Thursday, September 24, 2015

Haruskah Hindu Ikut-ikutan ?




 
Mungkin tulisan ini sedikit tendensius mengenai keberadaan Hindu di Indonesia atau di Bali khususnya. Semenjak beberapa tahun reformasi secara tak diduga-duga terjadi di Indonesia, maka kehidupan kebangsaan menjadi semakin kabur nasionalismenya. Sering masyarakat bangsa ini terjebak dalam situasi fanatisme. Yang paling terasa adalah semangat agama atau boleh dibilang mengarah kepada fanatisme agama. Setiap hari terdengar perdebatan agama, perdebatan paham, baik di intern sebuah agama maupun anttar pemeluk agama. Baik itu dikalangan para nasionalis maupun dengan para kelompok radikal atau kelompok spiritual. Perdebatan maupun dialog yang semakin intens tersebut justru kerapkali membawa masyarakat bangsa ini semakin jauh dari nilai agama itu sendiri. Kenapa demikian?, karena ujung-ujungnya adalah debat agama, ujungnya adalah mencari kelemahan masing-masing agama, dan memperlebar jarak kesenjangan antara satu agama dan agama yang lain, sehingga garis toleransi menjadi kabur. Sudah tentu hal ini merupakan situasi yang kurang mengembirakan jika dipandang dari sudut kebinekaan yang menjadi semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Khusus dalam agama Hindu, melalui perdebatan-perdebatan dan diskusi panjang serta pergaulan di masayarakat bangsa dengan agama-agama lain, dimana kita saling mempengaruhi satu sama lainnya. Dalam pergaulan tersebut agama Hindu banyak mengadopsi pola pikir yang sejak dahulu tak pernah terpikirkan atau tak pernah terhiraukan oleh umat Hindu itu sendiri. Secara sadar maupun tak sadar umat Hindu telah menuntut kepada agamanya sendiri tentang sesuatu yang ia lihat pada agama tetangga, lalu berusaha untuk menyesuaikannya dengan agama tetangga. Sebagai contoh misalnya:
1.                  Umat Hindu mulai memakai pengeras suara untuk mengumandangkan puja tri sandya. Pada awalnya sejatinya puja tri sandya diwajibkan bagi mereka yang telah menjalani masa wanaparasta dan sanyasin. Namun karena pengaruh agama tetangga yang memiliki waktu sembahyang yang disebut dengan sembahyang lima waktu, maka Hindu pun mulai menggalakkanya sembahyang tiga waktu. Memang ini suatu hal yang positif, namun dalam perkembangannya yang rajin dan rutin melaksanakan tri sandya adalah bale kulkul banjar, televisi, dan radio.
2.                  Ketika teman-teman di umat lain sibuk menjalankan puasa selama sebulan dengan segala hiruk pikuknya, maka dalam kebangkitan kesadaran umat Hindu sejak beberapa dekade belakangan ini juga sibuk menjalani upawasa berkaitan dengan catur brata penyepian. Padahal sebelumnya, tak banyak orang berpikir tentang puasa. Puasa hanya dilakukan oleh mereka yang telah menjalani tahapan wanaprasta, maupun sanyasin, ataupun bagi para penekun spiritual. Artinya bahwa mereka punya puasa, kita juga punya.
3.                  Pada saat teman sepergaulan mengharamkan babi, maka kita sibuk juga memproklamirkan diri tak makan sapi dengan alasan bahwa sapi sebagai ibu, dan sapi adalah bainatang suci bukan haram. Semangat kesadaran ini muncul belakangan, banyak yang tak mengkonsumsi daging sapi. Padahal sejatinya jaman dahulu mereka yang tak makan sapi adalah mereka-mereka yang menapak jalan kesucian baik itu sulinggih, pemangku, maupun mereka yang menjalankan tugas kesucian yang telah menjalankan prosesi pewintenan.
4.                  Ketika di televisi kita melihat teman-teman sepergaulan bersemangat mengurai ayat-ayat suci yang ada dalam kitab sucinya, maka kita kelimpungan untuk mencari “dimana kitab suci saya”, bagaimana rupa kitab suci kita yang disebut Weda?. Dengan harapan agar tak kalah dengan teman-teman itu. Padahal sejatinya ayat-ayat suci Weda telah terurai dan bersenyawa dalam berbagai macam cerita kuno, cerita budi pekerti, ajaran susila, serta filsafat upacara yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Sedangkan teks tertulis yang ada di Indonesia dan khusunya di Bali sebagian besar sudah ditullis daan ditafsirkan secara teknis dalam bentuk lontar-lontar. Namun pengaruh ini sangat bagus, yang kahirnya ada semangat untuk mewujudkan kitab suci Weda dalam bentuk buku, seperti yang banyak tersebra di toko buku saat ini.
5.                  Kita saksikan pula setiap melakukan sembahyang bersama, teman-teman sepergaulan mendapatkan siraman rohani dengan mendengarkan kotbah dari para pemimpin agama dengan bahasa yang berapi-api. Lalu kita sudah mulai dapat mengimbanginya dengan melakukan darma wacana dalam setiap odalan atau dalam suatu kegiatan tertentu yang berkaitan dengan upacara adat atau agama. Dan itu pun tak wajib dalam setiap persembahyangan, masih menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, serta kebutuhan.
6.                  Setiap tahun teman-teman dari agama lain mengirimkan sekian ratus ribu orang untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah yang konon sebagai tempat kelahiran agamanya, maka ada sekelompok umat Hindu yang “ikut-ikutan” untuk melakukan perjalanan suci ke India yang konon katanya sebagai tempat asal dari ajaran Hindu, dalam kemasan program Tirthayatra.
