Desa ini banyak melahirkan para  jawara kanuragan, balian sakti, orang terkenal, dalang sakti, preman, bahkan sulinggih juga banyak. Artinya desa ini dikenal angker secara sekala dan niskala. Ternyata Denpasar Kota masih menyimpan banyak misteri dan mistik.
Nah kini dikisahkan I Bracuk yang menjadi menantu di desa itu, kerapkali berkunjung ke rumah mertuanya. Ia sudah tak asing lagi di sana. Senda gurau dengan orang-orang di sana, bahkan sedikit minum-minum sambil mengakrabkan diri dengan lingkungan. I Bracuk pun sadar dengan dirinya yang menyunting gadis dari desa yang terkenal angker tersebut. Ia juga sudah banyak mendengar cerita tentang desa tempat asal istrinya. Artinya bahwa I Bracuk tak boleh gegabah dengan dirinya. Maka ia berpikir untuk membekali dirinya dengan sesuatu yang bersifat niskala untuk menjaga diri, melindungi diri, terhadap hal-hal niskala di gumi tenget di desa mertuanya.
Untuk itu, maka pergilah I Bracuk ke salah seorang yang menurutnya mumpuni untuk mencari pengraksa jiwa atau pelindung diri dari kekuatan niskala. Entah ia membeli atau bagaimana, yang jelas ia diberikan sebuah kalung yang berbentuk caling atau taring oleh sang balian sakti. Rupa kalung itu memang aeng namun artistik. Entah itu terbuat dari caling macan, tanduk meng atau bisa jadi dari tegil siap (tanduk kaki ayam). I Bracuk pun diberitahu mengenai segala persyaratan, cara pemeliharaan agar kekuatannya terjaga, termasuk pula dengan segala pantangannya. Salah satu pantangannya adalah kalung yang berfungsi sebagai gegemet tersebut tak boleh dipakai ketika buang hajat atau buang air besar. Karena ketika dipakai buang hajat maka kalung tersebut kekuatannya akan punah.
Singkat cerita, berbekal gegemet tersebut, I Bracuk sudah merasa diri handal, yakin dengan keselamatannya, sudah tak kawatir lagi akan adanya bahaya yang bersifat niskala. Maka dengan keyakinan dirinya, I Bracuk bertandang ke rumah mertuanya entah pagi, siang, sore, bahkan tengah malam. Ia pun merasa lebih leluasa bergaul di rumah mertuanya. Namun dengan gegemet tersebut, I Bracuk menjadi memiliki keyakinan yang berlebihan, I Bracuk semakin menjadi-jadi, bahkan bicaranya kerapkali tak terkontrol, alias memunyi cah cauh. Mungkin merasa diri sudah handal dengan gegemet yang diberikan oleh balian sakti itu.
Setelah sekian lama, kini diceritakan I Bracuk bertandang ke mertuanya bersendaugurau dengan para ipar dan tetangganya. Seperti biasa, acara dilanjutkan dengan mekeciran alias minum-minum.  Ketika itu minumannya adalah tuak. Banyak hal yang dibicarakan alias satua kangin kauh saat itu. I Bracuk orangnya memang suka dengan dunia niskala, apalagi berbicara masalah dukun alias “balian sakti”, ia banyak tahu dan banyak omongannya. Sehingga pembicaraan kaingin kauh pada malam hari itu lebih didominasi oleh cerita yang nyerempet-nyerempet dunia niskala. Ipar-iparnya yang diajak minum sudah mengingatkan agar jangan terlalu campah bicara, apalagi masalah niskala. Tapi karena merasa diri handal, maka ia terus saja ngoceh menyerempet hal-hal gaib.
Sedang asik mereka ngobrol, saat itu I Bracuk merasakan ingin kencing. Maka bergegas ia ke kamar kecil. Sebelum ke kamar kecil ia selalu ingat dengan gegemetnya yang ia kenakan tak boleh dibawa ke kamar kecil. Ia membuka kalung itu lalu digantungkan di sepeda motor dekat mereka minum. Ketika selesai buang air, kalung itu dipakai kembali.
