Thursday, September 10, 2015

Ida Bagus Ngekop Bola






Terbawa-bawa oleh semaraknya kompetisi di liga sepak bola negara-negara Eropa, membawa imbas ke tanah air khususnya di Bali. Dimana-mana orang ngomongin tentang bola, bola dan bola, lengkap engan skor serta bintang-bintangnya. Dari liga Ingris, Spanyol, Italia, Jerman, Belanda, dll. Namun sangat jarang mereka membicarakan tentang liga sepak bola tanah air. Mungkin kurang menarik kali.
Semaraknya dunia sepak bola di televisi, menyebabkan anak-anak jadi keranjingan main bola. Saat itu datanglah beberapa orang anak memainkan bola sepak di jaba Pura Maspahit. Di sana ada Man Upik, Yan Miko, Yan Kisin, De Landep, De Arab, Yan Dika, Gung Dewa, Gus Tra, Gus De, Patrik “si timor”, Si Katon yang berdarah Jawa. Mereka menyebut diri sebagai klub MU, kepanjangan dari “Maspahit United”. Bermainlah mereka bersama di Jaba Pura dengan menggunakan bola plastik. Seru, memang seru pertandingan anak-anak itu. Semangat, memang semangat. Anak anak itu girang bermain sepak bola, tak perduli panas menyengat. Keringat dan debu menyatu melapisi kulit mereka. Kegirangan anak-anak itu menjelang sore hari disaksikan oleh para orang tua mereka, yang turut senang melihat anak-anak mereka riang gembira bermain sepak bola.
Permainan mereka memang cukup lumayan bagus, meniru gaya para pemain dunia yang tiap minggu disaksikan di televisi. Gaya tendangan, gaya menangkap bola, gaya ngekop bola, dan bahkan gaya ketika selebrasi atau merayakan gol kemenangan. Pokoknya sudah bergaya pemain dunia “tak mau jadi pemain Indonesia”. Sayang sekali, sama sekali tak ada kebanggaan terhadap persepakbolaan Indonesia.
Ketika sedang ramai-ramainya main bola, lalu datag Bu Dayu mencari Gus De dan Gus Tra. Bu Dayu melihat anaknya sedang bermain bola dengan anak-anak yang lainnya. Kedua anak itu lalu dipanggil dan disuruh pulang, karena hari udah menjelang sandikala. Ketika itu pula permainan anak-anak berakhir dan bubar. Sejatinya Gusde, Gustra dan anak yang lain agak kesal ketika pertandingan berhenti. Namun apa boleh buat, mereka tak berani menentang orang tua.
Setelah sampai di rumah atau di griya, Gustra dan Gus De diberitahu oleh ibunya agar jangan sering-sering bermain sepak bola. Karena apa? Sebab Gustra dan Gusde adalah keturunan brahmana atau seorang Ida Bagus. Sebab ketika bermain, bola ditendang secara bergantian dari kaki ke kaki mereka, lalu dikop oleh Gustra dan Gusde. Sebagai seorang Ida Bagus, jangan ngekop bola,  sebab itu bekas kaki dari pemain lainnya. Demikian arahan dari Ibu Dayu yang sedikit fanatik dengan “soroh”.
Mendengar pengarahan tersebut, Gustra menjadi sedikit bingung, lalu berkata. “kalau main bola kan harus di tendang bolanya, dan kalau tinggi ya dikop dengan kepala. Itu sudah peraturannya begitu. Kalau tidak boleh ngekop bola ya bagaimana”. Ibunya yang sedikit kolot namun sangat fanatik itu berkata “ya kalau ada bola melambung, ya jangan di kop, dan kalau bola melintas di atas kepala ya mesti menghindar atau menjauh”.
Mendengar omongan ibunya, Gustra yang masih kanak-kanak itu mengerti dan menganggap pendapat ibunya lucu dan tak masuk akal. Ia pun tertawa cekikikan. 
Mendengar omongannya dilecehkan, lalu Ibu Dayu menjadi sedikit tersinggung, lalu ia berkata ”Kalau Gus tidak mau mengerti omongan ibu, lebih mulai besok Gustra dan Gusde tidak boleh bermain bola lagi”
Pembicaraan ibunya itu lalu didengar oleh Gus Tut (ajik dari Gustra). Gus Tut berkata “Dayu, jangan terlalu serem, jangan terlalu fanatik atau jangan terlalu kaku. Kalau dalam sepak bola memang sudah sewajar seperti itu permainannya. Kalau masalah sosial dan fanatisme dibawa ke dalam permainan, maka permainan tidak akan berlangsung. Pemain yang bukan dari golongan Ida Baus pun tak bermaksud untuk merendahkan, melecehkan atau pun membuat rohani kita menjadi cemer. Tidak demikian maksudnya. Biarkan anak-anak bermain bola sebagaimana mestinya”.
Ia (Gustut) mengingatkan istrinya agar jangan terlalu fanatik. Sebab jaman sudah berubah, tak seperti jaman feodal kerajaan terdahulu. Kalau hal itu masih menjadi bahan pikiran, terus bagaimana kata orang ketika keluarga Ida Bagus masuk ke rumah makan dan menyantap makanan dengan menggunakan piring, sendok dan gelas. Sendok, piring, dan gelas itu bukan baru, melainkan sudah sekian orang, dan sekian mulut yang memakai sendok dan gelas tersebut. Kalau itu masih menjadi pikiran kita, maka kita akan repot sendiri sebagai keluarga dari golongan Ida Bagus”. Demikian Gus Tut mengingatkan istrinya.
Lalu Gus Tut melanjutkan pembicaraannya. “sampai saat sekarang kita mesti bersyukur sebagai keturuan griya. Sebab sampai sekarang masyarakat masih menghormati serta tak menuntut keluarga griya yang tak pernah ikut negen wadah saat upacara ngaben. Itu mesti kita hormati niat baik dan rasa hormat mereka. Jangan mentang-mentang”. Demikian Gus Tut mengingatkan istrinya agar tak bertindak konyol di masyarakat.
Mendengar omongan tersebut, Gustra dan Gusde pun merasa lega dan boleh bebas berkiprah di MU (Maspahit United) bersama teman-temannya. (Ki Buyut/kanduk).

No comments:

Post a Comment