7.                  Teman-teman tetangga sebelah sangat membanggakan tanah Arab sebagai “tanah suci” sebagai asal mula kelahiran agama dan nabinya, dan kiblat agamanya pun mengarah ke sana. Lalu sebagian dari kita malah mengekor mengatakan bahwa India adalah tanah suci agama Hindu. Padahal tidak demikian halnya. Hindu menyatakan bahwa semua tempat adalah suci dan tak melakukan diskriminasi tterhadap sebuah wilayah atau tempat. Dimana Dewa dipuja, dimana Weda dijalankan, maka disanalah tanah suci.
8.                  Teman-teman di sebelah mengelu-elukan seorang nabi besar, kita pun mulai bertanya ke sana ke mari, siapa nabi kita? Padahal di dalam Hindu nabi umat Hindu sangat banyak yakni sapta resi yang diturunkan pada awal penciptaan alam semesta. Lalu sekian banyak nabi lagi yang diturunkan dari jaman ke jaman. Maka jangan kawatir bahwa umat hindu tak punya nabi / nabe. Malah justru agama Hindu memiliki banyak nabi. Jangan terjebak pada perkataan bahwa satu agama satu nabi. Agama Hindu yang kaya, mulia, serta agama tertua dimuka bumi ini memiliki banyak nabi.
9.                  Ketika teman-teman agama lain mengadakan lomba membaca ayat-ayat kitab suci, maka dengan bersemangat kita juga mengadakan kegiatan utsawa dharma gita mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten kota, profinsi dan tingkat nasional. Dimana pada awalnya, membaca kitab succi lontar sangat ditabukan bagi anak-anak atau remajaa, karena aja wera. Artinya tidak bisa dilakukan secara sembarangan, apalagi pamer, karena harus siap mental dan kecerdasan untuk memhami isinya, agar tak salah pemahaman, tak salah tafsir, dll. Namun karena jaman menuntut demikian, yah apa boleh buat.
10.              Ketika teman-teman dengan fasih mengucapkan ayat-ayat agama dan istilah agamnya dengan bahasa Arab, sepertinya kurang afdol rasanya kaalau Hindu tak menggunakan Bahasa Sansekerta. Oleh karena itu mulailah orang-orang Hindu untuk melirik bahasa Sansekerta. Padahal sejatinya ajaran Agama Hindu oleh para leluhur telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno (kawi), lalu bahas Bali, dan kini sudah ke dalam bahasa Indonesia. Tidak mesti rasanya harus kembali ke bahasa Saskerta. Mengapa demikian sebab pada awalnya wahyu Tuhan yang diterima oleh para Maharesi terdahulu ditulis dalam bahasa Daiwiwak (bahasa Dewa). Lalu dalam perkembangannya di India bahasa Daiwiwak yang sangat rahasia tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa masyarakat india Kuno saat itu yakni Bahasa Sansekerta. Dari bahasa Sansekerta inilah kemudian ajaran Hindu diterjemahkan dalam berbagai banyaak bahasa di dunia. Jadi dengan demikian, perlukah kita kembali  bahasa berepot ria menggunakan bahasa Sansekerta?. Kecuali hanya untuk pamer dan gagah-gagahan?    
11.              Ketika teman-teman dengan fasih mengucapkan salam pertemuan dan perpisahan dengan saudara seumat, maka umat Hindu juga sudah menemukan ucapan om suastyastu dan om santi santi santi santi. Jadi untuk urusan salam, dalam beberapa tahun terakhir ini umat Hindu sudah mulai biasa mengucapkan salam umat.
12.              Dalam pergaulan selanjutnya, teman kita sering mengucapkan sebuah kelimat ketika ada umat yang meninggal dunia. Nah saat itu umat hindu belum biasa menggunakan ucapan untuk hal kematian. Maka sibuklah kita mencari sebuah kalimat dalam bahasa Sansekerta yang bisa dipakai mengimbangi kalimat itu. Maka munculah kalimat-kalimat seperti “amor ing acintya”, om moksantu, sunyantu,…. dan seterusnya.
13.              Ketika bulan puasa, teman-teman sepergaulan sibuk mengumpulkan dana zakat yang akan diperuntukkan bagi fakir miskin, atau untuk keperluan pembangunan sarana ibadah, maka kita di Hindu sibuk mengimbanginya dengan gerakan “dana punia”.
14.              Ada lagi hal yang sedikit menggelitik dimana pada jaman dahulu bahwa umat Hindu tertuama di Bali sudah lumrah menyelenggarakan tajen pada saat odalan di pura. Dimana dana yang diperoleh dari tajen tersebut digunakan untuk keperluan odalan, untuk pembangunan sarana pura, dan sebagainya. Namun ketika pemerintah dan juga agama lain mengharamkan dan melarang judi lengkap dengan ayat-ayatnya sucinya, maka kita sibuk mencari sloka-sloka yang mengatakan bahwa judi itu dilarang. Semua ini dilakukan hanya gengsi dengan pemerintah dan umat lainnya yang melarang judi.
15.              Satu lagi yang kerap menjadi cibiran dari teman-teman tentang praktek Hindu dimana dikatkan bahwa “Hindu Menyembah Patung”. Dimana patung dikatakan sebagai batu dan berhala, bukan menyembah Tuhan.  Semestinya kita tak terpengaruh dengan cibiran tersebut, sebab patung tersebut adalah perwujudan dari dewa-dewa, dan patung tersebut adalah sebagai media konsentrasi kepada Hyang Tunggal. Apakaah dengan cibiran tersebut kita menjauhi patung? Tidak…..  tidak…. Dalam Hindu ada konsep dewa ya kala ya pengertiannya adalah Beliau Hyang Tunggal dapat berwujud apa ssaja sebagai kemahakuasaan beliau. Bisa berwuujud Dewa, bisa berwujud kala. Artinya beliau bisa menciptakan kemakmuran, dan dapat pula menciptakan kehancuran. Itulah kemahakuasaan Tuhan. Tak perlu di pungkiri.