Yang diajak minum oleh I Bracuk saat itu adalah I Ketut Crucuk Kuning, I Wayan Blangko, Gung Tut Glalak Glilik,  I Wayan Blekok, dan beberapa orang lagi. Acara minum pun menjadi seru ketika mereka semua sudah agak “on” .
Kini kembali diceritakaan I Bracuk ingin ke kamar kecil. Ia kembali membuka kalung gegemetnya. Kali ini ia tidak menggantungkan di sepeda motor tadi, namun menitipkan kepada salah salah seorang dari mereka yang diajak minum. Ketika keluar dari kamar mandi, ia kemudian meminta kalungnya kepada temannya. Nah, di sinilah masalah mulai muncul. Sebab semua temannya yang diajak minum itu tak merasa dititipi kalung gegemet oleh I Bracuk. Temannya menjadi bingung, siapa yang dititipi, termasuk juga I Bracuk bingung siapa yang ia titipi. Yang jelas tadi ia tergesa-gesa menitipkan kepada salah seorang teman minumnya. Maka bingunglah semuanya, siapa yang dititipi.
I Bracuk yang sangat tergantung dengan gegemetnya tersebut sangat bingung dan sangat merasa kehilangan. Ia meyakini, gegemet itulah yang bisa melindungi dirinya dari hal-hal negatif yang bersifat niskala. I Bracuk merasa sangat terikat dengan kalung tersebut. Kalung tersebut sama dengan jiwanya. Terasa dunia ini runtuh, seolah-olah dirinya tak hidup lagi. Demikian keyakinannya tentang kalung tersebut. I Bracuk bingung, teman-teman dan iparnya juga bingung mencarinya di sekitar tempat itu. Semua merasa tak enak hati dengan kehilangan tersebut. Semua berusaha mencari, namun tak ketemu. Acara  minum yang tadinya enjoy mendadak menjadi tidak enak hati. Acara yang taddinya happy berubah menjadi mistik.
Ipar I Bracuk menyarankan untuk dicari besok pagi, pasti ketemu. Acara minum pun bubar. Namun I Bracuk masih ngomel-ngomel atas kehilangan, ditambah lagi situasinya setengah mabuk. Teman-teman minum, ipar dan mertuanya mencoba untuk menenangkan I Bracuk, namun ia tetap saja gusar sambil ngomel tak karuan. Beberapa lama kemudian, pada tengah malam ia mencoba kembali ke tempat minum tadi untuk mencari kembali siapa tahu ketemu. Dan betul saja, barang gegemetnya diketemukan di bataran tugu pengalang-alang dekat mereka minum tadi. I Bracuk segera mengambil kalungnya. Namun ketika mengambil kalung tersebut, I Bracuk menerima sebuah bogem mentah yang menyebabkan ia jatuh tersungkur di depan tugu tersebut. Saat itu tak ada siapa-siapa di sana. Ia mengerang kesakitan. Lalu datang iparnya menolong. Ia kemudian menceritakan semua niskala yang menimpa dirinya. Atas kejadian tersebut, acara minum yang tadinya bubar kini berkumpul kembali ketika mendengar I Bracuk jatuh tersungkur kena pukulan niskala di depan tugu.
Menyaksikan kejadian tersebut kemudian I Ketut Crukcuk Kuning mengatakan kepada I Bracuk agar besok-besok tidak membawa barang-barang aneh alias gegemet  ke sini. Sebab kita tak tahu apa yang akan terjadi. Lebih baik kosong-kosong saja, pasti akan aman. Karena Ketut Crukcuk Kuning meyakini bahwa kekuatan gegemet tersebut pasti akan kontak dengan kekuatan pelindung niskala di pekarangan ini yakni Ratu Ngurah Penunggun Karang dan Ratu Ngurah Pengadang-adang. Kalau gegemet itu kelasnya agak kotor atau kasar pastilah akan mengalami sesuatu di sini. Maka dari itu, agar tak mengalami hal-hal yang tak diinginkan, lebih baik kosongan, tak akan ada yang mengganggu secara niskala. Demikian Ketut Crucuk sedikit menasehti I Bracuk yang dinilainya telah membawa sesuatu yang tak benar ke pekarangan rumahnya, apalagi bicaranya agak “tegeh”. I Ketut Crukcuk sangat yakin, penunggun karangnya akan melindungi segenap penghuni rumahnya secara niskala.