Itulah beberapa hal yang menjadi catatan penulis mengenai perkembangan Hindu dalam pergaulannya dengan umat lain di Indonesia. Tulisan ini juga tak menampik adanya hikmah positif dari pergaulan Hindu dengan agama lain dalam bingkai Negara Kesatuan Rpublik Indonesia. Maksud dari tulisan ini adalah untuk penguatan keyakinan umat Hindu dari gempuran pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pelemahan Hindu. Yang penting lagi, Hindu tak perlu didikte oleh pihak-pihak lain dalam meyakini agama serta menjalankan tata cara agama Hindu. Sadar atau tak sadar, dalam pergaulan akan selalu ada provokasi, ada debat, dan saling mencari titik lemah. Selalu akan ada goodaan bahwa “aku punya ini, mana punyamu?” “Aku begini, kamu gemana?” Untuk menghadapi situasi demikian, Hindu tak perlu meladeni habis-habisan, tak perlu terpengaruh. Jalankan apa yang diyakini, jalani apa yang Hindu punya. Tak perlu ikut-ikutan, apalagi didikte. Hindu punya keyakinan, punya cara, punya identitas, punya jati diri. Hindu mesti berpikir atas srada / keyakinan, berbuat atas dasar kesadaran sendiri, serta berbuat dan berdiri di atas kaki sendiri sebagai Jati Diri Hindu. (kanduk)

No comments:

Post a Comment