Selain itu I Ketut Crukcuk, I Wayan Blekok dan I Wayan Blangko berbisik bersama Gung Tut Glalak Glilik. Mungkin saja tadi ketika I Bracuk ke kamar kecil, yang dititipi kalungnya adalah penghuni tugu atau Ratu Ngurah Pengadang-ngadang yang tampak seperti sosok manusia untuk mengambil kalung gegemet tersebut. Makanya kalung itu secara aneh ketemu di bataran pelinggih Ratu Ngurah Pengadaang-ngadang. Sekaligus beliau memperingati I Bracuk dengan memberikan bogem mentah agar tak bicara cah cauh serta tak membawa sesuatu yang aneh-aneh ke pekarangan ini.
Melihat kejadian ini I Ketut Crukcuk Kuning teringat dengan hal niskala yang dialami oleh I Putu Ketimun Guling beberapa tahun yang lalu. I Putu ini juga bertandang ke sini pada malam hari. Sama halnya dengan I Bracuk, I Putu memakai kalung gegemet yang konon bekal dari “si kakek, balian sakti” di kampung halamannya. Dan ketika sampai di depan tugu tersebut, kalung gegemet yang ia kenakan itu bergetar keras di lehernya. Lalu I Putu Timun Guling mengurungkan niatnya untuk bertandang ke sana, kawatir terjadi sesuatu dengan dirinya.
Kini kembali ke cerita I Bracuk. Atas kejadian malam itu, I Bracuk merasakaan sesuatu yang tak enak di badannya. Ia merasakan badannya sakit, serta kepalanya agak pening. Ia mengira bahwa hal itu karena pengaruh mabuk, dan yakin akan hilang dalam satu hari. Namun setelah beberapa hari, sakit di badaannya masih terasa, demikian juga dengan pening kepalanya. Termasuk lagi pikirannya agak tak karuan-karuan. Sambil merasakan sakitnya, kemudian I Bracuk  merenung. Ia teringat dengan kejadian di tugu pada malam hari itu. Entah merasa bersalah atau bagaimana, I Bracuk berniat memohon ampun bersaranakan pejati di tugu di tempat ditemukan gegemetnya itu.
Singkat cerita, pejati dihaturkan sambil memohon ampun atas semua kesalahan, maka keesokan harinya rasa sakit di badannya mulai berkurang berangsur sembuh. Demikian juga dengan kegalauan pikirannya mulai sirna. Ia menjadi tenang kembali.
Menyaksikan hal demikian, kembali Gung Glalak Glilik dan I Wayan Blekok berbisik. “Apang tawange rasane, kaden kenken gumi dini. Bani bani gen. Macem-macem gen ngabe gegemet teke mai… Haha… “
Atas kejadian yang dialaminya, sekaligus I Bracuk membuktikan cerita-cerita di luar sana mengenai keangkeran dari desa asal istrinya. Walaupun di kota.
“Ha…, dunia mistik tak kenal kota atau desa. Ia akan ada sepanjang masa dengan segala perwujudannya yang selalu menyesuaikan dengan jaman. Mistik  adalah kekal abadi. Manusia tak akan lepas dari dunia mistik, namun tak bisa semuanya di-mistik-kan. Sekala niskala adalah dua dunia dengan dimensi yang berbeda, namun sangat dekat dan saling berhubungan. Maka yang perlu dilakukan adalah dipahami, diyakini, serta diselaraskan” Demikian Nyoman Pulung-Pulung Ubi mengakhiri bisik-bisik mereka. (Ki Buyut/Kand.).

No comments:

Post a Comment